Perwakilan dari berbagai lembaga Zionis jelas-jelas tidak mampu menyembunyikan rasa benci mereka yang mendalam terhadap dunia Arab karena tidak bisa lagi melakukan eksploitasi yang tidak bertanggung jawab atas sumberdaya alamnya. Semua sumberdaya alam telah lama dikungkung dan dijarah komplotan rahasia bangsanya sendiri yang mengendalikan dan memanipulasi serta mengeksploitasi seluruh manusia lain dengan mengendalikan uang dan kekayaan dunia...Orang-orang seperti Lord Rothschild setiap hari secara sangat rahasia, memutuskan melihat-lihat ke seluruh antero dunia seberapa tinggi harga emas seharusnya pada setiap hari-hari tertentu. Dan, ada Tuan Oppenheimer dari Afrika Selatan, yang memperbudak 15 juta warga kulit hitam untuk mengeksploitasi dan memonopoli berlian, uranium dan sumberdaya berharga lain yang menjadi hak perjuangan rakyat Afrika di Afrika Selatan dan Namibia. Faktanya sangat terkenal bahwa kaum Zionis adalah orang-orang terkaya dunia yang mengendalikan sebagian besar takdirnya.
Terlepas dari rujukannya terhadap "entitas Zionis" dan "rakyat Afrika yang berjuang di Afrika Selatan dan Namibia." Juga terlepas dari soal bahwa kata-kata ini mungkin telah terdengar dalam rapat umum Nazi pada 1930-an. Namun kata-kata itu diucapkan pada Desember 1980. Bukan oleh anggota sayap Kanan radikal. Tetapi oleh Hazim an-Nusayba, delegasi Yordania untuk PBB. Lebih jauh lagi, pernyataan ini jauh dari unik meskipun sangat mencolok dan provokatif. Pembicaraan serupa tentang konspirasi Yahudi di seluruh dunia secara teratur terdengar dari para pemimpin banyak negara Muslim di Timur Tengah. Mereka menyerang Bangsa Yahudi. Bahkan tanpa berpura-pura lagi, mereka membedakan diri mereka dari Bangsa Israel.
Pernyataan ini membingungkan. Karena, sampai saat ini, dalam kamus mereka, kaum Muslim tidak berhubungan dengan Kristen anti-Semitisme. Orang Yahudi sudah hidup berbaur di antara kaum Muslim semenjak hari-hari Nabi Muhammad tanpa pernah menjadi sumber sasaran serangan yang tidak masuk akal seperti Duta Besar Yordania. Namun jika gagasan tentang konspirasi Yahudi memang asing bagi Islam, maka konspirasi kini paling sering terdengar datang dari kalangan Muslim. Bagaimana ini bisa terjadi? Apa signifikansinya?
Latar Belakang
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, ada dua poin kebahasaan perlu diklarifikasi. Pertama, anti-Semitisme pada prinsipnya harus ditujukan kepada semua orang yang berbicara bahasa Semit. Tidak hanya Bangsa Yahudi, tetapi juga Bangsa Arab, Ethiopia, dan lainnya. Faktanya, anti-Semitisme ini merujuk pada orang Yahudi saja -- sebagaimana dibuktikan oleh kolaborasi antara Nazi dan pemimpin Arab selama Perang Dunia II. Bangsa Arab kadangkala memprotes bahwa mereka sendiri Bangsa Semit. Mereka tidak mampu bersikap anti-Semitisme, tetapi ini adalah kejahatan semantik. Apapun sumber etimologisnya, istilah anti-Semitisme hanya mengacu pada sentimen anti-Yahudi. Bangsa Arab mampu melakukan ini sama seperti siapa pun yang berbicara bahasa Indo-Eropa.
Kedua, harus dibedakan antara anti-Semitisme biasa dan ketakutan yang tidak wajar terhadap Bangsa Yahudi. Anti-Semitisme itu sikap yang tidak menyukai Bangsa Yahudi yang kemudian menghubungkannya dengan berbagai sifat yang tidak menyenangkan. Sikap tidak suka terhadap Bangsa Yahudi itu cocok dengan pola bias ras, etnis dan agama yang biasa. Dan meski tidak menyenangkan atau tidak berbahaya, secara substansial ia tidak berbeda dari prasangka terhadap minoritas lainnya. Kategori kedua anti-Semitisme sangat berbeda. Jauh melampaui permusuhan etnis atau agama biasa sehingga mengklaim bahwa Bangsa Yahudi benar-benar mengancam dunia. Sebelum abad ke-18, ancaman ini dipahami dalam istilah teologis: orang Yahudi dipandang sebagai musuh Agama Kristen. Sejak saat itu, penekanannya menjadi sekuler, sehingga anti-Semitisme modern pun mempunyai motif utamanya. Yaitu gagasan bahwa Bangsa Yahudi harus ditakuti karena mereka bercita-cita, melalui konspirasi ekonomi dan politik, untuk menguasai dunia. Bahwa kaum Muslim tidak paham dengan anti-Semitisme tingkat kedua ini hingga saat ini tidaklah mengherankan. Soalnya, ini gagasan khas Kristen yang lahir dari hubungan kunonya dengan Yahudi, yang bisa dilacak sampai kepada masa awal kelahiran agama Kristen.
Perasaan umat Kristen terhadap Bangsa Yahudi campur aduk. Setidaknya sebagian perasaan itu berasal dari ikatan yang tidak jelas antara mereka: Yesus salah satunya, tetapi menolak banyak hal dari praktik mereka. Umat Kristen menerima kitab suci Ibrani tetapi membacanya dengan cara berbeda. Orang Yahudi tidak menerima Yesus sebagai mesias dan dipersalahkan atas penyalibannya. Beberapa orang Kristen yakin bahwa Kedatangan Kedua Yesus tidak akan terjadi sampai semua Bangsa Yahudi beralih menjadi Kristen. Karena alasan ini dan alasan lainnya, Bangsa Yahudi tidak bisa tidak memperoleh tempat sentral dalam kesadaran Kristen. Mereka tidak akan pernah bisa dilupakan. Orang Kristen yang tidak percaya pun tetap menyadari peran khusus Bangsa Yahudi dalam peradaban mereka. Dengan cara yang sama, orang Kristen tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap Negara Israel. Apakah mereka mendukungnya atau tidak, Israel tidak bisa lagi sekedar menjadi negara lain bagi orang Kristen yang bisa menjadi demikian bagi Bangsa Yahudi. Hubungannya terlalu dalam sehingga tak mungkin diabaikan begitu saja.
