Untuk mendapatkan versi lebih pendek, yang diperbarui dari analisis ini, lihat tulisan bertajuk "[The Modern Islamist:] Shakespeare with Shari'a," Jerusalem Post, 8 Agustus 2001.
Fat'hi ash-Shiqaqi, Pemimpin Jihad Islam. |
Fat'hi ash-Shiqaqi. Seorang pemuda Palestina yang sangat terpelajar. Ia berdiam di Damaskus. Baru-baru ini, dia membangga-banggakan keakrabannya dengan sastra Eropa. Kepada seorang pewawancara, dia mengisahkan bagaimana dia membaca menikmat karya-karya Shakespeare, Dostoyevsky, Chekhov, Sartre, dan Eliot. Dia berbicara tentang kegemarannya yang sangat besar terhadap Oedipus Rex sebuah buku karya Sophocles. Sebuah buku yang sudah sepuluh kali terjemahan Inggrisnya dia baca "dan setiap kali membacanya dia menangis sedih."
Perjumpaannya dengan sastra dunia dan kepekaannya yang begitu indah tidak menjadi catatan kecuali untuk dua hal. Pertama, bahwa Shiqaqi itu penganut Islam radikal (atau apa yang sering disebut kaum Muslim "fundamentalis") sampai dia terbunuh di Malta beberapa minggu lalu. Kedua, bahwa ia mengepalai Jihad Islam, sebuah organisasi teroris penting yang membunuh lusinan warga Israel selama dua tahun terakhir.
Keakraban Shiqaqi dengan hal-hal berbau Barat memang cocok dengan pola umum. Saudara laki-laki Eyad Ismail, salah satu pembom Gedung Perdagangan Dunia (World Trade Center) New York yang baru-baru ini diekstradisi dari Yordania, pernah mengatakan tentang dia, "Dia menyukai segala sesuatu yang berbau Amerika. Mulai dari film koboi hingga hamburger." Saudarinya ingat bahwa alarmahum sangat suka televisi AS dan pernah berucap, "Saya ingin tinggal di Amerika selamanya." Keluarga itu, komentar mereka, "selalu menganggapnya anak lelaki Amerika." Ibunya menegaskan bahwa "almarhum mencintai Amerika Serikat."
Hasan at-Turabi, penguasa Sudan, pernah suatu ketika mengatakan kepada seorang pewawancara Prancis bahwa sebagian besar pemimpin Islam militan, seperti dia sendiri, berasal "dari budaya Kristen, Barat. Kami berbicara bahasa kalian." Turabi adalah laki-laki yang berada di balik "rumah hantu" penganiayaan brutal yang terkenal kejam terhadap minoritas Kristen yang besar di negaranya. Sering sekali dia memamerkan pengetahuannya tentang Barat. Dalam sebuah pernyataan yang merangkum seluruh pandangan ini, seorang penganut Islam radikal di Washington dengan tegas menyatakan, "Saya mendengarkan Mozart. Saya baca Shakespeare. Saya menonton Comedy Channel; dan saya juga percaya pada implementasi Syariah [hukum suci Islam]."
Pola ini mengarah kepada paradoks. Para intelektual itu pada satu pihak punya niat yang sangat mendasar untuk mengembalikan dunia Muslim ke abad ketujuh tetapi pada pihak lain pada saat yang sama merasa lebih unggul daripada cara-cara Barat yang tampaknya sangat mereka hargai. Setidaknya beberapa dari mereka. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa yang diindikasikannya dari kekuatan masa kini dan masa depan mereka?
Kaum Islam Radikal Menjadi Kebarat-baratan
Para pemimpin Islam cenderung akrab dengan Barat. Pernah menetap di sana, belajar bahasa, dan mempelajari kebudayaannya. Turabi dari Sudan punya gelar lanjutan dari Universitas London dan Sorbonne (Prancis). Pernah juga musim panas-nya dia habiskan di Amerika Serikat, berkeliling di seluruh negara itu berkat sebuah program yang dibiayai pembayar pajak A.S. bagi para pemimpin mahasiswa asing. Abbasi Madani, pemimpin Fron Keselamatan Islam Aljazair (Algeria's Islamic Salvation Front---FIS) meraih gelar doktor pendidikan dari University of London. Timpalannya dari Tunisia, Rashid al-Ghannushi, menghabiskan waktu satu tahun di Prancis dan sejak 1993 membangun rumah di Inggris. Necmettin Erbakan, politisi militan terkemuka Turki, pernah belajar di Jerman. Mousa Mohamed Abu Marzook, Ketua Komisi Politik Hamas menetap di Amerika Serikat sejak 1980, meraih gelar doktor teknik dari Louisiana State University. Sejak 1990, dia dianggap penduduk tetap AS. Bertahun-tahun dia mampu menghindarkan diri dari upaya penegakan hukum. Namun, baru-baru ini, dia berhasil ditangkap di Bandara New York ketika sedang dalam perjalanan ke negara itu untuk mendaftarkan putranya di sebuah sekolah Amerika.
