Acara tersebut mengundang pembicara tambahan, Nguyen Hoan dari Kedubes Vietnam Selatan di Washington. |
Lima puluh tahun lalu. Beberapa teman dan saya memberanikan diri mensponsori apa yang kami sebut sebagai "Counter Teach-In: An Alternative View" (Diskusi Tandingan: Sebuah Pandangan Alternatif). Acaranya dilaksanakan di Universitas Harvard, pada 26 Maret 1971. Diskusi itu mendukung keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam. Sebuah posisi yang kasarnya kala itu kira-kira sama berlebihannya dengan di kampus-kampus masa kini ketika mengatakan bahwa Israel harus mengalahkan Palestina.
Para penentang perang mengganggu acara. Dengan demikian, sejak awal mereka menggebrak hendak melakukan "budaya membubarkan acara" yang sudah mulai mengambil alih kehidupan kampus. Akibatnya, para staf dosen serta mahasiswa kini diselidiki oleh pimpinan kampus (star chamber) yang memberlakukan keputusan sewenang-wenang sebelum memecat dan mengeluarkan orang karena berdosa meyakini pandangan yang salah. Demikian pula, kata-kata keras yang tidak diikuti dengan tindakan tegas dari pimpinan Harvard menunjukkan pertanda adanya perilaku pengecut dari para pengola universitas yang berani berbicara tetapi tidak berani bertindak.
Acara
Diskusi Tandingan itu dikenal luas sebagai "peristiwa politik penting pertama Harvard yang diprakarsai mahasiswa konservatif dalam kurun waktu lebih dari lima tahun," jelas surat kabar mahasiswa, Harvard Crimson. Diorganisir sebagai Students for a Just Peace (SJP), kelompok kecil kami yang tabah dan tangguh mengundang lima pembicara untuk membahas mengapa pasukan AS harus mendukung Pemerintah Vietnam Selatan. Para pembicaranya adalah; Dolph Droge, Penasihat Gedung Putih untuk Urusan Vietnam; Anand Panyarachun, Duta Besar Thailand untuk PBB; Nguyen Hoan dari Kedutaan Besar Vietnam Selatan di Washington; I. Milton Sacks dari Brandeis University dan Daniel E. Teodoru dari Komise Koordinator Mahasiswa Nasional untuk Kebebasan di Asia Tenggara. Lawrence McCarty dari American Conservative Union setuju untuk menjadi moderator acara.
Foto enam anggota SJP yang diterbitkan oleh Boston Herald Traveler pada 2 Mei 1971, Dari kiri, John Preston, Frederick Holton, Arthur N. Waldron, Laszlo Pasztor, Jr., Stephen P. Rosen, dan Daniel Pipes. |
Dua kelompok terkenal karena reaksi galak mereka. Pertama, kelompok Students for a Democratic Society (Mahasiswa untuk Masyarakat Demokratis---SDS). Nama lengkapnya Students for a Democratic Society-Worker Student Alliance (Mahasiswa untuk Mahasyarakat Demokratis – Aliansi Mahasiswa Pekerja). Mereka ini pendukung seks, narkoba dan rock 'n roll. Kelompok lain yang sering dilupakan adalah Progressive Labor Party (Partai Buruh Progresif---PLP). Mereka dijuluki "Kaum Maois beramput cepak" yang kaku kejam. Demikianlah kaum Kiri Baru dan kaum Kiri Lama membuat alasan bersama untuk melawan kami "kaum reaksioner".
Bersama kelompok kiri lain, mereka bertemu dan memutuskan hendak menghentikan acara. Dalam selebaran yang disebarkan di seluruh penjuru kampus menjelang acara, PLP menegaskan bahwa "para antek," "tukang jagal," "kacung" dan "penjilat" yang dijadwalkan berbicara "harus dihancurkan." Yang lebih prosais lagi, para mahasiswa SDS meminta supaya "para pembicara cukup disambut dengan tepukan tangan namun dilarang berbicara." Beberapa mahasiswa radikal membenarkan tanggapan ini. Alasannya bahwa Pemerintah AS (dan bukan kami segelintir siswa) telah membawa pembicara ke kampus. Seorang mahasiswa bahkan menyebutkan acara Counter Teach-In (Diskusi Tandingan) itu sebagai "sebuah plot antara Universitas Harvard dan Badan Informasi AS yang hendak memperlihatkan bahwa gerakan antiperang telah mati".
Mengantisipasi tanggapan yang besar-besaran, penyelenggara memesan aula terbesar di Harvard. Namanya Teater Sanders. Daya tampungnya 1.238 orang. Baik mahasiswa kelompok SDS dan PLP malah menanggapinya dengan menyerukan aksi unjukrasa pada pukul 7 malam, satu jam sebelum acara dimulai. Peneliti ekstremisme Gordon D. Hall melaporkan dalam Harian Boston Herald Traveler bahwa mayoritas hadirin berasal dari luar lingkungan Harvard, termasuk banyak pemimpin radikal kawasan itu. Ada yang marah karena kami tidak membawa apa yang disebut kedua kelompok sebagai "para penjahat perang" sehingga aula terisi penuh pepak jauh sebelum diskusi dimulai. Namun, lebih banyak orang lagi yang mencoba masuk. Dalam deskripsi Harian Boston Globe, "Ratusan partisan SDS ... berkumpul di pintu masuk berusaha mencapai jendela lantai dua."
