[N.B.: Tulisan berikut ini merefleksikan apa yang pengarangnya sampaikan kepada pihak redaksi dan bukan persisnya apa yang diterbitkan. Untuk mendapatkan teks cetak yang tepat, silakan periksa versi PDF yang disertakan.]
Terorisme adalah bahasa diplomatik yang biasa di Timur Tengah.
- Josette Alia
Negara-negara Timur Tengah lain mengekspor kurma, permadani atau minyak. Suriah mengeksport masalah.
- Seorang Duta Besar Amerika untuk Suriah
Pengantar terbaik seputar bagaimana Suriah menggunakan perang rahasia adalah kisah tentang satu-satunya insiden. Sebuah aksi penghancuran pesawat penumpang El Al yang nyaris berhasil pada April 1986. Upaya Nizar Hindawi itu mengungkapkan banyak hal seputar metode Pemerintah Suriah. Sekaligus juga mengatakan tentang tujuan dari metode itu.
Operasi Hindawi
Latar belakang
Nizar al-Hindawi. |
Nizar Nawwaf al-Mansur al-Hindawi. (Nama depannya juga dieja Nezar). Ia orang Yordania asal Palestina. Lahir pada 1954 di Baqura, sebuah desa dekat sisi timur Sungai Jordan. Dia bekerja sebagai jurnalis di Amman. Meskipun berasal dari keluarga mapan terkemuka (dua pamannya pernah menduduki jabatan dalam kabinet), Nizar punya pandangan anti-Hashemite yang ekstrim. Selain itu, dia juga anggota pendiri organisasi bayangan, Gerakan Revolusi Yordania untuk Keselamatan Nasional (Jordanian Revolutionary Movement for National Salvation). Kedua hal itu membuatnya bermasalah di dalam negeri.
Untuk mencari perlindungan, dia tiba di London pada 1979. Awalnya, dia berharap bisa menulis untuk pers berbahasa Arab. Harapannya ini tidak berhasil. Sebagian karena masalah minum. Setelah tidak berhasil mendapatkan pekerjaan tetap, Hindawi melakukan pekerjaan serabutan. Misalnya, pada 1982 dia bekerja selama dua bulan sebagai kurir di sebuah surat kabar berbahasa Arab yang berbasis di London. Namanya, Al-'Arab. Tetapi dia dipecat karena perilakunya yang aneh (dia misalnya mengunci ruang teleprinter dan membawa pulang kunci saat sedang marah). Hindawi juga punya masalah lain. Dia menikahi seorang wanita Polandia. Pasangan itu memiliki seorang putri. Tetapi istrinya meninggalkannya dan kembali ke Polandia bersama anaknya.
Putus asa, Hindawi lalu menawarkan diri kepada Pemerintah Suriah pada awal 1980-an. Tujuannya, supaya bisa cepat menghasilkan uang. Menurut pihak berwenang Inggris, Duta Besar Suriah untuk Inggris (Court of St. James) Loutuf Allah Haydar secara pribadi terlibat merekrut Hindawi. Hubungan itu dimulai dengan cukup polos. Dengan tulisan Hindawi tentang Suriah. Kemudian, ada satu hal membawa mereka kepada hal lain. Dan pada akhir 1985 atau lebih - saat Pemerintah Yordania menolak memperbarui paspornya - dia pun pergi ke Suriah untuk pelatihan militer selama dua bulan. Hindawi dilatih di sebuah kamp yang dikelola oleh Abu Nidal. Kamp itu terletak dekat Dahir, sebuah kota berpenduduk 15.000 di timur Damaskus.
Operasi Dimulai
Pada Januari 1986, Hindawi pergi ke Damaskus. Di sana, dia bertemu dengan Brigjen. Muhammad al-Khuli, Kepala Intelijen Angkatan Udara dan Kepala Biro Keamanan Nasional. Ia juga seorang pria yang luas diyakini sebagai penasihat terdekat Asad. (Portofolio Khuli juga termasuk statusnya sebagai tamu asing, pernah bekerja untuk perusahaan Syria Arab Airlines, melakukan berbagai operasi rahasia dan pelindung pribadi Asad.) Selain itu, Hindawi bertemu dengan tiga asisten Khuli: Letkol. Haytham Sa'id, Mufid Akhur dan Samir Kukash. Kesepakatan pun diputuskan: Hindawi akan menyerang pesawat El Al. Dan sebagai imbalannya, Suriah akan membantunya dalam upayanya melawan Pemerintah Yordania. Sa'id, wakil kepala intelijen angkatan udara, ditunjuk sebagai perwira pengawas Hindawi.
Pada pertemuan berikutnya pada 9 Februari 1986, Sa'id memberi pembayaran pertama sebesar $ 12.000 (sekitar Rp 174 juta). (jumlah penuh untuk operasi jika sukses dijadwalkan sebesar $ 250.000 atau sekitar Rp 3,6 miliar) dan paspor "dinas" Suriah (paspor resmi yang hanya dapat digunakan untuk satu perjalanan) dibuat yang atas nama 'Isam Shar'. Hindawi menggunakan paspor Yordania aslinya untuk banyak bepergian di negara-negara blok Soviet. Tetapi dia mengandalkan paspor Suriahnya untuk dua kali bepergian ke Kerajaan Inggris.
Langsung keesokan harinya, pada 10 Februari, dia mengajukan permohonan, untuk visa pertama. Setiap kali mengajukan visa, Kementerian Luar Negeri Suriah mendukung aplikasi visa Hindawi kepada Pemerintah Inggris dengan nota dukungan resmi. Menurut sebuah laporan pers, visa diberikan sebagian melalui persetujuan seorang agen Suriah di Kedutaan Inggris di Damaskus. Hindawi melakukan uji-coba dengan pergi ke London, pada Februari 1986. Ia menyamar sebagai perwira pengadaan militer yang berniat membeli suku cadang untuk British Leyland Range Rovers. Sebagai bagian penyamarannya sebagai diplomat, dia bahkan bergabung dengan sebuah klub di London.
Kembali ke Damaskus dia bertemu lagi dengan Haytham Sa'id, yang menunjukkan kepadanya bagaimana menyiapkan bom koper dengan menempatkan detonator di dekat isi utama di dasar palsu koper. Bahan peledak itu akan menyala dengan bagus. Dengan kata lain, tidak diperlukan kabel atau kompetensi teknis. Jika tertangkap, Sa'id mengatakan kepadanya, dalam keadaan apa pun, Hindawi tidak boleh menyebutkan hubungannya dengan Suriah. Dengan demikian, dia sebaliknya, menggambarkan diri sebagai seorang pengedar narkoba. Pelanggaran atas instruksi ini akan menyebabkan seperempat dari 500 anggota keluarga Hindawi yang tinggal di Suriah akan dihabiskan keesokan harinya. Terakhir, Sa'id memberikan nomor teleponnya di Damaskus, nomor 336-068 kepada Hindawi.
Sebelum mulai menjalankan bisnisnya di London, Hindawi tampaknya telah membuktikan kemampuannya. Ia turut terlibat mengorganisir aksi pemboman 29 Maret 1986 di Perkumpulan Masyarakat Persahabatan Jerman-Arab yang berbasis di Berlin. Operasi itu sebetulnya pertama-tama dilakukan oleh saudaranya Ahmad Nawwaf al-Mansur al-Hasi.
Untuk kedua kalinya, Hindawi mengajukan visa Inggris pada 2 April. Lagi-lagi menggunakan paspor palsunya. Kali ini ia menyamar sebagai akuntan Kementerian Luar Negeri Suriah yang sedang berlibur di Inggris Raya. Visa diberikan keesokan harinya. Dan, dia terbang ke London sebagai 'Isam Shar' untuk kedua kalinya pada 5 April. Kakak dari Haytham Sa'id, Ghasim, menemaninya. Keduanya menyamar sebagai awak pesawat Syria Arab Airlines. Hindawi menginap dua malam pertamanya bersama kru pesawat di Royal Garden Hotel, di kamar yang dibayar oleh maskapai. Pada 6 April, dia menerima kiriman detonator dan tas perjalanan yang akan digunakannya. Tas itu disimpan oleh ayahnya, Nawwaf Mansur, yang juga tinggal di London.
Memasukkan Ann-Marie Murphy
Ann-Marie Doreen Murphy. |
Sa'id menginstruksikan Hindawi untuk menggunakan wanita sebagai pembawa bom. "Soalnya lebih aman." Perintah ini tidak masalah. Soalnya, Hindawi sudah terlibat dengan Ann-Marie Doreen Murphy sejak akhir 1984. Mungkin karena perintah intelijen Suriah. Murphy, seorang wanita berusia 32 tahun, tinggi, ramping. Dia digambarkan dengan tepat oleh jaksa pengadilan sebagai "gadis Irlandia sederhana, lugu, dan seorang Katolik." Baru tiba dari Sallynoggin di Dublin Selatan, dia bekerja sebagai pelayan Hotel Hilton di Park Lane ketika bertemu Hindawi.
Hindawi membuatnya hamil dua kali. Kehamilan pertama, yang terjadi pada awal tahun 1985. Berakhir dengan keguguran. Dia, Hindawi kemudian menghilang antara April dan September 1985. Kehamilan keduanya terjadi November 1985. Tetapi sebelum mengetahui kondisi sang pacar, Hindawi meninggalkan negara itu lagi. Ketika dia menelepon dari Berlin pada Januari 1986 dan mengetahui apa yang terjadi, dia tidak ingin berurusan dengan soal itu. Hindawi sebaliknya, menekannya untuk menggugurkan janin. Dalam kata-kata Murphy, "Dia tidak mau tahu soal itu. Dia ingin saya singkirkan." Tekanan untuk menggugurkan bayi ini dia tolak. Sebagai gantinya, dia mulai berencana untuk kembali sendirian ke Irlandia.
Kemudian, yang mengejutkannya, Hindawi muncul pada 7 April 1986. Dengan penuh semangat, dia menyatakan cintanya. Keesokan harinya di sebuah restoran cepat saji di Oxford Street, dia bersikeras agar mereka segera menikah dan berbulan madu. Dia membuat rencana bagi mereka untuk pergi ke "Tanah Suci" kemudian menyeberang ke Yordania. Di sana, tiga hari kemudian, upacara perkawinan akan dilangsungkan. Tetapi Hindawi bersikeras untuk pergisecara terpisah. Dikatakannya bahwa majikannya telah membayarnya untuk penerbangan selanjutnya. Murphy, yang tidak tahu apa-apa soal politik Timur Tengah, menerima semua rencana ini tanpa ragu (bayangkan, bahkan seorang warga Yordania sekalipun akan pulang melalui Israel).
Hindawi menuntut agar Murphy tidak memberi tahu siapa pun tentang rencana mereka. Karena itu, dia sangat marah saat mengetahui bahwa dia memberi tahu dua saudara perempuannya, seorang teman dan suami temannya itu. Lebih jauh lagi, dia ingin kisah mereka dirahasiakan dari orang-orang maskapai penerbangan dan dari petugas bea cukai Israel. Dengan pemikiran ini, Hindawi lalu memberinya jawaban atas pertanyaan standar yang akan ditanyakan mengapa dia pergi ke Israel. Kemudian, dia menanyainya dan melatihnya memberikan jawaban yang benar.
Hindawi membantunya mempersiapkan perjalanan dengan cara lain juga. Dia memberitahunya bahwa dia akan bertemu seorang wanita bernama Angela di bandara. Dia membayar paspornya, membeli pakaian baru dan memberinya uang untuk tiket terbang ke Israel dengan penerbangan El Al 016 pada Kamis, 17 April. (Hari itu mungkin dipilih karena dekat dengan Paskah dan sangat mungkin penerbangan itu penuh penumpang.) Pada tanggal 15 April, ia berdiri di luar biro perjalanan Superstar di Regent Street sementara Murphy membeli tiket di dalam. Pada sore hari tanggal 16, dia membawakannya koper beroda, pemberian Kedutaan Besar Suriah. Dengan alasan kopernya terlalu besar, Hindawi meyakinkannya untuk menggunakan tas ini sebagai gantinya.
Selain pakaian pria, koper itu punya bagian bawah palsu di dasarnya. Isinya, selembar Semtex setebal setengah inci. Sejenis bahan peledak plastik buatan Cekoslowakia yang kuat. Sesudah kejadian itu, bom jenis Semtex itu berhasil meledakkan pesawat jet jumbo Pan Am di atas Lockerbie, Skotlandia dan pesawat UTA di Afrika Barat. Karena nyaris tanpa kabel, Semtex hampir tidak terdeteksi sinar-X Bandara. Padahal, bom seberat tiga setengah pon itu ditempelkan di bagian bawah tas. Tes yang dilakukan polisi memperlihatkan bahwa beberapa helai rambut Hindawi sendiri melekat dalam plester pengikat Semtex dengan dasar tas. (Poin kecil ini secara meyakinkan menolak klaim Suriah bahwa intelijen Israel mengganti tas Murphy supaya bisa melancarkan aksinya secara mudah).
