Catatan pengarang: Kajian ini diumumkan sebagai sebuah tulisan "yang akan datang" dalam buku saya yang dikeluarkan pada 1983 bertajuk In the Path of God: Islam and Political Power (New York: Basic), hal. 348, fn. 47. Perlu waktu 38 tahun untuk menyelesaikan tulisan ini. Tetapi, inilah tulisannya. Dengan subjudul berbeda. Artikel ini adalah bagian pertama tulisan. Tagian dua, tentang masa modern bakal hadir dalam isu selanjutnya.
*****
Dalam sebuah percakapan yang tampaknya terjadi pada 13 Juli 634, tepat dua tahun pasca-wafatnya Nabi Muhamad, seorang laki-laki tua ditanya, apakah pendapatnya tentang "nabi yang muncul di kalangan kaum Saracen?" Dia menjawab bahwa Nabi Muhamad itu "penipu. Apakah para nabi itu datang dengan pedang dan kereta berkuda?" Laki-laki lainnya sepakat, lalu menegaskan, "Tidak ada yang benar dari yang namanya nabi itu. Hanya pertumpahan darah." Beberapa bulan kemudian, dalam sebuah kotbah Perayaan Natal pada 634, Patriark Yerusalem menyebutkan kaum Muslim sebagai "kotoran busuk kaum Saracen yang tidak ber-tuhan [yang] mengancam terjadinya pembantaian dan perusakan." [1]
Dengan demikian, reaksi kaum Kristen terhadap kaum Muslim secara tidak menguntungkan dimulai pada saat gairah agama mencapai puncaknya dan kesediaan untuk menerima pengaruh baru justru berada pada titik terendah. Tanggapan penuh permusuhan ini belakangan sebagian besar bertahan tidak berkembang selama milenium berikutnya. Sejak 634 hingga1700. Hanya dalam tiga abad terakhir sikap itu berevolusi, mencampuradukkan permusuhan lama itu dengan sesuatu yang sangat berbeda.
Halaman-halaman berikut memberikan kerangka tanggapan umat Kristen terhadap Islam dan kaum Muslim selama milenium. Mengapa Eropa [2] begitu lama menilai kaum Muslim secara negatif? Bagian II tulisan ini akan menanyakan mengapa sebagian persoalan ini berubah dan bagaimana situasi saat ini.
Militer – Di luar Eropa
Ada dua tantangan; militer dan relijius. Keduanya menjelaskan berawal dan berlarut-larutnya semangat permusuhan Eropa terhadap kaum Muslim. Bukan saja karena kaum Muslim menaklukkan banyak kekaisaran Kristen sebelum 1700 sekaligus mengancam apa saja yang bersikeras menentang kekuasaan mereka. Tetapi juga karena mereka menghadirkan sebuah tantangan relijius yang tunggal. Perpaduan dari kedua tantangan ini memberikan peran yang unik kepada mereka.
Apa yang disebut sebagai "garis depan perang tertua di dunia" [3] dibuka dengan kemenangan militer kaum Muslim atas kaum Kristen. Dua tahun setelah Nabi Muhammad wafat pada 632, kaum Muslim mulai menyerang wilayah Bizantium di sebelah utara Arab. Hanya delapan puluh dua tahun kemudian, mereka sudah menaklukkan tanah yang membentang dari Pegunungan Pyrenea hingga Asia Tengah. Kaum Kristen dengan demikian menjadi mayoritas penduduk di banyak wilayah yang berada di bawah kendali Muslim. Termasuk kawasan Suriah, Mesir, Nubia, Afrika Utara, dan Spanyol. Demikian pula yang terjadi pada banyak kaum Kristen yang berdiam di Irak dan Iran. Nyatanya, dalam waktu kurang dari seabad, hampir seluruh Kekaisaran Kristen di luar Eropa dan Anatolia mendadak tergabung dalam apa yang oleh kaum Muslim disebut Dar al-Islam (wilayah yang dikuasai para penguasa Muslim).
