Richards Pipes (kiri), dan anaknyaDaniel Pipes. (Sumber foto: Wikimedia Commons) |
Dua tokoh penentang, dua pemberani adalah para mantan dosen Harvard University. Keduanya adalah Richard Pipes dan anaknya, Daniel Pipes.
Richard Pipes, adalah "tokoh otoritas dunia" atau sejarahwan Rusia sepuh. Dia membuat upaya untuk menganalisis dan membongkar prasangka utopia naif romantis seputar Bolshevisme dan tirani para pemimpin Soviet yang berbahaya (Pied Pipes Soviet) bagi peradaban Barat sebagai prioritas hidupnya. Sementara Daniel Pipes, adalah pakar global Timur Tengah. Ia juga , sama-sama menganalisis peradaban lainnya. Lewat tulisan dan berbagai proyek raksasanya membela peradaban Barat, Daniel Pipes mengembangkan misi untuk menyadarkan masyarakat Amerika terhadap ancaman terorisme Islam radikal, kekerasan relijius serta imigrasi massal masa modern sekarang ini.
Almarhum Richard Pipes, meninggal dunia setahun silam. Pada usia 94 tahun. Ia pernah menjadi staf Dewan Keamanan Nasional pada masa pemerintahan Presiden Ronald Reagen. Banyak kalangan menganggapnya arsitek Doktrin Reagen. Putranya Daniel Pipes mendirikan serta memimpin Middle East Forum, sebuah lembaga kajian berbasis Philadelphia, AS yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-25 sekaligus penerbit majalah empat bulanan Middle East Quarterly.
Richard dan Daniel Pipes dikenal luas sebagai pemberani yang tidak pernah bergabung dalam kelompok akademisi atau pembela pemimpin luar atau dalam negeri. Mereka tetaplah cendekiawan yang tidak berat-sebelah. Malah kesepian. Komitmen mereka adalah untuk menuliskan fakta apa adanya seperti mereka temukan. Keduanya, karena itu, sama-sama disalahpahami sekaligus difitnah. Richard Pipes pernah dijuluki tokoh "garis keras anti-Soviet" dan "pendekar berdarah dingin," bahkan ketika berbagai rekomendasi kebijakannya itu realistis dan pada waktu itu bergaris lembut sekalipun.
Daniel Pipes secara tidak adil dan salah disebut orang "yang fobia terhadap Islam." Padahal, faktanya, dia mendukung orang-orang yang berupaya mereformasi Islam sekaligus mendorong mereka menjadi sekutu dunia yang bebas
Richard Pipes dan pembuatan Doktrin Reagen. Richard Pipes adalah sejarahwan Harvard University sekaligus penulis produktif. Dalam beberapa bukunya dia memperlihatkan bahwa "Revolusi" Rusia pada Oktober 1917 sebenarnya merupakan kudeta kaum militan oleh sekelompok konspirator yang terorganisasi ketat mirip kaum Jacobin---nyaris tanpa keterlibatan massa. Sayangnya, impian Utopia dari banyak orang komunis yang bermaksud baik itu--- yang melihat masyarakat tanpa kelas yang berkeadilan sosial---justru sesungguhnya berdampak terhadap lahirnya sistem tirani Stalinis. Berbarengan dengan genosida (pembantaian massal), gulag (pembuangan tahanan politik ke Siberia), Cossack (semacam polisi rahasia) dan anti-Semitisme resmi di bawah diktator Josef Stalin, 20 juta orang tewas sehingga menjadi saingan dengan kekejaman Nazi Jerman.
Sampai 1982, pandangan Amerika Serikat tentang cara berurusan dengan Uni Soviet dirumuskan dalam "kebijakan untuk menahan lawan" (policy of containment) karya diplomat senior AS George Kennan. Dirancang pertama pada 1947, kebijakan itu mendesak agar perlawanan terhadap tekanan Soviet "dilakukan dengan kekuatan perlawanan yang cerdas dan waspada terhadap rangkaian titik pergeseran geografis dan politik yang terus berubah, yang sama dengan pergeseran dan maneuver dari kebijakan Soviet."
Bagaimanapun, Richard Pipes, Direktur Kajian Soviet dan Eropa Timur untuk Dewan Keamanan Nasional (Soviet and East European Studies for the National Security Council) Desk Gedung Putih pada 1981-1982, punya visi berbeda. Baginya, Amerika bukan saja perlu mengupayakan eksistensi bersama dengan Uni Soviet, tetapi perlu juga ada perubahan mendalam dalam sistem Soviet.
