Nota bene: (1) Walau tidak disebutkan di sini, artikel ini menanggapi dua pemboman atas Kedutaan Besar Amerika di Kenya dan Tanzania pada 7 Agustus 1998.
(2) Tulisan berikut ini merefleksikan bahan yang diajukan pengarangnya dan tidak persis seperti yang diterbitkan. Silakan periksa tempat asli publikasinya guna memperoleh teks yang tepat yang sudah dicetak.
Ketika menuju puncak kekuasaan di Iran pada 1978, kaum fundamentalis Islam berteriak, "Matilah Amerika." Dan, memang mereka tidak pernah berhenti berteriak selama 20 tahun sejak teriakan pertama mereka. Beriringan dengan teriakan itu mereka memaklumkan perang kepada Amerika Serikat. Pekan silam, dalam sebuah perkembangan yang menakjubkan, AS akhirnya menanggapi. Kini mari kita berharap bahwa serangan-serangan peluru kendali atas Sudan dan Afghanistan benar-benar menandai titik balik seperti Presiden AS Bill Clinton dan para ajudannya janjikan.
Kaum fundamentalis tidak saya artikan sebagai kaum Muslim tradisional saleh, yang pergi sholat di masjid serta berusaha maksimal menghayati hidup sesuai dengan banyak hukum Islam. Kaum fundamentalis saya rujukkan kepada kalangan Muslim yang menjalankan versi Islam abad ke-20 yang berbeda yang sudah dipolitisasi. Mereka mengubah sebuah agama kuno menjadi sebuah ideologi bergaya modern. Dengan menolak berbagai "isme" yang berasal dari Barat, seperti liberalisme dan komunisme, mereka memaklumkan bahwa versi Islam mereka itu adalah sebuah pandangan politik yang mengatasinya, yang lebih unggul dari apapun yang dihasilkan Barat.
Karena itu, ada suasana perang yang muncul antara mereka dengan Barat. Terutama dengan Amerika. Bukan karena Amerika menanggapinya. Tetapi karena kaum Muslim fundamentalis melihat diri mereka sendiri terjebak dalam konflik jangka panjang dengan nilai-nilai Barat. Ketika Hasan at-Turabi, pemimpin Sudan yang efektif sekaligus pemikir fundamentalis terkemuka, secara eksplisit menyatakan bahwa dunia Muslim kini sedang berperang, "Melawan para penyerangnya yang dipimpin oleh kekuatan-kekuatan imperialis - terutama AS dan Israel," maka tidaklah sulit untuk melewatkan inti pernyataannya.
Jika dilihat lebih dekat, maka terungkap bahwa para fundamentalis ini, terlepas dari pandangan jahat mereka yang sangat anti-Barat, kenyataannya mereka banyak menyerap beberapa cara Barat dan seringkali tepat pada sumbernya. Nyaris bukan sebuah kebetulan bahwa begitu banyak dari mereka, apakah pemimpin atau agen teroris, adalah insinyur. Mereka berbangga diri karena menguasai beberapa pengetahuan Barat yang paling istimewa. Lalu, mengapa mereka melihat diri mereka berjuang melawan Amerika Serikat?
Untuk memahaminya, maka upaya yang terbaik adalah melihat mereka dalam kerangka kaum revolusioner abad ke-20 lain yang menjunjung tujuan totaliter. Seperti kaum fasis atau Marxis-Leninis, mereka sangat yakin bahwa mereka tahu bagaimana mencapai masyarakat yang adil, (dalam hal ini, melalui penerapan kecil dari banyak hukum Islam di semua bidang kehidupan, termasuk politik). Mereka mengandalkan negara untuk membentuk kembali manusia. Dan, mereka siap untuk menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalan mereka.
Juga, seperti fasis dan Komunis, mereka sangat membenci Amerika Serikat. Orang Amerika - individualistis, hedonistik, dan demokratis - menantang semua yang mereka wakili, dan AS berdiri sebagai satu-satunya penghalang terbesar untuk memenuhi visi mereka. Mereka membenci orang Amerika karena siapa mereka, bukan karena apa yang mereka lakukan. AS dianggap tidak dapat menyenangkan atau menenangkan mereka selain dengan meninggalkan cara hidup Amerika,
Inilah mengapa "Matilah Amerika" bukanlah retorika kosong. Berkali-kali, kaum radikal fundamentalis menyerang warga dan institusi Amerika. Serangan berawal pada 1979 dengan pendudukan Kedutaan Besar AS di Teheran selama 444 hari. Sorotan lain dalam dentuman horor mencakup: ledakan di pesawat (pesawat Pan Am 103), ledakan di Kedutaan besar AS (di Lebanon, Kuwait, Kenya, dan Tanzania), ledakan instalasi militer (di Lebanon dan Arab Saudi), dan ledakan bangunan komersial (World Trade Center di New York). Total korban tewas dari semua ini dan lusinan serangan lainnya berjumlah lebih dari 600. Dengan kata lain, lebih banyak orang Amerika terbunuh dan terluka oleh terorisme yang berhubungan dengan Timur Tengah daripada oleh kekuatan musuh lainnya sejak berakhirnya Perang Vietnam.
Apakah yang akan dilakukan dengan persoalan itu? Sayangnya, hingga kini Pemerintah AS masih melihat aksi kekerasan ini bukan sebagai perang ideology sebagaimana apa adanya, tetapi sebagai serangkaian insiden kejahatan yang punya ciri-ciri tersendiri. Pendekatan ini mengubah militer AS menjadi semacam kekuatan polisi global yang mempersyaratkannya benar-benar pasti sebelum dia bisa bertindak. Pada dasarnya, ia harus punya bukti sejenis yang bisa diajukannya dalam pengadilan AS.
Ketika bukti semacam itu kurang, seperti yang biasanya terjadi, para teroris pun lolos dengan pengkhianatannya. Ini menjelaskan mengapa aksi balasan Kamis lalu terhadap beberapa tempat di Afghanistan dan Sudan hanyalah aksi kedua dalam 20 tahun. Yang terakhir adalah aksi pemboman di Libya April 1986. Dalam sebagian besar kasus, paradigma kriminal memastikan bahwa Pemerintah AS tidak merespons sehingga para pembunuh warga Amerika mendapatkan sedikit atau sama sekali tidak diganjari hukuman.
Paradigmanya perlu diubah. Aksi teror dilihat sebagai pertempuran. Bukan kejahatan. Ubah lalu perbaiki seluruh pendekatan. Seperti dalam perang konvensional, militer Amerika tidak perlu mengetahui nama dan tindakan spesifik tentara musuh sebelum memerangi mereka. Ketika ada bukti yang masuk akal memperlihatkan bahwa teroris Timur Tengah merugikan warga Amerika, pasukan militer AS harus dikerahkan. Jika pelakunya tidak diketahui secara pasti, maka hukumlah orang-orang yang diketahui menyembunyikan teroris. Kejar pemerintah dan organisasi yang mendukung terorisme. Bukan hanya mengejar orang-orangnya.
Apa targetnya? Instalasi rudal, lapangan terbang, kapal angkatan laut, dan kamp para teroris. Dalam setiap kasus, hukuman harus lebih besar dari serangan. Dengan demikian, dia menyengat. AS punya kekuatan militer yang jauh lebih kuat daripada kekuatan militer mana pun di dunia. Mengapa menghabiskan ratusan miliar dolar setahun untuk itu dan tidak mengerakannya untuk membela orang Amerika, atau menghabiskan puluhan miliar untuk badan intelijen jika mereka tidak dapat menangkap tersangka.
Serangan rudal minggu lalu akan bermakna jangka panjang hanya jika dia bukan peristiwa satu kali, tetapi awal dari era baru di mana pemerintah AS menjalankan reputasi barunya yang menakutkan. Mulai sekarang, siapa pun yang merugikan masyarakat Amerika harus tahu bahwa aksi pembalasan pasti dilakukan dan itu mengerikan. Ini berarti Washington harus membalas setiap kali terorisme merugikan masyarakat Amerika. Bagi mereka yang mengatakan aksi ini justru akan mengawali sebuah siklus kekerasan, maka jawabannya sederhana: Siklus itu sudah ada: Masyarakat Amerika dibunuh dalam aksi terorisme setiap beberapa bulan.
Lebih jauh lagi, aksi balasan Amerika jauh lebih memungkinkan untuk menghentikan lingkaran kekerasan daripada memicunya. Kaum fundamentalis, dan para pihak lainnya, seperti Saddam Hussein, memandang rendah orang Amerika sebagai orang yang secara moral lembek dan tidak kompeten secara militer ("macan kertas" itu sebutan Osama bin Ladin, yang meminjam kata-kata Mao). Dengan unjuk gigi, maka masyarakat Amerika jauh lebih mungkin mengintimidasi musuh mereka daripada memicu kekerasan lebih lanjut.
Akan menjadi hari yang membahagiakan ketika Kedutaan Besar Amerika kembali dibangun di perempatan pusat kota yang sibuk dengan bahan-bahan yang sangat berkwalitas. Tidak dibangun seperti sekarang di mana bunker-bunkernya terletak di tempat jauh yang dikelilingi pagar tinggi. Perubahan seperti itu hanya mungkin terjadi jika keselamatan orang Amerika tidak bergantung pada dinding, detektor logam dan para marinir penjaga, tetapi pada upaya pencegahan yang ditetapkan akibat bertahun-tahun melakukan aksi pembalasan yang mengerikan terhadap siapa pun yang begitu besar menyakiti satu warga negara Amerika.
Pemutakhiran 1 Oktober 2001: Saya memperbarui analisis ini untuk mempertimbangkan kasus pasca-tragedi 11 September 2001 dalam tulisan bertajuk, "War, not 'Crimes'."
Topik Terkait: Kontraterorisme, Islam radikal, Terorisme, Kebijakan AS
Artikel Terkait:
- Don't Put Terrorists on Trial
- On Closed Embassies, the Worldwide Travel Alert, and Wimpitude
- War, not "Crimes"
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list