Pelahan, sebuah fakta penting terungkap dari berbagai catatan lengkap yang mengejutkan tentang perbudakan. Bahwa ada banyak kaum Muslim di antara orang Afrika yang dibawa ke Amerika dalam perbudakan. Bahwa, sebagai kaum tawanan paling terdidik dan paling mampu bertahan, kaum Muslim memberikan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan budak di Amerika. Kajian terobosan oleh Allan D. Austin dan João José Reis menunjukkan bahwa ada banyak informasi siap digali bagi mereka yang mau mempelajari topik ini. Sylviane Diouf, Ph.D. dari Universitas Paris yang sekarang tinggal di New York membasiskan kajiannya pada studi ini dan studi lainnya, kemudian melakukan banyak penelitian sendiri. Dan hasilnya adalah kisah menarik dari tiga topik utama: latar belakang perbudakan di Afrika, "kesulitan dan kadangkala berbagai langkah menakjubkan "umat Islam untuk mempertahankan iman dan tradisi mereka, dan akhirnya warisan dari episode yang hampir terlupakan ini.
- Latar belakang Afrika
Menyenangkan menyadari bahwa tahun depan, tahun 2001, menandai lima abad praktik Islam yang "hampir tidak pernah terganggu" oleh orang-orang asal Afrika di Belahan Barat. Ketika Spanyol membawa orang Afrika pertama ke Dunia Baru pada tahun 1501, mereka berusaha memastikan bahwa ini bukan kaum Muslim tetapi kaum ladino. Artinya, para tawanan yang menghabiskan beberapa waktu di Spanyol tempat mereka dipaksa pindah masuk Kristen. Seperti dijelaskan dalam perintah Kerajaan Spanyol tahun 1543, "di tanah baru seperti ini, tempat iman [Katolik] baru saja ditaburkan, perlu untuk tidak menyebarluaskan di sana sekte Mahomet atau yang lainnya."
Orang Spanyol memang sangat takut jika orang Indian asli berpindah agama. Ada banyak alasan lain untuk itu. Di antaranya, kenyataan bahwa jika orang Afrika yang sudah tahu tentang kuda itu, berhasil mengajak orang Indian pindah agama kemudian mengajari mereka ketrampilan berkuda, maka banyak keuntungan militer orang Spanyol akan hilang. Bahwa pihak berwenang Spanyol kemudian mengeluarkan lima undang-undang untuk mencegah kaum Muslim memasuki Dunia Baru itu dalam lima puluh tahun pertama penjajahan menunjukkan bahwa upaya ini tidak sepenuhnya berhasil. Bahwa orang Eropa yang berada di kawasan Amerika Utara yang kurang peduli dengan Islam, bahkan tidak berusaha mempertahankan larangan ini berarti bahwa Islam menjadi monoteisme kedua (setelah Katolik dan sebelumnya Protestan) di Amerika.
2. Mempertahankan iman
Inti Buku Servants of Allah, terdiri dari rekonstruksi terperinci seputar upaya para budak Muslim di Amerika Serikat untuk mempertahankan, sebanyak mungkin, cara hidup Islam. Mereka enggan beralih menjadi Kristen. Atau pura-pura berpindah agama. Mereka menegakkan sholat, bersedekah dan berpuasa, mempertahankan nama Muslim, membatasi diri dalam makan dan pantangan seksual. Mereka tetap berjanggut, berturban, bahkan berjilbab. Dan mereka tetap memisahkan diri dari kaum non-Muslim. Secara keseluruhan, penulis menemukan, pengalaman perbudakan, "jauh dari menghilangnya semangat keagamaan orang Afrika, ... tetapi justru membuatnya semakin mendalam."