Karena itu, dia menulis memorandum kepada Presiden Ronald Reagen. Memorandum itu mendiskusikan temuannya atas krisis ekonomi yang sangat parah di Uni Soviet yang disebabkan oleh militerisasi dan perluasan wilayah geo-politik Rusia yang berlebihan. "Sumbangan penting saya," tulisnya belakangan, "adalah mengungkapkan cacat celah kebijakan untuk mengurangi rasa permusuhan (détente policy) serta mendesak supaya ada kebijakan yang dirancang untuk mereformasi Uni Soviet melalui strategi menolak secara ekonomi (economic denial)." Dengan kata lain, Republik Uni Sosialis Soviet (USSR) dapat diubah dari dalam dengan menaikkan biaya agresinya.
Ekonomi Rusia kala itu sangat memang lemah. Sementara Ronald Reagen pada pihak lain, melancarkan program militer raksasa (mirip dengan yang dilakukan Presiden AS Donald J. Trump sekarang). Dengan demikian, seperti diramalkan Richard Pipes, penggunaan instrumen ekonomi seperti menurunkan harga minyak yang diusulkan oleh Direktur CIA William Casey misalnya, sangat menyakitkan ekonomi Rusia, sehingga mendorong kebangkitan reformis Soviet. Dan di atas semuanya itu, yang menyakitkan hati Rusia adalah, Amerika juga mendukung pejuang anti-Soviet di beberapa daerah konflik (misalnya, di Afghanistan, Nikaragua dan Angola). Kenyataan ini "... menjadi tekanan terhadap demokratisasi ekonomi dan politik yang sedang berlangsung." Dengan demikian, "... penerus Brezhnev," Richard Pipes memperkirakan, "mungkin pada waktunya akan terpecah menjadi faksi 'konservatif' dan 'reformis'.
Presiden Ronald Reagan sepakat dengannya lalu mengeluarkan arahan kepresidenan, pada Januari 1983. Namanya, "NSDD-75." Arahan itu secara radikal mengubah sasaran mendasar kebijakan luar negeri AS yang diperjuangkan oleh pemerintahanpemerintahan sebelumnya, sejak masa Presiden AS Harry S. Truman.
Para anggota pakar Rusia kenamaan yang berpikiran liberal di Amerika, khususnya yang terkait dengan Columbia University sangat menentang ramalan Richard yang tegas dan revolusioner. Rober Legvold, seorang professor Columbia University pada 1982 lantas mengatakan, "Pipes salah ketika mengandaikan ada pemilahan yang tegas jelas antara kedua kubu [di Uni Soviet]. Setiap kebijakan AS yang didesain guna memastikan bahwa beberapa kaum moderat yang tidak ada di sana bakal naik ke puncak kekuasaan adalah suatu gagasan yang tidak masuk akal."
Pipes terbukti benar.
Meremehkan penantang, Boris Yeltsin. Para cendekiawan Soviet lain akhirnya menerima bahwa Pipes benar. Sekelompok pembaru sejati benar-benar muncul pada penghujung era 1980-an. Para pemimpin kajian Rusia di Columbia dan Princeton University pun lantas tertarik dengan Pemimpin Soviet masa itu, Mikhail Gorbachev. Legvold misalnya menulis, "Satu faktor kunci berakhirnya Perang Dingin adalah keputusan Gorbachev bahwa dia tidak menggunakan kekerasan untuk menindas aspirasi reformis di Eropa Timur."
Penilaian ini, bagaimanapun, tidak sepenuhnya benar. Dalam puluhan wawancara Alexander Yakovlev (September 2000) dengan para demokrat Rusia kenamaan lainnya, untuk bukunya yang akan datang, Russia's Democratic Revolution, terungkap bahwa ketika tekanan Eropa timur melawan USSR di Hongaria dan Polandia memuncak, dia dan beberapa konsultan Soviet lain pernah mengusulkan agar Tembok Berlin dibongkar beberapa bulan lebih awal. Oposisi Rusia di Kongres dan Wakil Rakyat --- pimpinan Andrei Sakharov dan Boris Yeltsin --- juga menuntut adanya dukungan terhadap perubahan dramatis yang sedang terjadi di Eropa Timur. Presiden Reagen, tentu saja, setahun sebelumnya pernah mengatakan, "Tuan Gorbachev, robohkanlah tembok ini."