Selama masa pramodern, Kristen menjadi populasi terbesar yang jatuh ke tangan kekuasaan Muslim. Termasuk di Suriah, Mesir, Nubia, Afrika Utara dan Spanyol serta penduduk yang berdiam di Irak dan Iran. Di Eropa, setelah 995, kaum Muslim semakin gencar melakukan berbagai serangan hingga tahun 1700. |
Beberapa kawasan di luar Eropa yang lolos dari pembantaian awal Bangsa Arab akhirnya jatuh juga dalam penaklukan Muslim. Tetapi, ada satu pengecualian. Konstantinopel, Ibukota Kekaisaran Bizantium sekaligus pintu gerbang menuju Eropa bersikeras bertahan terhadap serangan Muslim selama delapan abad. Serangannya berawal dengan satu ekspedisi angkatan laut Muslim pada 654. Kota itu akhirnya jatuh di tangan Kekaisaran Utsmaniyah Turki pada 29 Mei 1453. Itulah salah satu tanggal paling kelam sekaligus paling menggetarkan dalam sejarah Kristen. Kekaisaran Bizantium berhasil berdiri kokoh di Anatolia selama empat abad, sejak 653- 1071, tetapi Turki menyerbu tanah-tanahnya dan akhirnya menghapus Kerajaan Yunani terakhir itu pada 1461. Armenia jatuh ke tangan kekuasaan Muslim pada 666 dan tetap ditaklukkannya pada masa-masa selanjutnya. Kecuali selama satu masa panjang. Selama tahun 885 – 1375. Demikian pula, Georgia. Negeri itu jatuh di bawah kendali Muslim pada 654. Meski demikian, dia pernah menikmati kebangkitan kembali pada abad pertengahan, dan jatuh kembali di bawah Pemerintahan Muslim pada abad keenam belas. Banyak umat Kristen Maronit yang berdiam di berbagai dataran Suriah melarikan diri dari kekuasaan Muslim dengan pergi ke pegunungan Libanon. Di sana mereka mempertahankan kemerdekaan melewati sebagian besar era Islam tetapi akhirnya jatuh ke tangan Kekaisaran Utsmaniyah. Kerajaan Dongola di Sudan baru berakhir sekitar 1350 dan kerajaan tetangganya, kerajaan Alwa bertahan sampai 1504.
Hanya kekaisaran Kristen Ethiopia yang mampu bertahan terhadap dorongan Muslim untuk mendapatkan tanah jajahan. Hal itu menyebabkannya menjadi kawasan Kristen unik di luar Eropa yang mampu bertahan hidup. Kerajaan itu pun bakal menyerah kepada jihad jika tidak ada apa yang disebut sejarahwan Elaine Sanceau sebagai campur tangan dari "agaknya semacam mukjijat dari sekelompok kecil kontingen orang Portugis yang berperang atas namanya. [4]. Peristiwa itu memang, nyaris sebuah mukjizat. Soalnya serangan kaum Muslim pada 1529 -1543 pimpinan Ahmad Gran bisa saja merebut kerajaan Kristen kuno itu jika 350 pembom dan tentara bersenapan Portugis bersama 200 orang Ethiopia tidak berhasil menang melawan 15.000 pemanah, 1.500 tentara berkuda dan 200 tentara Turki bersenjatakan senapan laras panjang.