Memang, pengalaman hidup di Barat kerap mengubah kaum Muslim yang acuh-acuh menjadi penganut Islam yang radikal. Ketika membahas tentang Mehdi Bazargan, seorang insinyiur Iran yang menghabiskan tahun 1928-1935 di Prancis, Hamid Dabashi membedah proses yang banyak dijalani oleh kaum Muslim:
Berawal dari premis sadar atau tidak sadar yang diartikulasikan atau bisu bahwa mereka harus kuat menyatu pada kesadaran Islamiah mereka, sehingga mulai mengagumi "prestasi-prestasi "Barat". . . . Mereka mengakui memuncaknya kesadaran diri ideologis pada masyarakat "Barat". Kesadaran ini mereka identifikasi sebagai sumber penyebab berbagai prestasinya. Mreka bisa melihat kembali masyarakat mereka yang tidak banyak prestasi teknologisnya. Pada gilirannya, keadaan ini mereka atribusikan dengan hilangnya keadaan puncak atas kesadaran diri ideologis.
Gagasan kunci di sini, urai analis Prancis Olivier Roy menjelaskan, menjadi gagasan yang agak mengejutkan. Yaitu gagasan bahwa ideologi menjadi "kunci pembangunan teknis Barat." Asumsi ini mengantarkan para penganut Islam radikal untuk "mengembangkan sebuah ideologi politik modern yang berbasis Islam. Asumsi ini pula yang mereka lihat sebagai satu-satunya cara untuk berdamai dengan dunia modern sekaligus sebagai cara terbaik untuk menghadapi imperialisme asing."
Sayyid Qutb. |
Beberapa tokoh terkemuka cocok dengan pola ini. Sayyid Qutb dari Mesir pergi ke Amerika Serikat pada 1948 sebagai pengagum berbagai hal berbau Amerika. Kemudian dia "kembali" kepada Islam selama dua tahun menetap di sana dan menjadi salah satu pemikir Islam paling berpengaruh pada zaman kita. Ali Syari'ati dari Iran berdiam lima tahun di Paris, antara tahun 1960-65. Dari pengalaman ini muncul ide-ide penting Revolusi Islam. Dalam kasus-kasus lain, para pemikir Islam tidak benar-benar menetap di Barat. Tetapi mereka menyerap cara-caranya dari jarak tertentu dengan mempelajari bahasa Barat dan membenamkan diri dalam ide-ide Barat, seperti dilakukan wartawan, pemikir dan politisi Indo-Pakistan, Sayyid Abul A'la Mawdudi (1903-79). Dalam kasus-kasus lain, membaca terjemahan karya Barat bisa membantu mereka meraih apa yang mereka inginkan. Morteza Motahhari, pembantu terkemuka Ayatollah Khomeini membuat kajian tentang Marxisme yang semendalam mungkin dalam bahasa Persia.
Banyak tokoh intelektual Islamisme juga berlatar belakang kecakapan teknis. Erbakan cepat sekali naik ke puncak profesi teknik di Turki sebagai profesor penuh di Universitas Teknik Istanbul, direktur sebuah pabrik produsen motor diesel bahkan kepala Kamar Dagang negara itu. Layth Shubaylat, penghasut Yordania, adalah juga Presiden Asosiasi Insinyur Jordania. Orang-orang ini sangat bangga karena mampu menantang Barat dalam bidang yang menjadi kekuatan terbesar Barat.
Para teroris sejati juga cenderung berorientasi sains, meskipun kurang berhasil. Ramzi Yusuf, yang dituduh sebagai dalang pemboman Gedung Pusat Perdagangan Dunia (World Trade Center), adalah seorang insinyur elektronik dan ahli bahan peledak dengan gelar lanjutan dari Inggris; Nidal Ayyad adalah insinyur kimia yang sedang naik daun di Allied Signal. Eyad Ismail belajar komputer dan teknik di Wichita State University. Pola yang sama berlaku di Timur Tengah: Salah 'Ali' Uthman, salah satu dari tiga teroris yang menyerang bus di Yerusalem pada Juli 1993, adalah seorang mahasiswa ilmu komputer pada sebuah universitas di Gaza. Teroris anti-Zionis paling kenamaan selama beberapa tahun terakhir adalah Yahya Ayyash dan dijuluki "Insinyur." Banyak penganut Islam radikal Mesir yang terlibat dalam kekerasan terhadap rezim mempunyai gelar dalam bidang sains.
Para pemimpin Islam radikal bukanlah petani yang berdiam di pedesaan yang tidak bisa berubah, tetapi adalah orang modern, yang benar-benar menjadi bagian kehidupan perkotaan. Banyak dari mereka tamatan universitas. Para penganut Islam radikal itulah yang menjadi orang modern yang berada di garda depan menghadapi kehidupan modern, meski semua ceramah mereka berbicara soal penciptaan kembali masyarakat ala Nabi Muhamad
Lugunya Islam Tradisional
Meskipun akrab dengan cara-cara Barat ini, penganut Islam radikal jauh dari budaya mereka sendiri. Kenyataan ini pernah Turabi akui kepada seorang pewawancara Prancis, "Saya tahu sejarah Prancis lebih baik daripada sejarah Sudan. Saya suka budaya kalian, pelukis kalian, musisi kalian." Setelah menemukan Islam khas mereka. sebagai orang dewasa, banyak penganut Islam radikal tidak mengetahui sejarah dan tradisi mereka sendiri. Beberapa "generasi baru," catat Martin Kramer, "adalah kaum Muslim yang terlahir kembali, yang tidak mengenal tradisi Islam." Menteri Agama Tunisia Ali Chebbi melangkah lebih jauh. Dia mengatakan bahwa mereka "mengabaikan fakta-fakta mendasar dalam Islam." Seperti Mawdudi, orang-orang yang belajar mandiri (autodict) ini mencampur sedikit ini dan itu, seperti dijelaskan Sayyed Vali Reza Nasr:
Formulasi Maududi sama sekali tidak berakar pada Islam tradisional. Dia mengadopsi ide dan nilai modern, mekanisme, prosedur dan idiomnya kemudian menenunnya menjadi sebuah struktur yang Islami. Dia tidak berusaha membangkitkan tatanan yang sudah lama mati lalu menghidupkannya (atavistic) tetapi memodernisasi konsepsi tradisional pemikiran dan kehidupan Islam. Visinya merepresentasikan terobosan yang dengan jelas memutuskannya dari tradisi Islam lalu membaca Islam secara baru dan fundamental dengan mengambil isyarat dari pemikiran modern.
