Awal tahun ini, Presiden Clinton secara terbuka meratapi kenyataan bahwa kaum Muslim Amerika menghadapi "diskriminasi" dan "intoleransi" di negara ini. Tak lama berselang, Senat pun menetapkan resolusi nan agung yang mengecam "diskriminasi dan perundungan" yang diderita oleh komunitas Muslim Amerika.
Tak satu pun pernyataan ini terjadi secara kebetulan. Sebaliknya, pernyataan-pernyataan itu lahir menyusul agitasi dan keluhan bertahun-tahun dari organisasi-organisasi yang berbicara atas nama beberapa juta kaum Muslim yang berdiam di Amerika Serikat. Organisasi-organisasi ini kini bertekad menindaklanjuti resolusi Senat dengan resolusi serupa oleh DPR. Untuk tujuan ini, Dewan Muslim Amerika (American Muslim Council ---AMC) mengeluhkan adanya "gelombang aksi diskriminatif yang sedang berlangsung." Sementara itu, Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations---CAIR) menyatakan bahwa "diskriminasi kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi Muslim Amerika." Menurut salah satu anggota dewan CAIR, "fobia terhadap Islam," atau ketakutan dan kebencian terhadap Islam, "sudah sampai pada tingkat epidemi."
Apakah ini benar?
Ironisnya, bukti yang sebagian besar disajikan oleh organisasi-organisasi Muslim sendiri memperlihatkan gambaran yang sangat berbeda tentang kehidupan Muslim-Amerika.
Dalam istilah sosial ekonomi, tentu saja, umat Islam bisa menemukan kesalahan kecil Amerika. Mereka berbangga termasuk tingkat pendidikan tertinggi di antara kelompok mana pun di negara ini. Tampaknya 52 persen dari mereka bergelar sarjana. Angka ini diterjemahkan dalam pola pekerjaan bergengsi yang memperoleh upah. Muslim imigran cenderung terkumpul dalam berbagai profesi (terutama kedokteran dan teknik). Atau dalam dunia wirausaha. Pendapatan mereka tampaknya lebih tinggi daripada rata-rata nasional AS. Tahun ini, pendapatan rumah tangga rata-rata konon $ 69.000. Majalah Muslim pun penuh dengan iklan rumah mewah, mobil mewah dan perhiasan mewah dan lebih dari sedikit Muslim menjalani kisah sukses imigran yang klasik dari hidup compang-camping menjadi kaya-raya.
Ada banyak taipan bisnis terkemuka komunitas Muslim-Amerika. Termasuk di dalamnya, Bijan (taipan untuk pakaian pria kelas atas), Rashid A. Chaudhry (produk perawatan pribadi), Ayhan Hakimoglu (persenjataan), Yusuf Harun (jasa konsultasi dan manajerial), Mansur Ijaz (manajemen investasi ), Faruq Kathwari (furnitur), Nemir Kirdar (modal usaha) dan Safi Qureshey (komputer). Ada Muslim Amerika terkaya yang tampaknya seorang insinyur perangkat lunak asal Turki. Namanya Kenan Eyup Şahin. Pada 1999, dia meraup $ 1,45 miliar (sekitar Rp 20 Triliun) ketika menjual perusahaannya, Kenan Systems kepada Lucent Technologies. Muslim Amerika karena itu dengan bangga mengatakan bahwa mereka adalah "masyarakat Muslim terkaya di dunia." Dan mereka benar.
Jika tidak tertindas secara ekonomi, maka kaum Muslim juga tidak mengalami banyak kesulitan untuk diterima di Amerika Serikat. Tidak hanya hal itu terjadi karena masyarakat Amerika gigih berusaha memahami Islam, tetapi, juga karena secara formal dan informal, tidak terhitung ada banyak ungkapan niat baik disampaikan kepada komunitas Muslim.