Banyak di antara penonton yang benar-benar saling bermusuhan diam-diam mengungkapkan pandangannya. Mereka mengangkat jari, mengenakan pengikat kepala, membawa bendera Vietkong (baca: salah satu faksi yang bertikai selama Perang Vietnam), melambai-lambaikan plakat bertuliskan "PEMBUNUH" berikut slogan-slogan lain di dalamnya. Kira-kira separuh massa mengganggu jalannya diskusi dengan cemoohan, teriakan, nyanyi-nyanyi, teriakkan kata-kata jorok, berteriak-teriak dengan menggunakan megaphone dan bertepuk tangan secara berirama. Slogan-slogan khususnya "Pembunuh" dan "AS keluar dari Vietnam, Para Penjagal keluar dari Harvard" mereka teriakan. Secara serempak, kursi-kursi kayu aula mereka banting; secara berirama dibuka lalu ditutup, dibuka lalu ditutup lagi. Panggung mereka lempari dengan permen, gumpalan-gumpalan kertas, kulit buah, uang koin receh serta benda-benda kecil lainnya.
Foto terbitan Majalah Newsweek memperlihatkan beberapa dari banyak plakat bertuliskan "PEMBUNUH" pada acara Diskusi Tandingan (Harvard). |
Para pembicara tidak pernah diberi kesempatan berbicara. Suara hingar-bingar berterriak-teriak agar tiga pembicara yaitu moderator diskusi, perwakilan universitas dan pembicara pertama yang berupaya menenangkan khalayak, turun pangggung. (Untuk mendengarkan rekaman sepanjang 41 menit dari acara tersebut, klik di sini.) Archibald Cox, 59, mantan Jaksa Agung Muda Amerika Serikat (belakangan dia terkenal karena kasus Watergate's Saturday Night Massacre yang kenamaan. Kala itu, dia dipecat dari jabatannya oleh Presiden Nixon), menjadi tokoh yang menyelesaikan masalah Universitas Harvard dalam acara itu. Sebagai wakil pihak universitas, pernyataannya sangat dikagumi dan dipuji. Dalam pernyataannya, dia meminta massa "untuk mengizinkan saya menyampaikan beberapa patah kata atas nama rektor dan dosen universitas ini atas nama kebebasan berbicara." Tapi himbauan itu tidak dipedulikan. Malah disambut dengan suara riuh. Permohonannya - "jika pertemuan ini diganggu ... maka kebebasan akan sedikit mati, " tidak dihiraukan. Malah dicemooh. Kelompok mahasiswa PLP belakangan mengecam konsep kebebasan berbicara sebagai "gagasan rusak".
Pembicara pertama, Dan Teodoru, mencoba melawan api dengan api. Taktik itu gagal. Dalam kata-kata penyelidikan resmi yang dibuat oleh pihak Harvard, "Keributan terus berlanjut. Hadirin melemparkan berbagai barang-barang apa saja kepadanya. Setidaknya ada salah satu lemparan yang dia balas dengan benda yang sama." Dia juga mencoba mempermalukan penonton dengan memaki-maki. Langkah itu juga tidak berhasil. Keributan dan kekacauan berlanjut selama 45 menit.
Penyelidikan oleh pihak Universitas Harvard mengisahkan bagaimana acara itu berakhir: "Selama bagian terakhir pertemuan, orang-orang yang dilarang memasuki aula oleh Polisi Universitas ketika aula tampaknya penuh mulai menggedor-gedor pintu keluar darurat berupaya masuk. Beberapa jendela mereka pecahkan agar bisa masuk sehingga memperbesar kemungkinan terjadi kekerasan lebih lanjut. Sekitar pukul 8:45 malam, pertemuan dibatalkan atas permintaan Profesor Cox yang mewakili universitas. "Persisnya kata-katanya demikian: "Mengingat kerumunan orang, maka ada risiko terjadi kekerasan yang cukup besar. Saya minta Anda menghentikan pertemuan ini." Ada yang jauh lebih menarik lagi. Sekelompok mahasiswa PLP melaporkan ada yang sudah menyiapkan alat pendobrak untuk mendobrak pintu-pintu aula.
Setengah lusin polisi kampus Universitas Harvard karena itu mengawal para pembicara keluar gedung melalui terowongan uap bawah tanah universitas yang rumit. Sama seperti yang mereka lakukan dengan Menteri Pertahanan Robert McNamara kala itu, beberapa tahun sebelumnya. Para penyelenggara dari kelompok mahasiswa SJP menggiring mereka menuju Stasiun Radio WGBH yang menyiarkan acara. Dan di sana, di dalam studio dengan tenang, mereka memulai percakapan yang terputus.
