Catatan bagi pembaca: (1) Ini bagian pertama dari sebuah survei yang terdiri dari tiga bagian bertajuk "Denying Islam's Role in Terror." Dua bagian lain oleh Teri Blumenfeld dan David Rusin, meninjau fenomena penyangkalan yang khas berturut-turut di kalangan FBI dan militer AS. (2) Pemutakhiran data diberikan setelah catatan kaki.
Rangkuman: Lembaga-lembaga mapan---seperti lembaga penegakan hukum, pejabat negara, media dan akademisi berusaha menghindari diri untuk melihat kekerasan ini sebagai aksi jihad. Mengapa? Pertama, pejabat ingin meyakinkan umat Islam bahwa lembaganya tidak bias terhadap mereka. Mereka khawatir bahwa dianggap anti-Islam bakal menginspirasi semakin banyak lagi aksi untuk mengasingkan diri (alienation) dan kekerasan. Kedua, para pejabat ingin menghindari banyak implikasi dari upaya memusatkan diri pada kekerasan yang dilakukan oleh Muslim, yang justru mengganggu etos liberal modern. Motif-motif ini layak diterima tetapi salah arah. Keamanan bersama dan keberlangsungan peradaban Barat mengharuskan mereka yang punya otoritas secara terus terang menginformasikan kepada publik tentang sifat kekerasan Muslim-terhadap-non-Muslim, dan kemudian pers melaporkannya.
Lebih dari tiga tahun sudah Mayor Nidal Malik Hasan dibantai di Ft. Hood, Texas, pada November 2009. Meskipun demikian, penjelasan seputar kejahatannya masih saja diperdebatkan. Dalam kebijakannya, Departemen Pertahanan menganggap pembunuhan tiga belas orang dan melukai empat puluh tiga itu sebagai "kekerasan di tempat kerja." Pernyataan ini didukung oleh penegak hukum, politisi, wartawan dan akademisi. Sebagai contoh sebuah kajian seputar pencegahan episode ulangan pun dibuat. Judulnya, Protecting the Force: Lessons from Fort Hood. Dalam kajian itu, pernyataan "kekerasan di tempat kerja" disebutkan sebanyak enam belas kali. [1]
Sampul depan Majalah "Middle East Quarterly," edisi Musim Semi 2013. |
Memang, ketika ada persoalan yang tidak mudah dipahami, orang pun bisa saja terhibur oleh perbedaan pendapat tentang apa sebenarnya penyebab persoalan penting itu terjadi. Ada banyak spekulasi. Termasuk soal "rasisme" terhadapnya, "pelecehan yang dia terima sebagai Muslim," "perasaan tidak memiliki," "persoalan mental," "persoalan emosional" "stres tidak karuan yang berlebihan," "mimpi mengerikan" karena dikirim ke Afghanistan atau sesuatu yang secara aneh disebut sebagai "gangguan stress pasca-trauma." Sebuah surat kabar menyimpulkan keadaan bingung penuh kepalsuan ini lewat berita utama-nya bertajuk, "Mindset of Rogue Major a Mystery" (Misteri Cara Berpikir Seorang Mayor Bajingan). [2]
Sebaliknya, para anggota kongres berseloroh tentang pemberian ciri "kekerasan di tempat kerja." Akibatnya, sebuah koalisi terdiri dari 160 korban dan anggota keluarganya pun karena itu baru-baru ini meluncurkan sebuah video. Judulnya "The Truth About Fort Hood" (Yang Benar seputar Fort Hood). Isinya mengkritik pemerintah. Pada ulang tahun ketiga pembantaian itu, 148 korban dan anggota keluarganya menggugat Pemerintah AS karena menghindari tanggung jawab hukum dan finansial dengan tidak mau mengakui insiden itu sebagai terorisme.[3]
Kepemimpinan militer sengaja mengabaikan apa yang membuat mereka terjengah. Misalnya inspirasi Islam radikal dari Hassan sendiri yang jelas dan nyata. Laporan Protecting the Force (Melindungi Pasukan) tidak menyebutkan satu kalipun kata "Muslim" dan "jihad." Kata "Islam" hanya disebutkan satu kali dalam catatan kaki.[4] Dengan demikian, pembunuhan itu secara resmi masih tidak terkait dengan terorisme atau Islam.
Contoh ini cocok dengan pola yang lebih besar. Pihak berwenang menyangkal bahwa Islamisme merepresentasikan penyebab utama terorisme global ketika persoalannya begitu jelasnya. Islamisme adalah sebentuk Islam yang berusaha membuat Muslim menjadi kekuatan dominan lewat penerapan hukum Islam yang ekstrem, totalistis dan kaku. Namanya, Hukum Syariah. Islamisme berupaya kembali kepada norma aspirasi abad pertengahan untuk menciptakan kekhalifahan yang mengatur umat manusia. Pernyataan "Islam adalah solusinya" merangkum doktrinnya. Hukum publik Islam dapat diringkas sebagai upaya meninggikan kaum Muslim lebih dari non-Muslim, laki-laki atas perempuan dan mendukung penggunaan kekerasan untuk menyebarkan Pemerintahan Muslim. Dalam beberapa dekade terakhir, kaum Islam radikal (para penganut visi Islam) membuat rekor terorisme yang tak tertandingi. Kita kutip satu tabulasi: TheReligionOfPeace.com menghitung ada 20.000 serangan atas nama Islam sejak 9/11. [5] Atau kita-kira lima serangan dalam sehari. Di Barat, berbagai aksi teroris diilhami oleh motif yang berbeda dari motif Islam hampir-hampir tidak bisa tercatat.
Karena itu, penting untuk mendokumentasikan dan menjelaskan penolakan ini kemudian mengeksplorasi implikasinya. Contoh-contohnnya sebagian besar berasal dari Amerika Serikat, meskipun mereka dapat berasal dari hampir semua negara Barat — kecuali Israel.