Pada tingkat pemerintahan, Presiden George Bush pada 1990 memulai kebiasaan memberikan ucapan selamat kepada kaum Muslim Amerika pada hari-hari raya (keagamaan) mereka. Setahun kemudian, kaum Muslim diundang untuk membuka sesi Kongres dengan pembacaan Al-qur'an. Presiden Clinton, ibu negara, dan Menteri Luar Negeri Madeleine Albright semuanya pernah menjamu delegasi Muslim untuk merayakan awal puasa Ramadhan yang berlangsung selama sebulan penuh. Pada 1997, National Park Service memasang lukisan bintang dan bulan sabit di White House Ellipse, di samping pohon Natal nasional dan menorah, tempat lilin dengan delapan dudukan untuk Hanukkah (baca: upacara mengenang penyucian kembali Bait Allah setelah dinajiskan oleh Bangsa Suriah pada 165 sebelum Kristus).
Militer AS juga sama-sama akomodatif. Pada 1992, sebuah pesawat militer membawa 75 tentara Muslim yang sudah didaftarkan menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Pada 1993 Angkatan Darat menugaskan ulama Muslim pertamanya bekerja pada lembaga itu. Angkatan bersenjata menyediakan makanan halal dan tidak mempersyaratkan adanya latihan fisik harian selama puasa Ramadhan.
Adapun untuk media, mereka memperlakukan Islam dan kaum Muslim dengan benar-benar lembut. Agama itu sendiri hanya digambarkan secara positif. Berbagai artikel menjelaskan pesona Islam (Harian Chicago Tribune misalnya menurunkan tulisan bertajuk: ""Searching Americans Embrace the Logic Behind the Teachings of Islam" ( Mencari Orang Amerika Memahami Logika di Balik Ajaran Islam") dan penghargaan spiritualnya (Orange County Register menurunkan: "In the Footsteps of the Prophets: A Pilgrimage to Mecca Defines a couple's Faith and Marriage"). Surat kabar–surat kabar secara teratur melaporkan senangnya masyarakat Amerika karena munculnya masjid di berbagai komunitas mereka serta fakta bahwa kaum non-Muslim pun kadangkala bahkan menyumbangkan dana untuk pembangunan masjid sehingga membuat kaum Muslim imigran kagum. Ramadhan menginspirasi satu kilasan liputan. Harian Los Angeles Times misalnya memuat tidak kurang dari tujuh berita utama selama musim liburan tahun lalu dan hampir setiap media Los Angeles lainnya mengikutinya.
Laporan berita yang simpatik memperlihatkan kaum Muslim sebagai tetangga yang baik. Sebagai contoh klasik dari impian Amerika. Dan sebagai bagian dari struktur masyarakat Amerika. Dari sudut pandang liputan media di Amerika Serikat, orang hampir tidak bisa meminta yang lebih baik.
Bagaimana dengan ekspresi publik Islam? Di sini lagi-lagi gambarannya terang benderang.
Hari Raya Keagamaan: Hari raya Islam memunculkan dua tantangan. Berdasarkan penanggalan bulan, hari-hari itu bergerak maju setiap tahun (matahari) sekitar sepuluh hari. Akibatnya, tidak mungkin menjadwalkan waktu perayaan setiap tahun secara teratur. Selama ini, ada beberapa hari raya agama utama. Salah satunya Ramadhan, yang berlangsung selama sebulan. Pada masa itu, kaum Muslim yang saleh berpuasa pada siang hari dan berpesta pada malam hari.
Kebiasaan ini tidak mudah berjalan iring dengan kebiasaan kerja Amerika. Namun beberapa perusahaan mengizinkan staf Muslim mereka untuk bekerja tidak penuh selama Ramadhan. Beberapa juga mengizinkan karyawan Muslim mengambil cuti beberapa pekan bahkan bulan yang diperlukan untuk menunaikan ibadah haji penuh ke Mekah. Para pengusaha terbukti kurang rela memberikan cuti selama dua hari untuk Hari Raya Idul Fitri, hari libur besar lain selain Ramadhan. Tetapi sejumlah pengusaha juga setuju di sini. Beberapa sekolah distrik termasuk Kota New York mengizinkan siswa Muslim untuk absen pada lima hari libur Islam (Kota New York juga menangguhkan peraturan parkir bergantian pada sisi jalan). Sementara itu kawasan Paterson, New Jersey benar-benar menutup sekolahnya untuk Idul Fitri.