Kurangnya pengetahuan ini seharusnya tidak mengejutkan ketika merefleksikannya. Para penganut Islam radikal adalah individu yang dididik dengan cara modern yang mencari solusi untuk masalah modern. Nabi mungkin mengilhami mereka, tetapi mereka mendekatinya melalui filter akhir abad kedua puluh. Dalam prosesnya, mereka secara tidak sengaja mengganti cara-cara Barat dengan cara-cara Islam tradisional.
Islam tradisional mengembangkan sebuah peradaban yang selama lebih dari satu milenium memberikan hidup yang tertib bagi kehidupan muda dan tua, kaya dan miskin, berkecukupan dan bodoh, dan masyarakat Maroko serta masyarakat Malaysia. Dan Islam tradisional ini menjadi agama yang sangat memuaskan bagi hampir satu miliar penganutnya. Ketika merasa terasing dari tradisi ini, para pengangut Islam radikal tampaknya rela meninggalkannya sambil berimajinasi untuk bisa kembali kepada cara-cara Nabi Muhammad yang murni dan sederhana. Mereka berusaha melompati masa tiga belas abad yang lalu supaya bisa menghubungkannya secara spiritual dengan tahun-tahun pertama Islam, ketika Nabi masih hidup dan agama itu masih baru. Masalah paling duniawi mengilhami mereka untuk mengingat masa-masa kehidupan Nabi. Karena itu, seorang penulis menggambarkan "taktik bertahan hidup" yang digunakan mahasiswa Muslim di berbagai universitas Amerika untuk mempertahankan identitas Islam mereka sebagai "sama dengan umat Islam awal selama Hijrah [Nabi Muhammad mengasingkan diri dari Mekah ke Madinah]."
Bagaimanapun, para penganut Islam radikal tidak melihat diri mereka terikat dengan tradisi tetapi terlibat dalam usaha terbaru. Menurut pemimpin spiritual Iran, 'Ali Hoseyni Khamene'i, "Sistem Islam ciptaan Imam [Khomeini]...belum ada dalam perjalanan sejarah, kecuali pada awal [Islam]." Ghannushi juga menegaskan hal yang sama. Bahwa "Islam itu sudah kuno tetapi gerakan kaum Islam radikal itu baru." Ketika menolak seluruh millennium, para penganut Islam radikal membuang banyak hal dari masyarakat mereka kumpulan besar pengetahuan tentang Al-Qur'an supaya bisa menjalankan interpretasi hukum secara bagus.
Sebaliknya, mereka mengagumi pabrik dan tentara yang efisien. Bagi mereka sendiri, dunia Muslim tampak terbelakang. Mereka segera mengupayakan perombakannya melalui penerapan cara-cara modern. Tatkala proses ini berjalan lambat, mereka menyalahkan Barat karena menyembunyikan teknologinya dari mereka. Dengan demikian, 'Ali Akbar Mohtashemi, tokoh utama radikal Iran, dengan sedih meratap bahwa "Amerika Serikat dan Barat tidak akan pernah memberi kita teknologi" untuk mengejar apa yang dia sebut dengan aneh "ilmu industrialisasi."
Tujuan para penganut Islam radikal ternyata bukannya murni tataran Islam tetapi sebuah tatanan Islam beraroma realitas Barat. Kenyataan ini sangat jelas dalam empat bidang: agama, kehidupan sehari-hari, politik dan hukum.
I. Meniru Kristen
Menirut Kristen, tentu saja bukan niat mereka. Tetapi kaum Muslim militan memperkenalkan beberapa prinsip yang jelas-jelas Kristen dalam agama Islam mereka. Agama Islam tradisional ditandai oleh adanya berbagai organisasi yang tidak resmi. Hampir setiap penetapan keputusan penting atas teks kanonik Al-Qur'an, tercapai dengan cara yang tidak terstruktur dan dilakukan berdasarkan konsensus. Mereka menolak pendekatan filosofis atau memilih cendekiawan agama mana yang mau didengarkan. Inilah jeniusnya agama. Dan itu berarti para penguasa yang berusaha mengendalikan institusi agama selalu gagal.
Para penganut Islam radikal yang tidak mengetahui warisan ini pun membangun struktur mirip gereja. Kecenderungan ini dimulai di Arab Saudi, tempat pihak berwenang membangun struktur institusi baru. Sudah sejak tahun 1979, Khalid Duran menulis tentang munculnya "hierarki imam dengan semua perlengkapan gerejani ini":
Sejumlah pejabat agamapun bermunculan. Padahal sebelumnya, posisi-posisi itu tidak pernah terdengar. Jabatan seperti misalnya: Sekretaris Liga Dunia Muslim, Sekretaris Jenderal Konferensi Islam, Rektor Universitas Islam di Madinah dan seterusnya [dan] sebagainya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, imam Ka'bah dikirim untuk bepergian ke negara-negara asing seolah-olah dia nuncio atau duta besar Apostolik Roma.
