Tiga puluh tahun silam, berbagai protes, kerusuhan dan pembunuhan meledak terjadi menyusul terbitnya buku karya Salman Rushdie bertajuk, The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan). Tiga dekade kemudian, kita pun mengakui bahwa kontroversi atas Satanic Verses menjadi aksi pembuka dalam krisis imigrasi, Islam dan politik identitas yang melanda Eropa. Daniel Pipes, tamu saya dalam Program 'The Green Room' pekan ini, adalah seorang sejarahwan, Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah) sekaligus analis politik Islam di Eropa. Kami berbicara tentang bagaimana Eropa berada di tempatnya sekarang ini, apa yang sedang terjadi sekarang ini di antara berbagai partai nasional baru di Eropa serta apa yang mungkin terjadi selanjutnya.
Pipes menamakan partai-partai nasional baru Eropa sebagai "Partai Kaum Pecinta Peradaban" (Civilisationists). Partai-partai ini muncul dari berbagai latar belakang. Tidak semuanya berhaluan kanan. Banyak dari mereka berlatarbelakang kacau balau akibat kekejaman Eropa abad kedua puluh. Sebutan mereka yang sama, Pipes menjelaskan, menjadi tekad bersama mereka untuk menjaga budaya historis Eropa, pada masa ketika imigrasi massal dan fragmentasi budaya terjadi. Pipes memang berterus terang soal kekurangan para figur seperti Viktor Orban, seorang demokrat Hongaria yang tidak liberal yang disambut di Gedung Putih, pertengahan Mei lalu. Juga diakuinya bahwa banyak dari partai-partai ini berakar dalam politik anti-demokrasi. Partai Kebebasan Austria yang kini menjadi anggota pemerintah, didirikan oleh seorang bekas perwira SS (baca: bekas perwira Nazi pimpinan Hitler). Sedangkan Partai Demokrat Swedia yang berawal dari kelompok pinggiran neo-fasis era 1980-an, sudah semakin berhasil dalam berbagai polling pendapat umum, namun masih diembargo/ dibatasi oleh partai-partai tradisional negeri itu.
Tetapi, Pipes menjelaskan bahwa masa lalu memang hanya masa lalu. 'Jangan sampai kita terjebak dalam kerangka. Mari kita lihat apakah kebijakan itu dan di mana mereka kini berada.' Semua partai ini sudah menjaga jarak sendiri dari asal muasal mereka ketika bergerak menuju arus utama. Dan seperti yang diperlihatkannya, mereka bukan partai-partai nasionalis baru yang punya hal memalukan yang perlu disembunyikan. Di Swedia, ada Partai Sosial Demokrat. Ini partai pemerintah yang gagal, yang masih menyombongkan diri memimpin embargo melawan Partai Demokrat Swedia namun belum memperhitungkan kerja samanya dengan para pengikut Hitler dari Jerman. Di Prancis, Francois Mitterand, menjadi pembela republik melawan Jean Marie Le Pen. Ia sendiri mantan kolaborator yang bekerja sama dengan Rezim Prancis pada masa perang.
'Saya benar-benar mengakui kesalahan partai Pecinta Peradaban (Civilisationists)' urai Pipes kepada saya, 'tetapi saya mencatat kesalahan mereka itu unik.' Pertanyaannya sekarang, menurutnya, adalah apakah para Pecinta Peradaban dapat melakukan negosiasi supaya bisa bersekutu dengan partai-partai moderat kanan (center-right) yang sudah mapan. Jika bisa, maka mereka akan membentuk kembali peta politik Eropa. Bahkan mungkin memperbaiki kembali hilangnya kepercayaan antara pemilih dan politisi. Dan apakah, yang membuat saya bertanya-tanya, prospek jangka panjang aliansi taktis partai-partai sayap kiri dengan pemilih Muslim, sebuah aliansi dari beberapa anggota masyarakat Eropa yang secara sosial paling liberal sekaligus paling tidak liberal dari masyarakat Eropa?
Sementara itu, Pipes punya beberapa nasihat sulit bagi para pemimpin Eropa. Di Eropa, negara itu suku, 'keluarga besar.' Jadi tidak memasukkan para pendatang baru. Upaya untuk mengeluarkan persoalan imigran hanya dapat diatasi dengan program-program penting dalam bidang investasi, pendidikan, sehingga, katanya, bisa mendorong 'reformasi Islam, bukan versi ekstrim yang dikenal sebagai Islamisme'. Laranglah burka, katanya. Tetapi bukan burka.
Topik Terkait: Sivilisasionisme
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list