Tidak setiap hari pemimpin sebuah negara yang baru berdiri melakukan lawatan pertamanya ke Yerusalem, ibu kota negara yang paling terkepung di dunia. Tetapi Salva Kiir, Presiden Sudan Selatan melakukannya. Penghujung Desember 2011 lalu, dia mengunjungi Yerusalem. Ditemani oleh menteri luar negeri dan menteri pertahanannya. Presiden Israel Shimon Peres memuji kunjungannya sebagai "sebuah momen mengharukan yang bersejarah". Kunjungan itu memantik pembicaraan tentang Sudan Selatan yang menempatkan kedutaan besarnya di Yerusalem. Langkah itu menjadikannya satu-satunya pemerintahan di dunia ini yang melakukannya.
Salva Kiir dan Shimon Peres dengan sebuah "Menorah." |
Ini hasil perkembangan luar biasa dari sebuah kisah yang juga luar biasa.
Sudan masa kini terwujud pada abad kesembilan. Ketika Kekaisaran Utsmaniyah menguasai kawasan utaranya serta berupaya menaklukan kawasan selatannya. Inggris menetapkan kerangka Sudan sebagai negara modern pada 1898. Selama lima puluh tahun selanjutnya dia memerintah kaum Muslim di utara dan kaum Kristen serta kaum anamis di Sudan selatan secara terpisah. Dan, pemerintahan itu dilakukannya dari Kairo (Mesir). Bagaimanapun, pada 1948, karena tunduk pada tekanan Sudan utara, Inggris menggabungkan dua pemerintahan itu di Karthoum di bawah kekuasaan Sudan utara. Penggabungan membuat kaum Muslim mendominasi Sudan dan Bahasa Arab menjadi bahasa resmi.
Akibatnya, kemerdekaan negeri itu pada 1956 justru memantik meletusnya perang saudara. Penyebabnya karena masyarakat Sudan selatan berjuang menentang hegemoni kaum Muslim. Mereka beruntung. "Strategi pinggiran" yang dikembangkan oleh Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion diterjemahkan dalam bentuk dukungan Israel bagi kaum non-Arab Timur Tengah, termasuk Sudan selatan. Pemerintah Israel karena itu membantu Sudan selama menghadapi perang saudara pertama yang berlangsung hingga 1972. Israel menjadi sumber utama dukungan moral, bantuan diplomatik, dan persenjataan.
Kiir mengakui kontribusi Israel ini ketika dia berada di Yerusalem. Ia mencatat bahwa "Israel senantiasa mendukung rakyat Sudan Selatan. Tanpa Anda, kami tidak akan bisa bangkit. Anda berjuang bersama kami sehingga memungkinkan berdirinya Sudan Selatan." Menanggapi pernyataan itu, Peres mengenang kembali kehadirannya pada awal 1960-an di Paris. Ketika itu Perdana Menteri Israel Levi Eshkol dan dia memprakarsai hubungan pertama Israel dengan para pemimpin Sudan selatan.
Perang saudara Sudan kadangkala terus meledak berulangkali sejak 1956 hingga 2005. Seiring dengan berjalannya waktu, kaum Muslim di utara bertumbuh semakin kejam terhadap sesama warganya dari bagian selatan. Puncaknya pada 1980-90-an. Dengan terjadinya pembantaian, perbudakan yang menjadikan manusia sekedar barang (chattel slavery) dan genosida. Mengingat banyaknya tragedi di Afrika, masalah seperti itu mungkin tidak mengesankan masyarakat Barat yang lelah dengan sikap belas kasih mereka kecuali memang ada upaya luar biasa yang dipimpin oleh dua tokoh abolisionis Amerika zaman modern.
Charles Jacobs diberikan Boston Freedom Award pada 2000 oleh Coretta Scott King "atas usahanya menghapuskan perbudakan." |
Starting in the mid-1990s, John Eibner of Christian Solidarity International redeemed tens of thousands of slaves in Sudan while Charles Jacobs of the American Anti-Slavery Group led a "Sudan Campaign" in the United States that brought together a wide coalition of organizations. As all Americans abhor slavery, the abolitionists formed a unique alliance of Left and Right, including Barney Frank and Sam Brownback, the Congressional Black Caucus and Pat Robertson, black pastors and white Evangelicals. In contrast, Louis Farrakhan was exposed and embarrassed by his attempts to deny slavery's existence in Sudan.