Republik Islam Iran pun segera mengikuti model Arab Saudi. Bahkan sudah melebih Arab Saudi dalam upayanya melembagakan pengawasan ulama mereka dengan gaya-Katolik. Untuk itu, Shahrough Akhavi menjelaskan;
Sentralisasi berbagai lembaga keagamaan di Iran tidak pernah terjadi sebelumnya. Dan, tindakan yang diambilnya itu membuatnya menyerupai pola dalam tradisi gereja gerejawi yang dikenal luas di Barat. Sebagai contoh, pada 1982, Khomeini mendorong "pemecatan" (defrocking) dan "pengucilan" (ex-communication) terhadap saingan utamanya, Ayatollah Muhammad Kazim Shari'atmadari (yang wafat 1986), meski sistem ini tidak pernah ada dalam Islam. Tren lain, seperti pengawasan terpusat atas anggaran, penetapan jabatan profesor, kurikulum sekolah agama, pembentukan milisi agama, monopoli representasi kepentingan dan penyusunan perjuangan budaya (Kulturkampf) dalam dunia seni, keluarga, dan masalah sosial lainnya menceritakan kecenderungan yang berkembang sehingga menciptakan semacam "keuskupan Islam" di Iran.
Yang bahkan jauh lebih mengherankan lagi, Akhavi mencatat, adalah bagaimana Khomeini mengangkat dirinya seperti paus:
Praktik Khomeini ketika menerbitkan fatwa resmi dengan kewajiban untuk mematuhinya nyaris sama dengan memberikan wewenang kepada ahli hukum kenamaan dengan kekuatan yang tidak berbeda dengan para paus dalam lingkungan Gereja Katolik. Lagi pula, kepatuhan terhadap fatwa ulama tertentu di masa lalu tidak wajib.
Ketika menciptakan hierarki Kristen palsu ini, para penganut Islam radikal menemukan sesuatu yang lebih Barat daripada Islam.
Dengan cara yang sama, para penganut Islam radikal mengubah hari Jumat menjadi hari Sabat. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Secara tradisional, Jumat adalah hari berkumpul untuk sholat, bukan hari istirahat. Memang, seluruh gagasan tentang Sabat itu asing bagi semangat Islam monoteistik yang keras, yang menganggap gagasan bahwa Allah membutuhkan satu hari istirahat yang secara antropomorfis salah. Alih-alih, Al Qur'an memerintahkan umat Islam untuk "meninggalkan bisnis" hanya saat sholat. Begitu usai, mereka harus "berpencar mencari karunia Tuhan." Dengan kata lain, terlibat dalam perdagangan. Hari istirahat itu begitu berbau praktik Yahudi dan Kristen. Beberapa otoritas Islam tradisional karena itu sebenarnya berkecil hati untuk berlibur pada Hari Jumat. Di sebagian besar tempat dan waktu, umat Islam bekerja pada Hari Jumat, hanya disela dengan sholat bersama.
Pada zaman modern, negara-negara Muslim meniru Eropa. Mereka menerapkan satu hari istirahat. Kekaisaran Utsmaniyah mulai menutup kantor pemerintah pada Hari Kamis, yang secara religious merupakan hari yang netral pada 1829. Para imperialis Kristen memberlakukan hari Minggu sebagai hari istirahat mingguan di seluruh koloni mereka. Praktik ini juga diadopsi oleh banyak penguasa Muslim. Pasca-kemerdekaan, hampir setiap pemerintah Muslim mewarisi Hari Minggu sebagai hari istirahat dan mempertahankannya. S. D. Goitein, seorang sarjana terkemuka dalam bidang ini, mencatat bahwa negara-negara Muslim melakukannya demikian "guna menanggapi mendesaknya kehidupan modern sekaligus meniru apa yang bisa ditiru dari Barat."
Baru-baru ini, para penguasa Muslim menegaskan identitas Islam mereka dengan melembagakan Hari Jumat sebagai hari libur. Alasannya, karena Sabat Minggu dianggap terlalu ke-Barat-Barat-an. Sedikit sekali mereka sadari bahwa dengan melakukan hal itu, mereka mengabadikan kebiasaan khas Yahudi-Kristen. Dan ketika Hari Jumat berubah menjadi hari libur (untuk kunjungan keluarga, melakukan olahraga untuk ditonton, dll.), umat Muslim sebetulnya sudah meniru akhir pekan ala Barat.
'Umar 'Abd ar-Rahman. |
II. Feminisme
Upaya mengikuti kebiasaan Barat (westernisme) paling mengagumkan yang para penganut Islam radikal perkenalkan berkaitan dengan wanita. Mereka sesungguhnya mendukung pandangan yang lebih mirip dengan feminism gaya Barat dibanding dengan apapun dalam Islam tradisional.