Jika Bangsa Yahudi di Barat menderita karena terlampau banyak diperhatikan oleh umat Kristen, di negara-negara Muslim mereka beruntung justru karena kurang berarti dan kurang menonjol. Di Eropa, kaum Yahudi bagaimanapun menjadi satu-satunya "kafir" yang ditemukan oleh banyak orang Kristen karena mereka sangat mencolok dalam lingkungan keagamaan yang cukup homogen. Di dunia Muslim, sebaliknya, orang Yahudi menjadi minoritas di antara yang lain. Meskipun penting selama perkembangan awal Islam, mereka tidak berperan penting dalam kehidupan Muslim selanjutnya. Akibatnya, mereka tidak banyak mengganggu kesadaran kaum Muslim.
Secara umum, kaum Muslim memandang diri lebih unggul (patronizing) daripada agama lain. Di mata mereka, Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan abadi. Sedangkan agama lain memang berisi sebagian atau seluruh firman Allah, tetapi pasti sudah menyimpangkannya. Jadi, orang Yahudi salah karena percaya bahwa agama Tuhan hanya untuk mereka sendiri. Orang Kristen salah karena menyembah salah satu utusan Tuhan seolah-olah dia sendiri Allah. (Al-Qur'an menerima Yesus sebagai nabi dan mesias tetapi menolaknya sebagai anak Allah.)
Seorang Muslim sangat yakin bahwa Islam itu sempurna. Akibatnya, dia tidak bisa memahami mengapa orang Yahudi dan Kristen terus mengikuti versi kebenaran kuno dan tidak sempurna mereka. Keyakinan ini dapat dilihat dalam tanggapan Muslim terhadap perbedaan antara narasi Alkitab dan Al-Qur'an. Meskipun Al-Qur'an datang lama setelah Alkitab, umat Islam tidak ragu-ragu untuk mengklaim bahwa versi mereka atas beberapa peristiwa yang berhubungan dengan Yudaisme dan Kristen itu yang benar. Jadi, Abraham tinggal di Mekah menurut Al-Qur'an, dan Yesus tidak pernah disalibkan. Al-Qur'an juga menyiratkan bahwa Tritunggal Kristen terdiri dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Umat Kristen tidak dapat meyakinkan umat Muslim bahwa gagasan ini salah, atau paling banter, skismatis karena umat Islam melihat Al-Qur'an sebagai tanpa cela.
Anehnya, kepercayaan diri yang sangat kuat ini memungkinkan Islam untuk bertoleransi lebih baik dibanding umat Kristen. Ini mungkin terlihat dari lebih beragamnya agama di Timur Tengah daripada di Eropa. Sejauh memenuhi kriteria tertentu (terutama memiliki kitab suci) dan tidak menentang status Islam sebagai agama yang lebih unggul, kaum non-Muslim diizinkan hidup di bawah Pemerintahan Muslim dengan status hukum dzimmi (orang yang dilindungi). Mereka membayar pajak lebih tinggi dan menikmati lebih sedikit hak. Sebagai imbalannya, mereka berhak menjalankan agama mereka sendiri. Toleransi yang disetujui ini tidak ada dalam mitra Kristen; Di bawah kekuasaan Islam, orang Yahudi menjadi warga negara kelas dua tetapi mereka bagian dari lanskap hukum, bukan dianggap sebagai anomali masalah dalam dunia Kristen.
Secara historis, orang Yahudi dan Kristen di bawah pemerintahan Muslim menerima perlakuan yang sama. Nabi Muhammad sendiri punya hubungan yang kurang mulus dengan masyarakat Yahudi, sehingga mereka dikecam beberapa kali dalam Al-Qur'an. Padahal, masyarakat Yahudi hampir tak pernah mengancam supremasi politik Muslim. Kalangan Kristen justru melancarkan serangan besar atas Muslim. Aksi itu dimulai dengan Kekaisaran Bizantium, berlanjut dengan Perang Salib dan berpuncak dengan imperialisme Eropa modern. Sebagian karena alasan ini, masyarakat Yahudi pada umumnya berhasil bertahan hidup lebih baik daripada umat Kristen di bawah Pemerintahan Muslim. Memang, di beberapa daerah, seperti Yaman dan Afrika Utara, Kekristenan sepenuhnya musnah dan hanya Yudaisme yang mampu bertahan.
Bangsa Yahudi terlihat aneh di Eropa yang Kristen. Kebiasaan makan mereka khas. Pakaian mereka beda. Mereka juga cenderung hidup terpisah. Ini membuat mereka berbeda dan aneh. Tetapi kebiasaan makan kaum Muslim sama dengan mereka, meski pakaian dan cara pengaturan tempat tinggal mereka berbeda. Jadi kaum Muslim melihat praktik masyarakat Yahudi itu cukup wajar. Secara budaya juga, masyarakat Yahudi berpartisipasi dalam arus utama kehidupan Muslim. Mereka tidak pernah lakukan itu di Eropa Kristen pra-modern. Sebagai minoritas di antara beberapa kelompok minoritas, masyarakat Yahudi menarik sedikit minat Muslim. Itu karena mereka tidak mengancam dan bisa hidup dengan cara yang relatif akrab. Secara keseluruhan, kehidupan masyarakat Yahudi berkembang subur ketika Pemerintahan Muslim dan masyarakat Muslim mengalami masa-masa jaya, dan merosot tatkala Perintahan Muslim dan masyarakatnya mengalami masa-masa sulit. Sementara itu status dzimmi menyiratkan adanya diskriminasi yang dilembagakan. Status itu juga berarti bahwa masyarakat Yahudi jarang mengalami penganiayaan sistematis. Pada masa pramodern, mereka hidup jauh lebih baik di bawah Islam daripada di bawah Kristen.
Abad Sembilanbelas
Sikap Muslim terhadap masyaakat Yahudi mulai berubah pada abad kesembilan belas. Penaklukan Napoleon atas Mesir pada 1798 membuat masyarakat Muslim Timur Tengah bisa berhubungan langsung dan intens dengan Eropa modern. Setelah berabad-abad mencemooh "Bangsa Frank," masyarakat Muslim menyaksikan dengan kagum dan rasa putus asa saat kaum Kristen Eropa Barat jauh melampaui mereka dalam hal kekayaan dan kekuasaan. Kaum Kristen memiliki teknologi yang lebih maju, institusi yang lebih maju, budaya yang lebih dinamis dan pengobatan modern. Selama abad kesembilan belas, mereka mengalahkan sebagian besar penguasa Muslim, sehingga akibat Perang Dunia I, hanya sedikit negara Islam yang masih bisa menikmati kemerdekaan.