John Eibner tatkala bertemu Silva Kiir pada tahun 2006 di Paris. |
Perjuangan kaum abolisionis berpuncak pada 2005. Kala itu, Pemerintahan George W. Bush menekan Khartoum untuk menandatangani Perjanjian Damai Komprehensif yang mengakhiri perang. Sekaligus memberikan peluang kepada masyarakat Sudan Selatan untuk memilih merdeka. Mereka pun antusias memberi suara untuk merdeka pada Januari 2011, Dan, ada 98 persen memilih untuk memisahkan diri dari Sudan. Pemungutan suara ini mengarah kepada pembentukan Republik Sudan Selatan enam bulan kemudian. Peres memuji peristiwa ini sebagai "tonggak bersejarah dalam sejarah Timur Tengah"
Papan petunjuk di mana-mana yang muncul sebelum referendum Januari 2011 lalu. Tulisannya: "Berikan suara untuk pemisahan negara untuk mengakhiri perbudakan dan keterbelakangan.." |
Investasi jangka panjang Israel membuahkan hasil. Sudan Selatan menjadi bagian dari strategi pinggiran Israel yang diperbarui yang mencakup Siprus, Kurdi dan suku-suku Berber. Mungkin pada suatu hari nanti strategi yang diperbarui itu termasuk Iran pasca-kaum Islam radikal berkuasa di negeri itu. Sudan Selatan menawarkan akses kepada sumberdaya alam, terutama minyak. Perannya dalam negosiasi air Sungai Nil memberikan kepadanya pengaruh tersendiri tatkala berhadapan dengan Mesir. Di luar manfaat praktis, republik baru ini merepresentasikan contoh yang inspiratif dari populasi non-Muslim yang melawan imperialisme Islam karena integritas, ketekunan, dan dedikasinya. Dalam pengertian ini, kelahiran Sudan Selatan menggemakan kelahiran Israel.
Jika kunjungan Kiir ke Yerusalem benar-benar hendak menandai sebuah tonggak sejarah, Sudan Selatan harus menempuh jalan panjang. Jalan panjang dari sebuah protektorat yang kotor-miskin dengan lembaga-lembaganya yang lemah rapuh menuju modernitas dan kemerdekaan sejati. Jalan ini mempersyaratkan adanya kepemimpinan yang tidak sekedar mengeksploitasi sumberdaya negara baru atau bermimpi menciptakan sebuah "Sudan Baru" dengan menaklukkan Khartoum, tetapi untuk meletakkan dasar bagi keberhasilan negara.
Sebuah spanduk dikibarkan pada perayaan kemerdekaan (diedit untuk memperjelas artinya, dengan menggunakan Bahasa Arab sebagai patokan): "Sejak hari ini, identitas kami itu (Bangsa Sudan) Selatan dan Afrika. Bukan Arab dan Islam. Kami bukanlah Bangsa Arab yang paling celaka, tetapi Bangsa Afrika yang terbaik. |
Bagi masyarakat Israel dan Barat lain, ini berarti membantu dalam bidang pertanian, kesehatan, dan pendidikan serta mendesak Juba untuk tetap memusatkan perhatian pada pertahanan dan pembangunan sambil menghindari perang yang dipilihnya sendiri. Sudan Selatan yang sukses pada akhirnya bisa menjadi kekuatan regional sekaligus sekutu yang kuat. Tidak hanya kuat bagi Israel tetapi juga bagi Barat.***
Pipes (www.DanielPipes.org) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tenga) serta dosen tamu Taube pada Hoover Institution of Stanford University. © 2012 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Pemutakhiran 12 Januari 2012: Pasca-perayaan kemerdekaan yang penuh eforia, berbagai berita yang keluar dari Sudan Selatan cukup suram. Jeffrey Gettleman mendokumentasikan situasi itu dalam tulisannya, ""Born in Unity, South Sudan Is Torn Again" (Terlahir Satu, Sudan Selatan kini Terobek-robek lagi). Berikut ini kutipannya:
Sudan Selatan, yang lahir enam bulan lalu dengan kegembiraan yang luar biasa kini sedang terjebak dalam pusaran kekerasan. Ketegangan etnis yang pahit yang sebagian besar disembunyikan demi mencapai kemerdekaan, pecah menjadi siklus pembantaian dan balas dendam yang tidak dapat dihentikan oleh pemerintahan yang didukung Amerika maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Amerika Serikat serta negara-negara Barat lain telah menginvestasikan dananya miliaran dolar di Sudan Selatan. Harapannya, negeri itu akan mampu mengatasi guratan sejarah kemiskinan, kekerasan dan sifat buruk etnis yang mendalam sehingga muncul sebagai negara yang stabil dan bersahabat dengan Barat di kawasan yang bergejolak. Justru sebaliknya, milisi bersenjata berat sebesar satu satuan pasukan kecil kini tengah menjarah desa dan kota kecil tanpa takut dihukum. Terkadang dengan niat terang-terangan untuk melakukan aksi genosida.