Mendokumentasikan Penolakan
Sampul depan "Protecting the Force: Pelajaran dari Fort Hood." |
Pemerintah, pers dan akademisi rutin menolak bahwa motif Islam radikal berperan dalam dalam dua bentuk; spesifik dan umum. Aksi kekerasan spesifik yang dilakukan oleh kaum Muslim menyebabkan di depan publik pihak berwenang dengan sengaja dan dengan sikap sangat menantang menutup mata terhadap motivasi dan tujuan kaum Islam radikal. Sebaliknya, mereka menuding berbagai motif remeh temeh, yang hanya sekali muncul yang bersifat individualistis, yang kerapkali menempatkan para pelakunya justru sebagai korban. Berbagai contoh sejak tahun-tahun sebelum dan pasca-11 September 2001 mencakup:
- Pembunuhan atas Rabbi Meir Kahane di New York pada 1990: "ada resep obat untuk... depresi."[6]
- Pembunuhan atas Makin Morcos di Sydney pada 1991: "Perampokan yang kelewat batas."
- Pembunuhan atas Pendeta Doug Good di Australia Barat pada 1993: Pembunuhan yang tidak disengaja."
- Serangan terhadap orang asing di sebuah hotel di Kairo pada 1993, yang menewaskan 10 orang: karena pelakunya gila.[7]
- Pembunuhan terhadap seorang Yahudi Hasidik pada 1994 di Brooklyn Bridge: "karena orang marah-marah dan ngamuk di jalan raya.[8]
- Pembunuhan dengan penembakan pada 1997 dari atas gedung pencakar langit Empire State Building: "karena ada pikiran dalam benak pelaku bahwa dia punya banyak, banyak sekali musuh."[9]
- Serangan terhadap sebuah bus anak sekolah Yahudi pada 2000 dekat Paris: alasannya karena kecelakaan lalu lintas
- Tabrakan pesawat pada 2002 terhadap sebuah gedung tinggi di Tampa oleh seorang Arab warga Amerika pengagum Osama bin Laden (tetapi non-Muslim): karena pengaruh obat jerawat Accutane.[10]
- Pembunuhan ganda pada 2002 di LAX (baca: Los Angeles): "karena percecokan soal kerja."[11]
- Penembak jitu di Beltway pada 2002: akibat "hubungan [keluarga] yang bermasalah."[12]
- Serangan Hasan Karim Akbar terhadap para sesama tentara sehingga menewaskan dua temannya pada 2003: Karena "persoalan perilaku pelakunya."[13]
- Pembunuhan dengan mutilasi terhadap Sebastian Sellam pada 2003: Karena Sakit Mental.[14]
- Ledakan di Brescia, Italia di luar sebuah Restoran McDonald pada 2004: "Karena pelakunya mengalami kesepian dan depresi."[15]
- Amukan di sebuah tempat pelayanan para pensiunan (retirement center) pada 2005 di Virginia: "Pertengkaran antara terduga dengan anggota staf lain dari pusat pelayanan." [16]
- Amukan berdarah di Federasi Masyarakat Yahudi di Greater Seattle pada 2006: "Bentrokan antara orang tidak dikenal dengan para wanita." [17]
- Pembunuhan dengan menabrakkan mobil di kawasan utara California pada 2006: "Perkawinannya yang sudah diatur baru-baru ini mungkin saja membuatnya stress."[18]
Pola penyangkalan ini semuanya menjadi semakin menarik karena ia berkaitan dengan bentuk-bentuk kekerasan Islam yang berbeda. Seperti operasi bunuh diri, pemenggalan kepala manusia, pembunuhan demi menjaga kehormatan, dan merusakkan wajah wanita. Sebagai contoh, ketika sampai kepada persoalan membunuh demi menjaga kehormatan, Phyllis Chesler pernah tegaskan bahwa fenomena ini berbeda dari kekerasan domestik yang di negara-negara Barat, nyaris senantiasa dilakukan oleh kaum Muslim.[19] Bagaimanapun, bukti-bukti ini, tidak meyakinkan pihak berwenang yang cenderung menyaring Islam hanya dengan melihat persoalan itu, tanpa melihat persoalan secara keseluruhan (out of the equation).
Ancaman yang digeneralisasikan itu justru semakin menginspirasi lebih banyak penyangkalan terhadap peran Islam dalam teror. Politisi dan berbagai pihak lain menghindari diri untuk tidak menyebutkan Islam, Islamisme, Muslim, Islam radikal, mujahidin, atau jihadi. Sebaliknya, mereka menyalahkan pelaku kejahatan, kaum militan, para ekstremis radikal, teroris dan al-Qaeda. Hanya satu hari pasca-9/11 (baca: pascatragedi 11 September 2001 di New York), Menteri Luar Negeri AS Colin Powell menetapkan cara mengatur penyangkalan ini. Dengan menegaskan bahwa kekejaman yang baru saja dilakukan itu "tidak boleh dilihat sebagai suatu hal yang dilakukan oleh orang Arab atau Islam. Aksi itu dilakukan oleh teroris." [20]
Taktik lain adalah dengan mengaburkan realitas kaum penganut Islam radikal dengan kabut kata-kata tanpa makna. George W. Bush pernah merujuk pada "perjuangan mahabesar melawan ekstremisme yang sekarang sedang berlangsung di seluruh penjuru kawasan Timur Tengah yang lebih luas."[21] Dan di lain waktu ia merujuk kepada "perjuangan melawan kaum ekstremis ideologis yang tidak percaya kepada masyarakat bebas dan yang kebetulan menggunakan teror sebagai senjata untuk berusaha mengguncang hati nurani dunia bebas." [22] Dia melangkah begitu jauh sehingga mengabaikan elemen Islam apa pun dengan menyatakan bahwa" Islam itu agama agung yang mendakwakan perdamaian."[23]
Jaksa Agung AS Eric Holder pada 2010, menghindari sebutan apapun tentang Islamisme. |
Dalam semangat seperti itu, Barack Obama menegaskan bahwa "sangat penting bagi kita untuk mengakui bahwa kita punya medan perang atau perang melawan beberapa organisasi teroris, tetapi bahwa organisasi-organisasi itu bukanlah representatif dari komunitas Arab yang lebih luas, yaitu komunitas Muslim." [24] Jaksa Agung AS pada masa pemerintahan Obama, Eric Holder, terlibat dalam percakapan berikut ini dengan Lamar Smith (Anggota Kongres dari Texas) pada waktu memberikan kesaksian di kongres, Mei 2020 yang berulang-ulang menolak adanya hubungan antara motif-motif kaum Islam radikal dengan berbagai serangan teroris:
Smith: Dalam semua ketiga kasus upaya [teroris] tahun lalu... yang salah satunya berhasil, orang-orang itu punya hubungan dengan Islam radikal. Apakah anda merasa bahwa orang-orang ini mungkin saja terpancing untuk melakukan aksi yang mereka lakukan karena Islam radikal?