Para pastor Orthodoks Ethiopia menghadiri sebuah upacara keagamaan di Addis Ababa, Ethiopia. Pada abad ke-4, Ethiopia menjadikan Agama Kristen sebagai agama negara. Ia menjadi satu-satunya kerajaan Kristen di luar Eropa yang bertahan terhadap dorongan kaum Muslim untuk mendapatkan wilayah. Lebih dari 60 persen masyarakat Ethiopia tetap Kristen sekarang ini. |
Tanah Kristen ini justru kalah tatkala Levant dan Afrika Utara menjadi jantung utama Agama Kristen yang menampung sebagian besar populasinya, mempunyai berbagai institusi penting beserta pusat-pusat budayanya. Jadi bukan dikalahkan oleh Eropa. Pemerintahan Muslim lalu menghancurkan keunggulan Agama Kristen di timur sekaligus menghancurkan kekuatan gerejanya. Empat dari lima patriarkat Agama Kristen timur (Patriarkat Aleksandria, Antiokhia, Konstantinopel, Yerusalem) kehilangan banyak otonomi dan pengaruh ketika dipimpin oleh pemerintahan Muslim. Padahal, masyarakat Eropa Barat, tulis Norman Daniel, menilai Kekaisaran Kristen sebagai "sebuah bangsa, yang sepertiga propinsi-propinsi terbaiknya dan banyak kawasan lain setelah itu dijarah Islam menyusul kebangkitannya." [5] Eropa dengan demikian menjadi kawasan yatim piatu.
Lebih dekat ke Eropa terlihat bahwa setiap pulau besar di Laut Mediterania berada di bawah dominasi Muslim. Masa kekuasaannya bervariasi. Dari beberapa bulan seperti di Sardinia, hingga lebih dari enam abad di Siprus misalnya. Kaum Muslim menguasai Kepulauan Balearic dari 903 hingga 1228 kemudian menjarah pulau-pulau tersebut ratusan tahun sebelum dan sesudah masa itu. Mereka memerintah Corsica dari 814 hingga awal abad kesepuluh; Kreta pada 826-961 dan 1669-1897. Menguasai Siprus pada 649-965 dan 1573-1878; Malta pada 869-1091. Rhodes pernah dijajah Muslim sebentar pada 653-58 dan 717-18, lalu pada 1522-1912. Menguasai Sardinia pada 1015-16 dan Sisilia dari 827 (meski hanya sebagian pulau yang dikuasai Muslim sebelum 965) hingga 1091.
Sedangkan untuk daratan Eropa, gelombang para penjajah itu menyerangnya selama masa kuno dan awal abad pertengahan. Kecuali invasi Mongol ke Eropa timur pada 1240 - 1241, bangsa-bangsa non-Muslim seperti Bangsa Kelt, Goth, Magyar dan Viking pun pernah menyerang Eropa. Tetapi serangan mereka berakhir pada 955. Sebaliknya, kaum Muslim terus menyerang Eropa selama hampir delapan ratus tahun, hingga 1700. Jadi, selain Bangsa Mongol serangan atas Eropa pasca-955 datang sangat banyak dari kaum Muslim (banyak pula Bangsa Mongol yang masuk Islam sehingga mereka juga hampir cocok dengan pola tersebut),
Jihad datang dalam dua gelombang utama. Berupa kampanye Bangsa Arab di barat dan ini terjadi sejak abad kedelapan hingga abad kesepuluh. Kemudian, ada kampanye Turki di timur yang berawal sejak abad keempat belas hingga ketujuh belas. (Dua era kekuasaan kaum Muslim atas Kreta, Siprus dan Rhodes misalnya mencerminkan serangan ganda ini.)
Di daratan Eropa, Kaum Kristen sering menyerah kalah pada serangan Muslim. Bangsa Arab menaklukkan Spanyol antara 711 dan 716 serta menghancurkan kerajaan Kristen Visigoth di sana. Dari sana, pasukan merangsek menuju Gaul (baca: Prancis pada masa itu) dan pada 732 mencapai Poitiers, dua ratus mil barat daya Paris. Edward Gibbon secara mengagumkan berspekulasi bahwa, jika bukan karena kemenangan kaum Frank di Poitiers maka,
Sekolah-sekolah Oxford kini mungkin bakal ajarkan interpretasi Al-Qur'an. Mimbar-mimbar sekolahnya mungkin saja memperlihatkan kesucian dan kebenaran wahyu Nabi Muhamad kepada orang-orang bersunat. [6]
Walau tidak berhasil membangun basis pertahanan yang kokoh di luar Iberia, namun, serangan Bangsa Arab menjadi fakta kehidupan yang tidak menyenangkan di banyak bagian Eropa abad kesembilan dan kesepuluh. Pernah ada satu ekspedisi penting membawa para penjajah Muslim pada 846 ke pinggiran kota Roma. Di sana mereka menyerang gereja kepausan, Basilika Santo Petrus. Pascaserangan ini, sebuah tembok pun dibangun untuk melindungi paus dengan tenaga kerja yang sebagian besar diambil dari tahanan milik Muslim. Akhirnya, upaya perlindungan diri ini mengarah pada pembentukan Negara Vatikan merdeka. Italia pun suatu waktu pernah menjadi tuan rumah sebuah emirat Muslim merdeka, pada 853 - 871. Sebuah emirat kecil yang berpusat di Bari, di dekat ujung selatan Italia) sebagaimana adanya.
