Momena Shoma tanpa niqab, agaknya foto sebelum tahun 2014. |
Seorang gadis Bangladesh kecil mungil cantik jelita, berusia 24 bernama Momena Shoma. Dia tiba di Melbourne, Australia, 1 Februari 2018. Hendak belajar bahasa dengan beasiswa karena keunggulannya pada Universias La Trobe. Menjelaskan dirinya sebagai "orang yang pada dasarnya introvert dan sangat pemalu," dia berbicara tentang ambisinya supaya bisa menjadi dosen universitas. Berasal dari sebuah keluarga kaya-raya sekaligus sekuler Kota Dhaka, yang menganggapnya ""brillian," Momena pun menjadi mahasiswa berprestasi dengan nilai A pada beberapa lembaga pendidikan bahasa Inggris elit ibukota. Mulai dari Loreto School, Mastermind School serta Universitas North South (NSU), Dhaka. Dia tamat dari NSU dengan gelar sarjana untuk Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris tahun 2016, kemudian mendaftarkan diri untuk program master pada kampus yang sama sebelum beralih ke Universitas La Trobe, Melbourne, Australia.
Seperti banyak mahasiswa asing yang baru tiba di negeri itu, Momena menoleh kepada Jaringan Australian Homestay (Australian Homestay Network---AHN), penyedia jasa homestay Australia terbesar yang kenamaan" untuk bisa mendapatkan sebuah keluarga supaya bisa tinggal. Segera dia pun menetap di sebuah rumah di Bundookra, dekat universitas.
Apalagi yang membuatnya lebih polos-lugu? Siapapun yang khawatir soal dia berbahaya karena agama Muslimnya bakal disebut akibat rasis, merasa diri lebih unggul (chauvinisme ), anti-orang asing (xenophobia), fanatik dan (hingga tuduhan yang paling menakutkan) "Islamofobia" (fobia terhadap Islam). Jadi, bahwa dia pakai burqa, hanya membuat kecurigaan ini lebih mengerikan lagi.
Tetapi, ketika Momena membawa sebuah kisah dapur sepanjang 25 Cm ke kamarnya kemudian berulangkali menikamkannya pada tempat tidurnya, dia mensinyalkan bahwa bahaya akan datang. Dalam kata-kata seorang hakim (magistrate), "Dia mempraktekannya pada kasur dengan keluarga pertama yang menampungnya. Mereka pun merasa cukup terintimidasi sehingga pergi kepada AHN. Kepada pihak jaringan homestay Australia itu, mereka mengatakan, "Kami takut. Kami tidak ingin dia terus tinggal bersama kami," Dan dia pun keluar, menghadapi kehidupan tanpa rumah.
Menanggapi kebutuhannya mendesak untuk mendapatkan akomodasi, keluarga Singaravelu pun menyambut baik Momena untuk tinggal bersama mereka, 7 Februari 2018. Diharapkan dia bisa tinggal bersama mereka selama beberapa hari sampai dia menemukan tempat tinggal yang jauh lebih permanen. Sang suami, Roger Singaravelu, 56 tahun, adalah perawat dinas malam. Istrinya bernama Maha (45) dan putri mereka, Shayla baru berusia 5 tahun. Mereka tinggal di sebuah rumah empat kamar di Kota Satelit Mill Park, Melbourne. Ketika menmenjelaskan motifnya menerima Momena, Maha mengatakan: "Saya kasihan dia, berada di negeri asing. Saya menempatkan diri dalam situasinya dan 'situasi' orangtuanya."
Maha (Kiri), Shayla, dan Roger Singaravelu. |
Mereka sendiri immigran dari Malaysia. Keluarga Singaravelu tiba di Australia 30 tahun silam, urai Roger, "untuk mencari peluang." Sejak tahun 2014 mereka menampung mahasiswa asing, dengan semangat multikulturalisme, untuk memberi kembali sekaligus untuk mengajarkan toleransi kepada putri mereka. Seorang tetangga Neil Fitzroy, menjelaskan keluarga Singaravelu sebagai orang-orang yang suka terlibat, terbuka, menerima mahasiswa asing untuk memberikan kepada mereka "pengalaman seorang warga Australia."