Sholat. Umat Muslim diharuskan menegakkan sholat pada lima waktu yang ditentukan (tetapi berubah-ubah waktunya) sepanjang hari. Meskipun orang diperbolehkan untuk menebus sholat-nya kemudian, banyak Muslim bersikeras untuk sholat tepat waktu. Di kantor atau di sekolah, sholat ini terkait dengan persoalan izin untuk jangka waktu tertentu dan mencari tempat yang cocok. Mengingat ada jutaan masyarakat Muslim Amerika, maka dapat dikatakan sangat sedikit masalah yang muncul terkait hal ini padahal, banyak di antaranya melibatkan pabrik yang sulit membiarkan karyawan tidak hadir pada waktu kerja yang mereka pilih.
Banyak karyawan Muslim yang menggugat persoalan ini memenangkan gugatan terhadap majikan mereka atas sengketa yang terkait dengan sholat. Di Lincolnshire, Illinois, Mohammad Abdullah dipecat karena meninggalkan pekerjaannya sekitar tengah hari pada Hari Jum'at untuk sholat, meski ia secara teratur datang lebih awal untuk bekerja atau lembur sebagai penggantinya. Setelah membawa kasusnya kepada Equal Employment Opportunity Commission (Komisi Kesetaraan Peluang Kerja ---EEOC), dia memenangkan gugatannya. Dia mendapat $ 49.000 (sekitar Rp 696 juta). Di Jacksonville, Florida, Fareed Ansari memenangkan $ 105.216 (sekitar Rp 1,5 Miliar) dari Perusahaan Ray's Plumbing Contractor, mantan majikannya, dengan alasan yang sama.
Umat Muslim berhasil mencari tempat sholat pada berbagai perusahaan seperti American Industries, Cleo, Larus Corporation, Mark Hopkins Hotel di San Francisco, Minnesota Diversified Industries, Nu-kote International, St. Paul, sekolah-sekolah distrik Minnesota, dan Washington Metropolitan Area Transit Authority. Para pekerja Somalia di National Electric Coil di Columbus, Ohio berhasil meyakinkan majikan mereka untuk memberi mereka izin istirahat makan siang satu setengah jam untuk menghadiri sholat Jumat sore di luar pabrik. Jumlah itu tiga kali lipat dari jatah istirahat biasa. Di Columbia, Missouri sebuah sekolah menengah pertama sepakat dengan orangtua lima belas siswa Muslim untuk mengizinkan mereka menjalankan sholat selama jam sekolah.
Demikian pula, kala umat Islam menuntut tempat untuk sholat, perusahaan kadang menyisihkan satu tempat atau setidaknya memberi hak kepada pekerja untuk menggelar sajadah di salah satu sudut pabrik. Beberapa pekerja berhasil mendapatkan hak atas waktu istirahat mengambang yang dirancang agar bertepatan dengan waktu sholat yang selalu berubah-ubah, fasilitas kamar kecil dengan tempat wudhu dan kelompok belajar Alquran di tempat.
Jenggot. Memakai jenggot memiliki arti penting yang simbolis bagi sebagian para pria Muslim. Menjadi sarana untuk meniru Nabi Muhammad. Sekaligus menandakan bahwa mereka itu adalah anggota komunitas yang saleh. Meski dilarang oleh para majikan pada masa awal kerja, mereka sering memenangkan hak untuk melakukannya demikian. Ini kasus, misalnya, untuk Mohammad Sajid. Laki-laki kelahiran Pakistan ini sempat diberhentikan sebagai pencuci piring di sebuah restoran cepat saji di Sacramento tetapi akhirnya diterima kembali. Begitu pula pria Muslim di perusahaan seperti Adirondack Transit Lines, Coca-Cola, Hilton Hotels, McDonald's, Safeway dan Taco Bell.