Tatkala membantu Murphy berkemas, Hindawi menyelipkan sebuah kalkulator ilmiah ke dalam koper. Mereknya, Commodore. Katanya, itu hadiah untuk seorang teman di Israel. Nyatanya, kalkulator bekerja sebagai papan pengatur waktu sirkuit. Selain itu, bom Semtex seberat 1,7 ons ditambahkan pada kalkulator. Jika dilengkapi dengan baterai, kalkulator itu akan berfungsi sebagai pemicu bom koper. Tapi begitu cerdiknya perangkat itu disatukan, sehingga kalkulator itu dapat diuji oleh penjaga Bandara dan berfungsi baik. Menurut Scotland Yard, kecanggihan bom ini hampir pasti menyiratkan bahwa bom itu sudah disatukan di Damaskus. Meskipun demikian, beberapa laporan menyebutkan bahwa perangkat tersebut dipasang di Kedutaan Suriah di London.
Operasi
Pagi keesokan harinya, pada 17 April, Hindawi bangun lebih awal dari tidurnya. Mengenakan pakaian berwarna coklat, sepatu hitam dan jas abu-abu kecoklatan, ia naik taksi menuju apartemen Murphy di Kilburn. Tiba di sana sekitar pukul tujuh pagi. Persis pada pukul 08.03, dalam perjalanan menuju Bandara Heathrow, Hindawi yang terlihat gugup memasukan baterei ke dalam kalkulator, melengkapi detonator supaya bisa meledak lima jam satu menit kemudian, pada pukul 13.04, GMT. Penerbangan dijadwalkan meninggalkan Heathrow pada pukul 09.50. Sangat mungkin pesawat sudah berada 39.000 kaki di atas Austria kala bom meledak. Dengan demikian, seluruh 375 penumpang tentu terbunuh. Hindawi mendesakkan kalkulator ke dasar koper, berdekatan dengan bahan peledak utamanya. Dengan demikian, bom sangat pasti bakal meledak.
Pasangan itu pun tiba di Bandara sekitar pukul 08.30. Usai membayar taksi, Hindawi meletakkan koper di atas "trolly" pengangkut. Keduanya menghabiskan beberapa waktu mengobrol di terminal Bandara sebelum Hindawi sekilas mencium kedua pipi wanita hamil itu lalu mengucapkan selamat jalan yang biasa kepadanya, "Sampai jumpa lagi." Dia kemudian kembali ke Royal Garden Hotel. Berniat menyamar lagi sebagai anggota kru pesawat untuk penerbangan jam 2 sore itu kembali ke Suriah.
Bukan kebetulan bahwa Murphy tertangkap. Sebagian besar penangkapan terjadi akibat tindakannya mencurigakan. Awalnya, tiketnya dipesan ulang. Tindakan ini otomatis mendorong pihak El Al untuk memeriksanya secara khusus. Wawancara keamanan di Gerbang B23 pun belakangan berubah menjadi bencana. Murphy memang bisa melewati pemeriksaan sinar-X tanpa masalah sehingga mencapai gerbang dengan tas masih berada di atas trolly Bandara. Di sana dia menunggu dengan tenang sampai sekitar jam 9:10 pagi. Kala itulah, seorang agen El Al mengajukan pertanyaan standar perusahaan kepadanya. Pertama, kala ditanya apa dia mengemasi tasnya sendiri, jawabannya kurang memuaskan. Ia malah membunyikan lonceng. Sebagaimana direkonstruksi oleh Neil C. Livingstone dan David Halevy, pertukaran pembiaraan berikut berlangsung kira-kira seperti ini:
"Apakah tujuan perjalanan anda ke Israel?"
Mengingat apa yang sudah diberitahukan kepadanya, dia (baca: Murphy) menjawab, "Untuk berlibur."
"Apakah kau menikah, Nona Murphy?"
"Tidak."
Soalnya, wanita Irlandia hamil yang tidak menikah tidak sering pergi berlibur di Israel, agen itu pun menyelidikinya lebih jauh. "Bepergian sendiri?"
"Ya."
"Apakah ini perjalanan anda yang pertama ke luar negeri?"
"Ya."
"Apakah kau punya sanak keluarga di Israel?"
Dengan ragu, Murphy menjawab, "tidak."
Setiap jawaban semakin memunculkan hal yang aneh pada sang penumpang sendiri. "Apakah anda mau bertemu seseorang di Israel?"
"Tidak."
"Apakah liburanmu sudah lama direncanakan?
"Tidak."
Untuk memeriksanya lebih serius, sang agen pun bertanya: "Di manakah kau menginap ketika berada di Israel?"
"Di Hotel Hilton, di The Tel Aviv."
"Berapa banyak uang kau bawa?'
"Lima puluh pound [sekitar Rp 1 juta]."
"Anda tahu berapa banyak sewa kamar di Hotel Hilton?" Kemudian, tanpa menunggu jawaban (karena sewa kamar sedikitnya $100 atau sekitar 1.450.000 semalam), dia lalu bertanya, "Apakah kau punya kartu kredit?"
"Oh, ya," jawabnya sambil berusaha mengeluarkan dari dompetnya, sebuah kartu identifikasi untuk mengecek uang kontan.
Ini keterlaluan. Setelah yakin bahwa ada sesuatu yang salah, sang agen pun mengosongkan koper Murphy. Dia menemukan sesuatu yang "cukup berat" dengan "semacam dasar koper ganda." Dia karena itu mengirim Murphy supaya diperiksa seluruh badannya sementara kopernya dibawa menuju ruang staf. Meski tidak ada sesuatu yang melekat pada badannya, pemeriksaan koper memperlihatkan ada satu tas plastik diletakkan di dasar koper dengan bahan berminyak berwarna kekuning-kuningan, Semtex. Setelah dilihat dari dekat, detonator pun terlihat dalam kalkulator Commodore.
Sesudah Kejadian
Andaikata aksi pemboman itu berhasil, Hindawi pasti sudah keluar dari Inggris sore itu. Tetapi Murphy masih hidup sehingga bisa mengisahkan kepada polisi soal Hindawi dan berita tentang usaha yang gagal pun muncul pagi itu. Hindawi mendengar berita itu saat menunggu dalam bus milik Syrian Arab Airline yang hendak berangkat menuju Bandara Heathrow. Bukannya melanjutkan pelarian yang direncanakan, pengawal intelijen Hindawi membawanya ke Kedutaan Suriah. Di sana, Duta Besar Loutuf Allah Haydar sudah menunggu hendak menemuinya dan memuji dia atas "kerjanya yang bagus." Hindawi menyerahkan surat kepada duta besar yang menelepon Damaskus untuk meminta instruksi. Haydar kemudian meminta Hindawi dibawa keluar dari pintu belakang ke sebuah apartemen pribadi di 19 Stonor Road di West Kensington. Di apartemen itu, seorang penjaga kedutaan memangkas dan mengecat rambutnya. Hindawi pun bermalam di sana. Keesokan harinya, dua pria datang menjemputnya pada pukul 5:30 pagi untuk membawanya kembali ke Kedutaan Suriah. Dia berhasil melarikan diri sebelum mereka membawanya masuk mobil. Memilih untuk tidak mempercayai nasibnya pada belas kasihan yang penuh kelembutan dari rezim di Damaskus.
Dia melarikan diri ke London Visitor's Hotel di Holland Park, di salah satu bagian kota. Di sana dia mendaftarkan diri untuk menginap semalam. Dengan membayar £ 24. Dia diberi kamar No. 18. Manajer jaga mengenali Hindawi. Dari foto-fotonya yang bersebaran dalam semua surat kabar. Dia lalu memberi tahu pemilik hotel, Na'im 'Awran, seorang pria kelahiran Yordania. 'Awran itu kenalan bisnis kakak laki-laki Nizar, Mahmud, seorang akuntan sewaan yang bekerja di Kedutaan Qatar di London. 'Awran lalu menelepon Mahmud dan mendesaknya untuk datang ke hotel. Bersama-sama, keduanya meyakinkan Nizar supaya menyerahkan diri kepada polisi. Sesudah bisa menerima nasihat mereka, Nizar kembali ke kamarnya. Dengan tenang dia menunggu kedatangan pihak berwenang. Dua polisi berpakaian preman muncul kemudian mengantarnya pergi.
Awalnya Hindawi mencoba membodohi polisi dengan bercerita bahwa dia terlibat tidak lebih dari penyelundupan narkoba ke Israel. Tetapi, akhirnya, dia mengaku terus terang. Dengan rinci, dia mengisahkan pertemuannya dengan Khuli, Februari lalu. Untuk membuktikan bona fides, kejujuran serta niat tulusnya, dia memberikan nomor telepon pribadi Khuli. Menurut satu kisah lagi, dia juga bersaksi bahwa Hafez al-Asad secara pribadi memerintahkan penyerangan pesawat El Al. Hindawi melanjutkan dengan menceritakan apa yang dia ketahui tentang awak perusahaan Syrian Arab Airline yang membawa bahan peledak, senjata, dan narkoba ke Inggris.
Hindawi kemudian menarik kembali kisahnya. Mungkin karena dia ingat dengan ancaman Sa'id terhadap keluarganya. Namun bagaimanapun, informasi dalam pengakuannya kemudian berhasil dikonfirmasi. Lebih lanjut, penangkapannya bersangkut-paut dengan Ahmad dan sepupunya 'Awni. Polisi berhasil menemukan nomor telepon Ahmad yang berdiam di Berlin dalam apartemen Hindawi. Pengadilan Jerman Barat bekalangan memutuskan Hasi bersalah atas ledakan 29 Maret 1986 di Perkumpulan Persahabatan Jerman-Arab di Berlin Barat yang menewaskan dua orang. Dia juga terlibat dalam pemboman seminggu kemudian di La Belle Discoteque di Berlin. Hasi juga bekerja untuk Suriah. Dia mengaku mengambil bahan peledak di dapur Kedutaan Suriah di Berlin Timur. Polisi Jerman juga belakangan mencegat sepucuk surat yang dikirim Hindawi dari penjara kepada sepupunya di Genoa, 'Awni al-Hindawi. Isinya, meminta Awni supaya "menyuruh orang Suriah menyandera orang agar bisa mengeluarkannya dari penjara." 'Awni ditangkap karena terlibat dalam pemboman Berlin.
Kesimpulan
Perlu dicatat bahwa rezim Asad terlibat dalam setiap langkah operasi tersebut. Setelah melatih Hindawi di Suriah, memberinya paspor, mendukung aplikasi visanya, menyamarkannya sebagai anggota awak perusahaan Syrian Arab Airlines, rezim memberinya bahan peledak dalam koper dengan dasar palsu. Rezim Suriah juga membantunya setelah usahanya gagal. Hindawi lebih jauh melibatkan Pemerintah Suriah, dengan meminta pemerintah negeri itu menyandera orang Inggris demi kepentingannya. Memang agak tidak biasa, Damaskus terlibatlangsung. Tetapi kasus Hindawi dengan cara lain juga menggambarkan Suriah menggunakan teror. Memanfaatkan warga negara non-Suriah; tidak tahu malu mengeksploitasi kekebalan diplomatik; menggunakan bahan peledak berteknologi tinggi; memanfaatkan wanita lokal dan ketakutan para operator untuk menangani para pembawa bahan peledak. Dengan tepat hakim di Old Bailey mengatakan kenyataan itu saat menjatuhkan hukuman kepada Hindawi, "Ini kejahatan terencana yang terorganisir baik yang melibatkan banyak orang selain Anda. Beberapa di antaranya adalah para pejabat tinggi."
Hakim benar. Meskipun memang ada banyak spekulasi bahwa upaya Hindawi merupakan bagian dari sebuah operasi jahat. Atau "sekeping usaha pribadi dari para petugas intelijen Suriah tingkat menengah." Seorang penulis bahkan merasa yakin bahwa Asad "dan seluruh pemerintahannya tidak tahu apa-apa tentang operasi tersebut sampai mereka mendengar berita di radio."
Faktanya, ada beberapa alasan untuk meyakini bahwa Hafez al-Asad sendiri mengawasi operasi terror London. Pertama, Hindawi awalnya memberikan kesaksian hingga berakibat pada aksi itu. Kedua, tampaknya tidak bisa dipahami bahwa Asad membiarkan bawahannya untuk mengambil langkah yang sangat mungkin bisa memicu perang dengan Israel. Ketiga, Muhammad al-Khuli adalah salah satu pembantu terdekat Asad. Sama sekali bukan birokrat tingkat menengah. Keempat, seandainya percobaan pengeboman itu merupakan operasi ngawur dari anak buah yang nakal, maka Khuli dan para pembantunya akan membayar sejumlah harga. Tetapi mereka tampaknya tidak dihukum sama sekali. Akhirnya, Asad secara pribadi mengawasi semua operasi penting. Jadi tidak bisa dipahami bahwa salah satu dari hal sebesar ini terjadi tanpa sepengetahuannya. Dalam kata-kata mantan anggota Partai Ba'th Suriah, "jika aksi terror itu benar-benar Suriah, maka pasti Assad sendiri. Dalam masalah keamanan penting, dia memeriksanya sampai mendetil."