Para pria Muslim tradisional tidak bangga kalau para wanita mereka bebas dan mandiri. Tetapi para penganut Islam radikal bangga. Ahmad al-Banna, pemimpin Ikhwanul Muslimin Mesir mengadopsi pandangan seorang feminis yang membuatnya melakukan reinterpretasi atas sejarah kaum Muslim berdasarkan standar-standar Barat. "Wanita Muslim sudah bebas dan mandiri selama lima belas abad. Mengapa kita harus mengikuti contoh wanita Barat, yang begitu bergantung kepada para suami mereka dalam urusan material?"
Para pria Muslim tradisional bangga wanita mereka tinggal di rumah. Dalam rumah mewah kaya raya dan nyaris tak pernah meninggal batas-batasnya. Hasan at-Turabi punya pemikiran yang sangat berbeda dalam benaknya. "Kini di Sudan, wanita ada dalam angkatan bersenjata, dalam kepolisian, dalam kementerian, di mana-mana dan punya posisi yang sama seperti pria." Mengikuti pepatah bahwa "masjid terbaik bagi wanita adalah bagian dalam rumah," maka wanita tradisional menjalankan sholat di rumah. Wanita yang berada di masjid diremehkan. Tetapi para wanita penganut Islam radikal biasanya menghadiri pelayanan umum. Akibatnya, masjid-masjid baru memberikan tempat yang lebih luas untuk bagian wanita.
Selama berabad-abad, kerudung wanita pertama-tama membantu mereka menjalankan kebajikan. Kini ia melayani tujuan kaum feminis untuk mempermudah mencapai karir. Wanita Muslim yang mengenakan "busana Muslim" tulis seorang analis Barat,
biasanya sangat terdidik. Kerapkali dalam fakultas kedokteran, teknik mesin dan sains univerversitas kenaman. Pakaian yang mereka kenakan menandakan bahwa walau kuliah dan berkarir di arena publik, mereka itu wanita relijius yang bermoral. Para wanita lain seringkali dilecehkan di ruang public namun para wanita seperti itu dihormati. Bahkan ditakuti. Pada akhir 1980-an, pakaian Islami menjadi norma bagi wanita kelas menengah yang tidak ingin mengkompromikan reputasinya dengan kegiatan publik mereka. Butik-butik menawarkan busana gaya Paris yang diadopsi dengan standar sopan-santun Islami.
Ada yang barangkali ironis di sini. Yaitu bahwa pembentukan tatanan Islam di Iran, membuka banyak peluang di luar rumah bagi para wanita saleh. Mereka bekerja dalam angkatan kerja dan bisa bekerja dengan sangat bagus dalam dunia kemiliteran. Bukannya tanpa alasan bahwa seorang pemimpin parlemen membanggakan Iran yang mempunyai catatan feminis terbaik di Timur Tengah. Dia karena itu memperlihatkan jumlah perempuan yang terlibat dalam pendidikan tinggi. Sesuai dengan semangat ini, salah seorang cucu perempuan Khomeini kuliah di sebuah fakultas hukum kemudian menetap di London bersama suaminya, seorang ahli bedah jantung yang tengah mendalami pelatihannya. Cucu perempuannya yang lain menyelenggarakan acara olahraga wanita.
Dulu jilbab melambangkan seksualitas perempuan yang tidak terkendali (dan karenanya merusak). Tetapi kini, para militan justru melihatnya sebagai tanda bahwa seorang wanita punya kompetensi. Turabi lantas memaklumkan, "Saya ada demi kesetaraan antara kedua jenis kelamin." Kemudian dia melanjutkan menjelaskan bahwa: "Seorang wanita tidak berkerudung tidak sama dengan pria. Dia tidak dilihat sama seperti ketika orang memandang pria. Dia dipandang untuk dilihat apakah cantik, jika memang pantas diinginkan. Tetapi ketika berjilbab, dia dianggap manusia. Bukan objek kesenangan. Bukan gambar erotis. "
Anehnya, beberapa kalangan penganut Islam radikal tidak melihat cadar merepresentasikan karier dan kesetaraan gender. Tetapi sesuatu yang sangat berbeda: seksualitas positif. Shabbir Akhtar, seorang penulis Inggris, melihat cadar berperan "untuk menciptakan budaya yang benar-benar erotis di mana orang menyalurkan kebutuhannya akan kesenangan buatan yang diberikan oleh pornografi." Namun, cukup perlu ditekankan bahwa umat Islam tradisional tidak melihat jilbab sebagai pengganti pornografi.
III. Mengubah Islam menjadi Ideologi
Islam tradisional menekankan relasi manusia dengan Allah, namun meremehkan hubungannya dengan negara. Hukum sangat luas terbayang. Politik, kecil. Selama berabad-abad, kaum Muslim saleh menghindari pemerintah. Artinya, pemerintah nyaris tidak ada apa-apanya bagi mereka selain masalah (terkait pajak, wajib militer, kerja sukarela). Pada pihak lain, mereka berusaha sungguh-sungguh untuk hidup berdasarkan Hukum Shariah.
Namun, para penganut Islam radikal menjadikan politik sebagai jantung utama program mereka. Islam mereka lihat sekurang-kurangnya sebagai sebuah struktur tempat orang mencari nafkah sehingga lebih sebagai ideologi bagi pengelolaan seluruh masyarakat. Dengan memaklumkan "Islam sebagai solusi," mereka sepakat dengan Khamene'i dari Iran bahwa Islam "punya banyak sekali instruksi untuk memerintah negara, menjalankan ekonomi, membangun hubungan sosial dan hubungan antarmanusia, termasuk perintah-perintah untuk mengelola keluarga." Bagi para penganut Islam radikal, Islam merepresentasikan jalan menuju kekuasaan. Seperti diamati seorang pejabat tertinggi Mesir, bagi mereka "Islam bukanlah ajaran atau ibadah, tetapi sebuah sistem pemerintahan." Olivier Roy melihat bahwa inspirasi itu jauh lebih bernuansa duniawi daripada spiritual: "Bagi banyak dari mereka, kembali kepada agama diwujudkan melalui pengalaman mereka dalam politik. Dan, bukan sebagai hasil dari kepercayaan mereka atas agama."
Menariknya, kaum militan tidak membandingkan Islam dengan agama lain. Tetapi dengan ideologi lain. "Kami bukan sosialis. Kami bukan kapitalis. Kami Islami," urai Anwar Ibrahim dari Malaysia. Ikhwanul Muslimin Mesir menegaskan bahwa mereka bukan sosialis atau kapitalis, tetapi "Muslim." Perbandingan ini mungkin kelihatan berlebihan. Tetapi tidak juga. Sosialisme dan kapitalisme itu universal, Islam militan terbatas. Namun, kaum militan meneruskan ideologi mereka kepada non-Muslim juga. Dan, ada satu contoh yang mengejutkan terkait dengan persoalan ini. Pada Januari 1989, Khomeini pernah mengirimkan surat kepada Mikhail Gorbachev (baca: Presiden Uni Soviet masa itu) mengungkapkan soal universalitas Islam. Memperhatikan runtuhnya ideologi Komunis, ia meminta Presiden Soviet itu supaya tidak berbelok kepada barat sebagai penggantinya tetapi kepada Islam.
Saya sangat mendesak supaya ketika meruntuhkan tembok fantasi Marxis Anda tidak terjebak dalam penjara Barat dan Setan Besar (baca: Amerika). ... Saya meminta Anda untuk serius belajar dan melakukan penelitian tentang Islam. ... Secara terbuka saya mengumumkan bahwa Republik Islam Iran, sebagai basis terbesar dan paling kuat di dunia Islam, dapat dengan mudah membantu mengisi kekosongan ideologis sistem Anda.
Sebagaimana ditafsirkan seorang pejabat terkemuka Iran, surat ini "dimaksudkan untuk mengakhiri ... pandangan bahwa kami hanya berbicara tentang dunia Islam. Kami sedang berbicara untuk dunia. "Bahkan mungkin itu kasusnya sekalipun, Khomeini hanya mengisyaratkan, bahwa Islam baginya sudah begitu terpisah dari agama sehingga ia meramalkan seorang non-Muslim seperti Gorbachev pun bisa mengadopsi cara-cara Islam tanpa perlu menjadi Muslim.
IV. Meneliti Hukum Suci secara mendetil
Penganut Islam radikal mengubah hukum suci Islam menjadi hukum bergaya Barat, meski mereka menghormatinya. Akibatnya, tiga karakteristik kuno Hukum Syariah pun menghilang. Kharakter hukum Islam yang dijabarkan oleh para cendekiawan independen hilang. Kharakter hukum Islam yang lebih didahulukan daripada kepentingan negara hilang. Demikian juga dengan hukum suci diterapkan untuk orang, bukan wilayah .
Berabad-abad lamanya, para ahli fikih menulis dan menafsirkan hukum Islam sendiri. Sedikit sekali kontrol dari pemerintah. Sejak awal, mereka menetapkan bahwa mereka bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada pangeran. Joseph Schacht, seorang cendekiawan terkemuka bidang ini, menjelaskan: "Khalifah, meskipun sebaliknya adalah pimpinan absolut komunitas Muslim, tidak berhak membuat undang-undang tetapi hanya membuat peraturan administratif dengan batas-batas yang ditetapkan Hukum Suci." Para penguasa memang berusaha mendikte syarat-syarat kepada para ahli hukum tetapi gagal. Pada tahun 833-849 M, empat khalifah berturut-turut memaksakan pemahaman mereka tentang hakikat Alquran (bahwa Al-Qur'an itu diciptakan oleh Allah. Pemikiran itu berlawanan dengan pendapat ulama, yang mengatakan Al-Qur'an itu selalu ada). Meski berupaya keras (termasuk mencambuk para tokoh otoritas agama yang sangat terkemuka), upaya para khalifah tetap gagal. Bersamaan dengan itu, gagal pula keinginan para politisi untuk merumuskan isi Islam.
Para ahli hukum tetap memegang kendali penuh atas hukum Islam hingga abad ke-19, ketika penguasa Inggris, Prancis, dan Eropa lainnya mengkodifikasi Hukum Syariat sebagai struktur hukum negara bergaya Eropa. Negara-negara Muslim yang merdeka, seperti Kekaisaran Utsmaniyah, mengikuti arahan Eropa sehingga ikut mengkodifikasi Hukum Syariah. Seiring dengan kemerdekaannya, semua penguasa Muslim mempertahankan kebiasaan Eropa untuk menjaga hukum di bawah kendali negara. Setelah era 1960-an, hanya di Arab Saudi yang tetap otonom.