Ketika seorang Muslim mengajukan persoalan ini kepada pengadilan, dia selalu menang. Pengadilan Minnesota misalnya memenangkan seorang Muslim yang dipecat karena menolak mencukur jenggotnya. EEOC menemukan bahwa United Parcel Service (UPS) mendiskriminasi seorang Muslim berjanggut di Illinois dengan menolak mempromosikannya menjadi pengemudi. Dan pengadilan banding federal di Newark, New Jersey menilai bahwa kebijakan departemen kepolisian Newark yang melarang petugas berjenggot "melanggar Amandemen [d] yang Pertama." Karena itu, kepolisian membayar gaji dan berbagai tunjangan lainnya yang seharusnya menjadi haknya sebesar $ 25.000 (sekitar Rp 356 juta) kepada seorang polisi Muslim.
Sopan-santun. Bagi wanita Muslim, jilbab, penutup kepala mirip kerudung penutup rambut, menjadi tanda sikap hati-hati secara seksual. Sekaligus sarana identifikasi diri. Majikan Amerika kadang-kadang menganggapnya agak menyinggung atau penghalang dalam hubungan pelanggan. Pada Maret 1999, lima wanita Muslim imigran menggugat sebuah perusahaan jasa keamanan di Bandara Internasional Dulles karena meminta mereka melepas syal. Kedua belah pihak kemudian menyelesaikan persoalan di luar pengadilan. Para wanita itu menerima permintaan maaf tertulis, ganti rugi $750 (sekitar Rp 1.050.000) dan, $ 2.500 (sekitar 35 juta) sebagai kompensasi tambahan. Perusahaan itu juga berjanji akan memberikan "pelatihan terkait soal keagamaan yang peka" di semua lokasinya di AS.
Mengingat preseden seperti itu, banyak kalangan setuju untuk mempertimbangkan kembali wanita Muslim berjilbab pelamar kerja yang ditolak lamarannya atau mempekerjakan kembali pekerja (berjilbab) yang telah meninggalkan pekerjaannya. Perusahaan-perusahan itu, misalnya, Bank of America, Bojangles 'Restaurant, Boston Market, Cox Communications, Domino's Pizza, Kmart, Manpower Inc., McDonald's, Sheraton Hotels, Taco Bell, University of California di Berkeley, dan US Airways. Sejumlah perusahaan juga sepakat memberikan "pelatihan soal keberagaman" kepada staf mereka. Setelah memecat sebelas wanita Somalia di gerai persewaan mobil di bandara Atlanta karena mengenakan gaun panjang hingga pergelangan kaki, Hertz cepat-cepat mempekerjakan mereka kembali meskipun dikatakan gaun panjang menyebabkan kesulitan para wanita itu sulit masuk dan keluar dari mobil.
Masalah sopan-santun juga muncul di sekolah-sekolah, mana para siswa hanya sebentar, hanya sebentar, melanggar aturan tentang cara berpakaian. Seorang gadis Muslim yang bersekolah di sebuah sekolah menengah di Fort Worth, Texas memperoleh izin mengenakan jilbab saat bermain sepakbola. Siswa sekolah menengah atas di Williamsport, Pennsylvania memperoleh hak berlatih renang wajib secara perorangan. Seorang anak laki-laki Muslim di Lincoln Middle School di Gainesville, Florida pada awalnya dipulangkan karena tidak mau memasukkan baju ke dalam celananya, tetapi kemudian diizinkan melanggar kode berpakaian sekolah ketika orangtuanya menjelaskan bahwa kemejanya tak dimasukkan dalam celananya karena longgar itu lebih sopan. Seorang pelamar wanita di University of Health Sciences di Kansas City, Missouri diterima sebagai mahasiswa kedokteran meski dia meminta tidak diraba-raba untuk diperiksa (secara medis) oleh rekan pria justru mengganggu praktik meminta para mahasiswa untuk belajar dengan memeriksa badan satu sama lain secara fisik. Dan seterusnya.