Kesimpulannya, tampaknya Pemerintah Inggris juga terlibat dalam beberapa penipuannya sendiri. Ketika Scotland Yard mengumumkan bahwa Murphy ditangkap menyusul "pemeriksaan keamanan rutin," ada alasan kuat untuk percaya bahwa lebih banyak lagi yang berada di balik peristiwa itu. Secara khusus, tampaknya hampir pasti bahwa pada Maret 1985, Inggris menghambat permintaan bantuan dari pihak Kedutaan Suriah untuk mendukung operasi yang direncanakan Hindawi. Karena itu, Hindawi berada di bawah pengawasan sepanjang waktu sejak dia tiba di Inggris pada 5 April. Selain itu, pesawat Amerika yang berbasis di Inggris mengebom Libya hanya dua hari sebelumnya dan ketakutan akan pembalasan menyebabkan Bandara berada dalam situasi siaga keamanan yang tinggi. Seperti dikatakan oleh pakar Pemerintah AS yang tidak disebutkan namanya, "Orang Israel sedang menunggu Miss Murphy. Tidak mengherankan ketika dia dan tasnya tiba. Pasti akan pergi lagi dan lagi."
Terorisme dalam Konteks Kebijakan Luar Negeri
Mengapa Pemerintah Suriah mensponsori kegiatan seperti yang dilakukan Hindawi? Bagaimana operasi seperti itu memajukan kepentingan negara? Bagaimana Damaskus bisa dibujuk supaya tidak mendukung terorisme?
Ini pertanyaan kompleks. Tetapi ia menjadi tempat untuk memulainya. Caranya, pertama-tama dengan mendeskripsikan rezim Asad dan prioritasnya. Sejak berkuasa pada November 1970, Asad pertama-tama ingin mempertahankan kekuasaannya. Upaya mempertahankan kekuasaan itu terus-menerus menjadi tantangannya. Soalnya, posisi tertinggi rezim itu diduduki terutama oleh kaum Alawi, anggota sebuah minoritas agama kecil yang sangat dibenci oleh mayoritas Muslim Sunni. Karena mendapat keuntungan yang sangat besar dari kekuasaan Asad, kaum Alawi takut apa yang akan terjadi jika kendali kekuasaan direbut oleh kaum Sunni. Ketakutan ini semakin jauh menjelaskan sifat dari kebijakan luar negeri Suriah yang suka berperang. Bagi kaum Sunni yang terlantar, upaya melenyapkan Israel itu menarik. Dengan demikian, mereka punya hal sama dengan rezim. Selain itu, upaya Damaskus yang ingin menguasai wilayah yang dikenal sebagai Suriah Raya (yang mencakup Libanon, Palestina dan Yordania) sangat populer. Pertautan Suriah dengan Uni Soviet sekian lama membuatnya lebih mudah menekan kaum Sunni setiap kali mereka keluar jalur.
Tiap-tiap kebijakan ini juga menyiratkan perlunya peperangan rahasia. Israel terlampau kuat untuk diserang dengan sarana konvensional sehingga perlu metode yang luar biasa untuk menggantikannya. Suriah Raya menyerukan upaya advokasi untuk mendapatkan kembali kawasannya melawan Libanon dan Yordania, ditambah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Hubungan dengan Soviet dengan demikian mengarah pada kampanye sabotase terhadap Turki dan Barat. Bukan dalam bentuk kekerasan militer konvensional. Mengingat agresivitas ini, dalam hal ini, terorisme yang menjadi instrumen yang berguna dalam tata negara. Tidak mahal. Ia justru memungkinkan adanya tindakan yang tidak mungkin didukung oleh negara secara terbuka. Dan ia mengintimidasi lawan.
Di tangan Asad, terorisme kerap mempengaruhi tindakan negara asing. Di Libanon, ia dorong pasukan Barat dan Israel keluar dari sana pada 1982-84. Ia juga membantu Damaskus memperoleh dan mempertahankan kendali atas sebagian besar wilayah negara itu. Dalam konflik Arab-Israel, ia berperan penting mencegah negara-negara Arab mengadopsi kebijakan yang lebih akomodatif terhadap Israel. Secara khusus, ia menghalangi Raja Hussein dari Yordania untuk memasuki negosiasi damai dengan Israel. Di Teluk Persia, terorisme menyebabkan uang terus mengalir masuk. Dengan Libya dan Iran, ia memperbaiki aliansi mereka yang lemah. Berkenaan dengan Uni Soviet, ia meningkatkan kekuatan Suriah. Sekaligus meningkatkan gunanya Asad berkuasa.
Teror juga punya tujuan yang jauh lebih terarah. Pada suatu kesempatan, pada September 1986, para pejabat Suriah menawarkan diri untuk melakukan apa yang dapat mereka lakukan guna menghentikan terorisme di Prancis - tetapi hanya dengan imbalan bantuan ekonomi. Rangkaian insiden dengan dukungan Suriah antara April dan September, menurut analis Israel Moshe Zak, punya dua tujuan: untuk mencegah terjadinya dialog Israel-Mesir-Yordania dan untuk menghilangkan pengaruh Israel atas Libanon selatan. Lebih lanjut, menurutnya, kedua tujuan itu terkait: "Intelijen Suriah tampaknya percaya bahwa ledakan di Paris adalah latar belakang yang baik untuk melunakkan posisi Prancis di Libanon, dan untuk membuat Istana Elysée semakin menekan Israel" untuk meninggalkan Libanon.
Asad sudah mulai mensponsori teror bahkan sebelum ia menjadi penguasa Suriah pada 1970. Dukungannya terhadap kelompok-kelompok Palestina pada pertengahan 1960-an, misalnya, berkontribusi langsung pada pecahnya perang Arab-Israel pada Juni 1967. Sejak Asad menjadi penguasa Suriah, ketergantungannya pada sarana ini dapat dibagi dalam empat era yang berbeda.
Awal 1970-an-1982. Warga Suriah terlibat dalam operasi Damaskus. Sebagian besar operasi itu menyasar sasaran Israel dan Yahudi atau terhadap orang-orang Arab. Yang terakhir ini termasuk musuh-musuh Negara Suriah seperti para pembangkang Suriah dan warga Palestina pro-Arafat. Termasuk negara-negara resmi negara yang ingin diintimidasi oleh Damaskus (seperti Yordania, Arab Saudi, dan Kuwait).
1983-85. Dua perubahan penting modus operandi terjadi pada 1983. Sama-sama terkait dengan perang 1982 di Libanton. Pertama, Pemerintah Suriah menjadi tumpuan internasional untuk terorisme, setelah mengambil alih peran ini dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Secara keseluruhan, diperkirakan ada 3.500 penjahat nekad kelas kakap pindah ke Damaskus pasca-1983. Kedua, pihak berwenang Suriah mulai berjuang keras untuk tidak lagi menggunakan warga Suriah sendiri dalam kampanye terorisme mereka. Warga Suriah hanya bertindak sebagai pengawas, sementara warga bukan Suriah yang melakukan pekerjaan kotor.
1986. Selama masa yang singkat, khususnya pada musim semi 1986, Asad terlibat langsung dengan mengandalkan dinas intelijennya sendiri. Pada satu titik, salah satu pejabat intelijen tertingginya, Kol. Haytham Sa'id bahkan pergi ke Berlin untuk mengawasi satu operasi terorisme. Terlepas dari jaringannya yang rumit dan licik, keterlibatan Suriah ini berulangkali terungkap. Pada satu titik pada penghujung tahun itu, berbagai pengadilan terkait terror yang didanai Suriah di London, Madrid, Paris, Berlin Barat, Genoa, Wina, Istambul dan Karachi ditunda. Secara internasional, rezim itu dikenal jahat dan akhirnya tampaknya melihat bahwa harganya terlalu mahal. Bom di Beirut satu hal, tapi yang di Paris itu soal lain lagi. Belajar dari kekacauan yang dialaminya, Asad kemudian mengundurkan aksinya ke Timur Tengah.
1987 sampai saat ini. Pada masa itu, Suriah memadukan pola aksi terorisme pertama dan kedua. Seperti pada periode pertama, teror terutama dilakukan di Timur Tengah (di Turki dan Libanon, melawan Palestina dan Israel). Pola itu menyebabkan Damaskus tidak menjadi berita utama sehingga negara itu bisa menekan biaya politiknya. Sementara pada periode kedua, rezim itu bergantung terutama pada antek-anteknya. Perpaduan pola ini tampaknya menawarkan pendekatan jangka panjang yang stabil dari rezim itu terhadap terorisme setelah melakukan berbagai eksperimen ambisius pada 1983-86.
Patron dan Para Mitranya
Asad membuat Suriah nyaris menjadi anggota blok Soviet. Langkah ini tidak hanya menjelaskan perilaku umum Pemerintahan Asad yang kejam anti-Barat. Tetapi juga menjelaskan aktivitas tertentu teroris Suriah yang sebaliknya sulit dipertanggungjawabkan. Yang paling penting dari ini seharusnya adalah upaya jangka panjang Suriah untuk mengguncang Turki. Jika ini dilakukan, maka ia akan jauh lebih menguntungkan Kremlin daripada menguntungkan Asad.
Sebagai imbalan, blok Soviet memasok berbagai bantuan untuk aksi terorisme yang didukung Suriah. Termasuk senjata itu sendiri (terutama Semtex, sejenis bahan peledak yang sangat mudah dibentuk) dan pelatihan menggunakan senjata. Hingga baru-baru ini, "para penasihat keamanan" Jerman Timur dan Bulgaria bekerja di kamp-kamp Suriah, sementara anggota beberapa organisasi teroris pergi ke Uni Soviet dan Eropa Timur untuk mendapatkan pendidikan khusus. Beberapa dari mereka bahkan belajar Bahasa Rusia atau bahasa blok Timur lainnya.
Tetapi hubungan antara negara-negara Suriah dan Soviet jauh melampaui persoalan bantuan materi. Harvey Sicherman menyebutnya sebagai "sejarah pengkhianatan yang baik" antara kedua negara. Banyak bukti menunjukkan bahwa Uni Soviet dan kliennya memang berperan penting, meski tidak spesifik mendorong penggunaan terorisme di Suriah. Mereka memberinya dukungan yang meningkatkan kepercayaan diri seorang teroris untuk mengambil risiko. Bukan sekedar tahu bahwa musuh-musuhnya akan berpikir panjang dan keras sebelum mengambil baterai rudal di sekitar Damaskus. Atau bahwa pihak Soviet marah, sehingga sang teroris juga mendapat dukungan politik dan psikologis dari jaringan negara dan gerakan di seluruh dunia. Tidak seperti para pemimpin yang suka mengambil risiko suka berperang di Timur Tengah (seperti Khomeini, Kadafi dan Yasser Arafat), dia tidak pernah sendirian. Mungkin ada ketegangan seputar masalah saat ini terjadi, tetapi hubungan itu telah terbukti bertahan lama dan dalam.
Damaskus pertama-tama berafiliasi dengan Pemerintahan Iran dan Libya di kawasan Timur Tengah. Jaringan teroris Iran berperan penting di Libanon. Pesawat-pesawat 747 milik Angkatan Udara Iran karena itu terbang menuju Damaskus membawa sumberdaya manusia, senjata dan dana untuk operasi Iran di negeri itu. Semua itu dibawa oleh konvoi truk dengan menggunakan jalan-jalan militer guna menghindari pemeriksaan beacukai dan pemeriksaan perbatasan menuju Lembah Bekaa di Libanon. Berbagai kelompok Muslim fundamentalis seperti Jihad Islam, Amal Islam dan Hizbullah mengandalkan pengaturan transportasi ini nyaris bagi semua pasokan mereka. Sebagai balas jasa karena mengijinkan akses ini, ditambah lagi dengan memberikan bantuannya sendiri, Pemerintah Suriah pun memberlakukan langkah pengawasan besar-besaran terhadap para sekutu Iran dari Libanon.
Jadi, pada awal Oktober 1983, sekitar tiga minggu sebelum barak Marinir AS di Beirut diledakkan, satu penerbangan khusus dilaporkan tiba di Damaskus dari Teheran dengan lima puluh operator Iran di dalamnya. Mereka segera dibawa ke Baalbek sebuah kawasan yang dikuasai Suriah di Libanon. Dari sana mereka dibawa menuju Beirut. Sebenarnya, perencanaan serangan itu melibatkan agen Suriah dan Iran. Menteri Pertahanan AS Caspar W. Weinberger menyimpulkan adanya aliansi itu dengan mencatat bahwa mereka yang bertanggung jawab atas ledakan barak Marinir itu "pada dasarnya orang Iran dengan sponsor yang sudah diketahui dan mendapatkan otoritas dari Pemerintah Suriah."
