[Judul yang diterbitkan Washington Times: "Istanbul mayoral election is an anomaly, Recep Tayyip Erdogan's tyrannical impulses may emerge"]
Kata Pengantar: Ini untuk pertama kalinya sejak tahun 2000 saya tidak sependapat dengan semua analis politik lain soal perkembangan Timur Tengah. Kemudian, saya sendiri meramalkan bahwa Hafez al-Assad dari Suriah tidak bakal mencapai kesepakatan diplomatik dengan Israel. Kini, saya sendiri menyaksikan Pemilu Istanbul bukan sebagai awal era baru tetapi perubahan sementara dari Pemilu sebelumnya. Mari kita lihat. DP.
***
Timur Tengah sudah pada tempatnya punya reputasi karena tidak mudah dipahami, seiring dengan aksi-aksinya yang tidak logis sebagai bagian dari bisnisnya yang rutin. Pangeran Mahkota Arab Saudi misalnya pernah menyandera Perdana Menteri Libanon yang sedang melawat ke negaranya, memaksanya mundur, tetapi hanya untuk menyaksikannya kembali menduduki jabatannya tatkala kembali ke negaranya. Otoritas Palestina (PA) dengan marah menolak mengikuti sebuah konperensi di Bahrain, di mana dia bisa memperoleh lebih dari $27 miliar (Rp 379 Triliun). Kemudian, ada Pemilu ulang walikota Istanbul yang dilaksanakan Minggu, 23 Mei lalu.
Pemilu sebenarnya diselenggarakan Maret lalu. Ketika itu, calon Presiden President Recep Tayyip Erdoğan menang dengan selisih suara sangat tipis, 0, 16%. Karena tidak puas dengan hasil Pemilu, Erdoğan pun melakukan apa yang secara alamiah seorang diktator lakukan. Ia memerintahkan hasil Pemilu dibatalkan karena pertimbangan teknis yang kecil. Tentu, dengan Pemilu ulang yang menyusul. Orang bisa bayangkan, dia juga memerintahkan antek-anteknya supaya membereskan persoalan untuk kedua kalinya dan menjamin bahwa calonnya menang dengan ambang suara yang besar. Bukannya menang, calonnya malah kalah telak dengan 9,22%, nyaris 60 kali lebih besar dari batasnya dibandingkan dengan kekalahannya pertama kalinya.
Ekrem Imamoğlu, Walikota Istanbul yang baru terpilih berpidato kepada para pendukungnya setelah memenangkan Pemilu. Tetapi persoalannya, berapa lama semangat mereka yang meluap-luap bakal bertahan? |
Drama ini mendorong lahirnya dua pertanyaan.
Pertama, mengapa Erdoğan membiarkan hal ini terjadi? Dia sudah memerintah nyaris sebagai seorang diktator absolut selama enam tahun. Dengan demikian, cocoklah baginya untuk menuntut kemenangan yang besar dalam Pemilu. Dia mengendalikan militer, polisi, parlemen, pengadilan, bank dan media serta sistem pendidikan. Dia lakukan apa saja yang dia inginkan. Sebagai contoh:
Dia melakukan kecurangan Pemilu. Dan tentu saja, tidak melakukannya dalam Pemilu Istanbul sebelumnya. Istana dan Bandara dia bangun di manapun dia inginkan dengan biaya berapa pun yang diinginkannya. Dia perintahkan bank sentral menetapkan berapapun suku bunga yang membuatnya senang. Kudeta terkendali pun dia lancarkan. Seenaknya sendiri dia melakukan pengeboran gas di zona ekonomi eksklusif negara tetangganya atau melanggar ruang udara negara itu. Dia juga bekerja sama dengan ISIS. Dia perintahkan penjahat supaya mengintimidasi para musuhnya. Dia memecat, memenjarakan atau menyiksa siapa saja yang merintanginya di Turki, termasuk orang asing. Dia menculik orang-orang Turki dari negara-negara yang jauh. Dia membangun dan menyebarluaskan pasukan khususnya.