Masih ada sikap lain yang mengakomodasi perbedaan yang terjadi di ruang umum. Wanita Pennsylvania boleh mengenakan jilbab saat difoto supaya bisa mendapatkan SIM. Para ibu Muslim di Alsip, Illinois boleh berpakaian lengkap saat mengawasi anak-anak mereka di dalam kolam renang. Kasus yang sangat mengasyikkan di Portsmouth, Virginia melibatkan dua wanita Muslim. Keduanya ditahan sebentar karena mengenakan cadar, sehingga diduga melanggar Undang-undang anti-Ku Klux Klan yang melarang pemakaian topeng di depan umum. Yang tidak diketahui oleh para petugas yang menangkap mereka adalah bahwa undang-undang tersebut telah diubah pada 1991 untuk secara khusus mengizinkan kaum Muslim menutup kepala. Untuk kesalahan sesaat ini, Portsmouth harus membayar $100.000 (sekitar Rp 1,41 miliar) kepada setiap wanita. Jika jajak pendapat tidak ilmiah yang dilakukan oleh situs web lokal dapat diandalkan, maka dapat diketahui bahwa keputusan itu adalah keputusan populer dengan mayoritas 2 banding 1 setuju bahwa perempuan tersebut pantas mendapatkan kompensasi.
Seperti kita saksikan, para karyawan yang mengeluh itu sangat berhasil di pengadilan. Ia menjadi upaya yang membuat mereka kerapkali menemukan diri memperoleh keuntungan dari pelayanan pro-bono (baca: gratis) dari para pengacara non-Muslim serta uang dari lembaga-lembaga non-sektarian seperti Becket Fund. Lule Said, seorang imigran Somalia, yang pada 1991 bekerja sebagai Satpam Northeast Security of Brookline, Massachusetts mengalami kasus ini. Suatu ketika, seorang rekan kerjanya mengeluhkan asal-usul dan agamanya lalu mengatakan dia membenci Muslim, kemudian menyeka kakinya di atas sajadah milik Said dan menendangnya ke samping serta mengancam Said. Saat Said mengadu kepada atasannya, dia disuruh berhenti sholat atau kehilangan pekerjaan. Commission Against Discrimination (Komisi Penentang Diskriminasi) Massachusetts malah memberinya $ 300.000 (sekitar Rp 4,23 miliar). Kira-kira sama dengan gaji Said selama satu dekade. Pemberian uang itu mengabaikan Northeast Security. Ahmad Abu-Aziz, seorang imigran dari Yordania, mengeluhkan diskriminasi sejak mulai bekerja di United Air Lines pada 1994. Merasa diabaikan oleh atasannya dan kemudian diberhentikan dari pekerjaan karena dianggap melakukan kesalahan, dia lantas mengajukan persoalannya ke pengadilan. Juri pun memberinya $ 2,9 juta ( sekitar Rp 40,9 miliar) sebagai ganti rugi. Angka itu diperkuat lagi oleh pengadilan banding.
Apapun yang dikeluhkan kaum Muslim tentang kehidupan di Amerika, mereka tidak bisa secara sah mengeluh bahwa keluhan mereka tidak diterima. Karena memang, upaya untuk mengakomodasi persoalan-persoalan yang peka bagi kaum Muslim sudah melampaui masalah hukum dan hak kerja.