Damaskus bekerja sama dengan Pemerintah Libya dan Iran guna mendukung organisasi pimpinan Abu Nidal sehingga bisa mewujudkan kerja sama tiga arah ini. Menurut seorang warga Palestina yang pro-Suriah, ketiga negara merasa sama-sama untung untuk membantu kelompok ini. Soalnya, organisasi itu "memberi mereka kekuatan Arab tanpa pertanggungjawaban publik sama sekali." Menurut seorang ahli terorisme Israel, "Libya membeli, menyimpan, dan mendistribusikan senjata melalui kantong-kantongnya; Suriah menyediakan intelijen logistik dan pelatihan yang diperlukan untuk serangan semacam itu; Iran menyediakan pasukan komando bunuh diri dan sejumlah dana."
Kerja sama bisa punya basis lebih luas lagi. Beberapa teroris terkemuka punya cap misterius di halaman keenam paspor mereka. Cap itu memperlihatkan sebuah pesawat terbang, tertanggal "30 Nov. 1984" dan kata "Casa-Nouasseur." Menurut sebuah laporan, ini membuat mereka boleh masuk, ke banyak negara bagian di Timur Tengah dan Afrika Utara tanpa diselidiki petugas.
Sementara kerjasama itu benar-benar terjadi, terorisme tetap menjadi dunia yang sangat rahasia di mana negara biasanya melakukannya sendiri, terutama pada tingkat operasional. Seorang pejabat kontra-spionase Prancis menggunakan analogi untuk menjelaskan kerja sama antarkelompok teroris. Mereka itu, urainya, seperti perusahaan yang membuat produk yang sama yang biasanya bersaing tetapi terkadang bersatu sebagai anggota asosiasi perdagangan untuk bekerja sama.
Secara keseluruhan, Asad lebih memilih aliansi kelompok-kelompok kecil yang dapat ia kuasai. Dan ini kelompok-kelompok ini punya peran yang jauh lebih besar dalam peperangan rahasianya dibandingkan dengan yang dimiliki negara-negara lain.
Organisasi
Sebagian besar aksi terorisme yang disponsori Suriah sejak 1983 dilakukan oleh anggota organisasi yang berbasis di Libanon. Organisasi-organisasi itu dipengaruhi, jika tidak dikendalikan oleh Pemerintah Suriah. Soal kendali Suriah, seorang asisten Husein Musawi dari Islamic Amal pada 1984 menjelaskan: "Kami tidak bebas bertindak. Operasi kami tidak bakal disetujui jika tidak melayani kepentingan Damaskus." Laporan Departemen Luar Negeri AS Desember 1986 menjelaskan keuntungan dari pengaturan ini:
Bukti yang ada memperlihatkan bahwa Suriah lebih suka mendukung kelompok yang aktivitasnya umumnya sejalan dengan tujuan Suriah daripada memilih target atau mengendalikan operasi itu sendiri. Damaskus memanfaatkan kelompok-kelompok ini untuk menyerang atau mengintimidasi musuh dan lawan dan menggunakan pengaruhnya di wilayah tersebut. Namun pada saat yang sama, ia menyangkal mengetahui soal operasi mereka.
Dengan cara ini, Asad menjalankan pengawasan yang efektif sambil pada saat yang sama, dia dapat mengaku tidak bertanggung jawab. Sebuah kombinasi yang sempurna.
Selain penyangkalan yang masuk akal, dukungan tidak langsung memungkinkan terjadinya penambahan sumberdaya manusia dan keterampilan. Berbagai kelompok antek dapat mengajak lebih banyak kader pengikut setia daripada mengajak diktator militer di Damaskus. Dukungan tidak langsung juga memungkinkan Asad memainkan peran perantara. Berkali-kali, ia menganggap dirinya sebagai negarawan. Dia berbicara dengan para pemimpin asing tentang cara supaya bisa membebaskan sandera mereka atau menghentikan terorisme di wilayah mereka. Sebuah sikap yang tidak hanya menjauhkan Asad dari kelompok teroris, tetapi juga membuatnya tidak dimarahi oleh orang asing. Tidak ada negara berani menghukumnya, karena tidak ada yang mau mengasingkan perantara kunci ini. Dengan demikian, Asad memelihara hubungan baik dengan banyak pemimpin. Bahkan dengan negara-negara yang warganya menderita karena dia mangsa.
Asad dengan demikian mengandalkan tiga bentuk organisasi:
Organisasi-organisasi Masyarakat Palestina.
Palestinian Organizations. Setelah diusir keluar dari Libanon pada 1982, banyak faksi PLO berlindung di Suriah. Di sana, Asad mengumpulkan mereka di bawah panji Palestine National Salvation Front (Fron Keselamatan Nasional Palestina --- PNSF). PNSF menjadi tempat berlindung bagi As-Sa'iqa, Popular Front for the Liberation of Palestine (Front Populer Pembebasan Palestina yang dijalankan oleh George Habash), Popular Front for the Liberation of Palestine-General Command (Fron Populer Komando Umum untuk Pembebasan Palestina pimpinan Ahmad Jibril), Democratic Popular Front for the Liberation of Palestine (Front Popular Demokratik bagi Pembebasan Palestina pimpinan Na'if Hawatma), dan Faksi Fatah pimpinan Abu Musa.
Kelompok lain mencakup Arab Organization of the 15th of May for the Liberation of Palestine (Organisasi Arab 15 Mei bagi Pembebasan Palestina pimpinan Naji Alush) dan Fatah - Revolutionary Command (Komando Revosioner Fatah pimpinan Abu Nidal). Suriah mencoba membujuk Abu Nidal untuk melepaskan diri dari patronnya Irak pada akhir 1970 atau awal 1980. Yaitu, sejak dia menjadi salah satu agen Asad paling aktif yang melakukan berbagai operasi nyaris setiap negara Eropa Barat dan di banyak negara Timur Tengah. Tampaknya, dia terpaksa pindah ke Libya pada awal 1987.
Organisasi Arab. Partai Nasionalis Sosial Suriah (The Syrian Social Nationalist Party ---SSNP), yang didirikan pada 1932 antusias setuju dengan Asad karena tujuannya berjalan iring dengan rencananya sendiri untuk mendirikan sebuah Suriah yang mencakup wilayah Suriah, Libanon, Israel dan Yordania masa kini. Dukungan Suriah memungkinkan Partai Nasionalis Sosial Suriah (SSNP) untuk menguasai sebagian wilayah Libanon hingga ke kawasan selatan Tripoli (Libya). Bersama Partai Ba'th Libanon dan Partai Komunis Lebanon, mereka melancarkan hampir semua dari lima belas serangan bunuh diri terhadap pasukan Israel dan Tentara Lebanon Selatan yang terjadi pada 1985.
Kelompok lain termasuk Partai Sosialis Progresif (dari Faksi Druze), Partai Amal (dari Syiah), Partai Nasirites (Sunni), Brigade Revolusioner Libanon, Fraksi Revolusioner Bersenjata Libanon (atau Fractions Armées Révolutionnaires Libanaises –FARL), Partai Arab Mesir, Komisi Pertahanan Kebebasan Demokratik di Yordania, Fron Demokratik untuk Pembebasan Somalia, Fron Pembebasan Eritrea, dan Polisario. Media Irak menggambarkan Organisasi Jihad Islam di Libanon sebagai "kedok untuk kejahatan politik [Suriah]." Dan gambaran ini setidaknya sebagian benar.
Organisasi Non-Arab. Sejak sekitar 1980, Tentara Rahasia Armenia untuk Pembebasan Armenia (ASALA) menerima bantuan Suriah berupa pangkalan pelatihan, dukungan logistik, dan satu pusat operasi. Ketika harus meninggalkan Beirut pada 1982, kelompok itu mendapatkan tempat tinggal baru di Libanon yang dikuasai Suriah. Intelijen Prancis dilaporkan yakin bahwa Damaskus mengoperasikan ASALA dengan pengawasan Soviet sebagai cara untuk mengguncang Turki dan melemahkan Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization ---NATO). Partai Pekerja Kurdi (PKK) berperan sebagai instrumen utama Suriah melawan Pemerintah Turki. Partai ini menjadi satu-satunya tersangka yang paling memungkinkan dalam pembunuhan Perdana Menteri Swedia Olof Palme pada Februari 1986. Ia karena itu, disebut sebagai " negara dalam negara bagian di Eropa Barat." Mehmet Ali Agca, penyerang paus, memberi kesaksian bahwa dia dilatih di Suriah sebagai anggota Gray Wolves (Serigala Abu-abu) Turki.
Untuk operasi di Eropa Barat, para agen Suriah bekerja dengan Fraksi Tentara Merah Jerman Barat, Action Direct dari Prancis, Brigade Merah dari Italia, Euskadi Ta Askatasuna (ETA) atau Gerakan Tanah Air dan Kemerdekaan Basque dan Sel Perjuangan Komunis dari Belgia. Lebih jauh lagi, bantuan juga diberikan kepada Zulfikar dari Pakistan, Organisasi Pembebasan Thailand Pattani dan Macan Pembebasan Tamil Eelam di Sri Lanka. Selain itu, Jurubicara Tentara Merah Jepang tinggal di Damaskus.
Jika seorang terpidana teroris dibebaskan dari penjara, kemungkinan besar dia akan menuju wilayah yang dikuasai Suriah. Magdelena Kopp dari geng Baader-Meinhof, misalnya. Setelah keluar dari penjara Prancis dia berangkat melalui Athena langsung menuju Damaskus. Dalam waktu kurang dari sebulan setelah dibebaskan pada Mei 1985, Kozo Okamoto dari Tentara Merah Jepang muncul di Lembah Bekaa (Libanon). Saat dibebaskan, Bruno Breguet, seorang rekan dari "Carlos," terbang langsung menuju Damaskus. Kedatangannya disambut oleh pihak berwenang Suriah kemudian dibawa pergi. Pada bulan April 1986, Frédéric Oriach dari Action Direct (dan dikatakan sebagai "penemu" FARL) juga langsung pergi menuju Suriah. "Ketika semua orang ini pada waktu bersamaan ada di kota," tulis G. Jefferson Price, "maka lobi hotel [Sheraton] yang mereka sukai menciptakan suasana pertemuan dunia kejahatan."
Secara keseluruhan, menurut Abdullah Öcalan, pemimpin PKK yang berdiam di Damaskus (Suriah), ada sekitar tujuh puluh tiga organisasi serupa yang didukung oleh Pemerintah Suriah.
Ada apakah di Suriah yang menguntungkan bagi organisasi-organisasi itu? Mengapa mereka mau melakukan pekerjaan kotor Damaskus? Karena Negara Suriah (seperti negara-negara lain) dapat memberi bantuan yang besar kepada kelompok-kelompok yang membantu. Keuntungan-keuntungan meliputi: akses internasional, uang, teknologi tinggi, dan pelaku bom bunuh diri.
Kekebalan diplomatik memungkinkan senjata, bahan peledak, peralatan khusus dan uang dapat diangkut nyaris tanpa hambatan melintasi batas-batas internasional. Kedutaan berfungsi ganda; sebagai rumah yang aman dan pada saat krisis, berfungsi sebagai tempat perlindungan yang tidak dapat diganggu gugat. Tidak seperti kelompok revolusioner, negara nyaris punya jumlah uang yang tidak terbatas untuk dibelanjakan untuk terorisme. Dari sudut pandang negara, ini cara melancarkan perang paling murah. Bayaran para mata-mata tampaknya bagus tapi tidaklah berkelimpahan.
Negara punya akses kepada peralatan mahal, rapuh dan terbatas yang tidak dapat diharapkan bisa diperoleh dari kelompok swasta. Agen Suriah ditangkap dengan bahan yang sangat mudah meledak seperti Semtex H, penthrite dan trityl buatan Cekoslowakia. Mereka juga memberikan pistol mitraliur, propelan, dan beragam perangkat kendali jarak jauh. Konon ada bengkel di Damaskus yang mengkhususkan diri memproduksi koper bermerek Samsonite berpelengkap khusus (yang kemudian ditukarkan dengan tas penumpang yang tidak curiga). Negara bisa memalsukan paspor negara bagian lain dengan keahlian khusus. Karena itu, Georges Ibrahim 'Abdullah dari FARL membawa tidak kurang dari lima paspor (dua passport Maroko, satu Aljazair, satu paspor Malta dan satu paspor Yaman Selatan).