Sejak 1969, Mu'ammar al-Qadafi dari Libya memulai gelombang baru memperluas isi hukum negara berbau Shar'iah. Misalnya, dalam undang-undang pidana. Sebagai penguasa, dia melakukannya dengan menggunakan aparat negara yang memaksa para ahli hukum untuk melaksanakan perintahnya. Para penganut Islam radikal di banyak negara kemudian meniru Qadafi, memberikan otoritas negara atas syari'ah bahkan ketika undang-undang itu memperluas ruang lingkupnya. Mereka tidak berusaha untuk kembali kepada hukum ahli hukum masa lalu, tetapi melanjutkan praktik yang dimulai oleh kekuatan-kekuatan Eropa.
Para penganut Islam radikal kadangkala menggunakan kesempatan untuk memprotes dominasi hukum negara ini. Dan, mereka melakukannya dengan penuh tekad. Turabi mengatakan bahwa "pemerintahan Islam tidak lengkap karena Islamlah adalah cara hidup lengkap. Dan jika kalian mereduksikannya kepada pemerintah, maka pemerintah akan mahakuasa. Dan itu bukan Islam." Kekuatan Turabi yang luar biasa di Sudan membuatnya sulit menerima kritik ini dengan serius. Para penganut Islam radikal menerima cara Barat karena, pertama, mereka tahu bahwa sistem kekaisaran jauh lebih baik daripada sistem pemerintahan tradisional Muslim dan dengan demikian melanggengkan kebiasaannya. Kedua, kembali kepada cara tradisional Muslim, Ann Mayer dari Wharton School menunjukkan, "mensyaratkan bahwa pemerintah melepaskan kekuatan yang mereka peroleh lebih dari sistem hukum ketika hukum kodifikasi gaya Eropa pada awalnya diadopsi."
Pengambilalihan hukum oleh negara tanpa kecuali menimbulkan persoalan. Dalam pengaturan tradisional, para ahli hukum dengan penuh cemburu mempertahankan sikap mandiri mereka kala menafsirkan hukum. Mereka bersikeras soal perintah Tuhan yang menuntut prioritas mutlak lebih dari perintah-perintah penguasa. Mereka bersikeras bahwa persoalan seperti sholat, puasa Ramadhan atau ziarah ke Mekah, tidak boleh pernah tunduk mengikuti pola tingkah laku para penguasa lalim. Mereka punya cara sendiri. Soalnya, hampir tidak ada raja atau presiden pun yang punya nyali untuk mengganggu perintah-perintah Tuhan. Bahkan sekularis Turki yang bersemangat seperti Kemal Atatürk Turki sekalipun pun,
Tapi Ayatollah Khomeini melakukannya. Pada Januari 1988, ia mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan asumsi Islam kuno ini. Dalam sebuah dokumen yang mengagumkan namun yang sedikit sekali diperhatikan, sang ayatollah menegaskan bahwa "pemerintah diberi wewenang secara sepihak ... untuk mencegah masalah apa pun, baik spiritual atau material, yang menimbulkan ancaman bagi kepentingannya." Ini berarti bahwa "bagi Islam, persyaratan pemerintah bisa menggantikan setiap ajaran, termasuk doa, puasa, dan ziarah ke Mekah sekalipun." Upaya untuk menempatkan kegiatan-kegiatan itu lebih rendah sama dengan raison d'état berdampak. Ia mengurangi Hukum Syariah sehingga tidak bisa dikenali lagi.
Khomeini adalah seorang cendekiawan berpendidikan klasik. Ia punya otoritas atas hukum Islam dan tokoh agama terkemuka. Fatwa itu ia benarkan. Alasannya, kepentingan Republik Islam identik dengan kepentingan Islam itu sendiri. Tetapi pendapat ini nyaris tidak bisa menjelaskan langkah radikal yang belum pernah ada sebelumnya. Alasan sebenarnya terletak pada fakta bahwa, seperti banyak penguasa abad ke-20 yang tak terhitung jumlahnya, ia berjuang hendak mengendalikan kehidupan spiritual negaranya. Khomeini mungkin terlihat sebagai orang abad pertengahan, tetapi dia adalah laki-laki zamannya, yang sangat terpengaruh oleh gagasan totaliter yang berasal dari Barat.
Dalam Islam tradisional (seperti dalam Yudaisme), hukum berlaku untuk individu, bukan (seperti di Barat) berlaku atas wilayah. Tidak ada masalah apakah seorang Muslim tinggal di sini atau di sana, di tanah air atau di diaspora; dia harus mengikuti Hukum Shariah. Sebaliknya, seorang non-Muslim yang tinggal di negara Muslim tidak perlu mengikuti petunjuk-petunjuknya. Sebagai contoh, seorang Muslim tidak boleh minum wiski apakah dia tinggal di Teheran atau Los Angeles. Namun non-Muslim dapat minum di kedua tempat tersebut. Pemikiran ini mengarah kepada situasi rumit ketika satu perangkat aturan berlaku untuk pencuri Muslim yang merampok seorang Muslim, yang lain lagi atas orang Kristen yang merampok orang Kristen, dan sebagainya. Jadi kuncinya adalah siapa Anda, bukan di mana Anda berada.
Sebaliknya, pengertian hukum Eropa didasarkan pada yurisdiksi. Kalau melakukan kejahatan di kota atau negara ini kau dijatuhkan satu hukuman. Di kota berikutnya, beda lagi. Bahkan jalan tol pun punya aturan sendiri. Yang penting adalah di mana Anda berada, bukan siapa Anda.