Holder: Karena apa?
Smith: Islam radikal.
Holder: Ada banyak alasan mengapa saya pikir orang melakukan aksi-aksi ini. Salah satunya, saya pikir, Anda harus melihat kasus per kasus. Maksud saya, kita kini sedang dalam proses berbicara tentang Tuan [Feisal] Shahzad dengan maksud hendak memahami apa yang mendorongnya beraksi.
Smith: Ya, tetapi Islam radikal, bisa saja menjadi salah satu dari alasan-alasannya?
Holder: Ada banyak sekali alasan mengapa orang...
Smith: Tetapi apakah Islam radikal itu salah satu dari alasan-alasan itu?
Holder: Ada banyak alasan mengapa orang melakukan sesuatu. Beberapa dari mereka mungkin saja alasan relijius...[25]
Holder terus-menerus ngotot. Sampai Smith akhirnya menyerah. Dan ini bukan pengecualian: Penyangkalan yang nyaris serupa terjadi Desember 2011 oleh seorang pejabat senior Departmen Pertahanan AS.[26]
Atau, orang bisa saja mengabaikan unsur Islam radikal dari penyangkalan ini. Sebuah kajian yang dikeluarkan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri bertajuk Evolution of the Terrorist Threat to the United States, hanya satu kali menyebutkan kata Islam. Pada September 2010, ketika berpidato di PBB, Obama, menggunakan konstruksi kalimat pasif dan menghindari semua sebutan tentang Islam terkait dengan Tragedi 11 September 2001. Karena itu, dia mengatakan. "Sembilan tahun silam, penghancuran Pusat Perdagangan Dunia mensinyalkan andanya ancaman yang tidak menghormati batasan keluhuran martabat manusia atau kesusilaan."[27] Kira-kira pada waktu yang sama, Janet Napolitano, Menteri Keamanan Dalam Negeri, mengatakan bahwa profil orang-orang Amerika yang terlibat dalam terorisme mengindikasikan bahwa "tidak ada profil 'khas' dari seorang teroris yang tumbuh besar di dalam negeri ."[28]
Newt Gingrich, bekas Ketua DPR AS secara tepat mengecam mentalitas ini sebagai "dua tambah dua harus sama dengan sesuatu yang berbeda dari empat."[29]
Yang dikecualikan dari penyangkalan
Pengecualian memang ada untuk pola ini. Para tokoh mapan kadang-kadang lengah sehingga mengakui adanya ancaman kaum Islam radikal terhadap dunia beradab. Gingrich sendiri pernah menyampaikan pidato unik dengan banyak informasi tentang Syariah pada 2010 mencatat bahwa "Ini bukan perang melawan terorisme. Terorisme itu sebuah kegiatan. Ini perjuangan dengan kaum Islamis radikal baik dalam bentuk militan maupun siluman. ."[30]
Perdana Menteri Inggris Tony Blair menawarkan sebuah analisis yang menggugah dan penuh perasaan pada 2006:
Ini perang, tetapi jenis perang yang sama sekali bukan konvensional. ... Nilai-nilai apa yang mengatur masa depan dunia? Apakah mereka orang toleran, yang bebas, yang menghormati perbedaan dan keragaman? Atau mereka itu orang yang bereaksi, terpecah belah dan suka membenci? ... Ini bagian dari perjuangan antara apa yang saya sebut Islam Reaksioner yang Moderat, Islam Arus Utama. Namun implikasinya jauh lebih luas lagi. Kita tengah berperang, tetapi bukan hanya melawan terorisme tetapi tentang bagaimana dunia harus mengatur dirinya sendiri di awal abad ke-21. Soal nilai-nilai global. .[31]
Perdana menteri Inggris saat ini, David Cameron memberikan suatu analisis yang bagus pada 2005, jauh sebelum dia menduduki jabatannya saat ini:
Kekuatan pendorong di balik ancaman teroris masa kini adalah fundamentalisme Islam. Perjuangan yang kita jalani, pada dasarnya, bersifat ideologis. Selama abad terakhir ini berkembang sebuah aliran pemikiran Islam yang menawarkan kepada pengikutnya sebentuk penebusan melalui kekerasan. Aliran ini, sama seperti totalitarianisme lainnya, seperti Nazisme dan Komunisme.[32]
Pada 2011, sebagai perdana menteri, Cameron kembali kepada tema ini: "kita harus benar- benar jelas soal di mana asal-muasal serangan teroris ini. Itulah adanya sebuah ideologi. Ideologi ekstrimisme Islam."[33]
Mantan Menlu Cheko Alexandr Vondra mengungkapkan pemikirannya dengan sangat terus terang. |
Mantan Menteri Luar Negeri Republik Cheko Alexandr Vondra, dengan sangat terus mengungkapkan pemikirannya:
Kaum Islam radikal praktis menantang apa saja yang diklaim hendak dipertahankan oleh masyarakat kita, tidak peduli apakah kebijakan Barat memang ada pada masa lalu atau sekarang. Tantangan-tantangan itu termasuk konsep hak-hak asasi manusia universal serta kebebasan berbicara. [34]
Pada periode pasca-Oktober 2005, George W. Bush berbicara tentang "fasisme Islam" dan "kaum fasis Islam." Joseph Lieberman lantas mengkritik berbagai pihak yang menolak untuk "mengidentifikasi musuh kita dalam perang ini sebagaimana adanya: yaitu ekstremisme kaum penganut Islam radikal yang kejam. [35] Dia karena itu mensponsori sebuah kajian yang dilakukan Senat seputar kasus Mayor Hasan. Rick Santorum, yang kala itu senator AS dari Pennylvania memberikan sebuah analisis menarik dalam kasus ini.