Seandainya aula tidak dipadati kerumunan massa yang benar-benar sangat bermusuhan, maka perlu dicatat, bahwa kaum radikal sudah punya skenario yang lebih kejam dalam benak mereka. Hal itu diungkapkan oleh Hall, yang mengumpulkan informasi intelijen tentang persiapan mereka: "Sekelompok kecil peserta diskusi mungkin perlu segera merapat ke panggung acara, dan secara paksa mengambil kendali diskusi." Seandainya hal itu terjadi, kaum radikal berniat mengepung panggung; "kerumunan massa yang saling mendorong dan berteriak-teriak bakal menyulitkan siapa pun untuk menyasar orang tertentu. Kekacauan juga bakal sudah cukup untuk mempersulit pembicara untuk berbicara, membingungkan polisi, dan membubarkan pertemuan." Para pembicara Diskusi Tandingan, menurut kelompok mahasiswa PLP, adalah "para pembunuh massal (kaum imperialis!) dan arsitek penderitaan mengerikan yang tidak berhak hidup, apalagi berbicara." Dengan kata lain, malam itu bisa jadi jauh lebih buruk daripada yang terjadi.
Sah atau Menjijikkan?
Keributan membelokkan perdebatan seputar kebijakan Vietnam dan menggantinya dengan bentrokan melawan aksi kaum radikal sekaligus sifat dasar dari kebebasan berbicara.
Argumen-argumen pendukung aksi mengganggu itu sepenuhnya datang dari sekelompok kecil kaum sayap kiri keras yang memusatkan perhatian pada dua masalah. Masalah moralitas dan kekuasaan. Moralitas: Tangan para pembicara itu berdarah-darah dari darah orang-orang lugu yang menjadi korban dan karena itu tidak berhak untuk berbicara. Kekuasaan: Para pembicara mewakili otoritas sehingga mengganggu mereka, tulis dua mahasiswa sehingga "memberikan kesempatan kepada orang-orang yang tidak berdaya untuk mempengaruhi jalannya peristiwa politik." Sebuah tajuk rencana di Crimson meremehkan gangguan itu dan menganggapnya hanya sebagai "pelanggaran hukum protokol dan ketertiban."
Kartun pelengkap tajuk rencana karya Dobbin dalam Boston Herald-Traveler, 30 Maret 1971. Ia merefleksikan pandangan bersama tentang para pengganggu sebagai para pembual yang tidak tahu adat. |
Suara-suara dari seluruh spektrum politik mengecam gangguan itu. Dewan dosen mengkritik keras "upaya bersama yang berkelanjutan untuk membungkam" para pembicara. Sekitar 60 dosen hukum menandatangani pernyataan yang mengungkapkan "keprihatinan terbesar mereka." Mereka menamakan gangguan itu sebagai serangan terhadap "harapan mendasar dari masyarakat yang adil dan penuh kasih." Rektor Universitas Harvard Nathan Pusey menyebutnya "peristiwa tercela" dan "penghinaan yang menjijikkan". Rektor Universitas Harvard terpilih Derek Bok menyebutnya dengan istilah "sangat menjijikkan." The Boston Globe menjulukinya "pertunjukan memalukan" yang menggambarkan kaum radikal sebagai "musuh dari apa yang membuat hidup layak dijalani." Kolumnis New York Times Anthony Lewis mengatakan para pengganggu sebagai "orang yang tidak tahu apa-apa". Ketua Mahkamah Agung, Warren Burger, menambahkan gangguan tersebut dengan tidak diterima dalam proses yang menyerukan adanya sopan-santun.
Beberapa pengamat politik menyebutkan para pengganggu sebagai totaliter. Sejarawan Oscar Handlin menyebutnya "pekikan orang-orang biadab." Ia karena itu membandingkan "kebencian yang terlihat" di wajah para pemimpin kelompok itu dengan "kebencian yang telah kita lihat di banyak wajah lain, pada waktu dan tempat lain. Katakanlah di Jerman, pada 9 November 1938. Jadi, dia "merujuk kepada Nazi Kristallnacht. Wartawan Globe Daniel J. Rea juga melaporkan dari kejadian tersebut saat melihat "wajah kosong yang mempersonifikasikan Hitler Youth (Organisasi pemuda binaan Hitler) tahun 1930-an dan Pengawal Merah Revolusi Kebudayaan Besar Mao." Cornelius Dalton dari Boston Herald Traveler membandingkan taktik yang digunakan para pengganggu dengan "yang digunakan oleh pasukan penyerang Nazi" sehingga menyebut insiden tersebut sebagai "pukulan yang paling merusak perdamaian dalam waktu yang lama."
Beberapa dosen menekankan seriusnya gangguan tersebut. Fisikawan Bruce Chalmers, 63 tahun, kala itu, mencatat: "Keseriusan Anda melihat kejadian ini sangat bergantung pada usia Anda. Semakin tua Anda, semakin serius hal itu bagi Anda." Sementara itu, Cox mengatakan, dia "tidak bisa terlalu menekankan seriusnya persoalan yang kita lihat dalam insiden ini. Tidak ada yang lebih penting atau menyedihkan yang telah terjadi di Harvard dalam waktu yang sangat lama." John T. Dunlop, dekan fakultas seni dan sains dan mantan menteri tenaga kerja, menyatakan bahwa "Gangguan terhadap diskusi tandingan itu merupakan persoalan paling serius yang terjadi di Harvard sejak saya berada di sini." (Dia sudah masuk Harvard pada tahun 1938, 33 tahun sebelumnya.)
Sebagai tanda betapa bingungnya para dosen, Dekan Dunlop mengirimkan kepada para anggota dosen, sebuah memo aneh sekaligus mungkin unik dalam sejarah Universitas Harvard. Memo itu mendesak mereka untuk mengemukakan topik kebebasan berbicara bersama mahasiswa. "Pernyataan masyarakat sendiri tidak memadai. Diskusi yang tenang dan bernalar dengan orang dipersyaratkan untuk mempengaruhi mahasiswa kita. Banyak mahasiswa bahkan beberapa anggota staf pengajar tidak menerima proposisi bahwa kebebasan akademis itu mempersyaratkan kebebasan mengungkapkan pendapat dari berbagai pandangan... Saya berharap bahwa kalian akan memanfaatkan beberapa waktu selama hari-hari segera pada masa datang guna berdiskusi bersama para mahasiswa --- isu-isu yang momentum ini."
Hukuman?
Pada tataran praktis, para pemimpin universitas menempuh dua langkah melawan penganggu diskusi. Pertama, mengajukan gugatan hukum terhadap dua kelompok pengganggu kepada Pengadilan Cambrige. Kedua, memulai persidangan internal atas mereka yang dilakukan oleh sebuah lembaga Universitas Harvard. Terkenal sebagai Komisi Urusan Hak Asasi dan Tanggung Jawab (Committee on Rights and Responsibilities --- CRR).
The Third District Court diam-diam menemukan dua mahasiswa bersalah mengganggu diskusi sehingga dihukum penjara. Sidang dan tuntutan CRR memang lebih banyak diperdebatkan. Menjadi medan tempur utama sejak Diskusi Tandingan mendadak berakhir 26 Maret sampai CRR menyerahkan keputusannya 70 hari kemudian pada 4 Juni. Dalam sebuah tajuk rencananya, The Crimson justru mengecam sidang itu sebagai "perburuan tukang sihir" karena bukti-buktinya tidak jelas, kesaksiannya luas, serampangan dan tidak peduli terhadap kebenaran." Editor dan kolumnis Washington Post masa depan, David Ignatius, mendesak agar "tidak ada hukuman." Tiga puluh dua dosen menandatangani surat terbuka yang menyatakan "hukuman apa pun oleh Universitas tidak dapat diterima."
Elliott Abrams termasuk di antara para pendukung pelemparan buku kepada para pengganggu. Baru-baru ini, Utusan Khusus AS untuk Venezuela dan Iran itu menulis: "Kita harus menolak untuk mengemis meminta kebebasan berbicara di Harvard. Kita harus ngotot memaksakannya. ... duduk diam sementara geng-geng penjahat menuding sambil berteriak-teriak menghancurkan kebebasan berbicara di Harvard adalah sebuah kejahatan moral.... Kita harus menuntut mereka agar diusir dari Universitas kita." Calon rektor masa depan Universitas Harvard Alan L. Keyes pun berpendapat bahwa para pengganggu "harus dihukum dengan segala tindakan keras yang bisa diperintahkan oleh pihak Universitas."
Kutipan sebuah artikel karya Charles Schumer dalam Harvard Independent, 27 Mei 1971. |
Sebaliknya, Pemimpin Mayoritas Senat masa depan Charles Schumer dengan rendah hati menolak Diskusi Tandingan. Dia malah menilainya sebagai "tour de farce", tour sandiwara. Dia karena itu meratapi apa yang dianggapnya sebagai sebuah perkembangan yang lebih penting. Yaitu "hancurnya organisasi mahasiswa."
Pada akhirnya, CRR menemukan bahwa hanya sembilan mahasiswa bersalah karena terbukti mengganggu kegiatan. Jadi sekitar 1 persen dari mereka yang mengganggu pertemuan. Dari sembilan orang itu, empat mahasiswa diminta berhenti kuliah sementara, tiga mahasiswa diskor dan dua mahasiswa mendapat peringatan. SJP meminta agar kelompok kiri yang merencanakan aksi gangguan terus dilarang menggunakan fasilitas universitas. Pihak kampus menanggapi dengan menolaknya. Alasannya "tidak ada temuan bahwa 'organisasi' ini melarang kebebasan berbicara dilaksanakan."
Dengan kata lain, hukuman hanya sebatas simbolik. Kata-kata kasar, rujukan kepada prinsip yang tinggi berikut peringatan masa depan tidak diterjemahkan menjadi tindakan. Tanggapan pihak Harvard pun sama kuatnya secara retoris sekaligus lemah secara substantif. Dalam hal ini, Stephen P. Rosen, yang kala itu anggota baru SJP dan kini dosen Keamanan Nasional dan Urusan Militer di Harvard dengan tepat meramalkan hari-hari pasca-kejadian. Bahwa buih-buih kemarahan akan segera berlalu: "Ingat kata-kata saya. Tatkala gelombang kemarahan yang sudah pada tempatnya ini tiba-tiba berlalu, universitas akan melupakan semua soal tentang [Diskusi Tandingan] pada pekan terakhir. Musim semi akan merasuki batin kita. Semester sekolah akan berakhir. Dan hidup akan berjalan seperti biasa. Seolah-olah tidak ada yang benar-benar terjadi."
Alan Dershowitz pada 1970. |
Saya sendiri punya pengalaman pribadi terkait dengan sikap lembek itu. Soalnya, saya sendiri mengajukan tuduhan terhadap tiga mahasiswa; Bonnie Bluestein, Martin H. Goodman dan John McKean. Kasus melawan Bluestein itu menarik karena saya sudah ditanya panjang-lebar oleh Alan Dershowitz, 32 tahun. Dosen hukum selebritis itu berhasil menjalankan ketrampilan hukumnya yang mengagumkan untuk meyakinkan CRR bahwa kliennya tidak bersalah membuat kegaduhan yang secara langsung saya saksikan. (Setengah abad kemudian, Dershowitz justru melakukan 180° yang berbeda terhadap gangguan yang dilakukan mahasiswa.)
Tertuduh ketiga, McKean. Ia mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Univesitas Harvard. Karena statusnya, para dosen fakultasnya bersidang. Ternyata sidangnya bahkan lebih membuat frustrasi dibanding dengan yang dilakukan CCR. Saya lantas mengeluhkan pengalaman saya dengan lembaga itu kepada dekan fakultas pendidikan (Universitas Harvard):
Pada saat sidang yang diselenggarakan Komisi Mahasiswa – Dosen Urusan Disiplin pada 20 Mei, McKean tidak menyangkal bahwa dia turut aktif mengganggu. Bukannya mengaku bersalah, dia malah mengaku bangga melakukannya. Akibatnya, dia tidak memilih untuk membela diri dari hal-hal khusus yang saya tuduhkan tetapi membenarkan perilakunya atas dasar politik. Ia menegaskan bahwa hakikat dari Diskusi Tandingan menyebabkan gangguan menjadi perlu. Saya sulit sekali memahami bahwa Komisi Disiplin memilih mendengarkan argumen politik McKean karena tuduhan saya diarahkan kepada perbuatan jahatnya yang tidak terkait dengan politik.
Pembelaan saya jatuh di telinga yang tuli. McKean tetap tidak dihukum.
Surat dari William Bendick-Smith, Wakil Rektor Universitas Harvard Nathan Pusey, kepada Daniel Pipes, 27 April 1971. |
Saya juga mengajukan satu-satunya tuduhan terhadap seorang anggota dosen. Saya melihat Hilary Putnam, seorang dosen filsafat dan anggota PLP (yang memujinya sebagai "seorang komunis revolusioner"), berteriak mengganggu Diskusi Tandingan. Belakangan, dia mendukung gangguan itu sebagai "sebuah aksi internasionalisme sejati". Tetapi tuduhan saya bagaimanapun terbukti sangat mengganggu administrasi kampus, yang menguburkan persoalan dalam labirin birokrasi sehingga tidak pernah keluar. Frustrasi dengan kurangnya respon, saya lalu menyurati Rektor Universitas Harvard Pusey. Saya katakan bahwa "Saya menyaksikan seorang dosen, Dr. Hilary Putnam aktif mengganggu pertemuan." Seorang wakil rektor segera membalas, mengakui isi surat saya dan meyakinkan saya bahwa "Pak Pusey akan membaca surat Anda ketika dia kembali ke kantor." Itulah; saya tidak pernah mendengar lagi persoalan itu lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa, Putnam sebenarnya seorang pemikir serius yang penting. Pada tahun-tahun terakhirnya jabatannya, dalam sebuah obituary yang diterbitkan oleh New York Times, dengan lembut dia menulis, "memutuskan hubungannya dengan [PLP] dan menyatakan keanggotaannya di dalam organisasi itu sebagai salah."
Diskusi Tandingan tetap menjadi topik diskusi. Belakangan, dia pun kembali mengemuka dalam sebuah sidang dengar pendapat Anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS pada 1971 tentang PLP oleh Komisi Keamanan Dalam Negeri. Dalam bukunya yang terbit pada 1998 bertajuk, Harvard Observed, John T. Bethell menyebut gangguan itu "pelanggaran buruk terhadap kebebasan akademis". Dalam sebuah studi pada 2016 tentang bias anti-konservatif di universitas bertajuk, Passing on the Right: Profesor Konservatif di Universitas Progresif, Jon A. Shields and Joshua M. Dunn Sr., mengutip pernyataan seorang dosen sejarah yang tidak disebutkan namanya, yang sebagai mahasiswa
kehilangan kontak dengan kaum kanan setelah mengalami intoleransi politik kaum kiri kampus era 1960-an. Dia dan teman-temannya berusaha menyelenggarakan "Diskusi Tandingan" soal Perang Vietnam....Diskusi tidak berjalan baik sesuai rencana. "Orang-orang melecehkan saya," katanya. "[Perundungan] itu benar-benar sebuah pengalaman yang mengerikan." Pada tahun terakhirnya, meski enggan dia bisa menerima bahwa dia tidak lagi diterima dalam kelompok kiri.
Siapa Menang, Siapa Kalah?
Pihak manakah yang menang dan mana yang kalah pada Diskusi Tandingan?
Dalam jangka pendek, kaum radikal berhasil menang secara taktis karena mampu menghentikan acara. Itulah yang mereka perbincangkan secara terbuka: Bagi PLP, "Memaksa para imperialis ini pergi ketakutan adalah kemenangan yang luar biasa." SDS menamakan gangguan itu sebagai "sebuah kekalahan politik yang jelas bagi pemerintah AS dan Pemerintahan Universitas Harvard." Dalam sebulan, kaum radikal memproduksi film perayaan berjudul "Sanders Theatre Victory" (Kemenangan Teater Sanders)
Melihat gambaran yang lebih besar, maka ada konsensus besar muncul pada musim semi tahun 1971. Konsensus bahwa perilaku buruk telah merusak perjuangan kaum radikal dan membantu pihak pro-perang. Seperti ditulis seorang mahasiswa kepada Harian Crimson, berkat gangguan itu, penyelenggara diskusi "memanfaatkan jauh lebih banyak hal dari gangguan itu daripada yang mereka peroleh dari ceramah-ceramah mereka." Dan, memang kami lakukan. Karena itu, sebuah artikel panjang dan terpelajar pun tampil berikut referensinya dalam halaman depan Harian New York Times. Salah seorang khalayak peserta diskusi yang sedih berbicara bagi para peserta yang diam di tengah gangguan yang menjengkelkan karena dia memang datang untuk mendengarkan dan belajar dari diskusi itu, namun itulah yang ditolak oleh kaum kiri. Dia menyimpulkan bahwa "Satu-satunya hal yang mungkin diperoleh kaum kiri dengan meneriakkan para pembicara adalah untuk menjauhkan beberapa orang di sana yang belum mempunya pendapat yang tetap." The New York Times karena itu melaporkan bahwa "mayoritas mahasiswa tampaknya merasa bahwa gangguan itu menyedihkan baik sebagai tindakan tidak bermoral dan sebagai kesalahan taktis."
Sosiolog Barrington Moore, Jr. pun sepakat. Dia, karena itu, dengan keras mengecam kaum radikal. Menurut dia, akibat sikap tidak hati-hatinya, kaum radikal justru malah mendukung "sebuah cita-cita yang rusak secara politik dan moral." Aryeh Neier, Ketua American Civil Liberties Union (Persatuan Kebebasan Sipil Amerika) menolak "taktik yang berbahaya dan kontraproduktif" dari gangguan itu. Dalam semangat ini, Majalah Newsweek menyebutkan kemenangan kaum radikal sebagai "kemenangan dengan kerugian yang sangat luar biasa." Kolumnis New York Times Lewis berpendapat bahwa para pendukung perang di Vietnam "mengharapkan ekses-ekses yang persis seperti itu." The Boston Globe menyimpulkan bahwa para pengganggu itu "sangat merugikan" upaya-upaya untuk mengakhiri perang Amerika di Vietnam.
Buku karya Saul Alinsky bertajuk Rules for Radicals kebetulan muncul pada 1971. |
Tetapi dari perspektif 50 tahun, persoalannya terlihat sangat berbeda. Diskusi-Tandingan yang unik dan penuh semangat berarti bahwa gangguan yang nyaris kebal hukum memang berdampak besar. Karena itu, aula terbesar di lingkungan universitas paling terkemuka di negara itu pun dipesan untuk membahas masalah terpanas dekade itu. Ia, dengan demikian mengirim pesan yang kuat kepada kalangan kiri. Sebuah pesan yang terintegrasi dan terbangun penuh. Dalam kata-kata Saul Alinsky (yang bukunya Rules for Radicals kebetulan terbit pada 1971), "Teruslah menekan. Jangan pernah berhenti." Akibatnya, dalam lingkungan sosial masa kini, acara seperti yang kami selenggarakan sudah bukan persoalan lagi, sehingga dibatalkan oleh para pengelola kampus atas dasar teknis atau logistik. Alasannya, karena acara itu secara terbuka mengadvokasi kampus demi cita-cita yang benar-benar tidak popular.
Cara kaum radikal kini melihat institusi seperti Universitas Harvard memperlihatkan adanya pergeseran ini. Pada 1971, mereka menggambarkan universitas sebagai musuh dengan cara yang tidak bisa dipahami pada 2021. PLP memaklumkan bahwa "Harvard, seperti semua universitas, hanya melayani kelas penguasa". SDS pun sepakat: "Universitas berdiri di balik 'kaum kanan' para pembantai" seperti Henry Kissinger, Samuel Huntington dan Richard Nixon. PLP karena itu memasang iklan di Crimson yang mempertanyakan, "Apakah Universitas Harvard merupakan forum terbuka untuk ide-ide, seperti yang dikatakan oleh para pengelolanya ataukah sebuah pos komando bagi imperialisme? Siapakah yang harus disingkirkan dari sana? ... Kami katakan: Singkirkan saja para penjahat perang seperti Huntington dan Kissinger." PLP dan SDS kemudian bersama-sama menuduh pengelola universitas menginginkan "kebebasan bagi mereka sendiri sehingga bisa terus mengeksploitasi menindas rakyat dunia." PLP karena itu mengatakan, "Harvard bertindak di sini [di Cambridge] dan di seluruh dunia untuk merampas segala sesuatu dari orang-orang yang bekerja, termasuk nyawa mereka." Dengan membenci kapitalisme dan mengabaikan fakta, PLP bahkan menuding "para dekan miliarder" Harvard, sebagai sebuah gambaran yang aneh ketika Amerika Serikat tidak punya miliarder dan Dana Abadi (Harvard endowment) sendiri baru saja melewati angka miliaran dolar.
Kini, tidak ada lagi orang dari kalangan kiri yang membuat pernyataan seperti itu. Universitas menyulut ide-ide kiri dan menjadi senjatanya. Demikian juga dengan peristiwa masa lalu yang membantu membuka jalan bagi universitas kiri masa kini yang satu warna. Salah satu pemimpin SJP, Arthur Waldron, kini menjadi dosen Hubungan Internasional Universitas Pennsylvania. Pada 1971, dia dengan cerdik mencatat bagaimana "semangat kaum kiri untuk bertindak represif telah membuat banyak dosen 'menggulung layar perahu mereka'." Ini membuktikan pola yang lama bertahan yang menjelaskan sikap pengecut para dosen masa kini.
Charles Lipson dari Universitas Chicago mencatat bahwa tidak seorang pun di kampus masa kini yang menganjurkan genosida, perbudakan, atau penganiayaan anak. Sebaliknya, kampus-kampus menganjurkan "pandangan yang tidak populer tentang topik seperti persoalan penerimaan mahasiswa berdasarkan prestasi, tindakan afirmatif, kompetisi transgender dalam olahraga wanita, aborsi dan dukungan untuk Israel. " Meskipun ini semua adalah topik yang sah di negara pada umumnya, "Tidak demikian di kampus perguruan tinggi, di mana 'pandangan yang salah' tidak sekedar opini minoritas. Mereka dilarang (verboten). Begitu juga orang-orang yang berani mengungkapkannya. Menantang konformitas yang represif ini berarti mengundang kecaman, memutuskan persahabatan dan mengancam karier. Tidaklah mengherankan bahwa hanya sedikit orang yang bangkit menantangnya."
Hanya beberapa hari setelah laporan CRR keluar, Nathan Pusey memberikan pidato terakhir saat wisuda dalam statusnya sebagai Rektor Universitas Harvard. Dia mengingat harapan-harapan besar bagi universitas pada 1945 dan pencapaiannya, lalu menambahkan sebuah catatan yang muram:
Jadi kita bermimpi sekaligus bekerja. Upaya itu ternyata tidak terwujud seperti yang kita harapkan. Setidak-tidaknya belum. Tetapi sekarang perubahan sudah terjadi. Dan, seperti yang sering terjadi dengan cuaca, perubahan beriringan jalan dengan badai. Universitas tidak lagi dikagumi secara universal. Sungguh, beberapa kalangan bahkan mulai melihatnya bukan lagi sebagai penyelamat melainkan sebagai sumber kejahatan yang darinya masyarakat harus diselamatkan. Masyarakat umum terbukti sudah kurang menghargai para dosen universitas. ... Tidak diragukan lagi bahwa kita sedang memasuki masa baru, yang sangat berbeda. Dan, tampaknya, periode yang sangat bermasalah dalam pendidikan tinggi.
Pusey kemudian membuat kesimpulan lewat sebuah catatan. Catatan bahwa "Karena saat ini begitu banyak orang mempertanyakan nilai universitas ... maka mudah untuk merasakan masa depan mereka yang suram." Dan kesimpulan itu banyak benarnya.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) tamat dari Universitas Harvard pada 1971. ©2021. All rights reserved.
Tambahan
1. Untuk memperoleh dokumentasi lebih jauh maka; (a) rekaman audio seputar Diskusi Tandingan sepanjang 41 menit bisa diperoleh di sini, (b) film tiga menit acara yang dibuat oleh Universitas Harvard bisa dilihat di sini. (c) Dokumen tertulis termasuk berbagai kliping tulisan dari pers, pernyataan pihak universitas, selebaran, surat-menyurat, bisa didapatkan di sini; dan (d) kisah lanjutan saya yang mendetil secara berurutan atas peristiwa itu bisa diperoleh di sini.