Dengan demikian, tokoh masyarakat yang mengeluarkan pernyataan yang dianggap bertentangan dengan Islam biasanya dibujuk untuk segera menebus kesalahannya. Kadang-kadang di bawah tekanan dari non-Muslim maupun Muslim. Ini bisa menjadi sangat ekstrim. Kasus ini terlihat pada awal tahun ini. Ketika anggota Kongres Partai Republik James Rogan menolak bertemu dengan seorang pemimpin Muslim, Salam Al-Marayati. Alasannya sangat tepat. Yaitu bahwa Al-Marayati "tampaknya seorang pembela teroris Muslim." Meski demikian, organisasi Yahudi dan Kristen bergegas membela Al-Marayati. Mereka pun karena itu berperan penting mendorong Rogan untuk mengungkapkan penyesalannya.
Sikap bersedia menarik kembali pernyataan juga bisa diperoleh ketika media menyinggung perasaan umat Islam atau melakukan kesalahan faktual. Jay Leno dari NBC's Tonight menarik kembali sketsa komedi yang tampaknya tidak menyinggung perasaan orang tentang taman hiburan imajiner di Iran. Dia, karena itu berjanji untuk "lebih berhati-hati pada masa datang." Martin Goldsmith, pembawa acara Performance Today pada National Public Radio menyampaikan "permintaan maaf yang tulus" karena telah menceritakan legenda tentang kekuatan seksual Nabi Muhammad. Ia karena itu berterima kasih kepada para pendengarnya karena telah menyampaikan keprihatinan mereka atas persoalan itu. Paul Harvey, mungkin penyiar radio yang paling banyak didengarkan di Amerika, menyebut Islam sebagai "agama penuh tipu" tetapi cepat menarik kembali "cercaan yang tidak disengaja" ini dan meminta maaf saat siaran karena telah "menyinggung perasaan" kaum Muslim.
Para penerbit buku melangkah lebih jauh. Sampai benar-benar menarik kembali buku-buku dengan biaya yang sangat besar yang harus mereka keluarkan sendiri. Simon & Shuster menarik kembali dari peredaran buku bacaan anak-anak Great Lives: World Religions setelah disadarkan soal perlakuannya yang negatif terhadap Nabi Muhamad. Buku Muslim Holidays oleh Faith Winchester dihancurkan jadi bubur, hanya karena memperlihatkan gambar-gambar Nabi Muhamad, karena mengalihbasakan nama satu hari raya agama dengan cara yang tidak standard dan karena mengisahkan ulang beberapa cerita rakyat yang aneh. Berapa banyak buku yang biasanya dihancurkan karena pelanggaran ringan seperti itu?
Sekolah sangat sensitif. Ketika seorang profesor di Southern Connecticut State University diduga memberi sebuah diktat bernada anti-Islam kepada seorang mahasiswa, universitas pun bereaksi. Mereka mengadakan seminar pendidikan tentang Islam. Seorang guru sekolah menengah di Rochester, Minnesota dipecat karena mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap praktek sopan-santun kaum Muslim, namun ditugaskan bekerja kembali di tempat itu. Dalam kata-kata seorang pejabat sekolah, "satu kali [lagi] salah langkah dan dia akan dipecat." Seorang profesor dari New Jersey yang mengatakan "Muslim sialan" di depan kelas dilaporkan kehilangan pekerjaan.
Di Internet, kaum Muslim dilindungi dari hal-hal yang rutin dikatakan tentang kaum kulit hitam atau Yahudi. AT&T WorldNet Service menghapus situs yang memfitnah Nabi Muhammad sebagai "pemerkosa" dan lebih buruk dari Hitler. GeoCities menghapus sebuah situs web yang menyebut Islam itu "ancaman bagi seluruh dunia." America Online menutup situs yang menerbitkan ayat-ayat Alquran palsu, dengan alasan bahwa situs itu "jelas dirancang untuk menyakiti dan memfitnah."