Negara juga menyediakan mata-mata yang siap bunuh diri demi organisasi-organisasi teroris. Pelaku bom bunuh diri punya dua keuntungan besar; Mereka cenderung menyebabkan kerusakan yang terparah dan biasanya tidak mampu melepaskan diri sehingga mudah ditangkap (dan mau mengungkapkan apa yang mereka ketahui). Tetapi ada juga beberapa orang fanatik yang rela menyerahkan nyawanya sendiri. Dan di sinilah peran negara. Hubungan antara otoritas negara dan aksi bunuh diri mungkin tidak jelas, tetapi bisa sangat langsung. Pemerintah dapat menggunakan kekuatan mereka untuk memaksa memilih orang dan menawarkan pilihan kepadanya: "Apakah kau mau mati pelahan dan berkepanjangan, yang menyakitkan dan pasti di penjara dan keluarga kau dilecehkan atau dibunuh dan nama kau diseret ke dalam lumpur. Atau kau menyanggupi operasi ini. Dalam hal ini kau punya peluang untuk bertahan hidup. Dan jika mati, kau bisa pergi dengan cepat. Keluarga kau dihargai. Dan kami jadikan kau pahlawan nasional." Dalam keadaan seperti itu, tentu saja, serangan bunuh diri menjadi pilihan yang rasional dan bijaksana.
Operasi
Di Suriah, persisnya ada sekitar 25 kamp pelatihan untuk pasukan liar perang. Lima kamp di antaranya berada dekat Damaskus. Kamp Yarmuk rupanya salah satu yang paling khusus didedikasikan untuk mengasah keterampilan para teroris. Pangkalan pelatihan lain, termasuk pangkalan milik Abu Nidal di Hammara beroperasi secara terbuka di Lembah Bekaa, Libanon, sebuah daerah di bawah kendali penuh Suriah. Kamp pelatihan diawasi oleh tentara Suriah sementara anggota keluarga para pasukan liar itu tinggal di kamp Palestina di Damaskus. Seorang mantan anggota kelompok Abu Nidal pernah bersaksi bahwa pelatihan di Irak (yang agaknya mirip dengan apa yang ditemukan di Suriah), kursus standarnya berlangsung selama enam bulan. Pada hari-hari biasa peserta harus berlari sepuluh kilometer, empat jam latihan fisik, dan latihan menggunakan senjata seperti Kalashnikov dan senapan mesin W.Z. 63, diikuti dengan pelajaran indoktrinasi. Dalam pelatihan lanjutan, "kami belajar cara membunuh orang dengan berbagai metode, cara memasuki gedung dengan tenang, menguntit orang sepanjang jalan dan kemudian melarikan diri."
Pemerintah Suriah biasanya mengatur perjalanan dari Lebanon atau Suriah ke lokasi operasi. Juga memasok satu paspor (atau dua paspor) palsu. Dalam beberapa kasus, seorang pejabat intelijen Suriah (mukhabarat) mengawal operasi tersebut. Perjalanan cenderung tidak langsung. Para agen bisa saja pergi ke Roma, misalnya, kemudian pergi melalui Yugoslavia atau Yunani.
Otoritas Suriah sangat bergantung pada "sleepers" (baca: teroris yang sedang tidur, tidak beraksi) supaya benar-benar fleksibel. Mereka adalah para agen yang ditempatkan jauh sebelum sebuah operasi berlangsung. Para teroris yang belum beraksi ini biasanya mendaftarkan diri di sekolah atau universitas jurusan bahasa, yang menjadi cara mudah untuk mendapatkan status hukum di negara asing. Kemudian mereka mengumpulkan informasi tentang sasaran mereka dengan bebas bepergian melintasi perbatasan. Mereka mengeksploitasi penduduk sementara yang begitu banyak berikut undang-undang suaka politik yang mudah di tempat-tempat seperti Berlin Barat. Para teroris jenis ini terkadang menggunakan dua tempat tinggal. Satu untuk kehidupan normal dan yang lainnya sebagai rumah persembunyian. Yang terakhir sering kali berada dekat Bandara. Penginapan terkadang bertambah banyak. Polisi menghitung lima apartemen milik FARL di tiga negara Eropa Barat. Rekening bank yang bernomor di Swiss memang de rigeur (baca: dipersyaratkan). Diduga, tiga anggota SSNP yang tertangkap basah menyelundupkan bahan peledak dari Kanada ke Amerika Serikat pada Oktober 1987 sedang mempersiapkan perlengkapan bagi seorang teroris yang belum beraksi. Hal yang sama berlaku juga pada Yu Kikumura, anggota Tentara Merah Jepang yang tertangkap dengan tiga bom yang berdaya ledak kuat di Jalan Tol New Jersey pada April 1988. Lebih jauh lagi, menurut Pierre Marion, Kepala Direktorat Jenderal Keamanan Eksternal Prancis pada awal 1980-an, " Di Barat, di Eropa Barat dan Perancis khususnya, ada infrastruktur logistik permanen, yang tidak aktif, " yang "diaktifkan untuk operasi khusus ini atau itu."
Para teroris Suriah sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa mereka tidak tinggalkan sidik jari. Dalam beberapa kasus, mereka memanggil agen pada hari operasi atau mengandalkan "orang asing" (cutout), yang mengambil alih tugas tanpa mengetahui lebih jauh tentang operasi tersebut. Mereka juga lebih suka mengandalkan anggota satu keluarga, dengan perhitungan bahwa mereka tidak bisa ditembus oleh polisi. Keluarga terkemuka dalam tugas itu di Suriah termasuk keluarga Abdallah dari Libanon dan klan Hindawi-Hasi di Yordania. Ketika menjelaskan soal metode operasi Suriah, Marion menjelaskan: "Senjata dan bom dimasukan ke sebuah negara lewat kantong diplomatik. Teroris tiba di negara itu dengan pesawat atau kereta api dengan tangan kosong. Dia kemudian bertemu kontaknya, yang memberinya target dan sarana untuk menyelesaikan misi. "
Hafiz al-Asad menyimpan rekening pribadi (personal tab) para mata-mata teror melalui rekan dekatnya. Kamp dan operasi berada di bawah pengawasan Brigjen Muhammad al-Khuli. Pada kesempatan tertentu, agen menerima instruksi langsung dari Khuli yang ditandatangani sendiri olehnya. Pengawasan lebih lanjut dijalankan dengan meminta para mata-mata itu menelepon para tokoh kunci di Damaskus pada saat-saat kritis, bahkan dari luar negeri sekalipun.
Pemerintah Suriah mengandalkan pasukan bunuh diri untuk beberapa operasinya yang paling menantang. Asad menyampaikan pidato yang luar biasa pada Mei 1985, memberi tahu para siswa hadirinnya soal itu:
Saya yakin dengan agungnya nilai mati syahid dan pentingnya pengorbanan diri sejak masa muda saya. Saya merasa dan yakin bahwa beban berat rakyat dan bangsa kita. . . dapat disingkirkan dan dicabut hanya melalui pengorbanan diri dan mati syahid. . . . Serangan semacam itu bisa menimbulkan musuh rugi besar. Hasil serangannya terjamin terkait dengan soal pukulan langsung, maka penyebaran teror di antara barisan musuh itu bisa meningkatkan semangat masyarakat sehingga bisa meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya semangat mati syahid. Dengan demikian, gelombang mati syahid yang populer akan berturut-turut mengikutinya dan musuh tidak mampu menahannya. . . . Saya berharap hidup saya berakhir hanya dengan mati syahid. . . . Keyakinan saya dalam mati syahid bukanlah sesuatu insidental atau sementara. Bertahun-tahun keyakinan ini berurat akar dalam diri saya.
Asad hampir tidak pernah membual. Orang bisa saja yakin bahwa pengumuman seperti ini punya sudut operasional itu sendiri. Memang, tampaknya, mulai Maret 1985, Asad dan Khuli mengawasi pelatihan regu bunuh diri yang dipilih secara khusus. Pilot udara termasuk di antara para prajurit yang dilatih di Libanon dan di Pangkalam Udara Minak yang dekat dengan perbatasan Turki. Sejumlah teroris yang berhasil ditangkap mengaku bahwa mereka ingin berhenti tetapi tidak berani karena takut malah dituduh sebagai teroris oleh pihak Damaskus.
Beberapa kisah rinci soal aksi bunuh diri dengan dukungan Suriah diketahui luas pada Agustus 1987. Kala itu seorang warga Mesir, 'Ali' Abd ar-Rahman Wahhaba menyerahkan diri kepada Tentara Libanon Selatan, pasukan yang mendapat dukungan Israel. Kepada para tentara itu, ia menceritakan kisah berikut: dia pergi ke Lebanon pada awal 1980-an untuk mencari pekerjaan. Karena berulang kali disiksa, maka pada 1984, dia dipaksa untuk bergabung dengan buah kelompok yang didukung oleh mukhabarat (baca: pengawas aksi terror). Namanya kelompok Arab Mesir (Arab Egypt). Pada 1986 ia menjalani kursus pelatihan dua minggu di bidang senjata dan bahan peledak di sebuah kamp yang dikelola oleh seorang intelijen Suriah berpangkat sersan mayor di Lembah Bekaa. Pada Januari 1987, dia "dibawa ke studio televisi Suriah di Damaskus, di mana dia diberi naskah yang telah disiapkan. Dia pun difilmkan tengah mengatakan akan bunuh diri atas kemauannya sendiri dalam serangan terhadap musuh Zionis." 'Abdallah Ahmar, orang kedua dalam Partai Ba'th Suriah, mengawasi pembuatan film. Kemudian, Jenderal Ghazi Kan'an, Kepala mukhabarat di Libanon, secara pribadi mengirimnya untuk sebuah misi dan merestui usahanya. Akhirnya, bukannya meledakkan 11 kilogram TNT yang disembunyikan dalam jaketnya, Wahhaba justru menyerahkan diri kepada Tentara Libanon Selatan.
Meski murah, kamp pelatihan, senjata khusus, tempat tidur (sleepers) dan agen intelijen menguras sumberdaya Pemerintah Suriah yang terkuras sehingga diperlukan pembiayaan khusus. Orang-orang Suriah lalu terlibat dalam berbagai bentuk pencarian dana yang kreatif. Jual-beli senjata, jual-beli narkoba, pencurian mobil, memberi jaminan perlindungan keamanan (protection racket), perampokan bank dan pemerasan dari negara-negara minyak yang kaya. Beberapa negara bahkan menggunakan dana mahasiswa untuk tujuan ini. Antara tahun 1976 dan 1978, uang beasiswa Irak untuk pelajar Palestina di Eropa disalurkan melalui Abu Nidal. Dan dia memanfaatkan posisinya untuk tetap bisa dilayani seperti membeli apartemen, menyewa mobil, mengganti koper penumpang pesawat dengan koper yang sudah disiapkan berisi bom, dll, atau melindungi orang asing.
Para korban
Berbagai catatan memperlihatkan bahwa ketika Rezim Suriah mengeksploitasi orang setempat untuk menjadi teroris, sasaran mereka senantiasa tetap sama. Menyasar warga Yordania, Libanon dan Palestina pada satu pihak dan masyarakat Israel, Yahudi, Amerika dan Inggris pada pihak lain. (Lihat Daftar Rangkuman Statistik periode 1983 – 1986). Masyarakat Yordania menderita jauh lebih banyak akibat agresi Suriah dibanding dengan bangsa lain. Yordania juga menjadi paling banyak insiden terrorisme berlangsung, diikuti persis oleh Yunani dan Italia. Tetapi warga Yunani dan Italia tidak pernah dimaksudkan sebagai korban aksi terorisme. Justru sebaliknya, hanya tiga insiden terjadi di Israel, namun warga Israel dan Yahudi menderita sembilan serangan.
Bangsa Arabs. Banyak musuh Rezim Suriah dikejar-kejar di luar negeri. Muhamad Umran, misalnya. Ia seorang politisi kenamaan Suriah. Pada era 1960-an dia berdiam di Tripoli dan di Libanon sejak 1967 dan dibunuh pada 4 Maret 1972. Bukti di tempat kejadian mengindikasi bahwa Pemerintah Suriah terlibat. Salah ad-Din al-Bitar, salah satu pendiri Partai Ba'th (yang memerintah Suriah tempat Asad termasuk di dalamnya) mendirikan sebuah jurnal di Paris. Namanya Al-Ihya' al-'Arabi. Isinya, mengecam perilaku jahat Rezim Asad. Bitar meyakini bahwa "situasi di Suriah sudah mencapai batasnya: setiap hari, kediktatoran semakin berdarah-darah dan kebijakan internasional Hafiz al-Asad menjadi penghinaan bagi cita-cita Arab." Pada Juli 1980, setelah menyeruhkan rakyat Suriah untuk menggulingkan Asad dari kekuasaan, Bitar pun dibunuh di sebuah garasi milik seorang warga Paris. Meski Pemerintah Prancis tidak mengajukan tuduhan resmi atas kejahatan itu, berbagai kelompok oposisi menuding Atase Militer Kedutaan Suriah di Paris, Kol. Nadim Umran, seorang anggota Sekte Alawi.
Empat hari pasca-kematian Bitar, Asad mengumumkan bahwa "semua orang yang menentang rezim bakal dibasmi...Kami akan kejar mereka di mana pun mereka berada." Bersamaan waktu dengan ancaman ini, seorang pimpinan Ikhwanul Muslimin, Isam Attar, diserang oleh para pembunuh Suriah, Maret 1981 di rumahnya di Aachen, Jerman Barat. Dia tidak ada di rumah kala itu sehingga lolos dari kematian. Tetapi istrinya tewas terbunuh. Pemberontak lain dibunuh oleh regu pemukul di Jerman Barat, Prancis, Yugoslavia dan Spanyol.