Persoalan berawal sangat bagus dengan Momena, kenang Maha. "Dia sangat menyenangkan diajak bergaul. Dia bahkan menawarkan diri menjaga putri kami jika kami pergi." Roger pun setuju. "Shoma memberi kesan bagus tepat sebelum serangan." Dia lihat "perilakunya baik" dan memperhatikan bahwa dia berbicara Bahasa Inggris lebih baik daripada dia sendiri.
Tumbuh besar di Malaysia, sebuah negara mayoritas Muslim, urai Roger kepada saya, membuat dia dan Maha "memahami norma yang dianut kaum Muslim." Tetapi AHN tidak memberikan informasi kepada keluarga bahwa Momena pakai burqa. Dan, penampilannya, kenang Riger, "membuat kami terkejut ketika dia pertama tiba di ambang pintu rumah kami." Bahwa dia "terus-menerus mengangkat burga waktu makan" supaya makanan bisa masuk ke mulutnya menyebabkan keluarga merasa "tidak nyaman makan bersama." Memang, sedikit banyak AHN memberitahu pasangan itu tentang Momena yang pernah diusir keluar dari homestay sebelumnya karena dia berlatih menikam. Tidak seorang tahu dia mencuri pisau dari homestay pertama penampungnya.
Serangan Pertama
Tanggal 9 Februari. Setelah dua hari tinggal bersama keluarga Singaravelu, Momena lancarkan pun serangan. Pukul 4.25 sore. Ketika itu, Maha keluar rumah dan Roger sedang tidur-tiduran di kasur ruang tamu, dengan anaknya berbaring di lengannya. Dengan memakai burqa, Momena pun menggunakan pisau curiannya menikam leher tuan rumah penampungnya. Tetapi, wanita yang kurang dari lima kaki tingginya (sekitar 152,4 Cm, J.E.L.) tidak punya tenaga untuk bisa merobek urat nadi leher Roger. Akibatnya, tikamannya tidak terlampau dalam menikam leher Roger, tetapi cukup membuatnya berdarah "seperti air mancur" namun tidak cukup untuk membuatnya menderita luka-luka yang mematikan.
Dalam kata-katanya sendiri, Roger mengatakan: "Saya pikir sedang bermimpi. Soalnya, saya merasa leher saya sangat sakit. Saya lalu bangun dan mulai berteriak." Dia kemudian berusaha merebut pisau ketika Momena menindihnya serta mendorongkan pisau lebih dalam, sambil terus berteriak, "Allahu Akbar." Diperhatikannya bahwa "matanya begitu tajam membelalak. Matanya membelalak." Pada titik itu, Roger melanjutkan,
Secara reaktif saya rebut pisau, berusaha membela diri...Saya membela diri darinya selama empat, empat setengah menit. Saya katakan, "Tolong lepaskan pisaunya, Shoma. Tolong lepaskan. Kita bicara." Semua yang dia [terus] katakan adalah "Allahu Akbar, Allahu Akbar," ketika puteri saya menjerit di sini. Saya suruh puteri saya, "Lari, Shayla, lari."
Akhirnya, Roger menang. Dia berhasil mencabut pisau dari lehernya. Setelah dia memanggil saya, "Saya berhasil mencengkram memegang putri saya yang berumur lima tahun keluar dari rumah lalu menelepon Mustafa Osmanosky lewat handphone. Yang ditelepon langsung datang membantu. Ketika saya berhasil membuka pintu garasi, tetangga di seberang jalan turut datang membantu."
Mustafa, 76, seorang pensiunan petugas keamanan keturunan Makedonia. Bersama istrinya Safia, selama 20 menit keduanya mengawasi Momena yang cemberut dan tidak bergerak karena dia menunggu untuk ditahan. Keduanya merosot bersandar ke dinding ruangan itu juga tempat Momena melakukan serangan. Para tetangga ingat dia mengatakan bahwa "Itu misi dan bahwa dia harus lakukan apa yang harus dilakukannya."