Dalam Perang Dunia II kita memerangi Nazisme dan imperialisme Jepang. Kini, kita sedang berperang melawan kaum fasis Islam. Mereka menyerang kita pada 11 September (2001) karena kita adalah penghalang terbesar misi yang secara terbuka mereka maklumkan untuk menaklukkan seluruh dunia supaya tunduk kepada kekuasaan fanatik mereka. Saya yakin ancaman fasisme Islam itu sama-sama mengancamnya dengan ancaman dari Nazizme dan Komunisme Soviet. Kini, sama seperti dulu, kita menghadapi para fanatik yang tidak akan berhenti berusaha menguasai kita. Kini, sama seperti dulu, tidak ada jalan keluar. Kita bakal menang atau kalah. [36]
Antonin Scalia, seorang hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam sebuah pernyataannya menegaskan bahwa "Amerika sedang berperang melawan kaum Islam radikal." [37] Sebuah kajian yang dilakukan oleh Departemen Kepolisian New York bertajuk Radicalization in the West: The Homegrown Threat mendiskusikan "terorisme berbasis Islam" dalam baris pertama kajiannya dan teror itu tidak pernah berkurang semangatnya. Kajian itu berisikan rujukan yang eksplisit terhadap Islamisme seperti, "Akhirnya, para pejihad membayangkan sebuah dunia di mana jihad Islam Salafi berkuasa dan menjadi dasar pemerintahan." "[38]
Jadi, kenyataan memang kerapkali mengemuka lewat balutan kabut penyangkalan dan kata-kata kosong tanpa makna.
Misteri Penyangkalan
Selain pengecualian-pengecualian ini, apa saja penyebab penolakan terhadap motif-motif Islam yang terus-menerus terjadi ini? Mengapa berpura-pura tidak ada persoalan mahabesar sedang berkecamuk di tengah kita? Rasa enggan untuk menghadapi kebenaran selalu menjadi semacam eufemisme, kepengecutan, bersikap tepat secara politik untuk menyenangkan hati pihak lain. Dalam semangat ini, Gingrich berpendapat bahwa "Pemerintahan Obama sengaja menutup mata terhadap sifat musuh kita beserta kekuatan-kekuatan yang mengancam Amerika. ... itu bukan ketidaktahuan. Ini upaya yang dirancang untuk menghindari [kenyataan]." ]."[39]
Masalah-masalah ini memang menyebabkan orang menyangkal. Tetapi ada sesuatu yang lebih mendasar dan lebih masuk akal yang lebih jauh menjelaskan keengganan ini. Satu petunjuk datang dari sebuah disertasi doktor bidang politik yang terbit pada 2007 yang diajukan oleh Gaetano Ilardi kepada Monash University di Melbourne. Judulnya, ""From the IRA to Al Qa'eda: Intelligence as a Measure of Rational Action in Terrorist Operations," (Dari IRA hingga Al Qa'eda: Intelijen sebagai Langkah Tindak Rasional dalam Operasi Teroris." Disertasi itu kerap merujuk Islam dan berbagai topik terkait. Pendapat Ilardi juga dikutip media seputar topik radikalisasi. Namun pada 2009, sebagai polisi Negara Bagian Victoria, dia justru menjadi orang yang paling gencar dari dua puluh rekan penegak hukumnya yang mendesak saya supaya polisi tidak secara terbuka menyebutkan Islam dengan cara apa pun saat membahas terorisme. Dengan kata lain, menginginkan agar upaya untuk tidak merujuk Islam itu bisa datang dari seseorang yang memang sangat memahami peran Islam.
Daniel Benjamin, Koordinator Kementerian Luar Negeri AS untuk urusan kontra-terorisme. |
Mengukuhkan pemikiran ini, Daniel Benjamin, koordinator kontraterorisme Pemerintahan Obama di Departemen Luar Negeri AS pun secara eksplisit menolak ide bahwa sikap diam terhadap Islam, berarti tidak memperhatikan persoalan ini:
Para pembuat kebijakan sepenuhnya menyadari bagaimana para ideolog al-Qaidah telah menyesuaikan teks dan konsep Islam kemudian menjadikannya sebagai mantel legitimasi agama untuk pertumpahan darah yang mereka lakukan. Sebagai orang yang telah menulis panjang lebar tentang bagaimana al-Qaidah dan kelompok-kelompok radikal yang mendahuluinya mengambil dan memilih teks-teks suci yang seringkali di luar semua konteks, saya yakin rekan-rekan saya memahami sifat ancaman tersebut. [40]
Ilardi dan Benjamin tahu persoalan mereka. Mereka menghindari diri untuk tidak mendiskusikan Islam terkait dengan terorisme karena alasan yang jauh lebih mendalam dibandingkan dengan sikap benar politik, ketidaktahuan atau untuk menyenangkan hati. Apakah alasan-alasan itu? Ada dua faktor yang sangat penting: ingin untuk tidak menjadikan kaum Muslim sebagai kelompok marjinal (alienate) atau untuk menata-ulang masyarakat.