Dalam dunia bisnis, iklan yang meremehkan Islam ditarik dengan sigap. Total Sports, Inc. membatalkan iklan yang menampilkan sekelompok Muslim "berdoa" kepada bola basket. Burger King menarik iklan di mana tokoh dengan nama Muslim memuji sandwich Whopper restoran itu yang penuh pepak dengan dagin babi (dan karenanya non-halal). Sebuah iklan radio oleh perusaahaan lotere di Colorado yang dimulai, "Kamu pernah mendengar ungkapan lama tentang gunung yang datang mendekat kepada Muhammad ?," ditarik dengan alasan bahwa Islam melarang perjudian. Karena keberatan kaum Muslim, Harian Los Angeles Times membatalkan kampanye promosi yang tidak berbahaya yang membandingkan dua jenis pembaca wanita: berbikini dan berpakaian cadar. Perusahaan lain — termasuk Anheuser-Busch, DoubleTree Hotels, MasterCard International, Miller Brewing Company, Seagrams, dan Timeslips Corporation — juga telah melakukan hal yang sama.
Penggunaan aksara Arab untuk tujuan dekoratif seringkali menyebabkan adanya keluhan, dan perusahaan merespon dengan cepat. Warehouse One menarik kemeja wanita bertuliskan tulisan Arab dari Al-Qur'an di bagian depan dan lengan. Dalam insiden serupa, Liz Claiborne menghentikan penggunaan huruf Arab dan mengeluarkan permintaan maaf yang memalukan.
Penggunaan tulisan Arab digunakan untuk tujuan dekoratif kerapkali mengundang munculnya keluhan. Dan, berbagai perusahaan cepat sekali menanggapinya. Perusahaan Warehose One menarik satu jenis kaus wanita yang bertuliskan hurup Arab dari Al-Qur'an di bagian depan dan lengannya. Dalam insiden yang sama, Liz Claiborne menghentikan penggunaan huruf Arab lalu menyampaikan permintaan maaf yang memalukan. Ketika CAIR mengeluh bahwa logo pada sepatu basket Nike bisa diinterpretasikan sebagai kata Allah dalam tulisan Arab, maka meski menolak niat seperti itu, Nike, menarik sepatu itu dari pasaran lalu memperkenalkan perubahan desainnya dan membuat CD dan video pendidikan tentang Islam. Perusahaan juga sepakat mendanai kegiatan-kegiatan di lingkungan komunitas Muslim, untuk mendonasikan produk Nike kepada kelompok amal Islam juga untuk membayar fasilitas olahraga di beberapa sekolah Islam. Pembayaran pertamanya adalah $50.000 (sekitar Rp 705 juta) untuk Dar Al-Hijrah Islamic Center di Virginia utara.
Tulisan ini berniat hendak menyangkal bahwa beberapa tingkat bias terhadap Muslim memang ada di Amerika Serikat. Tetapi tidak ada komunitas imigran atau kelompok agama non-Protestan yang sepenuhnya lepas dari prasangka seperti itu. Umat Buddha dan Hindu, para penganut agama yang bagi kebanyakan orang Amerika masih terasa lebih asing daripada Islam, juga menghadapi bias dan menjadi sasaran ejekan.
Masih ada hal yang jauh lebih penting lagi. Yaitu bahwa bias terhadap Muslim itu adalah kepentingan kecil yang dibatasi, dianggap ilegal dan relatif kecil. Linda S. Walbridge, seorang antropolog yang memusatkan perhatiannya dalam kajian tentang komunitas Muslim Amerika, menawarkan perbandingan yang berguna dengan sentimen anti-Katolik. Ia, juga, menulis, "tidak menghilangkan Katolik dari Amerika. Tetapi pada tingkat yang cukup rendah tentunya tidak menghalangi umat Katolik untuk berpartisipasi dalam semua bidang kegiatan. Tidak ada alasan untuk berpikir," tambah Walbridge, bahwa Muslim "akan mengalami sesuatu yang jauh berbeda." Penyesuaian apa pun mungkin masih diperlukan untuk mengakomodasi keyakinan baru dan asing. Catatan tersebut menunjukkan fleksibilitas yang mengesankan di pihak institusi Amerika, publik dan swasta, untuk mengakui Islam maupun untuk membantu kaum Muslim.