Kepada polisi, dengan tenang dia jelaskan bahwa dia datang ke Australia bukan untuk belajar tetapi untuk membunuh "demi nama Allah." Dia berharap pisau yang ditikamkan ke leher "bisa jadi fatal." Sambil melihat dirinya sendiri sebagai tentara pejalan kaki Negara Islam, Momena pun merencanakan serangan. Memang, sebelum meninggalkan Dhaka, dia sudah memberitahu saudarinya Asmaul Husna, 22, tentang rencananya yang kejam.
Paspor Momena Shoma. |
Momena menghayati semangat pejihad pagi itu dengan menonton video ISIS yang mengerikan selama 55 menit dari tahun 2014. Judulnya Flames of War (Kobaran Api Perang). Stasiun Televisi ABC menegaskan kesaksiannya sebagai berikut:
Menonton video membuatnya merasa seperti pecundang, katanya. Soalnya, dia pikir dia tidak mampu melakukan jihad yang kejam mengerikan yang digambarkan dalam film. Kepada polisi dia katakan dia diperintah untuk membunuh oleh Negara Islam (ISIS). "Saya merasa wajib. Dan itu seperti beban pada saya," ujarnya. Dia lalu mengatakan, dia merasa lega setelah penyerangan itu karena dia sudah berusaha. "Di hadapan Allah, saya hanya bisa memberitahuNya bahwa saya sudah mencoba. Itu saja."
Motifnya? Momena mengaku tidak punya "dendam pribadi" terhadap Roger (yang baru bicara kurang dari 50 kata kepadanya). Tetapi menyerang dia karena kesadaran atas tugasnya untuk "segera menembak (masyarakat) Barat": artinya mendorong kaum non-Muslim untuk menyerang Muslim, sehingga mungkin saja mengarah kepada kekacauan yang menimbulkan Hari Akhir. Karena itu, dia menjelaskan:
Harus saya lakukan itu. (Sasaran) bisa siapa saja. Tidak khusus dia. Dia hanya tampak seperti target yang sangat mudah karena sedang tidur, jadi ya, dan saya harus paksa diri. Saya bahkan tidak bisa melukai seekor tikus. Ini, saya hanya rasakan seperti jika saya tidak lakukan, maka saya berdosa. Saya bakal dihukum oleh Allah.
Konsekwensi
Tas yang dibawa Momena Shoma ke Australia. |
Meski didakwa berusaha membunuh dan satunya lagi tuntutan terlibat aksi terorisme, Momena dengan bangga dan dengan gaya menantang hadir di pengadilan magistrat Agustus lalu. Dia mengenakan niqab sebagai tentara ISIS. Selain itu, dia juga menolak bertoleransi kepada hakim magistrate atau menyampaikan pembelaan.
Di Pengadilan Agung Victoria, September lalu, hakim memaksanya melepas niqab serta memperlihatkan wajahnya guna memastikan identitasnya ketika dia menyampakan pembelaannya. Kali ini, Momena mengaku bersalah dengan penuh niat terlibat dalam suatu aksi teroris "dengan niat memajukan cita-cita politik, agama dan politik, misalnya, jihad yang kejam." (Tuduhan upaya pembunuhan digugurkan.)
Hukumannya akan ditetapkan Januari nanti; hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Sebuah polling daring mengajukan pertanyaan jika dia harus dideportasi atau dipenjara: setelah melarikan diri selama beberapa pekan, suaranya sangat luar biasa (84 berbanding 16 persen mendukung yang pertama (baca: dideportasi).
Roger menderita luka di bahu. Beberapa otot tangannya terluka parah. Tulang belakang lehernya retak. Dia pulih setelah luka-luka di bahu dan lehernya dioperasi. Ketika memberi kesaksian April lalu, dia melukiskan serangan itu sebagai "berdampak menghancurkan" bagi keluarganya. Shayla menjadi trauma dengan apa yang disaksikannya: "Dia terus mengalami mimpi buruk dengan kembali munculnya berbagai gambaran peristiwa menakutkan itu (flashbacks) sehingga membutuhkan perawatan psikologis. Dia masih melihat darah di tembak dan meminta saya membersihkannya walaupun tidak ada apa-apa di sana."