Menjelaskan Penyangkalan
Tidak ingin menyakiti hati umat Muslim, sebuah tujuan yang tulus dan masuk akal menjadi alasan yang paling sering dikutip. Kaum Muslim pun protes. Kata mereka, memfokuskan diri pada Islam, Islamisme atau jihad justru memperbesar rasa takut mereka bahwa Barat tengah terlibat "perang melawan Islam." Joseph Lieberman, misalnya, memperhatikan bahwa Pemerintahan Obama lebih suka menggunakan istilah "kaum ekstremis Islam radikal yang kejam" ketika merujuk kepada musuh karena menggunakan kata-kata yang eksplisit "mendukung klaim propaganda musuh kita bahwa Barat sedang berperang dengan Islam." [41]
Barack Obama memperkuat pemikiran ini ketika ditanya dalam sebuah wawancara terkait pernyataannya yang hanya satu kali saja menggunakan istilah "perang atas terror." Dia tegaskan bahwa, "kata-kata itu penting dalam situasi ini karena salah satu cara yang sedang kita tempuh untuk memenangkan perjuangan adalah lewat perjuangan hati dan pikiran." Ketika ditanya, "Jadi itu bukan istilah yang hendak anda gunakan lebih sering pada masa datang?" dia pun menjawab:
Anda tahu, yang ingin saya lakukan adalah untuk memastikan bahwa saya terus berbicara tentang al-Qaeda dan organisasi-organisasi lain yang berafiliasi dengannya. Soalnya, kita, saya yakin, bisa merangkul kaum Muslim moderat untuk mengakui bahwa perusakan dan nihilisme seperti itu akhirnya mengarah kepada situasi buntu. Dan bahwa kita harus bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap orang mendapatkan kehidupan yang lebih baik. [42]
Daniel Benjamin lantas lebih jauh menjelaskan pemikiran yang sama:
Memberikan tekanan pada "kaum Islam radikal" dan bukannya pada "kaum ekstremis yang brutal" justru melemahkan upaya kita. Soalnya, ia secara salah mencari akar utama masalah dalam agama dari lebih dari satu miliar orang yang membenci kekerasan. Seperti yang ditunjukkan oleh satu demi satu studi internal pemerintah, pernyataan seperti itu selalu berakhir dengan distorsi di media global sehingga mengasingkan kaum Muslim yang moderat. [43]
Kekhawatiran ini sebenarnya punya dua sub-bagian bagi dua tipe kaum Muslim. Pertama, yang membantu memerangi terorisme justru sebaliknya merasa dihina (karena ada ide bahwa ("seorang Muslim sejati tidak akan pernah menjadi terroris"). Akibat lanjutannya, jangan melangkah maju ketika mereka yang tidak terlibat bisa menjadi radikal bahkan beberapa dari mereka menjadi teroris.
Alasan kedua yang menghalangi orang berbicara tentang Islam berkaitan dengan ketakutan bahwa ini menyiratkan adanya pergeseran besar yang tidak diinginkan terkait dengan bagaimana masyarakat Barat sekuler diatur. Menyalahkan serangan teroris akibat obat-obatan terlarang bisa serba-salah, luapan kemarahan di jalanan, perjodohan yang diatur, kasus mental yang mendorong orang mengamuk atau kecelakaan industri aneh yang memungkinkan orang Barat tidak menentang masalah yang berkaitan dengan Islam. Jika penjelasan tentang jihad lebih persuasif, maka ia juga bakal semakin meresahkan masyarakat.
Ketika orang memperhatikan bahwa terorisme Islam yang nyaris eksklusif merupakan pekerjaan kaum Muslim yang bertindak berdasarkan agama Islam, maka implikasi ikutannya adalah bahwa Muslim harus ditetapkan untuk diawasi secara khusus. Barangkali seperti penulis ini sarankan pada 2003:
Pegawai pemerintah Muslim yang terlibat dalam bidang penegakan hukum, militer dan korps diplomatik perlu diawasi atas kaitannya dengan terorisme. Demikian juga dengan ustad-ustad yang menangani urusan kerohanian di penjara (chaplain) dan angkatan bersenjata. Pengunjung Muslim dan imigran harus menjalani pemeriksaan tambahan soal latar belakang mereka. Masjid-masjid butuh pengawasan lebih dari yang diterapkan pada gereja dan kuil.[44]
Menjalankan kebijakan seperti itu berarti memusatkan perhatian pada upaya penegakkan hukum atas komunitas yang ditentukan berdasarkan agama. Itu berarti mengabaikan nilai-nilai liberal, multikultural dan benar secara politik. Juga digambarkan melawan hukum dan kerap bertentangan dengan konstitusi. Termasuk di dalamnya, membuat profil orang. Perubahan-perubahan itu tentu mempunyai implikasi yang mengganggu, yang bakal dikecam sebagai "rasis" dan "fobia terhadap Islam (Islamophobic)" yang merupakan tuduhan-tuduhan yang bisa merusak karir seseorang dalam situasi publik masa kini.
Penjelasan terkait Islam mungkin menawarkan kisah yang lebih persuasif dibandingkan dengan mengubah pelaku menjadi korban. Meski demikian, ia tidak boleh dilakukan dengan merusak adat istiadat sosial yang ada yang menghambat kontraterorisme. Namun, ternyata, bagi polisi, jaksa penuntut, politisi, dan professor, berbagai kisah ini membuat mereka menghindari berbagai faktor yang sebenarnya berada di balik serangan Islam sehingga malah melihat serbaaneka motif duniawi. Berbagai sikap yang umum diketahui yang berusaha menenangkan namun tidak tepat itu memang menguntungkan karena ia tidak mengubah apa-apa selain menumbuhkan sikap waspada terhadap senjata. Dengan demikian, penanganan kenyataan-kenyataan sosial yang tidak menyenangkan bisa ditunda.