Apakah orang Amerika Muslim biasa (berbeda dengan juru bicara organisasi mereka) sadar akan nasib untung yang mereka alami? Sebuah survei yang dilakukan pada pertengahan 1980-an menunjukkan bahwa mereka memang demikian. Menurut pernyataan ringkasannya:
Tidak ada Muslim yang diwawancarai melaporkan pernah mengalami perundungan pribadi apa pun di tempat kerja atau mengetahui apa pengalaman yang dialami oleh teman atau rekan kerja entah karena mereka itu Muslim atau orang asing. Orang-orang yang diwawancara itu pun tidak melaporkan adanya persoalan ketika membeli atau menyewa rumah atau apartemen menyusul adanya persepsi atas prasangka.
Dalam sebuah jajak pendapat pada awal 1990, para perempuan muda Muslim "menyangkal bahwa mereka ditindas dengan cara apa pun di Amerika Serikat. Sementara itu, jajak pendapat AMC tahun ini menemukan 66 persen setuju dengan pernyataan bahwa "masyarakat AS kini memperlihatkan rasa hormat mereka terhadap Agama kaum Muslim."
Kaum Muslim pun sepakat. "Hidup kami di daerah ini luar biasa dan kami menyukainya," kisah seorang imigran ke Virginia kepada Washington Post. Sementara itu, Fereydun Hoveyda, mantan pejabat Iran yang sekarang tinggal di New York, menemukan bahwa di Amerika Serikat "sama sekali tidak ada sikap bermusuhan terhadap Islam. " Bahkan Ibrahim Hooper dari CAIR, yang mungkin satu-satunya orang yang paling vokal mengeluh tentang "Islamofobia," mengakui bahwa "kebijakan domestik terhadap komunitas Muslim cukup baik." Khaled Saffuri dari Islamic Institute (Institut Islam) melangkah lebih jauh. Dia mengakui bahwa di Amerika Serikat "secara relatif dapat dikatakan bahwa ada derajat kebebasan yang lebih baik dibandingkan dengan banyak negara Muslim."
Jika orang mau berspekulasi tentang alasan dari keadaan yang membahagiakan ini, maka ada dua penjelasan muncul di benaknya. Salah satunya, karena masyarakat Amerika terbuka terhadap para imigran beserta hal-hal eksotis yang berpadu dengan watak yang sudah berakar dalam sejarah untuk menawarkan lapangan bermain yang setara bagi semua orang. Yang lainnya adalah multikulturalisme yang sejati. Bukan doktrin spekulatif "keberagaman" ras dan etnis yang begitu sukses dipaksakan pada lembaga-lembaga Amerika tetapi kesediaan tulus untuk menerima dan belajar dari peradaban lain. Faktor-faktor lain juga berperan. Termasuk bertumbuhnya lembaga pemerintah yang khusus mengkaji persoalan itu (regulatory arm of government). Dan terutama, kesiapannya untuk mendikte peraturan di tempat kerja. Muslim Amerika dengan cepat memanfaatkan keuntungan ini, seperti, tentu saja, hak mereka.
Adalah hak CAIR, AMC dan Muslim Public Affairs Council (MPAC) juga untuk mencurahkan sumberdaya mereka guna mempromosikan gagasan bahwa kaum Muslim menjadi korban. Tetapi kenyataannya, dengan keras kepala, justru sebaliknya. Jauh dari menjadi korban. Komunitas kaum Muslim-Amerika itu kuat dan maju dengan mantap. Bagi kaum non-Muslim Amerika, setidaknya, pelajarannya harus jelas. Meskipun mereka terus menyambut partisipasi aktif Muslim dalam kehidupan Amerika, tidak ada alasan untuk jatuh. Apalagi untuk mendukung tuduhan palsu "diskriminasi dan pelecehan."
Topik Terkait: Kaum Muslim di Amerika Serikat
Artikel Terkait:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list