Pemerintah Turki mengirim Barbaros Hayrettin Paşa, sebuah kapal riset dan survei seismografis guna menyelidiki gas alam di zona ekonomi eksklusif di Siprus. |
Melihat kekuasaan seperti itu, mengapa dia ijinkan ada Pemilu bebas diselenggarakan di Istanbul dan tidak campur tangan merusak hasilnya? Tidak biasanya seorang diktator membiarkan musuh mereka memenangkan kota terpenting negara itu. Terlebih lagi setelah Erdoğan menyerukan supaya perjuangan untuk memenangkan Istanbul menjadi persoalan "kelangsungan hidup nasional" dan meramalkan, "Jika kita tersandung di Istanbul kita kehilangan pijakan di Turki."
Keanehan yang terjadi dalam Pemilu Istanbul cocok dengan konteks yang lebih besar. Dari apa yang saya sebut ""teka-teki Erdoğan" (Erdoğan enigma). Berkali-kali sudah, Presiden Turki itu mengambil langkah-langkah yang tidak masuk akal atau yang merugikan diri. Pada 2013 lalu, dia secara tidak bermoral, membuat musuh yang kuat bagi dirinya dengan mendeklarasikan perang politik terhadap Fethullah Gülen, kawan lamanya dalam kelompok kaum Islam radikal (Islamists). Dia pun kehilangan hak untuk memberikan visa perjalanan bebas bagi warga Turki untuk pergi ke Uni Eropa (UE), karena lebih suka berpegang pada legalisme yang tidak berarti. Padahal UE adalah sebuah tujuan yang sangat penting bagi masyarakatnya. Dia berusaha melakukan upaya besar membayar harga politik yang tinggi untuk memenangkan referendum pada tahun 2017 supaya bisa mengubah konstitusi yang selama bertahun-tahun dia abaikan. Dia juga membuat nilai mata uang Turki merosot pada 2018 karena meyakini bahwa suku bunga yang tinggi menyebabkan inflasi yang tinggi. Karena itu, dari sini dia menyimpulkan bahwa "suku bunga [tinggi] adalah ibu dan ayah dari semua kejahatan."
Jumlah lira Turki sama dengan mata uang dolar AS selama dekade lalu. Grafik itu secara kasar menyamakan kwalitas pemerintahan Erdogan. |
Tetapi, berbagai penjelasan yang muncul di benak menjelaskan kekalahan yang memalukan itu. Hasrat Erdogan sedang guncang. Dia, karena itu punya rencana lain yang siap dijalankannya jika diperlukan. Dia ingin kembali kepada demokrasi. Semua itu mengejutkan saya karena tidak masuk akal.
Pertanyaan kedua saya: Mengapa selain saya, tidak seorang pun bingung dengan perkembangan ini? Setiap analis politik yang saya baca tulisannya menganggap berfungsinya demokrasi di Turki sebagai sangat normat, mengabaikan kenyataan bahwa negara itu tengah didominasi oleh seorang despot. Berbagai berita utama medaia mengisahkan soal adanya sebuah "pergeseran tektonik", suatu "pukulan menyengat" dan suatu "dkehilangan yang penuh bahaya." Ia mengandaikan bahwa Erdoğan bakal menerima kekalahannya. Bagi mereka, Pemilu Istanbul mengawali era baru bagi Turki.
Tidak bagi saya. Saya melihatnya sebagai sebuah anomali yang dibenarkan. Demikian juga, saya meramalkan bahwa dorongan tirani Erdoğan, yang memang sulit dijelaskan namun dimaafkan, sehingga segera kembali muncul. Ketika hal itu terjadi, dia akan merebut kembali kendali atas Istanbul. Mungkin dengan cara memanfaatkan persoalan teknis atau mungkin kali ini dengan menuduh walikota kota itu terkait dengan Gülen dan "terorisme." Apapun alasannya, dampaknya bakal sama. Ada penegasan kembali terhadap keinginan tertinggi sang otokrat atas seluruh negeri itu.
Ketika menengok persoalan itu, maka Pemilu Istanbul terlihat sebagai suatu pengecualian dari jalan Erdogan menuju penguasaan yang absolut. Ini akan diingat bukan sebagai pergeseran tektonik, pukulan menyengat, atau kekalahan pembawa malapetaka. Tetapi sebagai selingan kecil yang mengarah kepada kehancuran negaranya yang tak terhindarkan.***
Daniel Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes)
adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah). © 2019 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Topik Terkait: Turki dan Masyarakat Turki
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.