Para perampok Arab berhasil merebut Kota Fraxinetum (kini disebut Garde-Frainet) dekat St. Tropez di Côte d'Azur pada 889 dan menguasainya selama hampir setengah abad. Dari sana, mereka menjelajah Lembah Rhine hingga mencapai Swiss. Pada suatu kesempatan, pada 954, mereka menjarah biara St. Gallenus di tepi Danau Konstanz di perbatasan Swiss-Jerman saat ini. Pada 920-an, mereka berhasil menguasai banyak jalur yang melewati Pegunungan Alpen.
Para era 920-an, Kaum Muslim menguasasi banyak jalan yang melewati Gunung Alpen. Pada 954, para penjarah Bangsa Arab merangsek Biara St. Gallenus (di atas), yang kini berada di antara perbatasan Swiss – Jerman. |
Bangsa Arab meluaskan sayap kekuasaannya ke timur ke Athena di mana sebuah koloni Muslim sudah hidup sekitar tahun 1000. Mereka membangun masjid di atas tanah bekas sebuah kuil kuno. Asclepium namanya. Mereka pun hidup sebagai buruh kota itu. [7] Serangan-serangan ini masih diperingati dengan nama-nama tempat. Dengan demikian, Pontresina, sebuah kota dekat St. Moritz, Swiss, mendapatkan namanya dari bahasa Latin "Pons Saracenorum," atau Jembatan Bangsa Saracen, sebuah istilah abad pertengahan untuk Bangsa Arab dan Muslim. [8] Meskipun menakutkan dan terukir kuat dalam ingatan penduduk setempat, serangan ini tidak lama bertahan. Memang, selama berabad-abad setelah merebut Spanyol, kaum Muslim tidak membuat kemajuan yang langgeng di Eropa.
Gelombang penaklukan kedua berawal pada 1356 ketika Kekaisaran Utsmaniyah Turki berhasil menyeberangi Bosporus dan kemudian merebut Gallipoli dari Kekaisaran Bizantium. Selama beberapa abad selanjutnya, Kekaisaran Utsmaniyah pun merebut Yunani dan hampir seluruh wilayah Balkan, sebuah fakta yang kembali diperingati dengan banyak nama tempat. Balkan, misalnya, adalah Bahasa Turki untuk gunung. Banyak bangsa Kristen, termasuk Yunani, Serbia dan Hongaria, berada di bawah pemerintah Muslim. Gerak maju Kekaisaran Utsmaniyah mencapai puncaknya dengan dua pengepungan Wina yang gagal pada 1529 dan 1683.
Sebagai bagian dari upaya untuk membebaskan Yunani dari kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah, koalisi tentara bayaran Eropa membombardir Parthenon, yang digunakan oleh Turki sebagai gudang senjata. Sebuah serangan langsung dilancarkan pada September 1687. Kebakaran hebat pun terjadi. Hanya menyisakan reruntuhan yang kini akrab kita kenal. (Ledakan akibat kebakaran itu berdampak memaksa Turki untuk menyerah.)