Sayap 'Arafat' dalam lingkungan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pernah diserang dalam sejumlah kesempatan. Abu Nidal atau PNSF membantai sejumlah orangnya 'Arafat' di Eropa. Termasuk Naim Khadir di Brussels, Majid Abu Sharat di Roma dan Isam Sartawi di Lisbon. Seorang warga yang punya ikatan kuat dengan 'Arafat' yang mengedit sebuah mingguan anti-Suriah di Atena, ditembak tiga kali dari luar halaman rumahnya ketika dia meninggalkan gedung apartemen tempat tinggalnya, September 1985. Dua kelompok Palestina yang berbasis di Damaskus mengklaim diri bertanggung jawab terhadap pembunuhan Zafir al-Masri Maret 1986, Walikota Nablus di Tepi Barat sendiri. Meskipun demikian, banyak penduduk setempat menuduh para mata-mata Suriah melakukan kejahatan itu.
Para pemimpin Libanon yang menentang kehendak Asad menemukan diri mereka menjadi sasaran Asad. Kamal Junblatt, seorang warga Druze dan pemimpin kiri di Libanon diperingatkan untuk menghentikan kritiknya yang lantang atas kehadiran militer Suriah di Libanon dengan pembunuhan terhadap saudarinya, pada Mei 1976. Dia tidak hiraukan. Akibatnya, dia sendiri dibunuh sepuluh bulan kemudian. Karena takut bahwa Bashir Gemayel bakal menarik Pemerintahan Libanon semakin dekat kepada Israel, Damaskus lantas meminta SSNP untuk membunuhnya pada September 1982. Pada Februari 1988, orang menemukan setengah kilogram bahan peledak canggih seberat dalam sebuah pesawat yang ditumpangi saudara Bashir, yaitu Amin Gamayel, Presiden Libanon. Segera setelah ditemukan, para pejabat intelijen Suriah di Bandara Beirut pun masuk, menyita bahan peledak dan menolak disita.
Wartawan Libanon juga menderita kekerasan yang dilancarkan Suriah. Salim al- Lawzi, penerbit sebuah majalah Libanon yang penting Al-Hawadith pernah mendapatkan informasi yang memalukan seputar kondisi dalam negeri Suriah. Menanggapi itu, agen Suriah menyiksa lalu membunuhnya pada Februari 1980. Beberapa bulan kemudian Riyad Taha, Ketua Asosiasi Penerbit Libanon pun ditembak mati dari sebuah mobil.
Bagaimanapun, tidak ada tempat di mana pun yang mengalami dampak terorisme begitu besar dibandingkan dengan yang dihadapi oleh Pemerintah Yordania. Seluruh hubungan Suriah-Yordania didominasi oleh ancaman kekerasan rahasia dari Suriah. Pada akhir 1983, satu putaran serangan meledak pecah. Duta besar Yordania untuk India ditembak mati pada 25 Oktober. Keesokan harinya duta besar untuk Italia terluka. Di Yunani seorang agen keamanan terbunuh pada November tahun itu. Dan di Spanyol pada 29 Desember seorang pegawai kedutaan tewas sementara yang lainnya terluka akibat tembakan senapan mesin ringan. Kelompok Abu Nidal - yang saat itu berbasis di daerah Rukn ad-Din di Damaskus - terlibat dalam semua kejahatan ini.
Serangan kemudian mereda. Hanya untuk memulai lagi pada 11 Februari 1985, ketika Raja Husein dan Yaser Arafat sepakat untuk bekerja sama, namun ditentang keras oleh Pemerintah Suriah dan Soviet. Sebelas hari kemudian, rangkaian terorisme selama empat bulan pun meledak pecah. Termasuk di dalamnya serangan bom di Pusat Penelitian Amerika di Amman. Ledakan di sebuah pesawat terbang Yordania, Alia. Serangan granat tangan di kantor Alia di Athena. Serangan roket atas Kedutaan Besar Yordania di Roma. Serangan roket di pesawat Alia di Athena. Pembajakan terhadap sebuah pesawat Alia di Beirut yang kemudian diledakkan. Serangan bom di Kantor Alia di Madrid. Dan pembunuhan seorang diplomat Yordania di Turki yang kebetulan juga saudara ipar dari panglima tertinggi Yordania.
Rangkaian aksi kekerasan ini membuat Amman terkepung. Untuk menghentikan serangan, Raja Husain pada November 1985 menulis surat yang menakjubkan kepada perdana menterinya. Di dalamnya, dia mengakui bahwa Ikhwanul Muslimin yang menyerang rezim Asad telah lama bermarkas di Yordania. Hal ini yang sampai sekarang tidak dia sadari! "Saya tertipu ... Tiba-tiba kebenaran terungkap. Kami temukan apa yang selama ini kami abaikan. Kami jadi tahu bahwa beberapa dari mereka yang berhubungan dengan apa yang terjadi di Suriah terkait dengan aksi berdarah ada di antara kita [di Yordania]." Kamp-kamp pun segera ditutup, Asad diredakan, reuni Suriah-Yordania terjadi, dan warga Yordania lolos dari teror Suriah. Orientasi ini terkonfirmasi pada Februari 1986, ketika Husain membatalkan persetujuannya dengan PLO. Contoh Yordania ini menunjukkan cara bagaimana sasaran serangan mengguncang ancaman Suriah. Yaitu dengan menyerahkan diri.
Non-Arab. Tentu saja, rezim Suriah juga menyasar warga Israel dan Barat. Duta Besar Prancis untuk Lebanon, Louis Delamare, tewas pada 4 September 1981, kurang dari seminggu setelah mengatur pertemuan antara Yaser Arafat dan Menteri Luar Negeri Prancis, Claude Cheysson. Meski Pemerintah Prancis, yang selalu memperhatikan perasaan Asad, tidak langsung menuntut tanggung jawab Damaskus, mereka membocorkan informasi kepada Michel Honorin, seorang wartawan jaringan televisi TF1. Dengan bukti ini, Honorin secara meyakinkan membuktikan keterlibatan Suriah dalam sebuah program televisi yang ditayangkan pada 21 April 1982. Pagi buta keesokan harinya, pada pukul 09:02, sejumlah bom meledak di kantor Al-Watan al-'Arabi, sebuah mingguan dukungan Irak yang berbasis di Paris. (Majalah itu juga menerbitkan informasi yang memalukan tentang pembantaian Februari 1982 di Hama.) Menjelang siang, Pemerintah Prancis memutuskan mengusir Atase Budaya dan Militer Suriah, Michel Kasuha dan Ali Hasan (seorang Alawiyah).
Para mata-mata Suriah berulang kali menyerang warga Amerika di Lebanon. Duta Besar AS, Francis E. Meloy Jr., dibunuh pada Juni 1976 oleh orang Palestina yang bekerja untuk Suriah. Satu atau dua hari sebelum merencanakan penghancuran barak militer AS pada 23 Oktober di Beirut, seorang perwira intelijen Suriah, Letnan Kolonel Diyab, bertemu dengan para agen Suriah. Di antara mereka yang hadir adalah beberapa anggota organisasi Palestina yang dikelola Suriah. Termasuk Ahmad Hallaq dan Billal Hasan dari As-Sa'iqa dan Ahmad Qudura dari kelompok Abu Musa.
Asad sakit hati dengan karya cendekiawan Prancis Michel Seurat (nama penanya: Gérard Michaud) sehingga memerintahkan dia dieksekusi mati pada Maret 1986. |
Setelah menyebarkan kisah kerusuhan Suriah, koresponden Kantor Berita Reuter Berndt Debusmann ditembak punggungnya oleh seorang lelaki bersenjata dengan pistol berperedam. Koresponden BBC Tim Llewellyn diancam oleh agen Suriah sehingga dia pun melarikan diri dari Beirut sebelum terancam nyawanya. Demikian juga dengan koresponden CBS Larry Pintak. Para cendekiawan pun menjadi sasaran. Salah satu sandera Prancis di Libanon, Michel Seurat (nama penanya: Gérard Michaud) dieksekusi mati pada Maret 1986. Seurat menulis sebuah kajian penting tentang pembuatan keputusan di Suriah. Isinya menekankan peran kaum Alawiyah dan perlawanan dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Menurut majalah At-Tali'a al-'Arabiya yang berbasis di Paris, Asad tersinggung dengan analisis ini. Dan, atas perintahnya, Seurat pun dieksekusi mati.
Pandangan Arab soal terorisme Suriah
Negara-negara demokrasi Barat dan Israel bukan satu-satunya yang meminta pertanggungjawaban Damaskus atas terorisme. Pemerintah negara-negara Arab pun mengakui peran Suriah. Mereka pun karena itu kadang kala mendiskusikan topic ini secara terbuka.
Pada musim panas 1985, polisi Mesir menemukan sebuah bom mobil yang diletakan di luar Kedutaan Besar AS di Kairo. Perdana Menteri Kamal Hasan Ali mempersalahkan orang-orang Palestina yang bekerja bagi Suriah. Dia pun menambahkan bahwa insiden itu terjadi dengan "sepengetahuan dari dinas keamanan di Damaskus." Setahun kemudian, Menteri Dalam Negeri Mesir pun menuduh Suriah merencanakan "sejumlah" upaya sabotase di Mesir.
Kuwait juga mengalami serbuan pengeboman karena pemerintah di sana menolak membebaskan warga Libanon yang meledakkan Kedutaan Besar AS. Sebuah investigasi pada September 1985 menyimpulkan bahwa Suriah "secara langsung bertanggung jawab" atas kekerasan di Kuwait. Media Yordania pun punya kesimpulan serupa: "Rezim sektarian fasis di Suriah tidak puas membantai warga Suriah di dalam negeri ... tetapi menciptakan kelompok teroris bersenjata yang bertujuan ... hendak melakukan tindakan terorisnya di luar Suriah dan di seluruh penjuru Suriah dan seluruh arena Arab." Mereka menuduh Asad membentuk "aparat khusus untuk terorisme, pembunuhan, dan kejahatan." Amin Gemayel, Presiden Lebanon, menyatakan pada 1988 bahwa Iran tidak akan berani menyandera orang asing di Libanon tanpa persetujuan Suriah.
Bahkan para pemimpin yang mensponsori terorisme sekalipun berbicara menentang rezim Asad. Saddam Husain, orang kuat Irak terang-terangan menyatakan bahwa Pemerintah Suriah dan Libya "mendorong terorisme terhadap orang Arab." Yaser Arafat secara eksplisit menuduh polisi Suriah membunuh Louis Delamare. Penembakan terhadap Mantan Walikota Hebron dan anggota Komite Eksekutif PLO kala itu, Fahd al-Qawasima di Amman, memicu komentar pahit dari Arafat. Ketika menyampaikan pidato dukacita kepada almarhum saat penguburannya, dia lantas mengatakan: "Kaum Zionis di wilayah pendudukan berupaya membunuhmu. Dan ketika gagal, mereka mendeportasimu. Namun, kaum Zionis Arab yang diwakili oleh penguasa Damaskus mengira ini tidak cukup sehingga kaupun tewas sebagai martir." Salah Khalaf dari PLO menyatakan secara terbuka bahwa Damaskus "berada di balik komunike akhir-akhir ini" yang mengancam Pemerintah Prancis kecuali jika mereka membebaskan terpidana teroris dari penjara.
Setelah serangan terhadap Al-Watan al-'Arabi, pemimpin umum majalah, Nabil al-Maghribi, berkomentar: "Ini tindakan dinas [intelijen] Suriah. Dan ini bukan pertama kalinya mereka marah terhadap majalah tersebut. Pada bulan Desember [1981], kami menjinakkan sebuah bom di depan pintu kantor kami. Penyelidikan mengarah kepada Atase Kebudayaan di Kedutaan Suriah, Michel Kasuha." Insiden ini mendorong seorang pemimpin PLO untuk mengamati, secara tepat, bahwa Damaskus telah "berevolusi dari terorisme lokal menjadi terorisme internasional."
Akhirnya, warga Suriah sendiri menuduh pemerintahnya melakukan terorisme. Karena itu kelompok Ikhwanul Muslimin menerbitkan sebuah buku bertajuk The Muslim of Syria and Nusayri Terrorism. Sementara itu, kaum Sunni menyebut pemerintahan mereka sebagai "'Negara teror Kaum Alawi."