Bahkan sampai Yeltsin dikitari oleh para pembaru radikal beserta donor Baratnya dan sudah menjadi pemimpin Rusia pasca-kejatuhan Soviet sekalipun, banyak dari para pembela Gorbachev terus memuja tokoh pujaan mereka itu.
Pipes Menemukan Alexander Yakovlev. Jika ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi di Uni Soviet, anda harus membaca buku terakhir Pipes. Judulnya, Alexander Yakovlev, the Man Whose Ideas Saved Russia from Communism (Alexander Yakovlev, Tokoh Yang Pemikirannya Menyelamatkan Rusia dari Komunisme). Setelah itu, baca memoir Yakovlev yang terjual dalam Bahasa Rusia bertajuk, Omyt Pamiati: Ot Stolypina do Putina [Maelstrom of Memory: From Stolypin to Putin] (Pusaran Kenangan: Dari Stolypin hingga Putin), Moscow: Vagrius, 2001.
Seperti Richard Pipes perlihatkan, arsitek perestroika, glasnost sebenarnya (yang mengurangi sensor) serta memunculkan "pemikiran baru" yang memperkenalkan perlucutan senjata dan menolak tujuan revolusi komunis di seluruh dunia bukanlah Gorbachev. Dia memang tetap seorang komunis reformator. Tetapi arsiteknya adalah penasehat utamanya yang tidak mau menonjol, Yakovlev yang memimpin tiga komisi yang berurusan dengan berbagai konsep baru.
Seperti dikatakan oleh arsif Keamanan Nasional, "Berbagai dokumen Koleksi Yakovlev baru-baru ini dikeluarkan dari Arsip Negara Federasi Rusia (GARF). Berbagai dokumen itu memperlihatkan lingkup masalah yang tidak pernah ada sebelumnya, yang terkait dengan desakan pengaruh Alexander Yakolev dalam lingkaran pembuat keputusan Soviet di bawah pimpinan Gorbachev. Meski orang biasanya mengaitkan Yakovlev dengan glassnot dan demokratisasi, menjadi jelas bahwa ia sendiri juga reformator kunci ketika sampai pada persoalan pengendalian senjata dan ekonomi Soviet. (Kenyataan itu terlihat dari upayanya "melepaskan" posisi "paket" Soviet pada negosiasi pengendalian senjata nuklir)."
Yang menyedihkan, lingkup karya dan prestasi Yakovlev sebagai penasehat utama Gorbachev sampai sekarang tidak diapresiasi. Mungkin karena ulah para pembela Gorbachev sendiri. Tidak satupun biografi lengkap tunggal tentang Yakovlev ditulis, sampai Pipes melakukan proyek penulisannya. Sebagai negarawan sejati, Yakovlev telah menasehati para pemimpin dunia. Bukan hanya soal luar negeri tetapi juga soal urusan dalam negeri. Selain itu, dia memimpin komisi prestisius yang mau membuat sejarah Rusia yang sebenarnya. Mungkin karena Gorbachev menahannya untuk tetap berada di bawah bayang-bayangnya, maka butuh waktu lama sampai ketokohannya mengemuka.
Tampaknya Gorbachev menjadi seorang moderat (sentris) yang ragu bermain di antara para reformator dan reaksioner yang kadangkala saling memperebutkan. Sayangnya kelompok pakar yang sama yang tampaknya memuja-muja Gorbachev dan menghina Yeltin meninggalkan Yakovlev ketika dia meninggalkan Gorbachev untuk bergabung dengan kubu Yeltsin. Para pakar itu terus terikat pada Gorbachev bahkan ketika para putschist (baca: orang-orang yang berusaha menggulingkan pemerintah) 1991 berupaya mengklaim kembali keagungannya namun dihentikan oleh Yeltsin.
Dukungan Pipes kepada Yakovlev yang lebih besar daripada kepada Gorbachev sangat mungkin menjadi alasan mengapa Pipes sangat kesulitan mendapatkan penerbit untuk bukunya itu.