Kekuasaan Turki melampaui daerah-daerah Balkan: Di utara, Kekaisaran Utsmaniyah menguasai Podolia, sebuah wilayah Polandia dari 1672 hingga 1699. Di sebelah timur, ada sebuah dinasti Muslim merdeka menguasai Krimea dari 1475 hingga 1774. Dan ke barat, mereka untuk sementara menguasai Otranto (sebuah wilayah Italia) dan Italia pada 1480-1481. Kekuatan laut Muslim nyaris mencapai hampir semua pantai. Dalam kasus ekstrim, dua kelompok perompak Barbary, satu dari Maroko dan satu lagi dari Aljazair, mendarat di Islandia pada 1627. Dalam sebuah insiden yang dikenal sebagai Tyrkjaránið mereka menjarah ratusan tawanan untuk dijual sebagai budak di kampung halaman mereka. Masalahnya mungkin saja berbeda, walau serangan itu tidak banyak berhasil. Perhatikan serangan atas Italia, yang ditinggalkan karena kendala internal dalam Kekaisaran Utsmaniyah sendiri yang seperti diperlihatkan Bernard Lewis, berkonsekwensi besar.
Perang yang mereda ini menyebabkan Prancis mampu menaklukan negara-negara Italia. Satu demi satu. Nyaris tanpa perlawanan pada 1494-1995. Ini memperlihatkan bahwa jika Turki bersikeras dengan rencana mereka untuk menyerang, maka mereka bisa menaklukan sebagian besar atau seluruh Italia tanpa kesulitan yang berarti. Penaklukan Turki atas Italia pada 1980, ketika Renaissance baru dimulai, bisa saja mengubah sejarah dunia. [9]
Memperhatikan seluruh benua Eropa, maka terlihat bahwa pada suatu saat Muslim pernah menguasai sebagian besar atau semua negara modern Portugal, Spanyol, Hongaria, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Serbia, Montenegro, Makedonia Utara, Kosovo, Albania, Yunani, Bulgaria, Rumania, Belarusia dan Moldova. Selain itu, mereka juga menguasai beberapa bagian Prancis, Swiss, Italia, Austria, Polandia, Lituania, Slovakia, Slovenia dan Ukraina.
Luasnya kehadiran Muslim ini berarti bahwa selama 12 abad Kristen berulangkali meraih kemerdekaan melawan Muslim. Mulai dari Reconquista Spanyol (baca: serangkaian perjuangan untuk merebut kembali daerah kekuasaan) yang berawal pada 722 hingga perang kemerdekaan Albania pada 1912. Tidak mengherankan bahwa Muslim secara luas dipandang musuh utama sehingga identitas nasional bangsa-bangsa di sebagian besar Eropa Selatan terbentuk sebagai perlawanan terhadap mereka. Terutama di Portugal, Spanyol, Sisilia, Serbia, Yunani, Bulgaria, dan Rumania. Bangsa Arab, Saracen, Moor, Turki yang mengerikan, gerombolan Tatar dan bajak laut Barbary dengan demikian menjadi semacam kekuatan pembangkit yang membuat kaum Kristen menjadi berani. Para martir Kristen (terutama, Raja Louis IX dari Prancis) menjadi terkenal karena reputasinya melawan kaum Muslim.
Kaum Muslim juga memainkan peran ini dalam bidang kesusastraan. Mulai dari sastra abad pertengahan seperti Chanson de Roland dan Cantar de mio Cid hingga sastra masa modern awal seperti Don Quixote dan Os Lusíadas hingga sastra masa modern Le Camp des Saints and Soumission.[10] Lagu Kebangsaan Andorra (baca: kerajaan kecil di pegunungan Pyrenea, di perbatasan Prancis dan Spanyol) dan yang diadopsi pada 1921 dimulai dengan pernyataan, "The great Charlemagne, my father, liberated me from the Saracens" (Charlemagne yang agung, ayahku, membebaskan saya dari kaum Saracen).