Akhirnya, penyangkalan tampaknya berhasil. Hanya karena lembaga-lembaga penegak hukum, militer dan badan-badan intelijen menghindari topik kembar itu tentang motivasi Islam dan terorisme Islam yang tidak proporsional. Akibatnya, meski memberikan pengarahan kepada masyarakat soal itu, lembaga-lembaga yang sama dalam praktiknya diam-diam memusatkan perhatian pada Islam dan kaum Muslim. Memang, ada banyak bukti bahwa mereka benar-benar melakukannya sehingga berdampak efektif dalam upaya kontraterorisme sejak Tragedi 11 September (2001) dengan adanya pengawasan ketat pada segala hal. Mulai dari pengawasan terhadap masjid hingga hawala atau sistem pertukaran uang Muslim yang tidak resmi. Dengan beberapa pengecualian yang jarang terjadi (seperti penembak dalam kasus Ft. Hood), upaya itu menyebabkan jaringan teroris Islam cenderung terhalang. Serangan yang berhasil cenderung muncul entah dari mana oleh pelaku yang bercirikan sindrom jihad mendadak.
Perdebatan Menentang Penyangkalan
Meski menghargai desakan untuk tidak memperburuk perasaan kaum Muslim dan mengakui bahwa diskusi yang jujur tentang Islam dapat berkonsekuensi penting bagi penataan masyarakat, penulis ini bersikeras dengan perlunya menyebutkan Islam. Pertama, karena tidak jelasnya seberapa besar kerugian sebenarnya ketika berbicara tentang Islam. Kaum muslim anti-Islam radikal yang sejati pun bersikeras agar Islam didiskusikan. Soalnya, kaum Islam radikal yang menyamar sebagai moderat cenderung adalah mereka yang berpura-pura kesal dengan persoalan "perang melawan Islam" dan sejenisnya.
Kedua, sedikit sekali bukti yang memperlihatkan kaum Muslim bisa diradikalisasi hanya karena membicarakan tentang Islamisme. Sebaliknya, biasanya ada hal spesifik yang mengantarkan seorang Muslim ke arah itu. Mulai dari cara wanita Amerika berpakaian hingga berbagai serangan drone di Somalia, Yaman dan Pakistan.
Ketiga, meski mengakui bahwa diskusi tentang Islam membutuhkan biaya namun mengabaikannya pun justru memakan lebih banyak biaya lagi. Butuh mendefinisikan musuh. Tidak sekedar merumuskan musuh dalam pertemuan para pemimpin militer selama perang tetapi juga bagi publik yang mengalahkan semua pertimbangan lainnya. Ahli strategi kuno Tiongkok Sun Tzu karena itu mengatakan, "Kenali musuh Anda dan kenali diri Anda sendiri sehingga Anda mampu berperang dalam seratus pertempuran." Tidaklah mengherankan bahwa seluruh teori perang Karl von Clausewitz mengasumsikan adanya penilaian yang akurat terhadap musuh. Seperti halnya dokter harus mengidentifikasi memberi nama penyakit sebelum mengobatinya, demikian pula politisi dan jenderal harus mengidentifikasi dan memberi nama musuh supaya bisa mengalahkannya.
Meneliti batasan diri identik dengan membatasi kemampuan seseorang untuk mengobarkan perang. Menghindari diri untuk menyebutkan identitas musuh akan menimbulkan kebingungan, menjatuhkan moral sekaligus menyia-nyiakan kekuatan. Singkatnya, ia menawarkan resep untuk kalah. Memang, catatan sejarah mencatat bahwa tidak ada perang yang dimenangkan ketika nama dan identitas musuh tidak diungkapkan. Lebih penting lagi bahwa pada masa modern ini upaya untuk mendefinisikan musuh harus mendahului perang sehingga mendukung kemenangan militer. Jika Anda tidak dapat menyebutkan nama musuh, Anda tidak dapat mengalahkannya.
Keempat, penegakan hukum dan kegiatan terkait lain membuktikan bahwa mengatakan suatu hal di depan umum sembari melakukan hal lain dalam pekerjaan pribadi, menyebabkan sikap tidak jujur ini harus dibayar mahal. Soalnya, ia memutuskan hubungan antara kata-kata politisi yang sangat berhasil dari realitas kontraterorisme yang terkadang kotor:
- Pegawai pemerintah yang berisiko: Pada satu pihak karena takut terpapar terorisme, pegawai pemerintah harus membunyikan diri atau berbohong soal aktivitas mereka. Pada pihak lain, supaya bisa melakukan pekerjaan secara efektif, mereka harus menghadapi regulasi pemerintah yang tidak berat sebelah yang dirumuskan secara sangat hati-hati atau bahkan melanggar hukum.
- Masyarakat yang bingung: Berbagai pernyataan kebijakan secara halus menolak pertautan apapun antara Islam dan terorisme. Bahkan ketika kontra-terorisme secara tersirat mengungkapkan hukuman yang benar-benar ada antara mereka.
- Kaum Islam radikal yang mendapatkan keuntungan: Mereka (1) memperlihatkan bahwa pernyataan pemerintah itu sekedar isapan jempol untuk menutupi apa itu perang melawan Islam sebenarnya. Dan (2) merangkul kaum Muslim yang direkrut menjadi teroris dengan cara menanyakan kepada mereka, siapa yang mereka percaya, apakah kaum Islam radikal yang berbicara jujur atau para politisi yang tidak jujur.
Satu contoh sandiwara keamanan. |
- "Teater keamanan" dan pantomime lain: Guna meyakinkan para pengamat bahwa kaum Muslim tidak secara khusus disasar, berbagai kalangan lain diancam sekedar untuk dipertontonkan (show purposes) sehingga membuang waktu serta sumberdaya yang terbatas. [45]
- Meningkatkan ketidakpuasan serta prasangka: Masyarakat memang bungkam, tetapi pikiran mereka tetap berjalan. Dalam diskusi publik, di mana orang mengecam kaum Islam radikal sembari mendukung kaum Muslim moderat, maka ia bisa membuat orang lebih baik memahami persoalan.