Karena tidak memahami semangat yang melatarbelakangi Hukum Syariah, para penganut Islam radikal berupaya memaksakan Hukum Shariah berdasarkan kawasan, bukan pribadi. Turabi menyatakan bahwa Islam "menerima wilayah sebagai dasar yurisdiksi." Akibatnya, perbedaan nasional pun muncul. Sebagai contoh Pemerintah Libya bisa saja mencambuk semua pezina. Pakistan mencambuk pezinah yang belum menikah tetapi merajam pelakunya yang sudah menikah. Sudan menjebloskan beberapa orang ke penjara dan menggantung yang lainnya. Iran bahkan punya lebih banyak hukuman lagi, termasuk mencukur kepala dan membuang pelakunya selama satu tahun. Di tangan para penganut Islam radikal, Hukum Shariah hanya menjadi varian dari hukum teritorial Barat.
Pemahaman baru ini sangat dramatis mempengaruhi non-Muslim. Soalnya, masa pemisahan dari Hukum Shariah yang selama ribuan tahun mereka nikmati, berakhir. Praktis, kini mereka harus hidup sebagai Muslim. 'Umar' Abdul Rahman, syekh buta Mesir yang dijebloskan dalam penjara Amerika, bersikeras soal ini: "Sangat dipahami bahwa tidak ada minoritas di negara mana pun yang punya undang-undang sendiri." 'Abdul Aziz ibnu Baz, pemimpin agama Saudi, meminta kaum non-Muslim untuk berpuasa selama Ramadhan. Di Iran, perempuan asing tidak boleh memakai cat kuku. Alasannya, pemolesan cat kuku membuat mereka menjadi najis untuk sholat. Ketika memasuki negara itu, pengunjung wanita diberi kain lap yang direndam bensin untuk membersihkan kuku mereka yang dipernis. Sebuah partai Islam di Malaysia ingin mengatur berapa banyak waktu yang dihabiskan oleh pria dan wanita Cina yang tinggal serumah bersama-sama.
Penafsiran baru hukum Islam ini menciptakan masalah besar. Bukannya meninggalkan non-Muslim sendirian, seperti halnya Islam tradisional, Islamisme malah dipaksakan memasuki kehidupan pribadi mereka sehingga menimbulkan kebencian yang sangat besar yang kadangkala mengarah pada kekerasan. Umat Kristen Palestina pemelihara babi misalnya menemukan binatang peliharaan mereka diracun secara misterius. Satu jutaan atau dua jutaan umat Kristen yang berdiam di Sudan Utara, yang mayoritas penduduknya Muslim, harus mematuhi hampir semua peraturan Hukum Shariah. Di Sudan Selatan, hukum Islam berlaku di mana pun pemerintah pusat berkuasa, meski ketentuan "tertentu" Shariah tidak diterapkan di sana. Jika pemerintah menaklukkan seluruh kawasan Sudan Selatan, maka semua ketentuan mungkin akan berlaku. Ini menjadi harapan yang banyak membantu tetap hidupnya perang saudara empat puluh tahun. (Catatan: ketika naskah ini diterjemahkan, Sudan Selatan sudah merdeka; tepatnya sejak 9 Juli 2011).
Kesimpulan: Islamisme bukanlah sesuatu yang abadi
Para penganut Islam radikal sendiri adalah orang-orang yang sudah menjadi orang Barat (Westenizers). Meski menolak, mereka sebetulnya menerima Barat. Bagaimanapun reaksionernya niat mereka, Islamisme tidak sekedar mengimpor modernitas tetapi juga pemikiran serta institusi Barat. Ringkasnya, impian mereka untuk menghilangkan cara-cara Barat dari kehidupan kaum Muslim tidak berhasil.
Pencangkokan budaya yang dihasilkan justru lebih kuat daripada yang terlihat. Para penentang Islam militan sering menolaknya karena dianggap sebagai upaya mundur untuk menghindari kehidupan modern kemudian menghibur diri dengan ramalan bahwa Islamisme ditakdirkan akan ditinggalkan begitu modernisasi terjadi. Tetapi dambaan ini tampaknya salah; karena ia langsung mempesona umat Islam yang berjuang menghadapi tantangan-tantangan modernitas, sehingga potensi Islamisme bertumbuh sebagaimana juga jumlahnya. Tren masa kini menunjukkan bahwa ia akan tetap menjadi kekuatan untuk beberapa waktu mendatang.
Tambahan 1 Desember 1995: Bidang lain yang para penganut Islam radikal perlihatkan diri lebih sperti masyarakat Barat tradisional ketimbang kaum Muslim tradisional adalah: ketakutan mereka terhadap perilaku homoseksual.
Pemutakhiran 29 Juni 2010: Guna mempertahankan prinsip bahwa semua hukum itu adalah hukum territorial, sebuah pengadilan dari Rezim Mubarak di Mesir memutuskan bahwa umat Koptik boleh cerai dan menikah lagi. Keputusan hukum itu menjungkirbalikkan larangan gereja yang sudah lama usianya.
Pemutakhiran 27 Februari: Ketika menaklukan kota Raqqa di Suriah utara, Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), sebuah kelompok terror mirip Al-Qaeda mengubah libur akhir pekan dari Hari Jumad dan Sabtu menjadi Hari Kamis dan Jumad.
Topik Terkait: Sejarah, Islam Radikal
Artikel Terkait:
- Islam vs. Islamism (article)
- [The Modern Islamist:] Shakespeare with Shari'a
- Egyptian Family Life in 1919
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list