Diouf menemukan bahwa dalam kelompok budak Muslim itu ada juga sejumlah elit intelektual yang memang tidak banyak jumlahnya di Afrika Barat. Mereka ini lebih siap mempertahankan iman mereka daripada rata-rata para petani. Menjadi Muslim membantu mereka berhasil baik dalam lingkungan perbudakan Amerika yang sulit dan sangat mengerikan: "Ada banyak bukti bahwa umat Islam aktif menggunakan latar belakang budaya dan sosial mereka serta pembentukan yang mereka terima di Afrika sebagai alat untuk memperbaiki kondisi mereka di kawasan-kawasan Amerika. "
Tanda-tanda keberhasilan ini mudah dilihat, meskipun sedikit kontradiktif. Pada satu pihak, umat Islam naik ke puncak hierarki perbudakan (setidaknya dalam satu kasus, ada budak membuat catatan tentang perkebunan majikannya dalam bahasa Arab) lebih sering dibebaskan dan lebih sering pula kembali ke Afrika. Di sisi lain, umat Islam berperan besar membangun komunitas kaum kulit berwarna merah tua (maroon) dan memimpin pemberontakan para budak. Kadang-kadang mereka mendominasi perencanaan dan kepemimpinannya (terutama pemberontakan besar Bahia tahun 1835 di Brasilia). "Islam menjadi kekuatan yang sangat baik untuk mengorganisasikan massa," catat Diouf. Selain solidaritas komunal yang dianutnya dalam umat Islam, pengetahuan bahasa Arab mereka kadangkala menjadi bahasa umum sekaligus rahasia bagi mereka yang merencanakan pemberontakan.
Beberapa keunggulan ini lahir dari kesadaran akan kebersamaan dan solidaritas mereka yang melintasi batas-batas bahasa kepada sesama Muslim dalam perbudakan. Dan ini juga bisa dilacak hingga Afrika. Beberapa keunggulan lahir dari perlawanan mereka untuk mendominasi lebih daripada yang dibutuhkan tuan Kristen mereka. Banyak pula yang lahir dari pendidikan mereka. Pada poin terakhir ini, Diouf berpendapat bahwa "melek huruf menjadi salah satu tanda paling menonjol dari umat Islam." Dia bahkan mengklaim, yang agaknya tidak masuk akal, bahwa tingkat melek huruf di kalangan budak Muslim "dalam semua kemungkinannya" lebih tinggi daripada di antara para tuan mereka. Jaringan Islam membawa buku-buku berbahasa Arab yang diproduksi di Afrika ke Brasil. Pelajaran tentang Alquran menjangkau jauh hingga pos terjauh seperti Lima, Peru.
3. Warisan Perbudakan Islam
Warisan para budak Muslim agaknya memang kontroversial. Kaum Muslim Afrika-Amerika di Amerika Serikat kini biasa menyebut diri mereka bukan mualaf (converts) tetapi orang yang kembali kepada agamanya (reverts). Klaim itu menyinggung fakta bahwa Islam mengklaim diri sebagai agama alami yang sebenarnya dari setiap orang saat mereka lahir sehingga ketika mereka beralih kepada agama itu kemudian hari maka itu diartikan sebagai kembali. Juga menyinggung fakta bahwa beberapa budak Afrika adalah Muslim, sehingga mereka melihat diri mereka kembali ke iman yang sebenarnya, bukan berpindah kepada agama baru. Dalam pandangan ini, kekristenan yang dipaksakan atas para budak di Amerika, bukan agama yang benar-benar mereka terima. Menurut Eric Lincoln, seorang pakar dalam kajian ini, "Kenangan atas Islam, bagaimanapun lemahnya, tidak pernah sepenuhnya hilang." Beberapa analis secara eksplisit mengaitkan keberhasilan Islam di kalangan kaum kulit hitam abad kedua puluh mereka "hanya dapat dijelaskan dengan akar Islam dari banyak orang Amerika kulit hitam." Beberapa analis lain melangkah lebih jauh dan berpendapat bahwa "agama Islam adalah bagian dari memori genetik orang Afrika-Amerika."