Rogers juga menderita: "Saya sudah nyaris mati. Saya lihat bahwa tidak mudah membangun kepercayaan (kepada orang lain). Saya menyendiri sekarang ini dan selalu sensitif terhadap lingkungan sekitar menyusul insiden itu. Orang yang memakai burqa cenderung memperparah kondisi saya." Dia menderita Gangguan Stress Pasca-Trauma (PTSD). Yang semakin memperparah persoalannya adalah bahwa Roger bakal tidak dibayar dan mungkin saja segera dipecat dari rumah sakit tempatnya bekerja. Seperti dia tuliskan kepada saya:
Saya tidak bisa lagi kembali untuk bekerja menyusul insiden itu. Baru-baru ini saya mendapat cuti tanpa gaji. Ciri kerja saya termasuk merawat pasien psikiatris. Trauma yang harus saya alami mempengaruhi saya sehingga saya merasa sangat rawan diserang dalam situasi tertentu. Saya masih menjalani perawatan jalan dengan psikiater saya untuk PTSD. Dia resmi menyatakan saya tidak cocok untuk bekerja. Pekerjaan jadi tekanan berat bagi status pekerjaan saya. Saya kira, ketika orang punya keterbatasan, seperti saya, majikannya tidak sabar untuk menunggu orang pulih dari trauma. Saya baru mendapatkan cuti tanpa gaji dan nyaris diberhentikan karena tidak mampu kembali bekerja pada tahap ini.
Menyedihkan bahwa pihak Kesehatan Melbourne, majikan Roger serta sebuah rumah sakit pendidikan yang penting (major teaching hospital) memperlakukannya secara memalukan. Tekanan publik serta politik perlu untuk gencar dilakukan kepada pihak Kesehatan Melbourne supaya bersedia memberi waktu yang Roger butuhkan supaya benar-benar bisa pulih kemudian kembali bekerja.
Ringkasnya, seperti Roger jelaskan dalam sebuah suratnya baru-baru ini, semua harapan dia beserta Maha (isterinya) "sudah pecah berkeping-keping oleh tindakan kejam ini! Hidup kami tidak sama lagi dan tidak bakal kembali normal."
Dhaka
Ayah Momena Shoma, Mohammad Moniruzzaman. |
Di Australia, serangan Momena tampaknya menjadi kasus sindrom jihad mendadak yang muncul tanpa peringatan dari seorang cendekiawan linguistik yang sedang naik daun. Tetapi berbagai penyelidikan lanjutan di Bangladeh menemukan banyak hal penting yang terlewatkan akibat ketidakmampuan yang sangat mengerikan.
Berdasarkan informasi yang dibaca dan didengar, Momena cocok dengan kehidupan Muslim normal keluarganya yang elit. Ayahnya Mohammad Moniruzzaman,, seorang akuntan resmi, adalah senior vice president serta anggota dewan Janata Insurance Co. Ltd. Pamannya, Mohamad Abdul Aziz adalah Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Univeritas Dhaka.
Dia menarik diri dalam sebuah dunia yang dirumuskan Islam, baru pada tahun 2012, pada tahun pertama kuliahnya di NSU. Tidak ada lagi musik dan film baginya. Dia menuntut keluarganya melepaskan diri dari televisi dan mengomeli para wanita supaya menutup badan mereka. Ketika mengulang kembali, laporan polisi Australia, Stasiun Televisi ABC menemukan bahwa Momena "merasa seperti penjara dalam rumahnya sendiri" karena menjadi satu-satunya anggota keluarga yang menjadi Muslim Salafi. "Dia mulai mengikuti pengkotbah daring, termasuk pengkotbah Yaman yang terkenal jahat, Anwar al-Awlaki serta menonton video-video Negara Islam (ISIS).
Ruang sholat wanita di NSU, sebuah institusi yang sangat kuat berhubungan dengan Islamisme, menjadi pusat utama hidupnya. Sebagai contoh, para pejihad yang bertalian dengan pembunuhan seorang blogger sekular kuliah di NSU. Demikian juga orang-orang yang menyerang sebuah restoran yang menyebabkan 29 orang tewas dan bahkan salah seorang dari mereka yang berupaya hendak meledakan Bank Cadangan Federal di New York.