- Tidak mendorong sikap untuk berhati-hati: Kampanye ""Jika Kau Melihat Sesuatu, Katakanlah" memang bagus, tetapi apakah risiko dari melaporkan perilaku tetangga atau penumpang yang meragukan yang ternyata tidak bersalah? Memang para tetangga yang berhati-hati menjadi sumber penting kontraterorisme. Namun, melaporkan kekhawatirannya bisa menyebabkan siapa pun yang melaporkan menjadi sasaran fitnah atau dianggap rasis atau "fobia terhadap Islam" sehingga menghancurkan karir seseorang atau bahkan digugat secara hukum. [46]
Dengan demikian, keengganan untuk mengakui motif kaum Islam radikal di balik sebagian besar terorisme justru menghambat aksi kontraterorisme yang efektif sehingga aksi kejam lebih memungkinkan terjadi.
Kapan Penyangkalan atas Pengaruh Islam Berakhir
Penyangkalan agaknya berlanjut hingga harganya terlampau mahal untuk dibayarkan. Tiga ribu korban Tragedi 11 September 2001 (baca: tragedi serangan bunuh diri dengan pesawat terhadap kantor World Trade Center di New York) terbukti tidak cukup mengguncang perasaan puas terhadap diri yang menghinggapi Barat. Tiga puluh ribu orang yang sangat mungkin tewas pun bakal belum cukup. Barangkali, 300.000 korban jiwa. Tentu saja, tiga juta korban jiwa bakal mengguncang rasa puas terhadap diri sendiri. Pada titik itu, kekhawatiran menyakiti perasaan kaum Muslim dan ketakutan disebut sebagai "Islamofobia" akan lenyap dan tidak relevan sehingga berganti dengan tekad yang teguh untuk melindungi kehidupan. Jika tatatertib yang ada suatu saat jelas-jelas terancam, maka pendekatan masa kini yang santai akan langsung lenyap. Banyak kalangan mendukung tindakan seperti itu. Pada awal 2004, sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Cornell University menunjukkan bahwa 44 persen masyarakat Amerika "yakin bahwa beberapa pembatasan kebebasan sipil diperlukan bagi kaum Muslim Amerika." [47]
Israel memberikan sebuah kajian analitis atas hubungan kausal dari kasus sejenis dengan logika terbalik yang lebih dulu melihat kejadiannya kemudian mengindentifikasi penyebabnya (case control). Langkah itu dilakukan karena Israel menghadapi banyak ancaman. Akibatnya, lembaga politik menjadi kurang sabar dengan kesalehan liberal ketika sampai pada persoalan keamanan. Meski bercita-cita memperlakukan semua orang secara adil, pemerintah jelas menyasar berbagai elemen masyarakat yang paling rentan kekerasan. Andai negara-negara Barat lain menghadapi bahaya yang sama, maka ada kemungkinan besar keadaan akan memaksa mereka untuk mengadopsi pendekatan yang sama ini.
Sebaliknya, jika bahaya massal seperti itu tidak muncul ke permukaan, maka pergeseran ini mungkin tidak pernah terjadi. Hingga dan hanya jika berbagai bencana berskala besar terjadi, maka penyangkalan akan terus berlanjut. Taktik Barat, dengan kata lain, bergantung sepenuhnya pada aksi brutal dan keahlian dari kaum Islam radikal musuh mereka. Ironisnya, dunia Barat justru mengizinkan teroris melakukan pendekatan kontraterorisme. Tidak kalah ironisnya lagi, bahwa kontraterorisme yang efektif baru dijalankan jika teroris melakukan aksi kekejaman besar-besaran.
Membereskan persoalan penyangkalan
Sementara itu, berbagai kalangan yang ingin memperkuat kontra-terorisme dengan mengakui peran Islam punya tiga tugas.
Pertama, mempersiapkan diri dan argumentasi mereka sendiri secara intelektual. Dengan demikian, ketika malapetaka itu terjadi, mereka sudah punya program yang tepat, yang benar-benar dijabarkan secara hati-hati yang memusatkan perhatian pada kaum Muslim tanpa bertindak tidak adil terhadap kaum Muslim sendiri.
Kedua, terus meyakinkan berbagai kalangan yang tidak mau menyebutkan Islam sehingga pembahasan tentang Islam itu sepadan harganya. Ini berarti membereskan persoalan-persoalan mereka, bukan menghantam mereka dengan makian-makian. Itu berarti mengakui keraguan mereka dengan menggunakan alasan yang manis sehingga membiarkan rentetan serangan Islam memang berdampak.
Ketiga, membuktikan bahwa pembicaraan tentang Islamisme tidak mengarah pada upaya untuk menghancurkan Islam secara total. Caranya, dengan menjelaskan kerugian-kerugian yang terjadi akibat tidak disebutkannya nama musuh dan karena tidak mengidentifikasi Islamisme sebagai satu faktor. Memperhatikan bahwa pemerintah Muslim, termasuk Pemerintah Arab Saudi, mengakui bahwa Islamisme mengarah kepada terorisme. Menekankan bahwa kaum Muslim moderat yang menentang Islamisme memang menginginkan agar Islamisme dibahas secara terbuka. Mengatasi rasa takut bahwa pembicaraan yang terus terang tentang Islam justru mengasingkan kaum Muslim sehingga memicu kekerasan. Juga menunjukkan bahwa pembuatan profil orang (profiling) dapat dilakukan dengan cara yang disetujui secara konstitusional.
Singkatnya, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, meski tidak bisa mengharapkan bahwa berbagai diskusi itu mempengaruhi perubahan kebijakan. ***
Pipes (www.DanielPipes.org), Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah), awalnya menyampaikan makalah ini pada Institute for Counter-Terrorism di Herzliya, Israel.
[1] Protecting the Force: Lessons from Fort Hood, Departmen Pertahanan, Washington, D.C., Januari 2010.
[2] The Australian, 7 Nopember 2009.
[3] Associated Press, 5 Nopember 2012.
[4] Protecting the Force: Lessons from Fort Hood, halaman 18, catatan kaki 22.