Diouf benar-benar menolak gagasan romantis ini. Sebagai gantinya, dia tegas menyatakan bahwa "Islam yang dibawa para budak Afrika tidak mampu bertahan hidup." Lebih tepatnya: "di Amerika dan Karibia, saat ini tidak ada satu komunitas pun yang menjalankan Islam sebagaimana diwariskan oleh generasi Afrika sebelumnya." Upaya untuk mewariskan agama itu terputus pertama-tama karena budak Muslim tidak mampu meneruskan agama mereka kepada anak-anak mereka. Dan itu terjadi karena perbedaan gender antarpara budak (jauh lebih sedikit perempuan budak yang diimpor), kehidupan keluarga yang terganggu, tidak adanya sekolah yang layak dan tekanan untuk beralih masuk Kristen. Islam begitu terpencil sehingga beberapa cucu Muslim yang diperbudak bahkan tidak tahu bahwa kakek nenek mereka itu Muslim. Mereka hanya mengingat kakek-nenek mereka sebagai para penyembah matahari dan bulan (karena mereka ngawur menginterpretasi sholat subuh dan maghrib yang dilakukan kakek-nenek mereka). Akibatnya, kaum Muslim terakhir yang berlatar belakang budak meninggal pada 1920-an, meskipun mereka yang semi-Muslim terakhir (yang secara terbuka menerima agama Kristen) masih bisa hidup di Brasilia hingga akhir tahun 1959.
Jika Islam budak sebagai agama mati sepenuhnya, ia tetap meninggalkan bekas. Beberapa bekas itu sangat tak terduga. Diouf membuat katalog pengaruh Islam yang "ditemukan dalam agama, tradisi dan kreasi artistik tertentu" di antara kalangan keturunan Afrika di kawasan Amerika. Sisa-sisa itu terutama dapat dilihat dalam agama-agama hitam Amerika yang sinkretis seperti Candomble di Brasilia, Santeria di Kuba, Voodoo di Haiti dan kultus-kultus lainnya. Di kuil-kuil Voodoo, misalnya, ketika seorang dewa muncul, pastor Voodoo menyambutnya dengan Salam, Salam, lalu berlutut sambil mengangkat lengannya, sama seperti yang dilakukan kaum Muslim ketika sholat. Bahkan beberapa ritus Kristen, misalnya di antara para "Shouters" (baca: sebuah sekte Kristen), jemaat Kristen Baptis Trinidadian mempraktekan ingatan terhadap Islam (karena mereka bergerak dalam lingkaran, mungkin menggemakan kembali upacara berjalan keliling Ka'bah di Mekah). Selain itu, jimat gaya Afrika tersebar luas.
Potret Charles Peale bekas budak tua bernama Mamout Yarrow pada tahun 1819 yang indah mengagumkan.. |
Warisan lain yang lebih halus juga ada. Diouf mencatat tradisi yang berkembang di kalangan kaum kulit putih, yang sepenuhnya dapat dilacak sejak dua abad silam. Yaitu tradisi mencari orang Muslim berpendidikan di tengah-tengah mereka yang bukan orang Afrika melainkan "orang Moor" atau "orang Arab" atau bahkan "orang Turki." (karena bagaimanapun, bersikeras bahwa orang Afrika yang berpendidikan bukan orang Afrika menyebabkan ideologi rasis yang menopang perbudakan tetap bisa bertahan.) Tradisi aneh ini hidup pada abad ke-20 sehingga mampu menjelaskan kecenderungan para mualaf berkulit hitam baru yang membingungkan yang menyangkal warisan Afrika mereka. Yang pertama dari gerakan-gerakan ini didirikan pada 1913. Mereka menyebut diri Kuil Ilmu Pengetahuan Bangsa Moor Amerika (Moorish Science Temple of America). Gerakan ini jelas mengklaim bahwa orang kulit hitam sebenarnya adalah "Bangsa Moor," "Bangsa Moor Amerika," atau "orang Asia." Tradisi ini berlanjut dalam Nation of Islam (NoI), dengan pemimpinnya Elia Muhammad yang berulang kali mengatakan kepada para pengikutnya, "Kamu adalah anggota Bangsa Asia dari Suku Shabazz. Tidak ada yang namanya ras orang Negro." Anggota NoI punya sejarah mengambil ide ini secara sangat harfiah. Ketika mengisi kuesioner dari dewan pembinanya pada 1953, Malcolm X mengisi bagian yang kosong untuk pertanyaan, "Saya warga negara ____" dengan kata "Asia." Bangsa Lima Persen (The Five Percent Nation), sebuah tunas dari Nation of Islam menyebut keanggotaannya sebagai "Orang Hitam Asia."