Pada puncak aksi kejam ISIS tahun 2014, Momena mengajukan visa mahasiswa untuk bepergian ke Turki, supaya bisa mengambil beasiswa dari Universitas Atılım di Ankara, tetapi mungkin saja benar-benar berniat hendak bergabung dengan ISIS. Bagaimanapun, Konsulat Turki di Dhaka menolaknya, sama seperti yang dilakukannya kepada separuh mahasiswa Bangladesh pemohonnya. Momena mungkin juga telah mencoba, tetapi tidak berhasil, untuk mendapatkan visa pergi ke Tunisia dan Amerika Serikat.
Sebuah laporan polisi Bangladesh menemukan bahwa saudari Momena, Asmaul Husna juga menjadi radikal setelah ibu mereka meninggal dunia akibat diabetes, Juni 2015. Para saudara itu sama-sama memanfaatkan kesempatan untuk menonton berbagai video Al-Qaeda dan ISIS. "Kedua saudari itu memperoleh inspirasi untuk menyerahkan diri [mereka sendiri] secara total kepada jihad sekaligus bersumpah hendak berjuang membentuk Kalifah Islam di Bangladesh." Mereka bergabung dalam sebuah faksi Jamaat-ul-Mujahideen Bangladesh (JMB), sebuah kelompok pejihad yang bertautan dengan ISIS dengan rekornya yang kejam buas sejak 2005 (ketika ia mengumumkan diri dengan 350 bahan peledak dalam satu jam ) dan memuncak dengan serangan, yang disebutkan di atas, menewaskan 29 pengunjung di sebuah restoran.
Tunangan Momena Shoma, Najibuallah Ansare. |
Momena menjalin kontak dengan banyak pejihad Bangladesh, yang berjuang pada tingkat lokal serta yang berjuang bagi ISIS di Suriah. Yang belakangan termasuk ATM Tajuddin serta Gazi Sohan. Sohan juga perekrut ISIS sampai dia ditangkap pada 2015 ketika bertemu dengan Najibullah Ansari, seorang insinyiur mesin Bangladesh sekaligus anggota JMB dalam sebuah ruang chatting. Sohan pula yang memperkenalkan Najibullah kepada Momena pada tahun 2014. Keduanya langsung cocok satu sama lain sehingga berencana menikah, tetapi tidak jadi akibat ditolak oleh pihak keluarga. Segera setelah pertemuan itu, Najibullah mengumumkan pada Januari 2015 (dalam pesan Facebooknya kepada saudara laki-lakinya yang lebih muda) bahwa dia berniat "pergi ke Irak untuk bergabung dengan ISIS" walau tampaknya dia benar-benar pergi ke Suriah. Ayah Najibullah lantas melaporkan kepada polisi Chittagong pada tahun 2015, memberitahu mereka tentang perjalanan anaknya itu.
Polisi Bangladesh juga menemukan bukti (dalam handphone cerdas dan komputer Momena) yang mengarah kepada adanya hubungan dengan pejihad penting di Australia: seorang teman wanita yang tidak disebutkan namanya dari kelompok diskusi Islam di NSU. Kedua-duanya sama-sama berkomunikasi dengan perekrut ISIS, Gazi Sohan. Teman wanitanya itu menikahi seorang pemukim Bangladesh di Australia kemudian berpindah ke sana setelah tamat kuliah tahun 2016. Meski demikian, dia tetap menjalin hubungan elektronik lewat WhatsApp, saling menghasut satu lama lain dengan video pejihad. Sang sahabat tampaknya meyakinkan Momena untuk bergabung bersamanya di Australia, sehingga membawa Momena mendaftar diri kuliah di Universitas La Trobe. Sang sahabat mengunjungi Dhaka, Desember tahun silam silam. Di sana, kedua-duanya kembali bergabung dalam kelompok diskusi Islam mereka yang lama di NSU. Tanggal 20 Januari 2018, sang teman meninggalkan Bangladesh menuju Australia dan Momena mengikutinya pada 1 Februari. Tidak jelas jika mereka pernah bertemu ketika sama-sama berada di Australia.