Pipes agaknya sangat kecewa bahwa buku terakhirnya tidak luas diterima atau disambut masyarakat atau diresensi. Namun ada satu pesan penting dari bukunya ini. Bahwa jika tokoh sekaliber Yacovlev bisa muncul di Kremlin, maka kita tidak boleh berhenti berharap terhadap Russia. Pipes dengan demikian, sangat mungkin dipertimbangkan (vindicated) oleh para cendekiawan generasi baru yang meneliti lebih lanjut tentang Yakovlev yang bakal kagum dengan apa yang mereka temukan.
Daniel Pipes: Memoderenkan Islam di seluruh dunia menjadi Tujuan Akhir Perang atas teror. Tidak seperti ayahnya, yang terlepas dari banyaknya pengaruhnya dalam lingkungan Pemerintah AS, Daniel Pipes, seorang tamatan Harvard Univesity, malah meninggalkan menara akademis lalu membentuk kehidupannya sendiri sebagai salah satu aktivis. Pasca-serangan 11 September (2001) atas Amerika, Daniel memanfaatkan gelombang udara . Dia kala itu meramalkan datangnya perang yang tidak simetris. Kelompok-kelompok teroris, dalam ramalannya, mungkin tidak lagi menyerang benteng demokrasi masyarakat Amerika dari jauh, tetapi bakal berjuang menyusup memasuki semua kawasan masyarakat kita kemudian menghancurkannya dari dalam.
"Hal yang paling sulit masyarakat Barat pahami," tulis Daniel Pipes, "bukanlah bahwa perang melawan Islam militan itu sedang berlangsung tetapi sulitnya ciri khas tujuan akhir musuhnya. Tujuannya itu adalah untuk menerapkan Hukum Islam (Hukum Shariah) secara global. Dalam istilah AS, tujuan itu berniat menggantikan Konstitusi dengan Al-Qur'an."
"Aspirasi ini," lanjutnya, "begitu jauh dan sangat sulit dipahami oleh banyak kaum nonMuslim, sehingga malah lebih membuat mereka tertawa terbahak-bahak ketimbang menghargainya. Tentu saja, itulah biasanya reaksinya yang sama di Eropa. Kini secara luas aspirasi itu diterima sehingga dalam kata-kata Bernard Lewis, "Eropa akan menjadi Islam pada akhir abad ini."'
Pendukung Daniel Pipes adalah Pusat Studi Konstitusi Nasional (National Center for Constitutional Studies). Lembaga inilah yang mendiskusikan banyak cara Hukum Shariah menolak dasar-dasar fundamental masyarakat dan nilai-nilai Amerika.
Sebagai Pimpinan Lembaga Kajian Middle East Forum, Daniel Pipes membagi karyanya dalam dua bahasan pokok. Pertama, perbedaan krusial antara Islam, sebagai agama yang pantas dimuliakan. Dan pada pihak lain, Islam berbasiskan Hukum Sharia, yang menurut dia, tidak. Dia juga mencatat bahwa ada perjuangan untuk mendapatkan jiwa Islam di antara kaum Muslim sendiri.
Richard Pipes, adalah pendukung demokratisasi rezim totaliter Rusia, namun kerapkali dicap Russophobe, orang yang fobia terhadap Rusia. Pada pihak lain, putranya, Daniel Pipes kadangkala secara salah digambarkan sebagai "Islamophobia," orang yang fobia terhadap Islam. Memang, tidak ada yang bisa bergerak lebih jauh dari kebenaran. Dia, kenyataannya, mendukung kaum Muslim moderat. Karena itu, tentang kaum Muslim moderat dia pernah berujar: "... Meskipun ada Muslim moderat - dan sebenarnya mereka lemah [sama seperti kaum demokrat Yakovlev di Rusia], mereka punya peran penting untuk dimainkan, karena mereka sendiri dapat mendamaikan Islam dengan modernitas ... "
Militant Islam Reaches America (Islam Militan Mencapai Amerika) adalah salah satu buku terpenting yang menarik dari Daniel Pipes yang membahas beberapa masalah mahabesar yang kini Amerika hadapi. Dalam bukunya itu, ia mengungkapkan bahwa Islam militan punya banyak kesamaan dengan fasisme dan komunisme. Juga bahwa, "Unsur-unsur penting di Amerika Serikat harus perlu melakukan tugas yang sulit" ... yaitu memodernisasi Islam secara global - yang memang menjadi tujuan akhir dari perang melawan terorisme." Cara melakukannya tampaknya merupakan tantangan.