Seperti orang non-Barat lainnya, Muslim menanggapi dengan mempelajari cara Barat. Mereka mengagumi dan berusaha meniru. Tidak hanya meniru teknik militer dan ekonomi Barat, tetapi juga banyak aspek budaya politik Eropa. Termasuk ide sosial dan mode budayanya. Selain banyak hal lainnya, mereka juga belajar tentang anti-Semitisme. Tidaklah mengherankan, umat Kristen berbahasa Arab di Levant terbukti paling menerima teori pengkhianatan Yahudi. Pada 1840, misalnya, ketika seorang pastor Italia dan pelayan pribuminya menghilang dari Damaskus, umat Katolik pribumi dengan dukungan Konsul Prancis mengajukan tuduhan kuno "tuntutan darah ganti darah" atas penduduk Yahudi setempat. Dibantu oleh warga Eropa yang berdiam di wilayah itu, orang Kristen Timur Tengah memainkan peran kunci dalam menyebarkan gagasan anti-Semit kepada umat Muslim.
Eropa tidak hanya menyebabkan anti-Semitisme tersedia bagi Muslim tetapi juga membuat mereka merasa lemah dan karenanya rentan terhadap ide-ide anti-Semit. Umat Muslim telah lama terbiasa melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang sukses dalam urusan duniawi. Sejarah yang menggetarkan seputar kebangkitan Nabi Muhammad dari yatim piatu menjadi penguasa Arab; penaklukan Arab yang fenomenal yang mencapai Prancis dan Cina dalam waktu kurang dari satu abad; berbagai kekaisaran yang agung abad pertengahan dengan perdagangan yang berkembang pesat dan budaya yang terkenal. Semua ini menciptakan harapan umat Muslim akan kekayaan dan kekuasaan. Lalu apa yang salah? Bagaimana dengan kaum Frank yang direndahkan namun berhasil mengungguli kaum Muslim? Bahkan saat ini sekalipun, setelah beberapa dekade perdebatan, pertanyaan ini belum terjawab secara memuaskan.
Teori konspirasi membantu melunakkan pukulan itu. Gagasan tentang tangan tersembunyi yang memanipulasi berbagai peristiwa punya kepentingan unik dalam politik Timur Tengah modern. Banyak Muslim tampaknya perlu percaya bahwa agen jahat telah mencuri kesuksesan yang seharusnya milik mereka. Seringkali, Amerika Serikat-lah yang diminta mengisi peran ini. Jadi, ketika masyarakat Arab tidak bisa menerima kekalahan telak yang ditimpakan Israel atas mereka pada Juni 1967, mereka menyalahkan bantuan rahasia Amerika. Baru-baru ini, Iran memunculkan paranoia berbau konspirasi sampai pada tingkat baru. Kedua belah pihak dalam perang Irak-Iran awalnya menuduh AS membantu pihak lain. Teori konspirasi Zionis, seperti yang akan kita lihat, bahkan lebih tersebar luas.
Jika keluhan kaum Muslim terhadap masyarakat Yahudi tidak banyak berarti selama masa pra-modern maka, keluhan itu meningkat substansial pada era kolonial. Soalnya, masyarakat Yahudi memperoleh perlakuan istimewa dari penjajah Eropa, terutama Prancis, yang membutuhkan bantuan masyarakat lokal guna menjalankan kerajaan mereka tetapi takut dan tidak percaya pada kaum Muslim Sunni. Mereka terutama meminta bantuan kaum non-Muslim, menawarkan kepada mereka segala macam keuntungan ekonomi dan sosial. Masyarakat Yahudi cepat merenggut kesempatan ini sehingga memperoleh hak istimewa atas tetangga Muslim mereka. Tidak lagi terikat dengan status dzimmi, mereka pun menjadi ambisius persis dengan cara-cara yang sangat menyinggung perasaan kaum Muslim sehingga memprovokasi kebencian mereka. Ketika pemerintahan Bangsa Eropa berakhir, masyarakat Yahudi setempat lantas menghadapi amarah yang terakumulasi selama beberapa dekade. Seringkali tidak ada jalan lain selain melarikan diri. Mundurnya Prancis dari Aljazair pada 1962, misalnya, juga menandai eksodus yang menyeluruh masyarakat Yahudi dari negara itu.
Reaksi terhadap Israel
Meski masyarakat setempatnya jengkel, dunia Muslim tidak banyak berurusan dengan masyarakat Yahudi, hingga persisnya pada masa-masa menjelang pendirian negara Yahudi. Pendirian Negara Israel pada 1948 merupakan peristiwa yang mengejutkan bagi mereka. Bahkan traumatis. Karena, pendirian negara itu berarti masyarakat Yahudi dengan sekali pukul telah mampu melepaskan diri dari status dzimmi mereka, menaklukkan sebagian warisan Muslim dan menjadikan diri mereka penguasa atas Muslim. Kekuasaan Kristen memang sudah cukup buruk. Tetapi meminta masyarakat Yahudi –orang unggul yang ditaklukan– untuk mencerai-beraikan kaum Muslim sudah terlalu berlebihan. Muslim harus mempertanggungjawabkan kegagalan mereka yang menghancurkan dan atas kekuatan tak terduga dari orang Yahudi.
Karena akrab dengan Budaya Kristen Eropa yang menerima teori konspirasi yang menentang keberhasilan ekonomi Yahudi dan marah karena terciptanya (Negara) Israel, kaum Muslim Arab kemudian beralih kepada anti-Semitisme. Pada era 1950-an, di bawah naungan rezim Abdul Nasser di Mesir, sejumlah karya anti-Semit diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, diterbitkan dan disebarluaskan ke seluruh dunia Arab. Buku palsu Rusia yang mengerikan diterbitkan. Judulnya, Protocols of the Elders of Zion (Protokol Para Penatua Zion). Muncul dalam sembilan edisi terpisah pada 1950-an sampai 1960-an. Salah satu buku itu diperkenalkan oleh saudara laki-laki Jamal Abdul Nasser. Pada Maret 1970, sebuah surat kabar Libanon mencantumkan The Protocols berada dalam urutan teratas daftar non-fiksi terlaris. Selama beberapa tahun, sebagian besar standar tema anti-Semit yang dominan dalam perbendaharaan Eropa tersedia luas dalam bahasa Arab. Variasinya banyak dan disesuaikan dengan segala kemungkinan yang terjadi dalam masyarakat lokal dengan segala macam hiasan ditambahkan dalam terjemahan.
Nazi juga melakukan banyak hal supaya kaum Muslim akrab dengan anti-Semitisme. Dengan memanfaatkan kebencian masyarakat Timur Tengah terhadap pemerintah Sekutu pada era 1930-an dan 1940-an, mereka menjalin ikatan erat dengan berbagai elemen politik terkemuka di Mesir, Palestina, Irak, Iran, dan tempat lain. Dukungan Nazi terhadap anti-Semitisme berhasil menjadikannya sebuah ideologi yang hidup di dunia Arab. Para mantan Nazi kemudian memegang posisi penting dalam Pemerintahan Jamal Abdul Nasser selama tahun 1950-an.
Meski tidak menyebabkannya, pada umumnya anti-Semitisme berlanjut dengan kebencian politik terhadap Israel. Perbedaan ini sangat penting. Soalnya, awalnya, anti-Zionisme mendorong negara-negara Arab untuk melawan Israel (katakan karena ada perasaan ngeri bahwa Bangsa Yahudi menguasai tanah yang pernah menjadi milik Muslim). Namun, anti-Zionisme tidak bisa menjelaskan peran luar biasa yang Israel mainkan dalam kehidupan politik Arab sejak saat itu. Karena itu, anti-Zionisme harus dihargai. Obsesi Bangsa Arab terhadap Israel selama tiga puluh tahun terakhir bergantung pada ide-ide anti-Semit yang didanai dan diimpor dari kaum Kristen Eropa. Tanpa ideologi ini, Bangsa Arab tidak bisa melanjutkan perlawanan mereka yang sangat kuat. (Soalnya, harus dilihat bahwa pada puncak Perang Aljazair sekalipun, Bangsa Arab bahkan tidak menjelekkan Bangsa Prancis seperti yang mereka lakukan atas Bangsa Yahudi. Padahal, konflik itu lebih berlarut dan brutal melawan musuh yang jauh lebih kuat). Kenyataan ini terjadi karena permusuhan terhadap Israel berakar pada bumi itu sendiri. Akibatnya, untuk berubah menjadi satu-satunya cita-cita Arab yang menolak Israel, ia bergantung pada adanya ideologi anti-Semit. Dan, karena tidak punya ideologi seperti itu sendiri, kaum Muslim meminjam ideologi yang diciptakan oleh orang Kristen.
Kini sebagian besar segi penting anti-Semitisme Kristen terserap penuh dalam dunia Muslim Arab. Bangsa Yahudi bukan lagi sekedar minoritas di Timur Tengah. Mereka juga mendadak menjadi mencolok. Sama seperti yang terjadi selama berabad-abad di Eropa. Desas-desus tentang hukum darah ganti darah (blood-libel) dan komplotan rahasia ditampilkan luas. Karikatur Bangsa Yahudi yang tidak menyenangkan memenuhi pers dan buku pelajaran sekolah Arab. Pembicaraan ngawur tentang eksploitasi ekonomi Yahudi tidak dicegah. Akibatnya, Bangsa Yahudi yang masih berdiam di negara-negara seperti Suriah dan Irak menderita penganiayaan yang justru disponsori pemerintah. Jarang sekali kecelakaan yang terjadi di dunia Arab tidak dipersalahkan pada orang Yahudi. Yang terpenting, orang Arab mengambil alih gagasan tentang konspirasi dunia Yahudi, yang pertama kali dipopulerkan dalam Protocols of the Elders of Zion, lalu memberinya kesempatan hidup baru.
Ide konspirasi dunia punya beberapa keuntungan nyata dalam perjuangan Arab. Ia membuat keberadaan Israel sangat menyeramkan. Ia mendasari realitas kekalahan Bangsa Arab yang berulang-ulang di tangan Israel. Ia membuat Israel tampak lebih berbahaya sehingga merangsang hasrat destruktif di kalangan populasi Arab yang sebaliknya mungkin mereda. Akhirnya, dengan mempertautkan konspirasi Zionis dengan imperialisme Eropa, orang Arab mendapatkan simpati yang luas atas perjuangan mereka di negara-negara bekas jajahan Dunia Ketiga.
Selama era 1950-an dan 1960-an, dunia luar sedikit sekali mendengar soal anti-Semitisme Arab. Konspirasi Zionis itu adalah mata uang bersama dalam retorika politik Arab, tetapi dia pertama-tama sangat berperan melayani tujuan internal sehingga tidak banyak upaya untuk meyakinkan validitasnya kepada pihak lain. Tentu saja, ini pengecualiannya, ketika para diplomat Arab, pada masa Vatikan II, berupaya sebaik-baiknya menekan Gereja supaya tidak mempersalahkan Bangsa Yahudi atas kematian Yesus. Tetapi untuk sebagian besar, masyarakat non-Arab nyaris tidak menyadari semakin meningkat pentingnya ide-ide anti-Semit di Timur Tengah.
Perubahan selama era 1970-an
Semua itu berubah selama era 1970-an. Bangsa Arab tidak lagi membendung sikap anti-Semitisme mereka dalam diskusi kalangan sendiri, tetapi berusaha keras menyebarluaskannya secara internasional. Jadi bisa dikatakan, memberikannya kembali kepada tempat kelahiran Kristennya. Ada dua perkembangan berada di balik perubahan itu. Lahirnya para pemimpin baru di Timur Tengah dan ledakan mahadahsyat minyak bumi.
Para pemimpin anti-Semitisme jahat berkuasa di Arab Saudi, Libya dan Iran selama periode ini. Para penguasa Saudi memang sudah lama menghubungkan Zionisme dengan Komunisme. Tetapi perang pada 1967 meningkatkan sikap anti-Semitisme mereka. Kelompok berkuasa yang mengambil alih kekuasaan pasca-kematian Raja Faisal pada 1974 bahkan lebih menekankannya daripada yang dia sendiri lakukan. Saudi pun secara terbuka mempromosikan anti-Semitisme sebelum negara-negara Timur Tengah lain melakukannya. Para tokoh yang berkunjung ke negeri itu kerapkali dihadiahi buku-buku "Protocols of the Elders of Zion.". Kebiasaan ini masih dilakukan sekarang. Buku-buku itu pernah dibagikan di Lembaga Konsultatif Dewan Eropa di Strasbourg. Raja Faisal dilaporkan secara pribadi membiayai penerbitan 300.000 buku tersebut di Libanon dalam berbagai bahasa. (Ketika berdiam di Tunisia pada 1970, saya pun menerima satu versi bahasa Prancis buku itu yang diberikan secara gratis oleh Konsulat Arab Saudi).
Di Libya, situasinya berubah lebih dramatis lagi. Kolonel Mu'ammar Kadhafi yang merebut kekuasaan pada 1969 bertumbuh besar mengidolakan Jamal Abdul Nasser. Banyak keyakinan politiknya dibentuk berdasarkan siaran stasiun Radio Kairo (Mesir), "Voice of the Arabs" (Suara Bangsa Arab). Pada masa itu, siaran radio itu penuh anti-Semitisme. Kadhafi pun menjadikan penghancuran Israel sebagai prioritas tertinggi. Ia juga merekomendasikan buku "Protocols of the Elders of Zion." sebagai "dokumen sejarah paling penting" kepada jurnalis Barat. Di Iran, Ayatollah Khomeini juga menjadikan anti-Semitisme yang keras sebagai isu utama ketika menyerang Shah. Khomeini tampaknya agak terlambat mengambil gagasan anti-Semit dalam hidupnya. Mungkin selama dia berdiam di Ba'thist Irak antara tahun 1964 dan 1978.
Pandangan para pemimpin Muslim ini tidak banyak berarti di luar kawasan Timur Tengah andai bukan karena ledakan minyak yang mahadahsyat yang dimulai sekitar 1970. Pendapatan negara produsennya berlipat ganda pada 1973, empat kali lipat pada 1973-74, kemudian berlipat ganda lagi pada 1978-79. Negara-negara OPEC tiba-tiba memperoleh kekayaan berikut kekuasaan yang menakjubkan. Para pemimpin Saudi dan Kadhafi secara khusus mengakui kekuatan mereka dan dengan cara berbeda keduanya meraih pengaruh internasional yang besar. Upaya mereka menambahkan dimensi baru pada anti-Semitisme Timur Tengah. Berkat kekayaan minyak, negara-negara Arab memperoleh sarana untuk menyebarkan fitnah tentang Bangsa Yahudi di seluruh dunia dan memastikan bahwa pandangan ini memang berbobot.
Kekuatan Arab berasal dari tiga sumber. Penjualan minyak, pembelian barang dan jasa, dan membagi-bagikan uang. Ketika terjadi perebutan pasokan energi selama era 1970-an, banyak pemerintah Barat melihat hubungan baik dengan negara-negara Arab sebagai prioritas mendesak sehingga memberikan banyak kelonggaran kepada mereka. Tidak kalah pentingnya daripada menjual minyak, negara-negara Arab secara besar-besaran memperoleh barang dan jasa. Biasanya dengan membayar harga premium. Bagi banyak perusahaan, memenangkan kontrak dari negara-negara Arab dapat dengan mudah menunjukkan perbedaan yang jelas antara tahun-tahun yang biasa-biasa saja dan tahun-tahun yang hebat. Negara-negara minyak Arab mengantarkan bisnis kepada semua kalangan: pemodal, pengacara, pabrik, pengirim barang, para pembangun, arsitek, ilmuwan, akademisi, pengiklan dan bahkan pemerintah.
Tanpa kecuali pengusaha Barat senantiasa memperhatikan betapa sangat pentingnya relasi pribadi ketika berbisnis di Timur Tengah. Di sana, penjualan seringkali lebih bergantung pada upaya untuk mempertahankan hubungan baik dengan pembeli daripada pertimbangan kualitas dan harga. Dapat dikatakan, ini berarti perlunya kesepakatan terkait persoalan yang paling sering dengan penuh semangat diangkat oleh Bangsa Arab, yaitu tentang Israel. Politisi yang prihatin dengan pasokan minyak dan penjual pencari (salesmen) kontrak sadari bahwa mereka harus memperlihatkan kepekaan dan simpati mereka atas pandangan Arab tentang Israel. Tak heran bahwa tekanan ini mulai mengubah pandangan mereka. Karena Bangsa Arab memegang semua kartu dalam transaksi-transaksi ini dan pendapat mereka pun lebih kokoh, para politisi dan penjual itu selalu diakomodasi. Secara dramatis, pandangan mereka mulai menyebar memasuki lembaga-lembaga yang menanganinya seperti kementerian luar negeri dan perusahaan minyak. Tetapi juga ada banyak hal lain. Bahkan jika mereka tidak punya sentimen seperti itu sebelumnya sekalipun. Bahkan jika mereka tidak sekasar Billy Carter yang secara mengagumkan sekalipun mengamati bahwa "ada lebih banyak karyawan Arab dibanding Yahudi," yang segera menyadari bahwa sedikit anti-Semitisme bisa membantu mereka memperoleh teman dan kontrak tanah di Timur Tengah.
Negara-negara Arab tidak sekedar menyediakan pasar baru yang luar biasa besar. Pemerintah dan warga mereka juga menjadi dermawan terkemuka dunia. Tatkala banyak sumber dana lain mengering (akibat kenaikan harga minyak), kekayaan OPEC justru menarik semua orang yang mengharapkan uang. Mulai dari negara-negara Afrika yang membutuhkan infrastruktur hingga universitas Amerika yang mencari dana abadi. Negara-negara Arab punya aura kaya yang memberikan pengaruh kepada mereka bahkan ketika mereka tidak membagi-bagikan uang sekalipun. Ketika mereka melakukannya, persaingan pun menjadi sangat ketat. Salah satu cara calon penerima bantuan Arab bersaing satu sama lain adalah dengan mengumumkan permusuhan mereka yang abadi terhadap Israel.
Dengan metode ini, Bangsa Arab berhasil membuat Israel menjadi paria dalam politik internasional. Pokok bahasan itu jauh lebih banyak kontroversinya dan lebih banyak suara miring di Perserikatan Bangsa-Bangsa daripada di negara lain manapun. Sama seperti orang Kristen Eropa menyalahkan orang Yahudi atas berbagai kemalangan di tengah mereka, begitu banyak negara secara teratur mencaci-maki Israel dan menyalahkannya atas semua masalah. Dengan lebih dari dua puluh suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut kendali atas sebagian besar minyak sekali pakai di dunia dan sumberdaya keuangan yang besar, orang Arab punya kekuatan untuk memaksakan pandangan mereka pada orang lain dan menggunakannya untuk meningkatkan anti-Semitisme sampai ke tingkat politik internasional.
Uni Soviet tentu menjadi mitra yang tak ternilai dalam upaya ini. Soalnya, ia melihat Israel itu penting dalam upaya untuk menggembleng konsensus anti-Barat secara internasional. Sekaligus untuk membenarkan kebijakan anti-Semit sendiri secara internal. Dari berbagai kekuatan utama, Perancis dan Jepang benar-benar berusaha menghindari diri untuk tidak menyinggung masyarakat Arab. Tetapi seperti diperlihatkan oleh "inisiatif Eropa" Pasar Bersama 1980, pendekatan ini akhirnya menyebar ke sebagian besar dunia Barat.
Tidak cuma terjadi di dunia Barat. Negara-negara Muslim selanjutnya juga memanfaatkannya. Bahkan di kawasan-kawasan yang tanpa orang Yahudi berdiam sekalipun. Sebuah analisis berita Pakistan mencatat bahwa "orang Yahudi diketahui menculik anak-anak Kristen, menyiksa dan membunuh mereka." Ketika ekstremis Muslim di Indonesia membajak sebuah pesawat, salah satu tuntutan mereka adalah mengusir semua "agen Yahudi" dari Indonesia. Malaysia menonjol sebagai ladang perkembangbiaknya anti-Semitisme. Perdana Menteri Mahathir Mohamad menulis buku bertajuk The Malay Dilemma (Dilema Melayu). Isi bukunya menyerang Bangsa Yahudi ("karena pelit dan kemampuan mereka yang luar biasa dalam bidang keuangan membuat mereka mampu mengendalikan perdagangan Eropa"). Selain itu seorang pemimpin politik Malaysia pada "Hari Anti-Yahudi" pada 1986 memaklumkan, "tekad kami adalah menghancurkan Bangsa Yahudi." Mungkin contoh paling aneh adalah penolakan Pemerintah Malaysia untuk mengizinkan New York Philharmonic berkunjung ke negeri itu untuk memainkan sebuah karya Ernest Bloch Schelomo: A Hebrew Rhapsody for Cello and Orchestra . Akibatnya, penampilan Philharmonic tahun 1984 di Kuala Lumpur dibatalkan.
Namun, perlu diingat bahwa meski menguat, anti-Semitisme di antara umat Islam, tetap untuk sebagian besar tetap merupakan senjata politik. Bukan penyakit sosial yang mendalam. Kasus Anwar Sadat menjadi buktinya: pada 1953 ia menulis eulogy, pujian terhadap Hitler ("Anda mungkin bangga telah menjadi pemimpin abadi Jerman") dan pada 1979 ia berdamai dengan Israel.
Penerimaan Masyarakat Barat
Banyak kalangan Barat karena berbagai alasan bersedia bekerja sama berusaha mencari forum terhormat untuk mengipasi pandangan mereka sendiri tentang masyarakat Yahudi. Akibatnya, anti-Semitisme di kalangan Muslim semakin meningkat. Mereka itu adalah kelompok- kelompok Protestan, para aktivis hak asasi manusia (HAM), wartawan, komisi akademis dan semakin banyak kaum liberal. Mereka Kala
Ada banyak organisasi di Amerika yang bisnisnya satu-satunya tampaknya adalah mengawasi dan menilai setiap langkah Israel. Tampaknya secara menakjubkan mereka tahu jumlah rincian tidak penting tentang perumahan di Tepi Barat, kepemilikan perusahaan listrik di Yerusalem, penggunaan air Sungai Yordan dan kasus pengadilan para tokoh terkemuka (eminent domain). Kelompok-kelompok seperti itu ribut menentang hampir setiap upaya Israel untuk membela diri. Entah terkait dengan mengejar PLO di Libanon, membeli senjata Amerika, menangkap teroris atau membom reaktor nuklir Irak. Mereka senang menuduh Israel melakukan penyiksaan atau kekejaman lain sehingga orang tergoda untuk berpikir bahwa tujuan sebenarnya mereka adalah untuk menyerang Bangsa Yahudi, bukan untuk membantu Bangsa Arab.
Tidak ada yang mengungkapkan hal ini begitu jelas, seperti luar biasanya keprihatinan orang atas persoalan kemanusiaan Bangsa Palestina. Padahal, dengan standar relatif apapun, isu-isu hak asasi manusia yang melibatkan Israel itu kecil: jumlah warga Palestina itu sedikit dibandingkan bangsa lain yang mengungsi pasca-Perang Dunia II (misalnya Jerman, Korea, India, Pakistan. Bangsa Palestina tidak mengalami kelaparan; hidup mereka tidak terancam bahaya. Mengapa kemudian penderitaan mereka menyebabkan keprihatinan yang sama banyaknya dengan semua keprihatinan atas seluruh pengungsi lain digabungkan? Bagaimana dengan Tatar Krimea, yang hanya dalam semalam terenggut dari tanah air mereka pada 18 Mei 1944 dan sejak itu dilarang menginjakkan kaki di dalamnya? Bagaimana dengan pengungsi Yahudi dari negara-negara Arab? Kesedihan kamp pengungsi Palestina hampir tidak sebanding dengan penderitaan rakyat Vietnam dan Kamboja. Dan di antara kaum Muslim, rakyat Somalia dan Afghanistan mengalami kesengsaraan yang jauh lebih buruk. Mengingat masalah pengungsi lain yang menarik sedikit atau tidak ada perhatian, maka sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa kesejahteraan Palestina menarik bagi banyak orang hanya sejauh ia dapat digunakan untuk membahayakan Bangsa Yahudi.
Musuh-musuh Israel membenarkan keprihatinan mereka yang obsesif. Caranya, dengan menuding bahwa Negara Yahudi itu sangat berperan melumpuhkan pasokan minyak Arab sehingga melemahkan perlawanan mereka terhadap Uni Soviet. Jika Israel menyetujui keinginan Bangsa Arab, maka logika itu berjalan dan Timur Tengah menjadi lebih stabil. Dan ini, pada gilirannya, mengurangi kekhawatiran AS terhadap energi sekaligus kekhawatiran mereka sendiri terhadap bahaya dari Soviet. Akibatnya, musuh-musuh Israel berpendapat, nasib seluruh Timur Tengah justru bertumpu pada Israel yang kecil, padahal, Bangsa Arab mempunyai sumberdaya yang sangat besar. Akibatnya, ada pernyataan terungkap di Libanon pada 1982 bahwa "pasokan minyak murah Iran kepada Israel menjadi penyebab tersedianya persediaan minyak yang berlimpah ruah." Berbagai analisis mustahil ini sangat mirip gagasan bahwa Kedatangan Kedua (baca: Sang Mesias) menanti sampai Bangsa Yahudi bertobat. Jadi, Bangsa Yahudi menjadi sangat penting bagi nasib dunia. Dalam kedua kasus itu, peran yang tidak diminta yang disodorkan kepada Bangsa Yahudi, sama–sama mencerminkannya sehingga mengundang terjadinya anti-Semitisme.
Kenyataannya, Israel tidaklah sebegitu pentingnya bagi Timur Tengah. Terlepas dari berbagai boikot sementara yang tak berlanjut yang tidak hanya sampai kini sangat signifikan mempengaruhi perdagangan minyak internasional, konflik Arab-Israel tidak terlalu berdampak terhadap pasukan minyak dibandingkan dengan kemajuan di negara-negara minyak itu sendiri. Seperti misalnya, revolusi di Iran atau perang Irak-Iran. Atau, tidak ada alasan mengapa ini harus berubah. Sedangkan terkait dengan ancaman Soviet, Israel itu jauh dari membahayakan kawasan. Ia satu-satunya mitra Barat yang paling bisa diandalkan. Satunya-satunya negara yang secara politis stabil di TImur Tengah. Sekaligus satu-satunya negara yang punya niat dan sarana untuk menentang pelanggaran Soviet.
Para jurubicara Bangsa Arab membuat poin pemikiran yang sangat penting ketika merancang kampanye melawan Israel. Mereka membedakan antara anti-Zionisme dan anti-Semitisme. Tetapi kenyataannya, perbedaan ini kedengarannya saja yang bagus. Soalnya, meski secara teori, permusuhan terhadap Israel tidak perlu mempengaruhi Bangsa Yahudi di tempat lain di dunia (dan para jurubicara Arab dengan cara memuakkan mengulangi pemikiran itu), fakta bahwa sebagian besar Bangsa Yahudi aktif mendukung perjuangan Israel membuat anti-Zionisme akhirnya terlihat dan terasa tidak berbeda dari anti-Semitisme. Jika anti-Zionisme benar-benar satu-satunya kekhawatiran mereka, maka para teroris Palestina tidak akan membunuh wisatawan Yahudi, pengusaha dan anak-anak Yahudi di Eropa Barat. Mereka juga tidak akan memasok senjata dan pelatihan kepada kelompok paramiliter neo-Nazi Jerman, seperti yang dilaporkan. Sikap pura-pura membedakan anti-Zionisme dari anti-Semitisme itu dengan demikian tidak dapat lagi dipertahankan.
Tetapi mensponsori aksi kekerasan atas orang Yahudi bukan masalah terburuk yang diciptakan oleh anti-Semitisme Muslim. Pengaruh negara-negara Arab atas banyak lembaga-lembaga penting di dunia Barat menimbulkan bahaya jangka panjang yang lebih besar. Sejauh itu, praktis Arab Saudi, Libya, dan pemerintah lain secara sembunyi-sembunyi memboikot Bangsa Yahudi, tanpa mempedulikan orientasi politik mereka. Beberapa negara Arab menolak mengeluarkan visa bagi orang Yahudi. Juga menginstruksikan agen mereka supaya menghindari diri untuk tidak berurusan dengan orang Yahudi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, ada dorongan nyata untuk membuat lembaga-lembaga itu judenrein (bersih dari orang Yahudi). Ada undang-undang di Amerika Serikat juga melarang praktek ini, sehingga dengan sikap hati-hati dan cerdik, persoalan-persoalan itu dapat disiasati.
Upaya Bangsa Arab berimplikasi besar atas posisi orang Yahudi dalam berbagai bisnis, perusahaan profesional, universitas bahkan lembaga pemerintah terkemuka. (Tekanan Bangsa Arab sedikit-dikitnya mempengaruhi bisnis kecil, surat kabar kecil, perguruan tinggi komunitas, dan politisi lokal yang tidak punya banyak hal yang bisa ditawarkan. Jadi tidak banyak mempengaruhi perusahaan raksasa, kerajaan pers, jaringan nasional, universitas-universitas kenamaan dan pemerintah federal. Tekanan ini terjadi ketika orang Yahudi kerap berhubungan dengan orang Arab. Dan itu sangat menguntungkan karena harus meyakinkan mereka. Dengan demikian, mereka menentukan langkah-langkah bagi lembaga-lembaga yang lebih kecil.) Sikap Arab menjadi penghalang bagi orang Yahudi untuk berbisnis. Salah seorang pengusaha Amerika mencatat setelah menyepakati satu kesepakatan, katanya, orang Libya "benar-benar tidak ingin berurusan dengan orang Yahudi atau dengan pihak lain yang berurusan dengan orang Yahudi." Paling baik, orang Yahudi diam-diam didesak untuk menjauh dari persoalan Timur Tengah. Paling buruk, mereka dipandang sebagai pembuat onar potensial yang mungkin menuntut atau menyebabkan kalangan pers marah. Karena itu, lebih baik tidak mempekerjakan orang Yahudi sama sekali guna menghindari persoalan yang rumit.
Pada satu titik, Korps Insinyiur Angkatan Darat AS mengaku menyingkirkan perwira Yahudi dari berbagai proyek di Arab Saudi. Belum lama ini, para pemimpin Saudi menolak menerima seorang diplomat senior Inggris sebagai duta besar di negaranya ketika tahu dia orang Yahudi. Kadhafi pernah mengatakan bahwa hubungan Libya–AS hanya bisa membaik jika tidak satu pun orang Yahudi menduduki jabatan berpengaruh dalam Dewan Keamanan Nasional (National Security Council – NSC) atau dalam Departemen Luar Negeri.
Bukan saja dunia perdagangan dan diplomasi internasional orang Yahudi terganggu oleh anti-Semitisme Arab. Orang Arab Saudi pun diam-diam menyalurkan uang kepada berbagai kelompok anti-Yahudi. Termasuk kelompok-kelompok pemasok buku-buku yang menolak bahwa Holocaust memang terjadi. Ambil contoh, William Grimstead, pengarang buku bertajuk The Six Million Reconsidered (Mempertimbangkan Kembali Enam Juta Korban Jiwa). Pada tahun 1977, dia bekerja sebagai agen Arab Saudi yang tercatat resmi.
Beberapa kasus diskriminasi anti-Yahudi yang terdokumentasi baik datang dari universitas. Mungkin karena para profesor tetap kampus tidak perlu takut akan konsekuensi dari pembicaraan mereka. Negara-negara Arab sering menawarkan hibah dan kontrak kepada universitas Amerika yang merugikan orang Yahudi. Hibah semacam itu, yang seringkali untuk kajian Timur Tengah dan Islam, hampir pasti datang tanpa pamrih. Para donor berharap bisa menyebarluaskan pandangan mereka tentang politik dan agama. Jarang sekali mereka berusaha menyembunyikan tujuan mereka yang sebenarnya. Mereka menentang bahasa Ibrani diajarkan di sekolah, melakukan sebaik-baiknya untuk mengeluarkan studi tentang Yahudi dari program Timur Tengah, dan melakukan lobi supaya sama sekali melarang hal-hal yang terkait dengan Israel dari kurikulum. Tak perlu dikatakan lagi bahwa lembaga-lembaga akademis penerima dana dari Arab atau mitra bisnis mereka (khususnya perusahaan minyak dan konstruksi) cukup banyak ditekan untuk mengakomodasi keinginan ini sehingga menciptakan suasana yang tidak bersahabat bagi orang Yahudi (dan terlebih lagi bagi orang Israel).
