[N.B.: 1. Tulisan berikut merefleksikan apa yang pengarangnya ajukan sehingga tidak persis dengan yang diterbitkan. Untuk memperoleh teks yang tepat atas apa yang dicetak, silakan merujuk kepada teks PDF yang dilampirkan.
[2. Sebuah bibliografi tentang tulisan pengarang atas terorisme bunuh diri mengikuti teks ini.]
Bukan Sesuatu yang Unik Bagi Timur Tengah
Misi bunuh diri sama sekali bukan sesuatu yang khas Timur Tengah. Orang Katolik Prancis selatan dan Italia utara pada abad pertengahan "memandang positif aksi bunuh diri, suatu sikap yang membuat mereka yang lebih kuat mampu bertahan terhadap penganiayaan." Yang tentara Inggris dan Prancis lakukan dalam Perang Dunia (PD) I adalah sebentuk pengorbanan massal yang jauh melebihi apa yang disaksikan akhir-akhir ini di Timur Tengah. Mereka keluar dari parit pertahanan, memanjati jenazah rekan-rekan mereka lalu berbaris menyongsong tembakan senapan mesin. Bukan hanya pasukan garis depan yang berbaris menyongsong kematian. Vincent Kraft, mata-mata Jerman dalam PD I misalnya melakukan pelanggaran serius saat berperang di garis depan Barat dan hukumannya adalah mati. Sebaliknya, Peter Hopkirk menceritakan, Kraft ditawari alternatif untuk melakukan apa yang dilukiskannya sebagai "misi yang sangat berbahaya" di Timur.
Demikian pula, pada tahun 1981, sepuluh anggota Tentara Republik Irlandia (IRA) membiarkan diri kelaparan. Mereka menghabiskan waktu 50 hingga 60 hari yang memilukan. Kematian yang melanda mereka jauh lebih menyakitkan daripada yang dialami orang-orang yang terlibat dalam aksi singkat di Libanon. Dalam aksi-aksi itu, para pelakunya nyaris tidak rasa kesakitan. Berbeda dari apa yang diyakini banyak orang, masyarakat Eropa memang rela menyerahkan hidup mereka untuk suatu alasan. Tetapi, aksi bunuh diri tidak dikenal di Barat.
Aksi bunuh diri juga tidak lazim dilakukan kalangan Muslim. Justru sebaliknya: bunuh diri dilarang keras dalam Islam. Sama seperti dalam agama Yahudi dan Kristen. Sebuah ayat Al-Qur'an, "Jangan bunuh diri" (4:29), umumnya dipahami sebagai kecaman terhadap bunuh diri. Nabi Muhammad, SAW pernah berfirman bahwa orang yang bunuh diri tidak bisa masuk surga. Hukum Islam tegas menentang praktik itu. Para pemimpin agama masa kini pun terus menolak bunuh diri. Muhammad Husain Fadhlullah, pemimpin fundamentalis radikal Syiah di Libanon pernah berkomentar tentang serentetan pemboman akhir-akhir ini, "bunuh diri dengan cara seperti itu dilarang dalam agama kami."
Larangan agama berpengaruh. Menurut kesarjanaan modern, "Secara komparatif aksi bunuh diri itu relatif jarang terjadi" dalam masyarakat tradisional. Terlepas dari harapan yang sangat terkenal bahwa seorang Muslim yang mati demi Allah bisa masuk surga, umat Islam tidak terlalu cenderung untuk mengakhiri hidup mereka dibanding orang lain. Satu-satunya pengecualian yang signifikan adalah kaum fida'is (para tentara yang siap mengorbankan diri) yang dikirim oleh Sekte Para pembunuh (The Assassin) pada abad ke-12.
Poin-poin pemikiran ini perlu ditekankan untuk memperbaiki kecenderungan yang keliru yang menganggap pemboman bunuh diri di Timur Tengah berasal dari Islam, fanatisme, atau sifat budaya lainnya. Faktanya, perang bunuh diri di Timur Tengah, seperti di Barat atau Jepang, terjadi hanya dalam keadaan historis tertentu. Tentara Inggris dan Prancis mengorbankan hidup mereka dalam PD I bukan karena karakter Inggris atau agama Prancis tetapi karena sifat pertempuran parit. Aksi membiarkan diri lapar yang dilakukan Tentara Republik Irlandia (IRA) mencerminkan politik Irlandia pada tahun 1981. Bukan sifat budaya Keltik. Demikian pula, bom bunuh diri di Timur Tengah terjadi dari perkembangan historis tertentu, tidak terkait dengan kebenaran-kebenaran Islam yang tetap.
Dukungan Negara
Apakah perkembangan-perkembangan itu? Faktanya, berawal dari Iran, beberapa negara kini mensponsori terorisme bunuh diri. Yang membuatnya menjadi kekuatan yang kuat adalah pemerintah. Bukan individu yang bersedia untuk mati. Tanpa dukungan negara, aksi bunuh diri akan jarang terjadi dan tidak efektif.
Ayatollah Khomeini mengklaim versi Islam radikal fundamentalisnya cocok bagi semua Muslim. Konstitusi Iran, disahkan tepat setelah kaum fundamentalis radikal berkuasa. Kodifikasi konstitusi itu "berusaha melanggengkan revolusi [Islam] di dalam negeri maupun di luar negeri" sebagai prioritas tertinggi rezim. Teheran awalnya berharap contohnya menginspirasi Muslim yang berpikiran sama untuk menggulingkan pemerintah yang ada. Namun, cepat menjadi jelas, bahwa nasihat saja tidak cukup.
Pada akhir 1979, kepemimpinan Iran mengadopsi pendekatan kedua. Mendanai dan mempersenjatai upaya subversif di seluruh dunia Muslim dari Mesir hingga Filipina. Tetapi pecahnya perang dengan Irak pada September 1980, yang menyerap hampir semua uang dan senjata Iran, mengakhiri upaya ini. Taktik ketiga kemudian dijalankan. Sebuah taktik yang hendak menyebarluaskan revolusi dengan biaya murah: terorisme. Khususnya terorisme bunuh diri. Dan, alih-alih menghabiskan sedikit sumber daya mereka di banyak wilayah, para pemimpin Iran memilih memusatkan aksi ini di Libanon, sebuah negara yang tampaknya paling mungkin melihat berdirinya sebuah Republik Islam.
Contoh pertama terorisme bunuh diri yang penting adalah perusakan Kedutaan Besar Irak di Beirut, pada Desember 1981. Insiden itu menewaskan 27 orang dan melukai lebih dari 100 orang. Bom bunuh diri menjadi sangat penting secara politik dalam pembunuhan Bashir Gemayel pada Septemper 1982. Aksi itu menggebrak dunia internasional dengan pemboman Kedutaan Besar A.S. di Beirut, April 1983 yang menewaskan 63 orang. Ledakan terparahnya terjadi Oktober 1983 ketika sebuah truk bermuatan bom menewaskan 241 prajurit A.S. Kampanye tanpa henti antara 1983 dan 1985 melawan pasukan Israel di selatan Libanon barangkali merupakan keberhasilannya yang luar biasa. Soalnya, karena tidak mampu mengatasi serangan ini, Israel mengundurkan diri nyaris dari seluruh kawasan Libanon. Bom bunuh diri juga pernah terjadi di Kuwait, Suriah dan banyak kali di Irak.
Keunggulan misi bunuh diri dibanding dengan bentuk-bentuk terorisme saingannya perlu sedikit ditekankan di sini. Penggusuran pasukan Israel dari Libanon secara dramatis sangat kontras dengan tidak berhasilnya orang Arab di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Memang, sebelumnya, tidak pernah ada yang mengusir orang Israel keluar dari sebuah daerah. Jelas bahwa orang yang mau mempertaruhkan hidupnya dapat mengambil langkah-langkah yang tidak tersedia bagi orang yang berupaya untuk tetap hidup. Sebuah bom mobil yang menghancurkan markas militer Israel di Tirus pada November 1983, menewaskan 80 orang. Angka itu jauh jauh lebih banyak korban daripada yang diklaim PLO selama lima tahun sebelumnya.
Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mencegah calon pelaku bunuh diri, terutama jikalau mereka memperoleh dukungan negara. Karena itu, Menteri Pertahanan Caspar W. Weinberger mencatat bahwa, "Dalam analisis akhir, jika satu atau dua orang siap untuk mati dalam upaya tersebut, maka mereka dapat menyebabkan banyak kerusakan." Meskipun kaum Muslim radikal fundamentalis menyerang sebelas sasaran di Kuwait pada suatu hari di bulan Desember 1983, satu-satunya serangan yang berdampak nyata adalah yang dilakukan oleh seorang pembom bunuh diri, yang meledakkan Kedutaan Besar AS di sana.
Usaha Iran begitu berhasil. Para pendukung terorisme penting lainnya di Timur Tengah seperti Khadafi, Asad dan Arafat, segera mulai meniru metode-metodenya. (Walaupun PLO tentu saja, bukan sebuah lembaga pemerintahan namun kemampuan keuangan, militer dan kelembagaannya nyaris sama dengan negara mapan dibandingkan dengan gerakan penganjur pembaruan kawasan yang diklaim sebelumnya miliknya). Masyarakat Irak pun tampaknya menggunakan terorisme bunuh diri.
Supaya tidak meragukan bahwa ada negara memang mendukung sebagian besar misi bunuh diri, maka bukti-buktinya perlu dicatat secara rinci.
Pertama, ciri organisasi yang pada dasarnya gelap yang mengklaim bertanggung jawab atas aksi bunuh diri merujuk kepada keterlibatan organisasi intelijen pemerintah. Jika organisasi teroris ingin diketahui agar ditakuti, negara tetap tidak ingin memperoleh banyak perhatian. Keraguan seputar eksistensi Jihad Islam, sebuah organisasi yang pertama kali terdengar pada Mei 1982 yang secara luas dikaitkan dengan kegiatan bunuh diri, menjadi alasan untuk mencurigai mereka sebagai sebuah front bagi intelijen Iran.
Kedua, rumitnya rencana mengarah kepada keterlibatan pemerintah, karena semua kemampuan ini melampaui kemampuan sebuah organisasi kecil. Aksi bom mobil terhadap instalasi Amerika dan Perancis menunjukkan betapa canggih aksi itu. Pada hampir setiap kasus itu, kendaraan yang digunakan langsung melaju menuju tempat paling rawan dari bangunan yang diserang. Serangan pun terjadi pada saat yang tepat. Kelemahan sistem pertahanan dimanfaatkan secara tepat. Penguasaan seperti itu menunjukkan luasnya hubungan intelijen, perencanaan yang berlangsung berminggu-minggu, penguraian yang rumit atas model bangunan berikut pelatihannya yang cermat.
Ketiga, berbagai ledakan itu sendiri membongkar topeng keterlibatan negara. Truk penghancur barak Angkatan Laut AS, misalnya memuat beban setara lebih dari 12.000 pon bahan peledak TNT. Dalam Laporan Komisi Long (Long Commission Report) ledakan yang disebabkannya disebut sebagai "ledakan konvensional terbesar yang pernah dilihat oleh komunitas pakar bahan peledak." Begitu dahsyat ledakannya, urai laporan itu. Ia bisa menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar dengan banyak korban jiwa bahkan jika meledak di jalan terbuka berjarak sekitar 100 meter dari bangunan itu sekalipun. Diperlukan kemampuan yang luar biasa untuk mengatur bahan peledak dalam sebuah truk Mercedes yang hanya bisa menampung beban kurang dari 12.000 pon, karena bisa menyebabkan TNT tercampur menjadi unsur gas dan unsur lainnya yang rumit. Tugas yang sulit rumit untuk mengangkat gas ke truk menuntut jenis keterampilan khusus dengan pengalaman yang kaya yang dimiliki oleh sebuah negara, bukan dimiliki oleh sebuah organisasi penjahat. Selanjutnya, digunakannya bahan peledak yang sangat ketat dikendalikan seperti heksogen dan PETN menunjukkan bahwa badan intelijen terlibat dalam aksi itu.
Keempat, biaya operasi ini membuatnya berada jauh di luar jangkauan sebuah organisasi kecil. Rumah penyimpanan yang aman (safe house), bahan peledak berikut truk Mercedes memang mahal harganya. Tetapi intelijen yang tepat waktu dan akurat paling mahal. Menurut sumber yang dikutip oleh Thomas L. Friedman dari Harian New York Times, pemboman Kedutaan pada April 1983 menelan biaya sekitar $ 30.000 atau sekitar Rp 450 juta.