Unit Kontraterorisme dan Kejahatan Transnasional (CTTC) yakin mungkin saja Momena tahu perekrut ISIS lainnya: "Kami telah menahan banyak mahasiswa yang sudah diradikalisasi tahun 2014. Momena mungkin pernah menjalin kontak dengan beberapa dari mereka. Tengah kami selidiki masalah ini dari dekat." Polisi memang menemukan banyak komunikasi WhattsApp dan lainnya dengan sesama kaum Islam radikal, sehingga memperlihatkan bahwa Momena menjadi bagian utuh dari sebuah jaringan pejihad. Mengagumkan memang banyak banyak tanda-tanda ini semuanya terlupakan.
Serangan Kedua
Rumah keluarga Momena Shoma di Royal Aroma Garden, Dhaka. |
Tindakan Bangladesh yang sangat ceroboh mencapai puncak baru, tiga hari setelah serangan Momena, 9 Februari 2018 lalu. Kala itu, tim Polisi Metropolitan Dhaka dari CTTC pergi ke rumah keluarga Shoma di Apartemen Royal Aroma Garden hendak melakukan penyelidikan. Moniruzzaman memang bekerja sama selama penyelidikan yang berlangsung dua jam itu. Tetapi saudari Momena, Asmaul Husna (alias Sumona) yang juga kuliah di sekolah Bahasa Inggris elit "sangat kasar" perilakunya. Tidaklah mengherankan bahwa CTTC melaporkan: "Ketika polisi hendak tinggalkan rumah, secara mengejutkan Sumona menyerang polisi dengan pisau, sambil meneriakkan Allahu Akbar. Dia juga katakan, 'Kalian Kafir. Kami harus dirikan kekuasaan Islam di negeri ini, Kami harus lakukan jihad bila perlu.'" Sebuah berita pers mengutip teriakan Sumona dengan menambahkan, "Akan saya bunuh [Perdana Menteri Bangladesh] Sheikh Hasina. Akan saya bunuh [Presiden Suriah Bashar] Assad. Mereka semua kafir. Suatu ketika, semua orang akan bergabung dalam jihad dan Islam bakal memerintah dunia."
Polisi yang terluka dibawa ke rumah sakit dan kemudian segera dipulangkan. CTTC selanjutnya menemukan bahwa sebelum pergi ke Melbourne, Momena pernah menyuruh saudarinya untuk membunuh seorang polisi kemudian mengajarkannya cara menggunakan pisau. Karena dia anggota JMB, Asmaul Husna pun dituduh dengan terorisme. Orang bakal berharap sebuah tim kontraterorisme sedikit dipersiapkan lebih baik menghadapi persoalan dari pejihad potensial.
Jadi dalam waktu tiga hari, kedua saudari itu, yang sama-sama terinspirasi oleh motif Islam, menikam dua korban di dua negara. Di hadapan pembelaan Momena yang akhirnya (dinyatakan) bersalah, penolakan dari pihak keluarganya, tampak menonjol. Pamannya bertanya, "Bagaimana dia bisa terlibat dalam militansi hanya setelah delapan hari berada di Australia? Tidak bisa kami bayangkan dia memegang pisau. Dia bukan orang agresif atau kejam. Tidak mungkin dia bisa menjadi bagian dari terorisme. Kami Muslim, tetapi bukan teroris atau ekstremis. " Meskipun demikian, baru-baru ini, sang paman menolak menjawab pertanyaan saya apakah, setelah mengaku bersalah, dia masih menyatakan Momena tidak bersalah.
Kesimpulan
"Bagaimana brengseknya dia bisa sampai di sini?" Roger secara tepat bertanya tentang Momena Shoma seusai serangan. Memang benar, kasusnya memunculkan pertanyaan yang sulit soal kompetensi berbagai lembaga yang ditugaskan menjaga keamanan publik dari mahasiswi pasca-sarjana pejihad yang kecil mungil nan cantik.