Berurusan dengan Damaskus
Terorisme yang Disponsori Negara. Teror yang disponsori negara menjadi faktor penting setelah beberapa tahun Asad naik ke puncak kekuasaan Nopember 1970. Penggunaan instrument ini yang dibenarkan hukum menjadi sarana utama negara sejak saat itu. Lebih dari pemerintah lain,
Teror yang disponsori negara menjadi faktor penting beberapa tahun setelah Asad berkuasa pada November 1970. Penggunaan instrumen ini secara bijaksana menjadi instrumen utama negara sejak saat itu. Lebih dari pemerintah lainnya, Rezim Suriah mengandalkan perang rahasia. Bahkan mengandalkannya lebih dari tiga sponsor utama terorisme lainnya di Timur Tengah seperti PLO, Libya dan Iran. Meskipun dua yang pertama paling menarik perhatian, sebenarnya mereka punya catatan ketidakefektifan. Terlepas dari hampir dua dekade terorisme yang intensif mereka laku, PLO dan Libya tidak berhasil mencapai tujuannya.
Iran dan Suriah tidak terlampau terlibat. Tetapi efek yang mereka buat jauh lebih besar. Para penguasa mereka menggunakan teror bukan sebagai cara untuk serampangan membunuh tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Mereka tidak membual atau memanjakan diri dengan tontonan media sehingga memperhatikan waktu aksinya dengan cermat. Asad khususnya bertindak sangat rahasia dan sangat memperhatikan reputasi publiknya. Tidak ingin dia dilihat sebagai sponsor terorisme. Ciri khasnya adalah dia sangat cermat, rendah hati dan berpandangan jauh ke depan ketika merancang menggunakan teror. Yang membuat prestasinya ini sangat mengesankan adalah dia melakukan semua ini tanpa menyebabkan penghinaan yang sudah melekat pada PLO, Libya atau Iran itu tercabut. Ada proporsi terbalik antara ekstremisme dan kemanjuran. Kadafi memang paling ekstrim, tetapi paling tidak sukses, Dan Asad paling ekstrim. Sekaligus paling sukses.
Terorisme dengan dukungan negara menjadi bentuk terorisme yang dominan kini. Departemen Luar Negeri AS melaporkan bahwa "hampir separuh korban teroris yang menderita pada 1983 dalam arti luas terkait dengan keterlibatan negara dalam terorisme." Sebuah laporan pers oleh Quai d'Orsay menyimpulkan bahwa setiap kasus terorisme Timur Tengah di Eropa Barat "ditopang" oleh Damaskus, Tripoli atau Teheran.
Keterlibatan Suriah dan negara-negara lain berarti bahwa argumen lama soal ketidakadilan dan frustrasi politik yang menjadi sumber kekerasan kini sama sekali tidak dapat dipertahankan. "Dengan kata lain," kata Thomas L. Friedman, "akar penyebab dari sebagian besar terorisme saat ini tampaknya tidak terletak pada keluhan sedih yang dapat ditangani, tetapi dalam intrik, perebutan kekuasaan, kecemburuan dan intrik yang merupakan bagian dari jaringan hubungan internasional."
Lebih khusus lagi, fenomena tersebut tidak akan hilang menyusul resolusi konflik Arab-Israel. Banyak terorisme dengan dukungan Suriah tidak mendukung konflik ini. Memang, terorisme yang terkait dengan Israel tidak bermaksud memajukan resolusi damai tetapi hendak memblokir kemungkinan seperti itu. Begitu proses perdamaian Arab-Israel maju, Damaskus pun mulai berulah. Asad tidak memprotes negosiasi dengan Israel yang tidak maju tetapi justru berusaha memblokir negosiasi sejak awal. Proses perdamaian harus menentang keinginan Suriah. "Sayangnya," seperti yang dicatat oleh Barry Rubin, "semakin keras Amerika Serikat mendorong perdamaian, semakin banyak terorisme meningkat."
Hambatan Kebijakan. Sulit melihat PBB atau organisasi internasional lainnya berperan ketika menghadapi masalah terorisme yang disponsori Suriah. Pertama-tama, masalah definisi menjadi hambatan utama perjanjian internasional atau tindakan berpikiran jernih lainnya. Beberapa negara bersembunyi di balik perselisihan soal adanya fenomena bernama terorisme ("sebuah kata yang tanpa arti dan definisi"). Yang lain lagi berlindung di balik desas-desus soal satu teroris yang justru menjadi pejuang bagi kebebasan orang lain. Pertimbangan yang sama ini juga menjelaskan mengapa organisasi internasional tidak mungkin mengambil tindakan hukum terhadap teror yang disponsori negara. Selanjutnya, koalisi pemungutan suara yang Pemerintah Suriah ajukan di Majelis Umum dan banyak badan lain memberinya dukungan besar-besaran. Ia dengan demikian praktis dapat mengandalkan dukungan otomatis dari semua negara klien Soviet dan nyaris semua negara Arab dan Muslim. Selain itu, Pemerintah Suriah juga menggunakan intimidasi untuk membuka jalannya. Kesediaan untuk menggunakan instrumen teroris atas musuh menunjukkan kesiapannya untuk menghukum mereka yang mengabaikan keinginan Damaskus. Dan banyak dari mereka memberikan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa punya cukup masalah tanpa perlu menambahkan bahaya dari keangkuhan Suriah.
Memang tidak ada alasan bagus untuk mengharapkan Barat mengambil tindakan efektif melawan rezim Asad. Justru sebaliknya, dekade terakhir menunjukkan bahwa pemerintah Eropa Barat dan Amerika Utara enggan menghadapi Asad. Beberapa faktor menjelaskan anomali ini.
Pertama, gagal memahami dalamnya hubungan Suriah-Soviet. Akibatnya, mereka terus berharap Asad bisa dirayu untuk bergabung dengan kubu Barat. Elias Sarkis, Presiden Lebanon kurun waktu 1970-76, secara ringkas menangkap masalah ini: "Benar-benar membingungkan! Saya tidak bisa memahami hubungan Suriah-AS. Di sini Suriah bertindak seolah-olah punya konflik nyata dengan AS, sementara yang terakhir bertindak seolah-olah punya kepentingan yang sama dengan Suriah!" Beberapa orang Amerika tampaknya percaya bahwa Asad mengupayakan terjadinya hubungan yang baik dengan Amerika Serikat tetapi justru dicegah oleh tindakan Amerika sendiri. "Rakyat Suriah ingin keluar dari 'pernikahan' mereka dengan Soviet." Para diplomat Barat menghibur diri dengan harapan bahwa ia dapat diyakinkan untuk meninggalkan (demikian juga dengan Anwar as-Sadat) hubungannya dengan Kremlin, hanya jika ada kesepakatan yang tepat dan jurubicara yang tepat mampu meyakinkannya untuk mengambil langkah ini. Mereka terus bolak-balik ke Damaskus berupaya meyakinkan Asad untuk memperbaiki jalannya. Tampaknya, mereka tidak pernah terlihat memahami bahwa perhitungannya berbeda dari mereka. Juga bahwa jalan yang dia tempuh selama dua dekade telah memberinya keuntungan nyata.
Pada saat yang sama, Asad diuntungkan karena dianggap sekutu dekat Uni Soviet yang sedang tergoda untuk menjauh dari Soviet. Para penentang Asad tahu bahwa dia hampir selalu dapat mengandalkan kekuatan mahadahsyat patronya untuk mendukungnya.
Kedua, tidak seperti teror yang disponsori Libya atau PLO, aksi terror Suriah cenderung tidak ditujukan kepada warga negara Barat. Alih-alih secara acak menyerang warga Amerika atau Eropa, Asad mengejar tujuan yang lebih komprehensif. Untuk menyabot kebijakan AS di Timur Tengah. Ini membuatnya lebih berbahaya tetapi secara emosional membuatnya tidak sepenuhnya menjadi target.
Ketiga, Pemerintah Suriah itu tangguh, kuat, berbahaya. Terorisme atau lebih banyak sandera yang disandera di Beirut menjadi harga dari jeratan perselisihan yang mungkin terjadi ketika melawan Asad. Dan tidak ada yang ingin mengulangi konfrontasi Amerika yang gagal dengan pasukan Suriah pada akhir 1983. Israel sekalipun berpikir dua kali sebelum terjebak dalam perselisihan dengan Damaskus.
Keempat, jeritan kemarahan pecah menggelegar di Damaskus setiap kali pemerintah asing (termasuk Jerman Barat, Italia, Inggris dan Amerika) menuding Damaskus sebagai sponsor utama terorisme. Presiden Hafez al-Asad dan para pembantunya lantas satu suara menjawab. Bahwa mereka adalah korban. Bukan pelaku teror. Mereka bahkan mengklaim diri bahwa mereka tidak lebih bertanggung jawab atas teror dibandingkan dengan yang dilakukan otoritas Italia untuk Brigade Merah. Untuk mendukung sikap ini, saudara laki-laki presiden itu mengecam terorisme sebagai "aksi pengecut, menjijikkan yang memberontak". Wakil Presiden Abd al-Halim Khaddam malah memaklumkan bahwa "Suriah adalah negara yang paling banyak dilanda aksi terorisme." Menteri Pertahanan Mustafa Tallas menyebut Suriah sebagai "korban pertama terorisme." Menteri Penerangan negeri itu pun menambahkan bahwa "Kami tidak punya hubungan apapun dengan kelompok seperti Abu Nidal." Radio Suriah pun menggemakan: "Suriah adalah salah satu negara yang mengutuk, mengecam dan melawan terorisme."
Kelima, Suriah anehnya sangat berhasil memperoleh pujian karena mengungkapkan dan mengembalikan sandera yang sebelumnya ditangkap oleh antek dan sekutunya. Gérard Michaud menjelaskan bagaimana hal ini dilakukan: "Korban menghilang tanpa perencana (authors) penculikan mengaku bertanggung jawab atas tindakan mereka atau mengidentifikasi diri mereka sendiri. Belakangan korban muncul kembali pada saat-saat bahagia. Mirip seekor kelinci putih yang dihasilkan dari topi dinas informasi Suriah." Pejabat Barat karena itu sering melakukan perjalanan ke Damaskus untuk meminta Asad membantu meeka mengurangi terorisme.
Dalam satu kasus, pihak berwenang Spanyol malah menyerahkan paspor Suriah "palsu tapi asli" milik kedua pelaku penyerangan di Bandara Madrid kepada Suriah! Contoh lain: David Dodge, mantan pejabat sementara Rektor American University di Beirut diculik di Lebanon tetapi menghabiskan sebagian masa penahanannya di Iran. Untuk berpindah dari satu negara ke negara lain, dia harus dibawa melalui Suriah. Dan itu hanya bisa dilakukan atas izin Damaskus. Pasca-pembebasannya oleh otoritas Suriah, Gedung Putih pun menyatakan "terima kasih" kepada Hafez al-Asad dan saudaranya Rif'at atas upaya "kemanusiaan" mereka. Penghormatan yang hampir serupa diulangi pada awal 1990, ketika dua Robert Pohill dan Frank Reed dibebaskan melalui Damaskus.
Pendekatan ini sangat penting pada 1987. Ketika Damaskus melakukan upaya khusus untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara Eropa Barat. Pada Januari, urutan kejadiannya terjadi seperti ini: dua orang Jerman ditangkap di Beirut. Bonn kemudian mengirimkan utusan khusus ke Damaskus untuk membahas keadaan mereka yang menyedihkan. Pasca-pertemuan, Pemerintah Jerman memutuskan untuk memulihkan hubungan diplomatik penuh dengan Suriah. Dan segera setelah itu kedua Pemerintah Suriah mengumumkan bahwa dia berhasil membebaskan tahanan Jerman. Beberapa bulan kemudian, rangkaian peristiwa yang nyaris identik memuncak dengan pembebasan sandera Prancis. Duta Besar Amerika pun kembali ke negeri itu terkait dengan upaya Suriah membebaskan tawanan Amerika, Charles Glass. Menteri Pertahanan Mustafa Tallas sendiri menawarkan kesepakatan serupa kepada London ( dalam hal itu terkait dengan kasus Terry Waite sebagai imbalan bagi hubungan diplomatic). Tetapi, Pemerintahan Tatcher mengabaikannya.
Akhirnya, upaya untuk tidak meninggalkan "alamat pengirim" telah berhasil. Soalnya meskipun semua orang tahu bahwa Suriah sangat terlibat dalam persoalan terorisme, negara-negara lain berusaha menghindari fakta yang jelas tentang keterlibatan pemerintah negeri itu. Tentu saja beberapa pengecualian. Memang ada banyak kecurigaan. Tetapi berkali-kali pemerintah berbagai negara menghindari diri untuk langsung menyalahkan Damaskus. Jadi, pada Mei 1986, pada puncak aktivitas Suriah, Jurubicara Gedung Putih mengatakan "prematur" untuk menilai Suriah terlibat dalam terorisme. Dia karena itu mengatakan bahwa buktinya tidak "meyakinkan." Meski Menteri Dalam Negeri Italia mengaku memiliki dokumen "yang membuktikan bahwa Suriah bersalah," seorang hakim Italia mengabaikan bukti tidak langsung yang sangat memberatkan tentang peran resmi Suriah dalam pembantaian di Bandara Roma pada bulan Desember 1985. Keengganan hakim untuk mengeluarkan surat perintah dijelaskan atas dasar tidak cukup bukti untuk mengajukan kasus di pengadilan. Persoalan pun dianggap off-the-record. Padahal pejabat Prancis pada 1986 menyebut tanggung jawab Suriah "nyaris pasti." Tetapi mereka tidak mengatakannya di depan umum.