Kelima, beberapa pelaku bunuh diri mengakui setia kepada para pemimpin negara. Sebelum mengendarai mobilnya menyongsong mati dalam mobil yang penuh pepak dengan bahan peledak, seorang gadis Lebanon berusia 16 tahun mengirimkan salamnya kepada "pemimpin pawai pembebasan yang mapan, (liberation and steadfastness march) Letnan Jenderal Hafiz al-Asad." Salah seorang pemimpin Amal, Mahmud Faqih, menyebut Khomeini sebagai "pemimpin kami yang sah" dan menyebut Iran sebagai "perisai dan sumber dukungan kami...sumber kekuatan konseptual, ideologis, dan politik kami." Hal yang sama terjadi pada Faksi Hizbullah. Abbas Musawi, pemimpin kelompok ini, menyatakan bahwa Khomeini "menjelaskan garis-garis pemikiran gerakan organisasinya dan mengeluarkan arahan kepada Hizbullah." Ketika ditanya soal pembiayaan Hizbullah, Musawi mengakui bahwa "uang itu terutama berasal dari Teheran."
Keenam, informasi intelijen mengindikasikan bahwa terorisme bunuh diri bertautan dengan negara. Iran diketahui mengirim pesawat khusus ke Damaskus berikut 50 mata-mata di dalamnya beberapa pekan sebelum barak Marinir AS kota itu diledakkan. Teheran memberi sinyal hendak menyerang sebelas instalasi di Kuwait pada Desember 1983 dengan mengirimkan kurir khusus. Dalam beberapa kasus, nama-nama pembawa perintah Iran kepada para penyerang bunuh diri, aktivitas dan bayaran yang mereka terima diketahui. Senator Jesse Helms pernah mengeluarkan informasi yang menunjukkan bahwa Iran membantu merencanakan pembajakan logistic pesawat Trans World Airlines (TWA) milik Amerika Serikat, Juni 1985. Selain itu, Iran juga melatih setidaknya satu pembajak di Iran serta menyediakan uang untuk operasi. Dokumen yang dibuat oleh pihak oposisi Iran menunjukkan bahwa Pemerintah Iran punya organisasi resmi yang mendharmabaktikan diri untuk mempromosikan terorisme bunuh diri.
Ketujuh, kesaksian sejumlah pihak yang terlibat dalam bom bunuh diri memberikan laporan tangan pertama tentang keterlibatan negara. Muhammad 'Ali Aryafar, seorang kapten Angkatan Laut Iran yang membelot, mengatakan pada sebuah konferensi pers pada Agustus 1984 bahwa "Jihad Islam didukung oleh rezim Khomeini." Menurutnya, Pengawal Revolusi Iran mengirim beberapa unit untuk melatih dan mengarahkan para teroris di Libanon – fakta ini diperkuat oleh seorang perwira Amerika dalam kesaksiannya di depan kongres. Para pelaku bom bunuh diri yang tidak bersedia menjalankan aksi memberikan bukti serupa. Pria Libanon yang memicu ledakan besar di Damaskus mengatakan kepada televisi Suriah bahwa karirnya sebagai pembom bunuh diri dimulai dengan kecelakaan lalu lintas. Sebagai sopir truk, ia tidak sengaja menabrak mati seorang perwira militer Irak di Baghdad November lalu sehingga dipenjara selama lima puluh dua hari. Petugas intelijen Irak kemudian memberinya pilihan antara dieksekusi mati atau pergi ke Damaskus dengan bom mobil. Dia memutuskan memilih yang terakhir dan dikirim untuk menghancurkan sebuah klub perwira Angkatan Darat Suriah pada suatu malam yang paling ramai.
Kedelapan, negara memperoleh keuntungan dari serangan bunuh diri. Teheran memperluas pengaruhnya di Libanon dengan instrumen ini. Demikian pula, Pemerintah Suriah menggunakan bom bunuh diri untuk menunjukkan bahwa ideologinya – yang merupakan campuran antara pan-Suriah dan pan-Arabisme – memang memiliki vitalitas dan dukungan di Lebanon. PLO dan Libya, yang para terorisnya sudah merosot kepercayaannya sejak satu dekade lalu, menggunakan misi bunuh diri untuk menegaskan kembali reputasi mereka.