- Mengapa pihak berwenang Bangladesih lupa dengan Momena meski dia punya ikatan luas dengan jaringan pejihad negeri itu?
- Mengapa Universitas North South (NSU) tidak menentang budaya pejihad serta jaringan penampungnya?
- Ayah Najibullah Ansari sudah mengingatkan polisi Chittagong tahun 2015 lalu soal anaknya yang bergabung dengan ISIS. Mengapa, teman-teman anaknya itu, termasuk Momena, tidak diselidiki?
Formulir 80 Australia: "Pernahkah anda ditolak untuk mendapatkan visa ke negara manapun?" |
- Pemerintah Turki (dan barangkali juga Tunisia dan Amerika Serikat) menolak permohonan visa Momena. Mengapa pihak berwenang Austraia mengijinkan dia masuk negeri itu?
- Formulir 80 Australia yang paling mengganggu sekaligus "paling menakutkan" yang mempersyaratkan semua pemohon untuk bermukim permanen dan beberapa untuk bermukim sementara menanyakan, "Apakah anda pernah ditolak ketika mengajukan visa ke sebuah negara?" dan "Apakah anda...pernah berhubungan dengan sebuah organisasi yang terlibat dalam kekerasan atau dalam tindakan kejam (termasuk...terorisme)? Apa nilai dari pertanyaan-pertanyaan ini?
- Jamaat-ul-Mujahideen Bangladesh punya 13 tahun sejarah aktivitas kejam. Mengapa Keamanan Nasional Australia tidak mendaftarkannya sebagai kelompok teroris sampai Juni 2018, empat bulan setelah Momena menyerang?
- Apakah ketakutan disebut sebagai "Islamofobia"/ fobia terhadap Islam menyebabkan Jaringan Homestay Australia tidak menginformasikan kepada polisi atau keluarga Singaravelu bahwa Momena pernah menikam-nikam tempat tidurnya?
- Mengapa Kepolisian Bangledesh tidak mengambil langkah perlindungan yang wajar ketika menyidik (questioned) Asmaul Husna?
Ada banyak institusi yang digolongkan gagal dalam kasus ini. Mulai dari universitas sampai jaringan homestay hingga polisi setempat dan polisi kontraterisme. Lebih parahnya lagi, korespondensi saya dengan Pemerintah Bangladesh memperlihatkan bahwa pihaknya sama sekali tidak belajar dari kegagalan ini.
Kasus Momena Shoma mengkristalkan bahwa Australia dan negara-negara Barat lainnya perlu mengembangkan mekanisme yang wajar namun keras untuk mengeluarkan kaum Islam radikal dari negara mereka. Perhatikan, Kaum Islam radikal, bukan Muslim. Ya, membedakan yang satu dari yang lain menjadi tantangan, tetapi, mengingat waktu, keterampilan, dan dana yang memadai, upaya itu bisa dilakukan.
Sejumlah politisi Australia pun mendukung pendekatan ini, termasuk Tony Abbott, Bob Carr, Peter Costello, Scott Morrison, Brendan Nelson, dan Alby Schultz. Carr secara khusus pernah menyatakan:
Saya tidak berpikir [kaum Islam radikal] harus dibiarkan masuk ... Jika seseorang tercatat pernah mengatakan segala sesuatu yang negara Anda perjuangkan itu salah, maka saya tidak berpikir bahwa mereka bisa berperan di sini. Seperti misalnya mereka mengatakan bahwa wanita seharusnya tidak punya hak; homoseksual harus diburu dan dianiaya; hukum syariah harus diterapkan dari awal sampai akhir (from go to whoa). Saya tidak berpikir mereka dapat diintegrasikan di sini.
Jadi, seperti mahasiswa sarjana bahasa yang cantik perlihatkan, kaum Muslim bertampang paling tidak berbahaya sekalipun, bisa pergi berjihad untuk "segera menembak Barat." ***
Daniel Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (MEForum.org), yang berbasis di Philadelphia, AS. © 2018 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Topik Terkait: Muslim di Barat, Islam Radikal, Terorisme.