2. Charles Schumer mencemooh para pengganggu yang berusaha menghindari akibat perbuatan mereka. Ketika diadili, "banyak pengganggu kini terlihat memusatkan keberanian moral mereka pada isu-isu hukum kecil. Ketika dituduh bernyanyi-nyanyi pada pukul 8.22 malam, kemarahan para pemprotes pun meledak. Soalnya, mereka benar-benar menyanyi pada pukul 8.24 malam. PLP pun sepakat dengan Charles Schumer. Sekaligus mengecam sikap pengecut yang mengklaim, "Saya hanya menyanyi." "Biarlah para tukang jagal berbicara." Atau menyangkal bahwa mereka sudah banyak menyanyi atau melakukan hal serupa."
3. Berbeda dengan masa kini, kaum Kiri pada 1971 hampir tidak menyebutkan nama Israel, Palestina, Timur Tengah atau Islam. Sebaliknya, selebaran PLP menggunakan bahasa yang benar-benar asing bagi masa kini. Seperti menyatakan "Kediktatoran Para Pekerja sebagai Satu-Satunya Solusi." Selebaran lain lagi menyerukan "kelas pekerja internasional dan sekutunya [untuk] benar-benar menghancurkan kelas borjuis." Tujuan klasik seperti kediktatoran para pekerja atau menghancurkan kelas borjuis berganti dengan tujuan yang terdengar masuk akal dan berbahaya seperti hak transgender dan Black Lives Matter (baca: sebuah gerakan yang memusatkan perhatian pada pentingnya kehidupan kaum kulit hitam).
4. Hambarnya tanggapan terhadap gangguan selama Diskusi Tandingan Maret 1971 sangat kontras dengan situasi dua tahun sebelumnya. Kala itu, pada April 1969, Pusey memanggil polisi supaya mengusir dengan paksa orang-orang yang menduduki sebuah gedung administrasi. Soal para dekan yang dipaksa keluar dari kantor mereka jelas lebih penting daripada memperdebatkan perang Vietnam. Dalam kontras ini, Waldron melihat runtuhnya misi universitas. "Andaikata, tidak menginjak-injak kebebasan berbicara, massa yang menduduki kampus berjuang masuk museum untuk menghancurkan vas-vas kuno dan memotong-motong lukisan Renaisans; maka reaksi universitas akan jauh lebih keras. Tapi tentu saja, menghancurkan hak-hak manusia itu lebih buruk daripada menghancurkan artefak-artefak. Universitas sudah sudah berubah pada 1971. Perubahan ini belakangan terus berlanjut. Tidak ada lagi institusi intelektual yang benar-benar ada. "
Surat dari Frederick Holton kepada Daniel Pipes yang merinci pengeluaran untuk Diskusi Tandingan, pada 20 April 1971. |
5. Banyak tokoh kenamaan terlibat dengan persoalan yang diangkat oleh Diskusi Tandingan. Sebagaimana dicatat, Derek Bok, Warren Burger Archibald Cox, John Dunlop, Oscar Handlin, Anthony Lewis, Barrington Moore, Aryeh Neier, Nathan Pusey dan Hilary Putnam pun secara terbuka mengomentarinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh sejarawan Rusia, Richard Pipes (dia mengejek argumentasi para pendukung gangguan selama diskusi). Tokoh kenamaan masa depan termasuk Elliott Abrams, David Ignatius, Alan Keyes, Stephen Rosen, Charles Schumer, dan Arthur Waldron. Alan Dershowitz dan Harvey Silverglate membela para pengganggu. (Yang terakhir memberi tahu saya sekarang bahwa ketika melihat para pengganggu berperilaku tidak baik, dia berdiri di samping mereka karena dia mewakili mereka.)
6. Sebaliknya, ada hal aneh muncul ketika melakukan penelitian untuk penulisan makalah ini. Ditemukan bahwa ada sejumlah orang yang sangat menonjol ketika Diskusi Tandingan namun belakangan menghilang namanya. Nyaris semua kutipan dari mesin pencari informasi untuk John T. Berlow dan Daniel E. Teodoru misalnya, berasal dari tahun 1971.
7. Laszlo Pasztor, Jr. dan Arthur N. Waldron sama-sama menjadi pimpinan SJP. Di dalam kelompok itu ada Peter Barzdines, Douglas Cooper, Frederick Holton, John Moscow, John Preston dan Stephen P. Rosen. Saya menjabat sebagai bendahara dan bisa melaporkan bahwa seluruh biaya pelaksanaan kegiatan sebesar $ 564, 26. Tidak banyak. Bahkan dengan nilai dolar pada 1971.
Topik Terkait: Akademia, Kaum konservatif & Liberal
Artikel Terkait:
- Harvard's Communist Uprising, 50 Years Later
- The Harassing of Noam Chomsky
- Shutting Down Harvard's Counter Teach-In
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.