Jejak Islam dapat ditemukan dalam beberapa jenis musik, seperti kata-kata Arab yang ditemukan dalam lagu-lagu di kawasan yang jauh di pedalaman Georgia dan Peru, di Kuba dan Trinidad. Yang lebih tak terduga adalah tesis yang tampaknya wajar, adalah "keluhan sepi yang tinggi" yang menjadi ciri khas musik blues lahir dari suara budak yang tidak bahagia (tetapi berpendidikan) yang melafalkan Al-Qur'an. Salah satu ahli musik, John Storm Roberts, menemukan bahwa "not-not musik blues yang panjang, padu dan menukik" itu "mirip dengan gaya banyak musik Afrika Barat yang dipengaruhi oleh Islam." Dalam beberapa kasus, seluruh lagu (seperti "Tangle Eyes") tampaknya bersumber dari Muslim Afrika.
Diouf berspekulasi bahwa nama keluarga "Bailey" mungkin dalam banyak kasus berasal dari "Bilali," sebuah nama umum bagi kaum Muslim berkulit gelap. Dikatakannya bahwa beberapa orang Afrika-Amerika terkemuka pada era pasca-Emansipasi (Frederick Douglass, Harriet Tubman) punya leluhur Muslim. Dia karena itu melacak kebiasaan umum laki-laki kulit hitam Amerika yang mengenakan sapu tangan, kain, dan bandana pada kepala mereka kepada leluhur budak Muslim mereka yang selalu mengenakan sorban atau kopiah.
Diouf melangkah agak jauh dalam pujian lirisnya tentang Islam selama masa perbudakan. Kadang-kadang dia mengidealisasikannya secara tidak tepat, bahkan bertentangan dengan zamannya. Karena itu, ia mengatakan bahwa Islam itu "demokratis dan progresif dalam masyarakat yang lalim, represif, tiranik dan rasis." Ini mungkin terkait dengan kurangnya sumber bacaan sehingga dia karena itu harus sangat bergantung hanya pada empat narasi perbudakan tertulis, yang semuanya mungkin menceritakan pengalaman para penulis mereka yang sangat tidak biasa. Terlepas dari distorsi ringan ini, kisah Diouf tentang kehidupan kaum Muslim dalam situasi yang paling mengerikan menjadi kisah yang benar-benar mengharukan dan kadangkala mengilhami: "Mungkin saja Muslim Afrika di Amerika, memang adalah budak dari tuan-tuan Kristen, tetapi pikiran mereka itu bebas. Mereka adalah para hamba Allah. "
Pemutakhiran 1 Juli 2016: Aramco World menerbitkan sebuah artikel karya Ramin Vellotti tentang budak Afrika Muslim paling kenamaan di Amerika Serikat, "Yarrow Mamout: Freedman." Ia memberikan perhatian khusus tentang tempat tinggalnya di Dent Place N.W, No. 3324 di Washington, D.C.
Topik Terkait: Muslim Afrika- Amerika, Sejarah, Kaum Muslim di Amerika Serikat, Perbudakan
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list