Akhirnya, para pemimpin politik mengakui adanya terorisme. Pemerintah Iran mendukung pendudukan Kedutaan Besar A.S. di Teheran dan sejak itu negara itu tidak berusaha melepaskan diri dari sejumlah besar insiden yang dilakukan oleh para teroris di Libanon, Kuwait dan tempat lain. PLO mengklaim nyaris setiap hari bahwa pihaknya hendak menghentikan aksi para teroris melawan Israel. Pada awal 1986, Kadafi memaklumkan diri akan melatih pasukan bunuh diri "bagi teroris dan misi bunuh diri serta menyediakan pelatih bagi mereka dan mempersiapkan semua senjata yang diperlukan untuk misi sesuai keinginan mereka." Walid Jumblatt, pemimpin Druz di Libanon baru-baru ini berjanji hendak mengirim pasukan bunuh diri guna membantu Kadafi melawan Amerika Serikat. Hanya Pemerintah Suriah yang menyangkal berperan mendukung terorisme.
Sebagai Alat Keahlian Mengelola Negara
Disponsori negara menyebabkan aksi bunuh diri bukan lagi sesuatu yang misterius. Ia malah menyebabkan aksi itu bukan lagi ranah patologi yang menyimpang, fanatisme agama, dan ekstremisme politik. Sebaliknya, dia menempatkannya dalam lingkup kekuasaan institusional dan kegiatan intelijen.
Banyak aksi tampaknya dilakukan sebagai aksi bunuh diri ternyata bukan. Beberapa pengemudi misalnya dipaksa melakukannya. Seperti yang melibatkan para sopir Libanon menyusul kecelakaan lalu lintas yang mereka lakukan di Irak. Seorang warga Lebanon berusia 16 tahun, Muhammad Mahmud Burru, pada April 1985 mengaku direkrut dengan banyak ancaman. Menurut kisahnya, ia bekerja untuk Amal, sebuah organisasi Syiah dengan dukungan Suriah, ketika suatu hari motor yang dikendarainya menabrak sebuah mobil dari belakang. Menanggapi permintaan Burru, pejabat Amal melepaskannya dari masalah ini. Beberapa bulan kemudian, ayahnya juga mengalami kecelakaan mobil. Ayahnya dan seorang wanita muda terluka. Segera seusai insiden, Burru pun diancam: jika tidak melakukan misi bunuh diri bagi Amal, file kecelakaan sepeda motornya akan dibuka kembali dan ayahnya tidak akan menjalani operasi yang diperlukan. Dengan demikian, dia dan ayahnya akan kehilangan pekerjaan dan seluruh keluarganya akan dianiaya oleh kerabat sang wanita. Setelah berhari-hari dilanda kebimbangan yang luar biasa, dia pun dengan enggan melakukan misi. Ia ditugaskan mengendarai sebuah mobil yang penuh dengan 400 pon bahan peledak supaya menabrakkan mobilnya ke markas militer Israel.
Muhammad an-Nasir, yang dipaksa mengendarai mobil penuh pepak dengan bom menuju sebuah stasiun berpenjagaan ketat di Lebanon selatan, September 1985, adalah pelaku bunuh diri yang jelas tidak bersedia beraksi. Cara yang dilakukannya benar-benar sulit dipercaya. Karena itu, sebuah mobil mengikutinya dari belakang untuk memastikan dia mengikuti perintah. Tetapi tepat sebelum mencapai pos pemeriksaan yang ditentukan, Nasir meninggalkan kendaraannya. Ia berusaha meyakinkan pengemudi mobil kedua untuk bertukar tempat dengannya. Yang terakhir menolak. Dan, sementara mereka bertengkar, keduanya ditangkap.