Untuk semua alasan ini, Suriah berulang kali berhasil tidak membayar konsekuensi penuh atas tindakan mereka.
Memahami sifat rezim Suriah, perilakunya dalam urusan dalam dan luar negeri dan peran utamanya dalam banyak masalah Timur Tengah menjadi prioritas pertama dalam mengembangkan kebijakan. Dimensi masalah yang sebenarnya perlu ditetapkan sebelum upaya dilakukan untuk menyusun kebijakan terhadap rezim Suriah. Hubungan Suriah-Soviet bukanlah "perkawinan" yang nyaman. Negara Suriah adalah lawan tangguh dari kepentingan AS dan Barat. Asad tidak menerima keberadaan Israel. Juga ia tidak menginginkan penyelesaian konflik Arab-Israel. Dia karena itu mengancam beberapa pemerintahan yang bersahabat dengan Amerika Serikat. Berbeda dari asumsi Amerika, Pemerintah Suriah tidak akan mendapat keuntungan dari perdamaian.
Hanya ketika pemikiran-pemikiran dasar ini diterima dan dijadikan premis kebijakan Barat terhadap Suriah, maka penting untuk merumuskan tanggapan yang khusus.
Merumuskan Kebijakan Amerika
Demi kepentingan argumen, anggap saja pemikiran ini bisa diterima. Lalu bagaimana? Perumusan kebijakan soal terorisme yang didukung Suriah dimulai dengan mengingat bahwa ini merupakan instrumen negara dan bentuk peperangan. Upaya untuk mengurangi insiden oleh karena itu, harus jauh melebih langkah-langkah kepolisian sehingga perlu memasukkan langkah-langkah politik dan militer ke dalamnya. Amerika harus berupaya mempertimbangkan rezim secara keseluruhan agar benar-benar efektif. Bukan sekedar mempertimbangkan ketergantungannya pada perang rahasia. Dengan demikian, rumusan kebijakan Amerika terhadap teror yang didukung Suriah hampir identik dengan kebijakan terhadap Suriah.
Amerika Serikat sia-sia berharap bahwa tekanan politik yang wajar atau bujukan kecil dapat mengurangi terorisme Suriah. Apalagi berharap dia diyakinkan bahwa penggunaan instrumen ini bertentangan dengan kepentingannya. Berbagai upaya untuk mencoba mengintimidasi Asad dengan terus mengirimkannya beberapa pesawat tempur (seperti terjadi pada akhir 1983) juga sama salahnya dengan mengharapkan niat baik Departemen Luar Negeri Amerika ketika lembaga itu mengatakan bahwa Damaskus adalah "pemain yang membantu" di Libanon (seperti yang terjadi pada Juli 1984). Sebaliknya, untuk mempengaruhi kebijakan Suriah dibutuhkan tangan kuat yang mantap berikut kesediaan untuk menerima masa-masa kemerosotannya.
Pemerintah AS punya berbagai pilihan. Daftar berikut beranjak dari langkah yang paling tidak ambisius menjadi yang paling penting:
- Tunggu Hafiz al-Asad bertindak. Gagal melakukan sesuatu yang lebih tegas, kebijakan Amerika hanya dapat benar-benar dijalankan sampai Asad meninggal dunia. Ini seharusnya tidak memakan waktu lama. Soalnya Asad, lahir tahun 1930. Ia sakit-sakitan. Pada November 1983 dia menderita serangan jantung dan nyaris meninggal. Dia juga penderita diabetes. Tanda-tanda lahiriah kesehatannya yang buruk terlihat jelas bahkan bagi mata yang tidak terlatih sekalipun. Rambutnya beruban cepat. Kulitnya pucat dan tampangnya kusut. Padahal, kesehatan Asad sangat penting bagi masa depan Suriah karena dia ahli taktik brilian yang sendirian menjaga seluruh aksi sulap seluruh negara itu di udara. Ketika Asad meninggal, pertempuran internal untuk menggantikannya hampir pasti menyusul. Kekuasaan yang mustahil Asad kumpulkan selama dua dekade hampir pasti hilang dalam perjuangan ini.
- Ubah arah hubungan AS-Suriah. Mencela praktik Suriah di berbagai majelis hak asasi manusia; menudingnya sebagai sumber utama persoalan Timur Tengah; mempublikasi tuduhan terorisme yang disponsori Suriah. Ini berarti mengakhiri pernyataan-pernyataan seperti yang disampaikan oleh Mantan Asisten Menteri Luar Negeri Richard Murphy. Seperti pernyataan bahwa "Terlampau banyak hal yang hendak diraih Suriah yang berperan penting dalam mencapai bagian keuntungan yang abadi di wilayah itu." Sikap ini juga berarti mengurangi jumlah misi Suriah di Washington dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Seharusnya tidak terlampau sulit untuk mengatakan terbuka tanpa perlu menghindari diri dari persoalan yang tidak menyenangkan. Dan, memang ada preseden untuk ini. Kala menjadi Wakil Presiden, George Bush memaklumkan bahwa Pemerintah AS "yakin bahwa sidik jari [Suriah] mereka ada pada aksi teroris internasional." Departemen Luar Negeri AS bahkan membuat pernyataan keras yang menyatakan bahwa temuan pengadilan di London dan Berlin Barat menunjukkan ada "pola keterlibatan langsung oleh pejabat senior Pemerintah Suriah."
- Menekan pihak ketiga untuk mengubah hubungan mereka dengan Damaskus. (1) Para sekutu harus mengurangi besaran dan jumlah misi diplomatik Suriah di luar negeri. Dengan mencabut hak-hak diplomat dan misinya, Damaskus tidak punya lagi saluran senjata, dana dan intelijen menuju tempat-tempat yang asing.(2) Kremlin harus membatasi aliran senjata kepada klien Damaskusnya dan menekan keinginan Asad untuk berperang. (Karena hubungan Soviet dengan Suriah menjadi salah satu ujian utama kebijakan Mikhail Gorbachev, maka senjata itu penting untuk meningkat Suriah.) (3) Negara-negara Arab harus tetap memusatkan perhatian untuk mengeluarkan pasukan Suriah dari Lebanon. Pasukan itu kini menguasai dua pertiga negara dan kehadiran mereka di Lebanon memenuhi tiga tujuan utama Asad. Memperlihatkan bahwa Asad telah mencapai sesuatu menuju Suriah Raya impiannya. Ia menawarkan anarki terkendali di mana pangkalan teror dan pelatihan berlangsung tanpa Pemerintah Suriah harus bertanggung jawab. Sumber narkoba itulah yang memasok miliaran dolar uang kepada pemerintahnya. Negara-negara Arab menunjukkan keinginan mereka untuk mengakhiri pendudukan Suriah. Dukungan diam-diam dari Pemerintah AS dapat membantu tujuan ini.
- Menerapkan sanksi ekonomi. Sejumlah masalah mendesak bermunculan di Suriah selama beberapa tahun terakhir. Situasi ekonomi memburuk menyusul merosotnya pendapatan minyak, meningkatnya pengeluaran militer sehingga negara terjebak dalam inefisiensi gaya Soviet. Berjam-jam listrik rutin mati di kota-kota. Kadang kala, cadangan mata uang asing dikurangi hingga untuk 20 hari. Agen Suriah di Dataran Tinggi Golan bahkan mengalami gaji mereka dipotong dari sepertiga menjadi separuh dari jumlah sebelumnya. Untuk mengatasi masalah ini, Asad sering kali menyerukan pengorbanan ekonomi:
Kita menderita masalah ekonomi. Kita semua merasakannya. . . . Kita harus beralih dari fase ekoonomi yang tidak seimbang menuju fase yang seimbang dan dari fase konsumsi yang berlebihan menuju impor berlebihan untuk memenuhi kebutuhan kita ke fase konsumsi yang rasional. . . . Kemandirian menuntut peningkatan produksi dan pengurangan konsumsi. . . . Mengurangi konsumsi mungkin tidak menyenangkan banyak dari kita.
Pada akhirnya, bagaimanapun Asad takut menuntut terlampau banyak dari penduduk Suriah. Tarif pajak tetap sangat rendah sementara beban utama negara sebesar $ 4 miliar atau lebih yang dihabiskan untuk militer selama dekade terakhir jatuh tanpa diharapkan justru ditimpakan pada sekutu asing, terutama Uni Soviet dan eksportir minyak Arab.
Kesulitan Asad membuka peluang nyata untuk menekan Rezim Suriah mengubah perilakunya. Dari kajian terobosannya tentang ekonomi Suriah Patrick Clawson lantas menyimpulkan bahwa "bertentangan dengan kebijaksanaan konvensional, Suriah rentan terhadap tekanan dari luar ... Ini kerapuhan ekonomis, karena ekonomi Suriah sangat bergantung pada Uni Soviet dan negara-negara Arab kaya minyak." Negara-negara itu dapat memanfaatkan pengaruh yang signifikan atas kebijakan Suriah. Upaya untuk menjinakkan Suriah dengan demikian dapat menjadi ujian atas ketulusan Mikhail Gorbachev serta persahabatan antara Arab Saudi dan Kuwait.
- Melakukan aksi militer. Serangan Amerika di Libya pada April 1986 adalah salah satu kasus penting aksi balasan militer atas insiden teroris. Perlu diperhatikan karena alasan ini dan karena mendalamnya ironi yang terkandung di dalamnya. Pemerintah AS harus melakukan tindakan militer karena sekutunya tidak akan mengambil langkah diplomatik, komersial, dan politik yang mungkin bisa mengisolasi Muammar Kadafi dan menekan rezimnya. Pengeboman itu sendiri tampaknya menjadi langkah yang sangat tidak populer di Eropa dan Jepang. Namun pengaruhnya terhadap sekutu Barat sangat bermanfaat. "Aksi militer AS berperan sentral dalam mendorong sekutu untuk mengadopsi posisi yang sangat dekat dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa." Salah satu tanda pergeseran ini datang sebulan kemudian. Pada pertemuan puncak ekonomi Tokyo. Ketika itu, AS dan enam sekutu utamanya memaklumkan "semua bentuk kutukan terorisme " dan berjanji hendak memerangi terorisme melalui "tindakan yang penuh tekad, ulet, bijaksana, dan sabar yang menggabungkan langkah-langkah nasional dengan kerjasama internasional. "
Implikasinya tampaknya ada. Kekacauan yang melanda antara sekutu menyebabkan Amerika melakukan aksi militer. Mengarah kepada adanya pendirian yang dikoordinasi oleh pemerintah-pemerintah Barat. Dengan menerapkan persoalan ini atas Suriah, ia menunjukkan bahwa, betapapun risikonya, aksi militer dapat sekali lagi membawa sekutu lebih dekat sama lain.
Daftar: Korban yang berniat beraksi serta lokasi terror Suriah, 1983-86
Berikut ini statistik 49 kasus terorisme Suriah yang bersumberkan sebuah laporan Pemerintah AS bertajuk "Syrian Support for International Terrorism: 1983-86" (Dukungan Suriah bagi Terorisme Internasional: 1983-86). Karena laporan itu adalah sebuah tinjauan resmi maka dokumen ini salah ketika membahas tentang kaum konservatif. Sebagai contoh, ia menganggap tidak satu pun aksi itu berasal dari kegiatan dari PKK (sebuah partai militant Kurdi) yang disponsori Suriah
Identias para korban yang berniat beraksi |
|
18 |
warga Yordania |
9 |
Warga Israel & Yahudi |
8 |
Warga Amerika |
7 |
Anggota PLO pimpinan Yasser Arafat |
6 |
Warga Inggris |
1 |
Warga Kuwait |
Rangkuman |
|
26 |
Warga Arab |
23 |
Warga Barat & Israel |
Lokasi |
|
11 |
Yordania |
8 |
Yunani |
7 |
Italia |
4 |
Turki |
0 |
Siprus |
3 |
Spanyol |
0 |
Israel |
1 |
Jerman Barat |
0 |
Kerajaan Inggris |
0 |
Austria |
0 |
Belanda |
0 |
Portugal |
0 |
Romania |
0 |
Kuwait |
0 |
Uni Emirat Arab (U.A.E.) |
0 |
India |
Rangkuman |
|
23 |
Eropa Barat |
13 |
Arab Timur Tengah |
11 |
Non-Arab Timur Tengah |
1 |
Eropa Timur |
1 |
India |
Pemutakhiran 13 Oktober 2004: Untuk mengetahui berita seputar kasus yang dijabarkan di atas lihat artikel bertajuk, "Nezar Hindawi's Attempt to Blow up an El Al Airplane."
Topik Terkait: Suriah, Terorisme
Artikel Terkait:
- Security Theater Now Playing at Your Airport
- Nezar Hindawi's Attempt to Blow up an El Al Airplane
- Assad's Cunning Game
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL