Hari ini, 20 Juli 2010, menandai ulang tahun serangan Turki atas Siprus. Ia punya relevansi khusus. Terkait dengan kritik Ankara baru-baru ini yang menyebutkan Israel sebagai "penjara terbuka" di Gaza.
Secara historis, kebijakan Turki atas Israel itu hangat. Baru saja satu dekade silam, hubungan itu nyaris mendekati aliansi penuh. Namun, hubungan ini mendingin sejak para penganut Islam radikal (Islamist) mengambil alih kekuasaan di Ankara pada 2002. Permusuhan mereka menjadi jelas pada Januari 2009 ketika Israel berperang melawan Hamas. Perdana Menteri Recep Tayyip Erdoğan dengan keras mengecam kebijakan Israel. Ia menganggap perang itu sebagai aksi Israel "melakukan tindakan tidak manusiawi yang akan menghancurkan Israel sendiri." Erdogan bahkan memohon kepada Tuhan ("Allah akan ... menghukum mereka yang melanggar hak-hak orang tak berdosa"). Istrinya Emine Erdoğan pun secara hiperbolik ikut mengecam tindakan Israel sebagai begitu mengerikan sehingga "tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata."
Emine istri Erdoğan, Perdana Menteri Turki. |
Serangan verbal mereka semakin memperbesar rasa permusuhan terhadap Israel. Termasuk caci- maki mereka terhadap Presiden Israel, bantuan mereka mendanai kapal "Freedom Flotilla," dan pemanggilan atas Duta Besar Turki dari Israel.
Kemarahan Turki ini mendorong lahirnya sstu pertanyaan: Apakah tindakan Israel di Gaza benar-benar lebih parah daripada Turki di Siprus? Perbandingannya nyaris tidak menemukan demikian. Coba pertimbangkan beberapa hal yang kontras:
- Serangan Turki Juli – Agustus 1974 juga menggunakan bom napalm dan "penyebaran teror" atas berbagai desa Yunani di Siprus seperti dilansir oleh Minority Rights Group International. Sebaliknya, "pertempuran seru" Israel untuk merebut Gaza hanya mengandalkan senjata konvensional. Dan, praktis tidak ada korban jiwa di kalangan masyarakat sipil.
- Pencaplokan selanjutnya atas 37 persen kawasan Pulau Siprus berdampak pada "paksaan pembersihan etnis." Sinyalemen itu diungkapkan oleh William Mallinson dalam sebuah monograf yang baru saja diterbitkan dari Universitas Minnesota. Sebaliknya, jika orang ingin menuduh pihak berwenang Israel melakukan pembersihan etnis di Gaza, maka kebijakan itu sudah melawan bangsanya sendiri, yaitu Bangsa Yahudi pada 2015.
- Pemerintah Turki mensponsori apa yang disebut Mallinson sebagai "kebijakan kolonisasi sistematis" di bekas tanah Yunani di Siprus utara. Pada 1973, warga Turki Siprus berjumlah sekitar 120.000 orang. Sejak itu, lebih dari 160.000 warga Republik Turki menetap di tanah mereka. Sementara itu, tidak satu pun komunitas Israel yang masih tersisa di Gaza.
- Ankara begitu ketat memerintah zona pendudukannya. Dalam kata-kata Bülent Akarcalı, seorang politikus senior Turki, "Siprus Utara diperintah seperti sebuah propinsi Turki." Sebaliknya, musuh Israel, yaitu Hamas yang justru berkuasa di Gaza.
- Turki membangun struktur otonomi semu (pretend-autonomous structure). Namanya, "Republik Turki Siprus Utara." Kontrasnya, warga Gaza menikmati otonomi nyata.
Ada tembok membelah Pulau Siprus sehingga orang Yunani yang suka damai tidak bisa memasuki Siprus utara. Namun, tembok Israel hanya melarang para teroris Palestina memasuki Israel.
Pembagian Siprus sejak 1974. |
Sebuah plakat di pagar kawat sekitar Varosha, Siprus. |
Dan kemudian ada kota hantu Famagusta. Di sana, Turki bertindak sama seperti tindakan Suriah di bawah sang penjahat kejam Assad. Setelah Angkatan Udara Turki mengebom kota pelabuhan Siprus, pasukan Turki bergerak masuk merebutnya sehingga mendorong seluruh penduduk Yunani (yang takut akan pembantaian) melarikan diri. Pasukan Turki segera memagari pusat kota, yang disebut Varosha, kemudian melarang siapa pun tinggal di sana.
Ketika kota Yunani yang sedang runtuh ini kembali pulih secara alamiah, kota ini lantas menjadi kapsul waktu yang aneh dari tahun 1974. Steven Plaut dari Universitas Haifa yang berkunjung ke sana melaporkan: "Tidak ada yang berubah.... Konon distributor mobil kota hantu itu sampai hari ini pun masih menyediakan model mobil tahun 1974. Bertahun-tahun pasca-penjarahan Famagusta, orang-orang berkisah bahwa mereka melihat bola lampu masih menyala di jendela bangunan yang ditinggalkan. "
Anehnya, kota hantu Levantine lainnya juga bisa dilacak hingga musim panas 1974. Hanya 24 hari sebelum invasi Turki ke Siprus, pasukan Israel mengevakuasi kota perbatasan Quneitra dan menyerahkannya kembali kepada Pemerintah Suriah. Hafez al-Assad memilih, karena alasan politik juga, untuk tidak membiarkan siapa pun tinggal di dalamnya. Puluhan tahun kemudian, tempat itu juga tetap kosong. Ia menjadi sandera yang sangat memusuhi pihak lain.
Erdoğan mengklaim bahwa pasukan Turki tidak menduduki Siprus Utara tetapi menetap di sana dalam "kapasitas Turki sebagai kekuatan penjamin", apa pun artinya. Dunia luar, bagaimanapun, tidak tertipu. Jika Elvis Costello baru-baru ini keluar dari konser di Tel Aviv sebagai protes terhadap "penderitaan [warga Palestina] yang tidak bersalah," Jennifer Lopez membatalkan konsernya di Siprus Utara sebagai protes atas "pelanggaran hak asasi manusia" di sana.
Ringkasnya, Siprus Utara punya gambaran yang sama dengan Suriah. Sama-sama lebih mirip sebuah "penjara terbuka" dibanding dengan yang dialami Gaza. Betapa hebatnya bahwa Ankara yang munafik berusaha menjilati bulu moralnya sana-sini seputar Gaza bahkan ketika ia memerintah sebuah kawasan dengan cara yang jauh lebih ofensif sekalipun. Alih-alih ikut campur tangan dalam persoalan di Gaza, para pemimpin Turki seharusnya menghentikan pendudukan ilegal yang mengganggu yang selama beberapa dekade ini secara tragis memecah-belah Siprus. *****
Pipes adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah) dan mitra tamu Taube yang kenamaan di Hoover Institution, Stanford University.
Tambahan 20 Juli 2010: Saya tidak punya tempat dalam artikel di atas untuk menyebutkan, sedikitnya mengutip pidato yang penuh kemarahan dari Uskup Agung Chrysostomos II, dari Gereja Orthodoks Siprus yang disampaikan kepada Paus Benediktus XVI, 4 Juli 2010 lalu. Berikut kutipannya:
sejak 1974, Siprus dan Gerejanya mengalami masa-masa tersulit dalam sejarah mereka... Turki menjalankan rencana pembersihan etnis. Umat Kristen Orthodoks lalu lari dari rumah-rumah leluhur mereka membawa serta --- dan terus membawa serta --- ratusan ribu pemukim dari Anatolia sehingga mengubah kharakter demograsi Siprus. Selain itu, Turki mengubah semua nama tempat bersejarah ke dalam bahasa Turki.
Tanpa ampun, warisan budaya kami dijarah. Monumen Kristen kami dirusak dan dijual di pasar pedagang gelap barang antik, sebagai upaya untuk membersihkan pulau itu dari setiap jejak terakhir dari semua hal yang berbau Yunani atau Kristen.
Dalam perjuangan kami ini, Yang Mulia (baca: Paus Benediktus XVI), yang dilancarkan oleh masyarakat Siprus dengan bimbingan para pemimpin mereka, kami akan sangat menghargai dukungan aktif Anda. Kami menantikan bantuan Anda untuk memastikan perlindungan dan penghormatan terhadap monumen suci dan warisan budaya kami, agar nilai warisan sejarah (diachronic) semangat Kristiani kami dapat bertahan terus. Nilai-nilai ini kini dilanggar secara brutal oleh Turki - sebuah negara yang ingin bergabung dengan Uni Eropa.
Pemutakhiran 26 Desember 2010: Untuk mengetahui berita seputar Turki di Siprus pada separuh dari artikel ini, lihat entri weblog saya, "Updates on Turkey in Cyprus."
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Turki dan rakyat Turki
Artikel Terkait:
- Updates on Turkey in Cyprus
- Quneitra, Why in Ruins?
- A New Axis: The Emerging Turkish-Israeli Entente
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list