Para pelaku bunuh diri yang lain berharap bisa melarikan diri hidup-hidup. Seorang penyerang diminta mengemudikan truknya yang sarat bom menuju bagian tertentu Kedutaan Besar AS. Dia justru melarikan diri ke mobil milik kaki tangan orang yang menyuruhnya sebelum truk yang dikendarainya meledak. Yang lain diyakinkan bahwa jaket antipeluru dan pelapis khusus seputar kursi pengemudi memberinya peluang 50 persen untuk selamat dari ledakan. Dalam sebuah kasus, tampak bahwa koper yang dibawa seorang gadis muda menuju pos pemeriksaan diledakkan oleh seorang lelaki yang berdiri agak jauh. Beberapa mobil memang dirancang supaya meledak jika pengemudi pelaku bunuh diri mematikan mesin atau membuka pintu.
Anak-anak mudah dibujuk untuk melakukan aksi bunuh diri dibanding orang dewasa. Dengan menjanjikan kepada mereka hal-hal mulia yang tidak pernah dikisahkan. Berikut ini, sebuah kisah dalam Majalam Newsweek soal nasib seorang remaja Palestina:
Berbagai kenikmatan surgawi menanti Moussa Ziyada. Sungai yang mengalirkan madu manis dan anggur suci, 72 pengantin perawan dan tiket gratis menuju Surga bagi 70 sahabat dan keluarganya. Bagi seorang anak laki-laki yang tidak pernah meninggalkan Jalur Gaza, tempat satu-satunya sungai adalah aliran penuh sampah, janji itu sangatlah mempesona. "Semua hal yang tidak pernah dilihat mata dan yang tidak pernah didengar telinga," seperti yang dikatakannya, bakal segera menjadi miliknya. Pada usia 14 tahun, dia bakal dihormati sebagai martir sekaligus pahlawan. Semua yang harus dilakukannya adalah meledakkan dirinya sendiri di tengah kerumunan warga Israel.
Dalam kata-kata pelatih remaja laki-laki pelaku bunuh diri: "Kini kau menjadi agung. Kau suci. Kau sudah siap pergi menuju surga."
Ini bukan ciri khas "kaum fanatik" tetapi orang-orang terseret dalam layanan itu. Para analis yang melihat penyerang bunuh diri sebagai sukarelawan sebetulnya tidak jeli melihat persoalan: siapa pun yang kurang beruntung yang terlibat dalam tabrakan lalu lintas dapat menemukan dirinya beberapa hari kemudian mengendarai mobil yang sarat bom. Para narapidana yang sedang menanti hukuman mati, para pembangkang politik, para anggota etnis minoritas dalam kondisi yang tepat, semuanya dapat dipaksa untuk melakukan serangan bunuh diri.
Keterlibatan negara memperluas kumpulan para pembunuh potensial. Negara tidak bisa bergantung pada upaya untuk menemukan orang yang siap menyabung nyawa. Soalnya, orang-orang ini terlampau sedikit untuk diandalkan supaya bisa melakukan operasi reguler. Jika hanya para ekstremis yang dapat direkrut untuk misi bunuh diri, maka potensinya terbatas. Tetapi dengan membawa masuk orang-orang yang rentan dari lingkungan masyarakat umum berarti siapa pun mungkin berakhir menjadi penyerang bunuh diri. Sumber daya negara lebih dari cukup untuk menghasilkan pasokan stabil para pelaku bom bunuh diri yang tidak fanatik. Apa yang hingga kini mempersyaratkan semangat khusus telah menjadi sesuatu yang rutin yang bisa dilembagakan.
Kesimpulan
Analisis ini mempunyai dia implikasi penting. Pertama, karena misi bom bunuh diri tidak perlu berhubungan dengan Islam, maka aksi itu bisa dijalankan oleh rejim brutal dari jalur ideologi manapun. Kemampuan yang beraneka ragam untuk menjalankan aksi itu didemonstrasikan dengan sangat baik oleh Rezim Suriah. Dari lima serangan bunuh diri yang disponsorinya melawan Israel pada 1985, enam aksi dilakukan oleh Partai Ba'th, sebuah organisasi kaum sekular pan-Arab. Lima aksi dilakukan oleh Partai Nasionalis Sosial Suriah, pendukung pan-Suriahnisme. Dua aksi terkait dengan Amal, sebuah organisasi Shiah yang bersekutu dengan Suriah; masing-masing satu aksi termasuk aksi Partai Komunis dan sebuah kelompok oposisi Mesir. Satu pelaku bunuh diri itu penganut Druz, empat dari kelompok Shiah dan 10 dari kaum Sunni. Sedikitnya, dua warga Suriah dan dua warga Mesir. Sisanya berasal dari Libanon.