Secara operasional, lembaga kajian milik Daniel Pipes, Middle East Forum (Forum Timur Tengah) mensponsori beberapa proyek penting. Seperti Campus Watch (Pengawasan atas Kampus AS) yang berupaya menyingkap "...politisasi dan bias yang dilakukan oleh berbagai kajian Timur Tengah di berbagai universitas Amerika Utara," termasuk menyediakan Biro Pembicara Kampus (Campus Speakers Bureau) dan Student Internship Program (Program Magang Mahasiwa) di lembaga itu. Proyek lain termasuk Islamist Watch (Pengawasan terhadap Kaum Islam Radikal) yang melacak berbagai aksi terror di seluruh dunia serta Legal Project yang berupaya melindungi para peneliti dan analis yang melaporkan "topik-topik tulisan seputar terorisme, pendanaan bagi para teroris dan Islam radikal. Mulai dari tuntutan hukum yang dirancang untuk membungkam terlaksananya kebebasan para peneliti dan analis politik untuk berbicara." Beberapa gugatan hukum memang dilakukan untuk "... membuat mereka bangkrut, mengalihkan perhatian, mengintimidasi, dan melemahkan moral para terdakwa.
Cetak Biru untuk Kemenangan Israel. Ketika NSDD-75 menjadi blueprint karya Richard Pipes bagi kemenangan Amerika dalam Perang Dingin, Daniel Pipes juga telah mengembangkan blueprint Proyek Kemenangan Isral (Israel Victory Project) pada 2017. (Sekarang, proyek ini menjadi profil kampanye paling terkenal Forum tersebut.) Proyek itu menyerukan agar menggagalkan cita-cita Palestina yang sudah kalah yang masih berniat menghancurkan Israel. Dengan pendekatan itu, persoalan bergeser dari negosiasi yang sejauh ini tidak berguna. "Konflik pada umumnya berakhir," Daniel beralasan, "ketika satu pihak menyerah."
Daniel Pipes berpendapat bahwa, ironisnya, Bangsa Palestina bakal benar-benar jauh lebih baik dikalahkan. Dengan demikian, mereka bisa berhenti berkhayal untuk melancarkan genosida (pembataian massal) atas Israel. Dan, sebaliknya, seperti Jerman pasca-Perang Dunia II, bangsa itu akhirnya mulai membangun masyarakat sipil yang konstruktif dan berkembang. Seperti ayahnya, Daniel Pipes pun menghadapi banyak perlawanan. Proyek Kemenangan Israel-nya tidak terkecuali. Pandangan yang dingin terhadap usulan semacam itu pasti tidak akan diterima di banyak tempat.
Dia tampaknya sudah terbiasa dengan hal-hal seperti itu. Dia temukan dirinya dilarang berkunjung ke sebuah negara sekutu NATO, Turki, karena dia mengungkapkan pemikirannya. Ketika berpidato di sebuah lembaga kajian di Sofia, Bulgaria, pada 2017 lalu, dia ditanya, apakah Turki, maksudnya Presiden Recep Tayyip Erdoğan itu "seorang mitra atau ancaman," dia pun menjawab;
"Saya tidak berani pergi kembali ke Turki," jawabnya. "Karena saya kritis. Seperti kalian mungkin sudah dengar, tentang pemerintahan. Terutama, saya mendukung kudeta 15 Juli (baca: 15 Juli 2016). [Suatu sikap} yang benar-benar membuat Turki marah."
"Erdoğan," urainya di tempat lain, "adalah seorang penganut Islam radikal yang pada awal kekuasaannya bermain sesuai dengan aturan demokrasi. Namun, sejalan dengan waktu, dia mulai menolak aturan-aturan itu khususnya yang berkaitan dengan Pemilu. Dia memonopoli media negara dan diam-diam mendorong dilakukannya serangan fisik atas para anggota partai oposisi serta mencuri suara para pemilih."
Daniel Pipes kemudian mengisahkan bagaimana dia kala itu menoleh kepada Duta Besar Turki lalu bertanya, "Dan, dengan demikian, ijinkan saya bertanya Kepada Yang Mulia Duta Besar, apakah aman bagi saya untuk pergi ke Turki menghabiskan beberapa saat di sana atau sekedar lewat Bandara?... Akan selamatkah saya pergi ke Turki?"