Kasus seorang profesor muda Israel di University of Texas menjadi sensasi yang memenuhi halaman depan media. Hal itu terjadi karena Pusat Kajian Timur Tengah (Middle East Center---MEC) di sana berusaha menghalangi pengangkatannya oleh departemen sejarah karena khawatir kehadirannya membuat para dermawan Arab marah. Beberapa sekolah paling bergengsi spun melarang orang Yahudi menduduki jabatan sebagai pengajar bahasa Arab dan Islam. Tentu saja, tidak ada orang mengakui praktek ini. Tetapi pola perekrutannya terlalu konsisten untuk menjadi kebetulan, terutama mengingat banyak siswa Yahudi menyandang gelar di bidang ini.
Kadang-kadang tekanan Bangsa Arab menjadi begitu terang-terangan sehingga kekuatan luar kampus terpaksa campur tangan. Pada 1976, Pemerintah Saudi menyumbangkan dana $1 juta kepada University of Southern California (USC) untuk mendirikan lembaga kajian King Faysal Chair of Islamic and Arab Studies. Terlampir pada hibah itu adalah "pemahaman" bahwa "petahana pertama jabatan itu adalah Prof. Willard A. Beling [dan] calon petahana akan dipilih oleh universitas setelah berkonsultasi dengan Menteri Pendidikan Tinggi Saudi." Tak perlu dikatakan, bahwa pemerintah asing tidak pernah menggunakan haknya terkait dengan penunjukan jabatan di universitas Amerika Serikat. Beling itu pejabat Perusahaan ARAMCO. Kwalifikasi akademisnya tak terlampau bagus (dia tidak punya prestasi dalam studi Islam dan Arab). Beling kemudian menyelenggarakan konferensi pers pada Mei 1978 sebagai penghormatan kepada Raja Faisal. Di sini para pengusaha dari empat puluh perusahaan yang punya kepentingan dengan Arab Saudi sadari bahwa Saudi senang jika perusahaan mereka berkontribusi mendirikan Pusat Timur Tengah di University of Southern California, di bawah kepemimpinan Willard A. Beling. Pusat kajian tersebut akan didanai melalui Middle East Center Foundation yang juga dipimpin oleh Pak Beling yang sama.
Pusat Kajian Timur Tengah (Middle East Center --- MEC) yang diusulkan itu akhirnya tidak bisa menyembunyikan diri dari sorotan publik. Ketika kelompok Yahudi mempertanyakan banyaknya penyimpangan dana dan pengawasannya dan berbagai surat kabar Los Angeles menyingkapkan berbagai penyimpangannya, dewan pengawas University of Southern California (USC) akhirnya menolak pengaturan awalnya. Iini menyebabkan Wakil Pimpinan Fluor Corporation, sebuah perusahaan pendukung utama Pusat Kajian Timur Tengah, menuduh "pers Yahudi" memutarbalikkan seluruh persoalan.
Tetapi Arab Saudi jarang sekali melanggar prosedur dengan cara ini. Biasanya, mereka malah memaksakan pandangan mereka dengan sangat taktis dan halus. Banyak sikap anti-Semitisme mereka cenderung lebih kabur dengan bentuk-bentuk yang kurang dapat dibuktikan. Jadi lebih sebagai persoalan suasana hati daripada tindakan terbuka. (Lagi pula, orang dibuat sedemikian rupa sehingga merasa tidak diinginkan tidak bisa melakukan upaya hukum.) Seiring berjalannya waktu, taktik Arab di Barat menjadi semakin halus dan tidak begitu rentan. Kasusnya agaknya terungkap kepada publik baru setelah kasus University of Southern California meledak.
Memang, sebagian besar masalah terletak pada semakin meningkatnya penghormatan terhadap sikap anti-Semitisme kaum Muslim karena ia mempengaruhi institusi paling sentral dan penting di Amerika. Dengan kata lain, masalahnya lebih banyak terkait dengan Arab Saudi daripada dengan Libya. Libya punya reputasi yang terjaga baik sehingga mendorong lahirnya berbagai gerakan fanatik dan kekerasan. Karena itu perilaku Kadhafi sulit diterima. Sedikit sekali warga Amerika yang mempertaruhkan hubungan dengannya. Akibatnya, ruang lingkup kenakalannya terus menyempit. Tetapi hal yang sama tidak terjadi di negara Arab lain. Ini diilustrasikan secara dramatis pada Februari 1981. Kala itu dewan direktur Georgetown University memilih untuk mengembalikan dana kepada Libya dengan bunga, $ 600.000 karena sudah menganugerahkan satu jabatan di Center for Contemporary Arab Studies (Pusat Studi Arab Kontemporer) kampus tersebut. Tetapi pada saat yang sama, pusat kajian itu masih mempertahankan dana sekitar $ 3,5 juta dana dari pemerintah Arab lainnya. Seorang jurubicara organisasi Yahudi tidak memprotes perbedaan ini namun mencatat bahwa "hanya hibah dari Libya yang dianggap ofensif karena Kolonel Kadhafi menjadi penjamin dana serta terorisme internasional."
Arab Saudi atau kerajaan Syekh Teluk Persia jarang dituduh mendukung terorisme (terlepas dari soal bantuan mereka kepada PLO dan banyak kelompok lain). Soalnya, negara-negara ini sekutu Amerika. Selain itu, mereka secara luas dianggap konservatif dan moderat. Namun, dalam soal anti-Semitisme, mereka tidak kalah dengan masyarakat Libya, Irak, Iran atau kaum radikal lain. Saudi jauh lebih berbahaya dibanding Libya karena reputasinya yang baik dan bahasanya yang umumnya masuk akal. Beberapa politisi dan pengacara paling terkemuka di Washington termasuk di antara para pelobi Arab Saudi. Karena itu, anti-Semitisme di Amerika Serikat tidak pernah menikmati sponsor dana dengan reputasi baik seperti itu sehingga tidak pernah ia merayap pelahan memasuki begitu banyak institusi pusat.
Demikianlah, kecenderungan anti-Semit ini sudah ada di Amerika dan Eropa. Kecenderungan itu semakin terdorong oleh uang Arab dengan efeknya yang berbahaya. Ironisnya, anti-Semitisme Muslim baru dalam beberapa hal bukanlah ancaman serius bagi masyarakat Yahudi di Timur Tengah karena dia tetap barang impor asing tanpa akar lokal. Beda dengan bagi masyarakat Yahudi di negara-negara Barat. Di sana anti-Semitisme sangat dalam mencengkram syaraf masyarakat.
Topik Terkait: Antisemitisme, Sejarah, Islam, JMasyarakat Yahudi dan Yudaisme
Artikel Terkait:
- Music and Islamists
- The Jewish-Muslim Connection: Traditional Ways of Life
- Can Poor Muslim-American Relations be Improved?
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list