Bom bunuh diri sudah tersebar di seluruh penjuru Timur Tengah. Ia bisa dijalankan di kawasan lain juga, sebagaimana pemerintahan lain lakukan, sama seperti Damaskus yang meniru taktik Iran. Uni Soviet tampaknya belum menjalankan aksi bunuh diri. Namun, ia sangat mungkin melakukannya. Mengapa mengabaikan senjata yang begitu potensial? Hal yang sama juga terjadi pada negara totaliter dan otoriter lain. Bom bunuh diri mungkin saja terbukti sangat luar biasa sehingga menjadi monumen dari Rezim Khomeini yang abadi.
Kedua, keterlibatan negara dalam aksi itu mengarah kepada tanggapan wajar dari pihak Amerika Serikat dan sekutunya. Soalnya, sia-sia membangun pertahanan yang memusatkan perhatian pada aktor teroris itu sendiri. Bahkan jika pelakunya gagal (falls) sekalipun, dia bisa saja dengan mudah dan cepat digantikan oleh orang lain Cara menaklukan momok terorisme bunuh diri dengan demikian adalah dengan menghukum negara-negara yang mensponsori aksi kejam ini.
Bibliografi– Tulisan Saya seputar Operasi Bunuh Diri:
- "The Scourge of Suicide Terrorism." National Interest, Summer 1986, pp. 95-99. Sets out the basic advantages of suicide terrorism.
- "The [Suicide] Jihad Menace." Jerusalem Post, 27 July 2001. Distinguishes between suicide and martyrdom.
- "A Father's Pride and Glory." Jerusalem Post, 15 August 2001.
- "Arafat's Suicide Factory." New York Post, 9 December 2001.
- "How a Young British Muslim Was Tempted into Jihad." DanielPipes.org, 14 July 2005.
- "The London Bomber's Suicide Video." DanielPipes.org, 14 September 2005.
- "Palestinian Difficulties Recruiting Suicide Bombers?" DanielPipes.org, 14 October 2005.
Pemutakhiran 21 Agustus 2008: Lebih dari dua dekade kemudian metode yang dipelopori oleh Pemerintahan Ayatollah Khomeini masih terjadi dan dilakukan untuk para wanita. Demikian menurut sebuah artikel bertajuk "Grooming a female suicide bomber: Al Qaeda in Iraq seeks out vengeful widows and social rejects. A jail in Diyala holds suspected recruiters" karya Alexandra Zavis yang diterbitkan dalam Harian Los Angeles Times.
Al-Qaeda di lingkaran pemimpinnya di Irak dikenal sebagai para emir. Mereka berusaha merekrut semua klan demi cita-cita mereka dengan menikahi para wanita dari keluarga-keluarga itu. Para wanitanya yang dipaksa menikah dalam perkawinan ini kerapkali digilirkan antarpara emir, urai Saja Quadouri, yang duduk dalam komite keamanan dewan propinsi Al-Qaeda dan satu-satunya anggota wanita. "Mereka akan menikahi lebih dari satu laki-laki sehingga hamil tanpa tahu siapa ayah bayinya," urainya. "Akhirnya, karena putus asa, tidak berdaya dan takut, mereka pun dieksploitasi untuk melakukan kejahatan seperti ini, karena mereka sudah tidak diinginkan oleh masyarakat."
Wanita lain dibujuk untuk menjalankan misi bunuh diri guna membalas dendam atas kematian ayahnya, suaminya atau saudaranya, urai seorang analis intejin A.S. yang meminta namanya tidak disebutkan demi alasan keamanan. Dalam masyarakat suku, kehilangan sanak keluarga laki-laki membuat para wanitanya tanpa perlindungan atau sarana untuk bertahan hidup.
Topik Terkait: Konflik-diplomasi Arab-Israel, Bibliografi, Terorisme Bunuh Diri, Terorisme
Artikel Terkait:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.