Kemal Ökem, Duta Besar Turki pun menjawab, "Jika anda katakan, anda mendukung kudeta yang gagal...Saya lebih suka menasehati anda untuk tidak pergi kesana. Karena kau itu antek, dianggap antek. [tertawa]....Maksud saya, saya akan nasehati anda untuk mencari nasehat hukum yang bagus sebelum bepergian ke Turki." [Penekan pernyataan dari penulis].
Kesimpulan: Kepada Richard Pipes, kita akan selamanya berterimakasih. Ia sudah membantu kita menghilangkan prasangka fantasi "kaum sosialis" dari banyak kaum kiri Amerika, yang masih sering mempromosikannya, terutama di kalangan kaum muda. Kaum radikal era 1960-an seperti Kandidat Presiden AS Bernie Sanders pun muncul dalam benak. Ketika menelusuri jalur karir Yakovlev dari seorang otokrat anggota aparat Partai Komunis (apparatchik) menjadi pendukung komunisme reformasi, menjadi demokrat sejati, Richard Pipes membayangkan bahwa jalur Yakovlev diharapkan akan diikuti oleh generasi baru demokrat Rusia.
Kepada Daniel Pipes, kita berhutang jeritan tanda bahaya yang masih belum dihargai. Amerika belum mengenali dan mengakui sejauh mana infiltrasi penyedia hukum Syariah di negeri itu. Pemerintahan Presiden AS sebelumnya, Barack Obama, pada kenyataannya, sudah berusaha aktif menghentikannya. Sudah jauh lebih sulit sekarang untuk mengatasi masalah-masalah seperti itu – sebagaimana direncanakan sejak awal: untuk menetralisir semua diskusi tentang Islam bahkan sebelum diskusi dimulai sekalipun. Daniel Pipes dicap "fobia terhadap Islam" (Islamphobe) oleh beberapa orang Amerika yang tidak tahu. Bagaimanapun, bagi mereka, kaum Islam radikal hanyalah sekelompok "massa lain yang suka berkerumun di Patung Lady Liberty yang ingin bernafas lega."
Sayangnya, banyak massa memang tampaknya seperti itu. Namun seperti yang dapat dilihat di Eropa, sejumlah besar rupanya tidak menyadarinya.
Dalam sebuah tulisan penghormatan untuk kado ulang tahun Richard yang ke-90 yang diterbitkan secara daring, Richard secara sopan dicemooh para cendekiawan Soviet serta difitnah oleh para kolega Amerikanya. Namun, seperti Yakovlev katakan, "Pipes pada dasarnya benar."
Irene, adalah istri Richard, ibu dari Daniel Pipes. Dialah pendukung kenamaan berbagai publikasi Polandia – Yahudi. Pada suatu kesempatan, wanita tinggi semampai yang masih cantik dalam usianya yang 72 tahun itu dengan bangga menambahkan, "Daniel juga benar."***
- Dr. Jiri Valenta adalah senior research associate tidak tetap (non-resident) BESA Center for Strategic Studies di Universitas Bar Ilan di Tel Aviv. Ia anggota Dewan Hubungan Luar Negeri AS. Sementara istrinya Leni Friedman Valenta, tamat dari Jurusan Drama Pascasarjana Universitas Yale. Keduanya pernah menghabiskan waktu mereka selama dua hari bersama Alexander Yakovlev pada tahun 2000. Keduanya mempelajari memoir Yakovlev yang belum diterbitkan (kala itu). Richard Pipes dengan ramah memperlihatkan bahwa mereka punya catatan-catatan pribadi yang sama dengan sang tokoh. Pada 2006, Penerbit Valentas menerbitkan buku, "How Would Yakovlev Advise Putin Today on Ukraine and ISIS." Pembahasan lengkap dari dua artikel terbitan Valentas sudah diterbitkan dalam Majalah Empat Bulanan Middle East Quarterly pimpinan Daniel Pipes.
© 2019 Gatestone Institute. All rights reserved. Artikel-artikel yang diterbitkan di sini tidak senantiasa merefleksikan pandangan para Editor Gatestone Institute. Tidak boleh ada bagian dari website Gatestone Institute atau isinya yang boleh direproduksi, disalin atau dimodifikasi tanpa persetujuan tertulis lebih dulu dari pihak Gatestone Institute