[5] "List of Islamic Terror Attacks (Daftar Serangan Teror Islam) dari TheReligionOfPeace.com, diakses pada 19 Desember 2012.
[6] The New York Times, 9 Nopember 1990.
[7] The Independent (London), 19 September 1997.
[8] Uriel Heilman, "Murder on the Brooklyn Bridge," Middle East Quarterly, Summer 2001, hal. 29-37.
[9] The Houston Chronicle, 26 Februari 1997.
[10] Time Magazine, 21 Januari 2002.
[11] "Terror in LA?" Honest Reporting (Toronto), 8 Juli 2002.
[12] Los Angeles Times, 26 Oktober 2002.
[13] Daniel Pipes, "Murder in the 101st Airborne," The New York Post, 25 Maret 2003.
[14] Brett Kline, "Two Sons of France," The Jerusalem Post Magazine, 21 Januari 2010.
[15] "Italy: McDonald's Jihad Foiled," Jihad Watch, 30 Maret 2004.
[16] The Washington Post, 11 Januari 2005.
[17] Los Angeles Times, 30 Juli 2006.
[18] San Francisco Chronicle, 30 Agustus 2006.
[19] Phyllis Chesler, "Are Honor Killings Simply Domestic Violence?" Middle East Quarterly, Spring 2009, hal. 61-9.
[20] Dateline, NBC, 21 September 2001.
[21] Remarks, The Islamic Center of Washington, D.C., 27 Juni 2007.
[22] Remarks, UNITY 2004 Conference, Washington D.C., 6 Agustus 2004.
[23] Al-Arabiya News Channel (Dubai) 5 Oktober 2007.
[24] Anderson Cooper 360 Degrees, 3 Februari 2009.
[25] Kesaksian di hadapan Komisi Pengadilan DPR AS, 13 Mei 2010.
[26] Kesaksian di hadapan Komisi DPR AS untuk Keamanan Dalam Negeri, 13 Desember 2011.
[27] Sambutan Sidang Umum PBB, New York, 23 September 2010.
[28] "Nine Years after 9/11: Confronting the Terrorist Threat to the Homeland," pernyataan kepada Komisi Senat AS Urusan Keamanan Dalam Negeri dan Pemerintah, 22 September 2010.
[29] Newt Gingrich, "America Is at Risk," American Enterprise Institute, Washington, D.C., 29 Juli 2010.
[30] Ibid.
[31] Pidato kepada Los Angeles World Affairs Council, 1 Agustus 2006.
[32] Pidato di Foreign Policy Centre, London, 25 Agustus 2005.
[33] Konperensi Keamanan Munich (Munich Security Conference), F5 Februari 2011.
[34] Alexandr Vondra, "Radical Islam Poses a Major Challenge to Europe," Middle East Quarterly, Summer 2007, hal. 66-8.
[35] Joseph Lieberman, "Who's the Enemy in the War on Terror?" The Wall Street Journal, 15 Juni 2010.
[36] "The Great Test of This Generation," pidato di National Press Club, Washington, D.C., National Review Online, 20 Juli 2006.
[37] Scalia J., berbeda pendapat, Lakhdar Boumediene, et al., Petitioners, Supreme Court of the United States v. George W. Bush, President of the United States, et al.; Khaled A. F. Al Odah, next friend of Fawzikhalid Abdullah Fahad Al Odah, et al., Petitioners v. United States, et al., 12 Juni 2008.
[38] New York: 2007, hal. 8,
[39] Newt Gingrich, "America Is at Risk," American Enterprise Institute, Washington, D.C., 29 Juli 2010.
[40] Daniel Benjamin, "Name It and Claim It, or Name It and Inflame It?" The Wall Street Journal, 24 Juni 2010.
[41] Lieberman, "Who's the Enemy in the War on Terror?"
[42] Anderson Cooper 360 Degrees, 3 Februari 2009.
[43] Benjamin, "Name It and Claim It, or Name It and Inflame It?"
[44] Daniel Pipes, "The Enemy Within and the Need for Profiling," The New York Post, 24 Januari 2003.
[45] Daniel Pipes, "Security Theater Now Playing at Your Airport," The Jerusalem Post, 6 Januari 2010.
[46] M. Zuhdi Jasser, " Exposing the 'Flying Imams'," Middle East Quarterly, Winter 2008, hal. 3-11.
[47] "Fear Factor," 17 Desember 2004.
Pemutakhiran 31 Agustus 2014: Terungkapnya skandal seks anak Rotherham mengarah kepada dua faktor yang tidak banyak saya tekankan dalam analisis yang menjelaskan penyangkalan pihak berwenang di atas: (1) karena takut disebut rasis atau "fobia terhadap Islam" dan (2) tekanan politik dari para pemilih Muslim supaya tidak berbicara soal itu. Pada poin pertama, website officialdom ingin meyakinkan kaum Muslim bahwa pihaknnya tidak bersikap bias terhadap mereka. Dalam semangat ini, seorang politisi Inggris mencatat bahwa "polisi takut dituduh fobia terhadap Islam". Demikian juga dengan para politisi, wartawan dan akademisi.
Pemutakhiran 12 Februari 2015: Paul Berman menunjuk unsur lain dalam penyangkalan ini dalam tulisannya bertajuk "Does Talking About 'Islamism' Make Us 'Islamophobic'? How a 'high-level' panel discussion at the United Nations danced around definitions—and why it matters": ada ketakutan untuk menyinggung sentiment anti-Islam atau Muslim.
Pemutakhiran 15 Januari 2015: Douglas Murray menentang adanya "kebohongan yang mulia (noble lie) karena mengabaikan adanya fenomena Islamisme pada tulisannya bertajuk"'Religion of peace' is not a harmless platitude."
Topik Terkait: Terorisme
Artikel Terkait:
- Bibliography – My Writings on Denying the Jihadi Component in Terrorism
- Maj. Nidal Hasan's Islamist Life
- Denying [Islamist] Terrorism
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list