Permusuhan dengan kaum Muslim mendorong lahirnya teknologi militer. Galileo, misalnya, mengembangkan teleskop tidak hanya untuk membuktikan Teori Heliosentris Copernicus tetapi juga sebagai "kaca mata-mata" (spy glass) yang dapat digunakan intelijen militer supaya bisa melihat kapal Angkatan Laut Kekaisaran Utsmaniyah dua jam lebih awal daripada dengan mata telanjang.[11] Berbagai penemuan dalam bidang kelautan karena itu terinspirasi oleh situasi terkepung oleh kaum Muslim yang berawal dengan penemuan yang didorong oleh Pangeran Henry sang Navigator dari Portugal (1394-1460).
Sementara itu, ada sekelompok kecil masyarakat Muslim mendiami kawasan yang membentang dari Spanyol melintasi Afrika Utara hingga Levant, Asia Tengah dan Siberia. Akibatnya, Eropa abad pertengahan terpisah dari belahan bumi timur lainnya. Merasa efektif dikelilingi oleh Islam bagaimanapun semakin memperburuk pandangan mereka. Bukan cuma sedikit Bangsa Eropa sulit menjangkau kaum Muslim; berbagai laporan non-Muslim Afrika dan Asia pun sering diterima dengan skeptis. Laporan perjalanan dari Marco Polo misalnya.
Karena terkepung oleh Muslim serta "disibukkan dengan masalah-masalah langsung akibat ancaman Islam, dunia Eropa hampir sepenuhnya tidak memperhatikan kawasan Timur-nya yang [non-Muslim] sebagai tanah yang sebenarnya," tulis sejarawan Donald Lach. [12] Kaum Kristen nyaris tidak menyadari betapa terbatasnya visi mereka: "Islam tidak hanya mewajibkan kaum Kristen untuk hidup di dunia kecil tertutup ... ia juga membuat mereka merasa bahwa keberadaan seperti itu adalah sesuatu yang normal," catat John Meyendorff. [13] Selain itu, Bangsa Eropa kerapkali merasa terisolasi dan tidak berdaya. Roger Bacon, karena ini pada penghujung era 1260-an menulis, "ada segelintir umat Kristen. Seluruh penjuru dunia diduduki oleh orang kafir dan tidak seorang pun memperlihatkan kebenaran kepada mereka." [14] Klaustrofobia atau ketakutan berada di tempat kecil bangsa Eropa karena terkepung musuh ini berlangsung hingga 1450.
Selama sekitar seribu tahun, sejak serangan awalnya atas Konstantinopel pada 654 hingga serangan kedua di Wina pada 1683, Muslim menjadi tantangan eksternal paling konsisten bagi Eropa. Itu menyebabkan selama lebih dari satu millennium, Eropa sangat khawatir dengan persoalan kekuasaan Muslim. Tantangan agama Islam pun belakangan memperkuat perasaan terancam ini.
Persoalan Keagamaan – Agama Palsu dan Nabi Muhamad
Bangsa Eropa mengkhawatirkan Agama Islam sama seperti mengkhawatirkan tentara Muslim. Islam menghadirkan beberapa tantangan unik bagi agama Kristen: Islam dipandang palsu. Menganggap diri menyempurnakan Injil dan menggantikannya. Ia menawarkan sebuah cara hidup alternatif yang bersemangat sekaligus menarik. Dan ia menarik lebih banyak orang Kristen untuk berpindah masuk agama itu dibanding dengan agama lain. Administrator Skotlandia terkemuka di India sekaligus cendekiawan Islam, Sir William Muir, karena itu menulis pada 1845 bahwa Islam adalah "satu-satunya antagonis Kristen terbuka yang tangguh." [15] Wilfred Cantwell Smith lantas menambahkan pada 1957: "Hingga Karl Marx dan kebangkitan komunisme, Sang Nabi mengorganisir dan meluncurkan satu-satunya tantangan yang serius bagi peradaban Barat yang dihadapi Barat sepanjang sejarahnya."[16]
|
|||