Pemutakhiran 2 Februari 2012: Andaikata Sudan Selatan menawarkan peluang kepada Israel, maka perangnya dengan Sudan justru merugikan kepentingan Israel. Gavriel Queenann karena itu menguraikan bahaya bagi Arutz Sheva:
Konflik antara Sudan Selatan dan Sudan Utara dapat berdampak langsung pada Israel. Padahal Israel kini tengah berupaya mengembalikan populasi imigran ilegal dari Sudan Selatan yang terus bertambah supaya kembali ke negara asalnya. Awal pekan ini, Kementerian Dalam Negeri Israel mengarahkan Otoritas Imigrasi Nasional Israel untuk menetapkan persyaratan-persyaratan dasar untuk memulangkan pengungsi Sudan Selatan kembali ke negara asalnya dengan alasan konflik di negara asal mereka telah berakhir. Israel menawarkan amnesti dan paket bantuan kepada warga Sudan Selatan yang berada di negara itu secara ilegal yang sudah mengidentifikasi diri dan setuju untuk kembali ke negaranya selambat-lambatnya 1 April 2012. Setelah tanggal itu, penangkapan dan deportasi akan menjadi metode yang digunakan untuk mengembalikan mereka ke Sudan Selatan. Jika konflik perang dimulai lagi, Yerusalem bisa saja menghadapi tekanan dari kalangan sayap kiri dan internasional untuk tidak mendeportasi mereka.
Pemutakhiran 24 Februari, 2012: Lawrence Solomon, Direktur Eksekutif Energy Probe, secara obyektif membahas persoalan Sudan Selatan dalam sebuah artikel. Judulnya, "Diplomasi gas Israel": Dia memulai pembahasannya dengan menguraikan bagaimana penemuan gas dan minyak di Laut Mediterania telah mengubah sikap Yunani dan Siprus terhadap Israel, kemudian menguraikan:
Israel melihat Siprus dan Yunani sebagai bagian dari "busur Barat" strategi pinggirannya. Jadi keduanya ditempatkan bersama dengan negara-negara Eropa lain seperti Rumania dan Bulgaria yang Kristen serta Albania yang Muslim, yang telah menjadi pembela Israel yang menonjol di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Israel kini juga mempunyai sekutu di timur, seperti Georgia dan Azerbaijan di Asia Tengah. Dan sebagai bagian dari diplomasi ke arah selatannya, Israel baru-baru ini membentuk aliansi Afrika Timur dengan mayoritas Kenya, Tanzania, Ethiopia dan Sudan Selatan yang mayoritas Kristen. Aliansi itu dirancang untuk menangkis Iran dan terorisme Islam. Saham Israel di Afrika Timur sangat tinggi karena perannya yang membuat Sudan Selatan meraih kemerdekaan, menjadi negara terbaru di dunia.
Salomo menyimpulkan dengan gambaran besar tentang keadaan geopolitik Israel:
Memusatkan perhatian pada Israel. Dan, tampaknya Sudan Selatan menjadi negara kecil terisolasi yang dikelilingi oleh lautan negara Arab yang memusuhinya. Namun, jika dilihat dari sudut yang lebih kecil, maka justru negara-negara Arab yang terlihat terisolasi, semakin dikelilingi oleh musuh-musuh lama, yang sebagian besar punya ikatan yang berkembang semakin baik dengan Israel.
Topik Terkait: Israel & Zionisme, Afrika Utara, Aliansi Strategis
Artikel Teriakt: