Guna mendapatkan referensi dalam artikel ini, lihat versi artikel yang dimuat dalam website Middle East Quarterly dalam https://www.meforum.org/702/the-hell-of-israel-is-better-than-the-paradise.
Untuk memperoleh lebih banyak lagi contoh pujian masyarakat Palestina terhadap Israel, lihat weblog lanjutan untuk artikel ini pada pada "Hamas is Worse than Israel, Worse than Sharon."
Januari 2005. Otoritas Palestina (PA) menyelenggarakan Pemilu. Ternyata, besar persentase warga Arab Yerusalem yang tidak mengikuti acara itu. Soalnya mereka khawatir keikutsertaan mereka dalam pemungutan suara itu membahayakan status mereka sebagai penduduk Israel. Kantor Berita Associated Press, misalnya mengutip pernyataan Rabi Mimi, seorang pengemudi truk berusia 28 tahun yang menyatakan kuat mendukung Mahmoud Abbas tetapi mengaku tidak berencana hendak mengikuti Pemilu: "Saya tidak bisa berikan suara. Saya takut terkena masalah. Saya tidak ingin ambil risiko." Ketika ditanya apakah akan memberi suara, seorang sopir taksi menjawab marah, "Apakah kau bercanda? Mau bawa Otoritas [Palestina] yang korup ke sini. Inilah persisnya yang kami rindukan."
Keengganan ini—serta ketidakmampuan administratif —membantu menjelaskan mengapa cukup banyak warga Arab Yerusalem tidak mau mengikuti Pemilu. Dalam kata-kata Harian Jerusalem Post, "di beberapa tempat pemungutan suara di kota [Yerusalem], lebih banyak pemantau Pemilu asing, wartawan, dan polisi yang muncul daripada para pemilih." Hal ini juga menjelaskan mengapa, dalam Pemilu PA sebelumnya pada 1996, hanya 10 persen penduduk Yerusalem yang memenuhi syarat memilih. Angka itu jauh lebih rendah daripada proporsi pemilih di tempat lain.
Ada yang memalukan. Kekhawatiran terkait dengan membahayakan status tempat tinggal warga Arab Israel ternyata tersebar luas di kalangan warga Palestina di Israel. Ketika diberikan pilihan untuk hidup di bawah kekuasaan Zionis atau Palestina, mereka jelas lebih memilih yang pertama. Lebih dari itu, ada sejumlah sentimen pro-Israel yang bisa ditarik. Memang tidak ada survei opini yang mencakup pokok bahasan rumit ini. Tetapi catatan-catatan mendasar seputar pernyataan dan tindakan mereka memperlihatkan bahwa, terlepas dari sikap anti-Zionis mereka yang angkuh, musuh Israel paling gigih itu benar-benar merasakan kebajikan politik Israel. Bahkan para pemimpin Palestina pun, di antara balutan kekesalan mereka, terkadang lengah sehingga mau mengakui kebajikan Israel. Cinta masyarakat Palestina yang di bawah permukaan terhadap Zion ini memberikan implikasi yang penuh harapan sekaligus berpotensi signifikan.
Ekspresi pro-Israel tampaknya terbagi dalam dua kategori utama. Lebih memilih tetap berada di bawah kekuasaan Israel dan memuji Israel lebih baik daripada rezim Arab.
Tidak, Terimakasih Otoritas Palestina
Warga Palestina yang berdiam di Israel, khususnya di Yerusalam dan "kawasan segitiga Galilea" kadangkala dengan penuh semangat mengisahkan bagaimana mereka lebih memilih bertahan hidup di Israel.
Yerusalem. Pada pertengahan 2000, ketika tampak bahwa beberapa bagian Yerusalem yang mayoritas penduduknya Arab hendak dialihkan kepada kekuasaan Otoritas Palestina (PA), penduduk Muslim Yerusalem menyatakan kurang senang dengan prospek tersebut. Ketika mengintip PA pimpinan Arafat, mereka menyaksikan sebuah kekuasaan yang dimonopoli oleh kaum otokrat yang berusaha mendominasi dan korup dengan pasukan polisi mirip preman dengan ekonomi yang tidak berkembang. Klaim gembar-gembar Arafat yang bukan-bukan ("Kami satu-satunya oasis demokrasi sejati di kawasan Arab") hanya memperburuk kekhawatiran mereka.
'Abd ar-Razzaq 'Abid dari lingkungan Silwan Yerusalem misalnya ragu memperlihatkan "apa yang terjadi di Ramallah, Hebron dan Jalur Gaza." Dia karena itu bertanya apakah penduduk di sana kaya. Seorang dokter yang mengajukan dokumen surat-surat dari Pemerintahan Israel menjelaskan:
Seluruh dunia tampaknya sedang membicarakan masa depan orang Arab di Yerusalem. Tetapi tidak ada yang mau repot bertanya kepada kami. Komunitas internasional dan kaum Kiri Israel tampaknya menerima begitu saja bahwa kami ingin hidup di bawah kekuasaan Arafat. Tidak. Sebagian besar dari kami membenci Arafat dan kroni-kroninya di sekitarnya. Kami ingin tinggal di Israel. Setidaknya di sini saya bisa mengutarakan pikiran saya dengan bebas tanpa dijebloskan ke penjara. Juga berkesempatan untuk memperoleh upah harian yang jujur.
Dengan kata-kata penuh warna seorang penduduk Yerusalem mengatakan, "Neraka Israel itu jauh lebih baik daripada surga Arafat. Kami tahu Pemerintahan Israel itu keras (stink), tetapi kadang kami merasa Pemerintahan Palestina lebih mengerikan."
Baju kaos yang dijual di Pasar Arab di Yerusalem. |
Direktur Dewan Komunitas Bayt Hanina di Yerusalem utara, Husam Watad, melihat bahwa kemungkinan komunitas mereka sendiri hidup di bawah kekuasaan Arafat sudah membuat warga "panik." Lebih dari 50 persen penduduk Yerusalem timur hidup di bawah garis kemiskinan. Bisa Anda bayangkan bagaimana situasinya jika penduduk itu tidak menerima pembayaran dari Lembaga Asuransi Nasional [Israel]." Dalam pandangan Fadal Tahabub, seorang anggota Dewan Nasional Palestina, diperkirakan 70 persen dari 200.000 penduduk Arab di Yerusalem lebih memilih untuk tetap berada di bawah kedaulatan Israel. Seorang pekerja sosial yang berdiam di Ras al-'Amud, salah satu daerah yang mungkin berada di bawah kekuasaan PA, mengatakan: "Jika jajak pendapat rahasia dilakukan, saya yakin mayoritas warga Arab Yerusalem akan mengatakan mereka lebih suka tinggal di Israel."
Memang, Pemerintahan Palestina tampaknya paling mungkin dibentuk pada 2000. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri Israel melaporkan bahwa jumlah warga Arab di Yerusalem timur yang mengajukan permohonan menjadi warga Israel meningkat secara substansial. Seorang anggota Dewan Kota Yerusalem, Roni Aloni, mendengar dari banyak penduduk Arab tentang mereka yang tidak ingin hidup di bawah Pemerintahan PA. "Mereka katakan kepada saya—kami tidak seperti Gaza atau Tepi Barat. Kami punya kartu tanda penduduk Israel. Kami terbiasa dengan standar hidup yang lebih tinggi. Bahkan jika Pemerintahan Israel tidak begitu baik, ia masih lebih baik daripada PA." Shalom Goldstein, penasihat urusan Arab untuk Walikota Yerusalem pun menemukan hal yang sama: "Orang melihat apa yang terjadi di dalam wilayah yang dikuasai Palestina sekarang ini lalu berkata kepada diri mereka sendiri, 'Syukurlah kami punya kartu tanda penduduk Israel.' Faktanya, sebagian besar warga Arab di kota itu lebih suka hidup di bawah Pemerintahan Israel daripada di bawah rezim yang korup dan tirani seperti Yasser Arafat."
Begitu banyak warga Arab Yerusalem mempertimbangkan untuk mengambil surat suara Pemilu Israel pada 2000. Melihat itu, pejabat tinggi Islam di Yerusalem mengeluarkan fatwa. Isi fatwa itu melarang umatnya memegang kewarganegaraan Israel (karena ini berarti mengakui kedaulatan Israel atas kota suci itu). Faysal al-Husayni, seorang tokoh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang bertanggung jawab atas urusan Yerusalem, melangkah lebih jauh. Dia mengatakan: "Mendapatkan status kewarganegaraan Israel adalah sesuatu yang hanya dapat didefinisikan sebagai pengkhianatan." Dia karena itu mengancam orang-orang seperti itu. Tentu saja selain warga Palestina. Merasa ancamannya tidak efektif, Husayni pun semakin keras lagi mengecam. Dia mengumumkan bahwa masyarakat Arab Yerusalem yang mengambil kewarganegaraan Israel akan disita rumah mereka. Stasiun Radio PA mengkonfirmasi hal ini dengan menyebut orang-orang itu sebagai "pengkhianat" dan mengancam bahwa mereka akan "dilacak". Banyak orang Palestina yang diintimidasi, takut akan pasukan keamanan otoritas.
Tapi ada yang berani angkat bicara. Hisham Gol dari Dewan Komunitas Bukit Zaitun secara sederhana mengatakan: "Saya lebih suka dikuasai Israel." Seorang wanita kaya dari Tepi Barat misalnya menelepon seorang temannya yang berdiam di Gaza. Dia menanyakan kehidupannya di bawah kekuasaan PA. Sepenuh hati dia dengarkan kisah temannya: "Saya hanya bisa minta kalian untuk berdoa agar Israel tidak tinggalkan kota kalian," karena "orang Yahudi lebih manusiawi" daripada orang Palestina. Ada satu orang yang bersedia secara terbuka menentang Arafat. Zohair Hamdan namanya. Ia berasal dari Sur Bahir, sebuah desa di selatan Kota Metropolitan Yerusalem. Ia karena itu mengorganisikan sebuah petisi di kalangan masyarakat Arab Yerusalem yang menuntut diadakannya referendum sebelum Israel mengizinkan Otoritas Palestina (PA) mengambil alih kekuasaan di Yerusalem. "Selama 33 tahun, kami telah menjadi bagian dari Negara Israel. Tapi sekarang hak kami dilupakan." Lebih dari satu setengah tahun, ia mengumpulkan lebih dari 12.000 tanda tangan (dari perkiraan 200.000 penduduk Arab Yerusalem). "Kami tidak akan menerima situasi di mana kami dibawa seperti domba ke rumah jagal." Hamdan juga mengungkapkan preferensi pribadinya agar Sur Bahir tetap menjadi bagian Israel. Ia memperkirakan mayoritas orang Palestina menolak "pemerintah korup dan tirani Arafat. Lihat apa yang dia lakukan di Libanon, Yordania, dan sekarang di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dia membawa bencana demi bencana menimpa umatnya."
Segitiga Galilea. Sentimen pro-Israel semacam itu juga tidak terbatas pada penduduk Yerusalem. Ketika Pemerintah Perdana Menteri Ariel Sharon meluncurkan balon percobaan pada Februari 2004 yang memberikan kekuasaan atas Segitiga Galilea, sebuah kawasan Israel yang didominasi warga Arab kepada PA, tanggapan keras pun bermunculan. Kepada Kantor Berita Agence France-Presse Mahmoud Mahajnah, 25, mengatakan; "Yaser Arafat menjalankan pemerintahan diktator, bukan demokrasi. Tidak ada orang di sini yang mau menerima hidup di bawah rezim itu. Saya sudah menjalankan pelayanan nasional [Israel]. Saya pelajar di sini. Juga anggota Asosiasi Sepak Bola Israel. Mengapa mereka pindahkan saya? Apakah itu logis atau sah?" Seorang penduduk mengutip apa yang disebutnya sebagai sebuah pepatah lokal. Yaitu bahwa "'kejahatan' Israel itu lebih baik daripada 'surga' ala Tepi Barat." Shu'a Sa'd, 22, lantas menjelaskan alasannya: "Di sini kau dapat mengatakan apa pun yang kau suka dan melakukan apa pun yang kau inginkan—selama kau tidak menyentuh keamanan Israel. Di sana, jika kau berbicara tentang Arafat, mereka dapat menangkapmu dan menghajarmu." Pemuda lain, 'Isam Abu 'Alu, 29, mengatakannya secara berbeda: "Pak Sharon tampaknya ingin kita bergabung dengan negara yang tidak dikenal yang tidak punya parlemen, atau demokrasi, atau bahkan universitas yang layak. Kami punya ikatan keluarga yang dekat di Tepi Barat. Tetapi kami lebih memilih untuk menuntut hak penuh kami di dalam Israel."
Sementara itu, bendera-bendera hijau Partai Gerakan Islam berkibar di pintu masuk Kota Umm al-Fahm. Kota Muslim terbesar di Israel. Terpampang juga di sana papan iklan yang mengecam kekuasaan Israel atas Yerusalem. Hashim 'Abd ar-Rahman, walikota sekaligus pemimpin lokal Gerakan Islam kota itu bahkan mengatakan, tidak ada waktu untuk mendengarkan saran Sharon. Meski demikian dia katakan: "Terlepas dari diskriminasi dan ketidakadilan yang dihadapi oleh warga Arab, demokrasi dan keadilan di Israel lebih baik daripada demokrasi dan keadilan di negara-negara Arab dan Islam." Sikap yang sama juga terjadi pada Ahmed Tibi. Anggota parlemen Arab Israel dan penasihat Arafat yang peduli dengan gagasan tentang kekuasaan PA itu malah menilai saran untuk bergabung dengan PA merupakan "saran antidemokrasi yang berbahaya."
Kehidupan yang baik di Umm al-Fahm. |
Hasil sebuah survei yang dilakukan Mei 2002 lalu memperlihatkan bahwa hanya 30 persen penduduk Arab Israel yang setuju Segitiga Galilea dianeksasi ke negara Palestina masa depan. Ini berarti sebagian besar populasi lebih memilih untuk tetap bertahan di Israel. Pada Februari 2004, menurut Lembaga Kajian Arab Center for Applied Social Research yang berbasis di Haifa, jumlah itu melonjak menjadi 90 persen lebih memilih untuk tetap tinggal di Israel. Tak kalah mengejutkan lagi, 73 persen warga Segitiga Arab mengatakan akan menggunakan kekerasan supaya bisa mencegah perbatasan kawasan diubah. Alasan mereka terbagi rata; antara yang mengklaim Israel sebagai tanah air (43 persen) dan mereka yang menghargai standar hidup Israel yang lebih tinggi (33 persen). Begitu kuatnya oposisi warga Arab untuk menyerahkan Segitiga Galilea kepada PA sehingga Sharon pun cepat menyerah.
Belakangan, pada 2004, masalah ini sedikit memanas. Tatkala Israel membangun pagar keamanan, beberapa warga Palestina, harus memilih pada sisi pagar mana agar dia tetap masuk dalam kawasan Israel. Kasus Ahmed Jabrin dari Umm al-Fahm, 67, misalnya Tanpa ragu-ragu, dia memilih. "Kami lawan [Pemerintah Israel agar] tetap berada dalam pagar. Dan mereka pindahkan pagar sehingga kami masih tetap masuk Israel. Kami punya banyak hubungan dengan Israel. Apa yang harus kami lakukan dengan PA?" Kerabatnya, Hisham Jabrin, 31, menambahkan: "Kami adalah bagian integral Israel. Tidak akan pernah menjadi bagian dari Negara Palestina. Kami selalu tinggal di Israel dan sama sekali tidak ada kemungkinan bahwa itu akan berubah."
Lebih Memilih Israel Daripada Rezim Arab
Masyarakat Palestina--- dari tingkat paling rendah hingga paling tinggi---kerapkali mengakui betapa mereka lebih memilih Israel dibandingkan dengan negara-negara Arab. Seorang pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization ---PLO) pernah berujar, "Kini kami tidak lagi takut kepada Bangsa Israel atau masyarakat Amerika, terlepas dari sikap mereka yang memusuhi kami. Tapi sekarang kami takut kepada "para saudara" Arab kami." Atau dalam pengamatan umum seorang warga Jalur Gaza, "Masyarakat Arab mengatakan, mereka itu para sahabat kami dan memperlakukan kami lebih buruk daripada yang dilakukan Bangsa Israel. Berikut ini beberapa contoh perilaku terhadap tiga negara:
- Suriah. Salah Khalaf (alias Abu Iyad), salah seorang tokoh penting PLO, memaklumkan pada 1983 bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Rezin Hafez al-Asad terhadap bangsa Palestina itu "jauh melebihi kejahatan dari musuh Israel." Dalam semangat yang sama, Yasser Arafat ketika memberikan pidato pemakaman seorang tokoh PLO yang dibunuh dengan dukungan Suriah mengatakan; "Kaum Zionis di kawasan pendudukan berupaya membunuh kau. Dan ketika gagal, mereka mendeportasi kau. Bagaimanapun, kaum Zionis Arab yang direpresentasikan oleh penguasa Damaskus berpikir bahwa ini tidak cukup, sehingga mereka membuat kau jadi martir."
- Yordania. Victor, seorang warga Yordania yang dulu bekerja sebagai pakar (advance man) bagi seorang menteri Pemerintahan Arab Saudi pernah mengatakan pada 1994 bahwa Israel adalah satu-satunya negara Timur Tengah yang dia kagumi. "Saya dambakan Israel cukup mencaplok Yordania," urainya. Menurut dia, saudaranya pun mengangguk sangat setuju. "Bangsa Israel adalah satu-satunya bangsa di sekitar sini yang terorganisasi, yang tahu bagaimana melakukan sesuatu. Mereka bukan orang jahat. Mereka orang-orang lurus. Mereka menepati janji mereka. Bangsa Arab tidak bisa melakukan sesuatu secara benar. Lihat saja pada apa yang disebut demokrasi ini di Yordania. Ini lelucon yang sempurna."
- Kuwait. Bangsa Palestina bekerja sama dengan pasukan Irak menduduki Kuwait pada 1990. Karena itu, ketika negeri itu dibebaskan, mereka pun diperlakukan secara kasar. Sebuah surat kabar Palestina menemukan bahwa di Kuwait, "Orang Palestina menerima perlakuan yang bahkan lebih buruk daripada yang mereka alami di tangan musuh mereka, Bangsa Israel." Setelah selamat dari pengalaman Kuwait, seorang warga Palestina lainnya tidak bisa mengungkapkan kata-katanya: "Sekarang saya merasa Israel itu surga. Saya mencintai Bangsa Israel sekarang. Saya tahu mereka perlakukan kami seperti manusia. Tepi Barat [kala itu masih di bawah kendali Israel] lebih baik [daripada Kuwait]. Setidaknya sebelum Israel menangkapmu, mereka bawa surat penangkapan." Dengan sedikit gembira Arafat sendiri pun setuju: "Apa yang dilakukan Kuwait kepada rakyat Palestina lebih buruk daripada apa yang dilakukan oleh Israel kepada warga Palestina di wilayah-wilayah pendudukan."
Banyak warga Palestina sudah memahami kebajikan-kebajikan hidup politik Israel beberapa dekade lalu. Seorang pria dari Ramallah pernah menjelaskan, "Tidak pernah saya lupakan hari itu ketika Perang Libanon [pada 1982] sedang berlangsung. Kala itu, seorang warga Arab anggota Knesset (baca: Parlemen Israel) bangkit berdiri di ruang parlemen menuding [Perdana Menteri Menachem] Begin sebagai pembunuh. Begin tidak melakukan apa-apa [sebagai tanggapan]. Jika kau lakukan itu kepada Arafat, tidak saya pikirkan bahwa kau bisa pulang rumah malam itu." Sebelum ada Otoritas Palestina pada 1994, banyak warga Palestina memimpikan otonomi tanpa banyak mengkhawatikan hal-hal kecil. Namun pasca-kembalinya Arafat ke Gaza, mereka bisa langsung membandingkan pemerintahannya dan pemerintahan Israel. Ini kerap mereka lakukan. Banyak alasan membuat mereka lebih suka hidup di Israel:
Pengendalian kekerasan. Setelah polisi PA merazia rumah seorang pendukung Hamas, dalam sebuah operasi tengah malam dan bertindak kasar kepadanya dan kepada ayahnya yang berumur 72 tahun, sang ayah berteriak kepada polisi. "Bahkan orang Yahudi pun tidak berperilaku seperti kalian, para pengecut." Sang anak pun, ketika keluar dari penjara PA mengisahkan pengalamannya di sana yang jauh lebih mengerikan dibanding dengan dalam penjara Israel. Seorang penentang Arafat pun memperlihatkan bagaimana polisi Israel "akan pertama-tama menembakkan gas air mata, baru kemudian menembakkan peluru karet. Dan setelah itu, baru menembakkan peluru. Tidak pernah mereka tembak kita tanpa perintah langsung untuk menembak. Itu pun hanya beberapa peluru mereka tembakkan. Polisi Palestina sebaliknya langsung mulai menembak dan menembakkannya ke segala arah.
Kebebasan berpendapat. 'Adnan Khatib, pemilik dan editor Al-Umma, sebuah mingguan Yerusalem yang percetakannya dibakar oleh polisi PA pada 1995, meratapi masalah yang dialaminya sejak para pemimpin Otoritas Palestina yang bertindak keras menguasainya: "Langkah-langkah yang mereka ambil atas media Palestina, termasuk penangkapan wartawan dan penutupan surat kabar, jauh lebih buruk daripada yang dilakukan oleh Israel atas pers Palestina." Dalam sebuah peristiwa yang ironis, Na'im Salama, seorang pengacara yang tinggal di Gaza, ditangkap oleh PA atas tuduhan memfitnah karena menulis bahwa Palestina harus mengadopsi standar demokrasi Israel. Secara khusus, ia sebetulnya merujuk pada tuduhan penipuan dan pelanggaran kepercayaan terhadap Perdana Menteri Israel masa itu, Binyamin Netanyahu. Salama mencatat bagaimana sistem di Israel memungkinkan polisi untuk menyelidiki seorang perdana menteri yang sedang menjabat. Ia karena itu bertanya-tanya kapan hal yang sama mungkin berlaku untuk Ketua PA. Karena keberaniannya ini, dia menghabiskan waktu di penjara. Hanan Ashrawi, seorang kritikus anti-Israel yang obsesif, (enggan) mengakui bahwa Negara Yahudi punya sesuatu untuk diajarkan kepada Pemerintahan Palestina yang baru lahir: "kebebasan harus disebutkan meski hanya dilaksanakan secara selektif, misalnya, kebebasan pidato." 'Iyad as-Sarraj, seorang psikiater terkemuka dan Direktur Program Kesehatan Mental Komunitas Gaza, mengakui bahwa "selama pendudukan Israel, saya 100 kali lebih bebas [daripada di bawah Otoritas Palestina]."
Demokrasi. Binyamin Netanyahu pernah kalah dalam Pemilu Israel Mei 1999. Meski demikian, banyak pengamat Palestina yang terkesan kepadanya. Para kolumnis yang dikutip dalam sebuah kajian dari Middle East Media and Research Institute (MEMRI) berkomentar tentang lancarnya transisi di Israel yang membuat mereka mendambakan hal yang sama terjadi pada mereka sendiri. Seseorang mengaku iri pada Israel sehingga menginginkan "rezim yang sama di negara masa depan saya." Bahkan salah satu karyawan Arafat, Hasan al-Kashif, Direktur Jenderal Kementerian Informasi PA sekalipun membandingkan pengunduran diri Netanyahu yang segera dan anggun dari jabatannya dengan kekuatan abadi "beberapa nama dalam kepemimpinan kita" yang terus bercokol kekuasaannya selama-lamanya. Nayif Hawatma, pemimpin teroris Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (Democratic Front for the Liberation of Palestine) berharap Otoritas Palestina membuat keputusan seperti Israel:
Kami ingin PNC [Dewan Nasional Palestina] membahas perkembangan sejak 1991. Khususnya kesepakatan Oslo, yang disepakati di belakang punggun PNC. Dan yang berbeda dari apa yang terjadi di Israel misalnya. Di Israel, kesepakatan itu disampaikan kepada Knesset (Parlemen Israel) dan opini publik supaya dapat dilakukan pemungutan suara.
Fakta yang diungkapkan Nayif Hawatma, sang teroris mungkin tak sepenuhnya benar. Tetapi mereka memang memperlihatkan pemikirannya.
Pemerintahan berdasarkan hukum. Ketika intifada tahun 1987 merosot menjadi pembunuhan antarsaudara, namanya berubah menjadi "intrafadah." Pada saat itulah, para pemimpin PLO semakin menghargai sikap Israel yang adil. Haydar 'Abd ash-Shafi', Ketua Delegasi Palestina untuk perundingan damai Washington membuat pernyataan yang luar biasa pada 1992. Menurut sebuah transkrip yang diterbitkan dalam sebuah surat kabar Beirut, Haydar mengatakan: "Bisakah orang bayangkan sebuah keluarga senang mendengar ketukan di pintu oleh tentara Israel tengah malam?" Kemudian lanjutnya: "Ketika pertikaian mulai meledak pecah di Gaza, orang senang karena tentara Israel memberlakukan jam malam." Suara senada juga datang dari Musa Abu Marzouk. Ia pejabat tinggi Hamas yang berhasil merebut beberapa suara ketika melawan Arafat pada 2000. Dia membandingkan sikap Palestina dengan sikap Negara Yahudi: "Kami lihat wakil oposisi Israel mengkritik [Perdana Menteri Israel Ehud] Barak dan mereka tidak ditangkap ... tetapi dalam kasus kami, Otoritas Palestina (PA) menangkap orang sebagai urutan pertama bisnisnya."
Perlindungan atas kaum minoritas. Warga Kristen dan Muslim sekuler sangat menghargai perlindungan yang diberikan Israel tatkala arena politik Palestina semakin dikuasai oleh kaum Islam radikal. Mingguan Prancis L'Express mengutip seorang warga Kristen Palestina yang mengatakan bahwa ketika Negara Palestina muncul, "persatuan suci untuk melawan musuh kaum Zionis pun berakhir. Ini menjadi waktu untuk menyelesaikan masalah. Kami akan alami hal yang sama seperti saudara-saudara Libanon atau Koptik kami di Mesir. Saya sedih mengatakannya. Tetapi hukum Israel melindungi kami." Dalam banyak hal, ketakutannya terlambat. Populasi Kristen Palestina memang menurun drastis dalam beberapa dekade terakhir. Sampai-sampai seorang analis bertanya apakah kehidupan Kristen "direduksi menjadi gedung gereja kosong dan hierarki tak lagi punya jemaat di tempat kelahiran agama Kristen?"
Tunjangan ekonomi. Warga Palestina yang berdiam di Israel (termasuk di Yerusalem) menghargai keberhasilan ekonomi, pelayanan sosial dan banyaknya tunjangan yang diberikan Israel. Gaji di Israel sekitar lima kali lebih tinggi daripada di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sistem jaminan sosialnya tak ada bandingannya di pihak Palestina. Warga Palestina yang tinggal di luar Israel karena itu ingin masuk Israel secara ekonomi. Tatkala Pemerintah Israel mengumumkan selesainya pembangunan pagar keamanan sepanjang 85 mil untuk melindungi negara itu dari teroris Palestina, seorang penduduk Qalqiliya, sebuah kota perbatasan Tepi Barat pun bereaksi. Dengan marah, pria Palestina itu mengungkapkan isi hatinya: "Kami hidup di sebuah penjara yang besar."
Toleransi terhadap kaum homoseksual. Di Tepi Barat dan Gaza, pelaku sodomi bisa dihukum penjara tiga sampai sepuluh tahun dan karena itu para laki-laki gay mengisahkan nasib mereka disiksa oleh polisi PA. Beberapa dari mereka lalu pergi menuju Israel. Di sana, ada orang memperkirakan menemukan kebanyakan 300 laki-laki gay Palestina berdiam. Donatella Rovera dari Amnesty International berkomentar, "Pergi ke Israel menjadi tiket sekali jalan. Dan begitu sudah di sana, maka masalah terbesar mereka adalah kemungkinan akan dikirim kembali."
Warga Palestina yang tinggal di Barat yang mengunjungi Otoritas Palestina sangat menyadari kekurangannya dibandingkan dengan Israel. "Ada perbedaan antara pendudukan Israel dan pendudukan PA," tulis Daoud Abu Naim, seorang peneliti medis di Philadelphia saat mengunjungi keluarganya di Shuafat:
Orang Israel yang saya temui selama bertahun-tahun sangat beragam. Beberapa orang memang tidak peka terhadap kebutuhan kita. Dan beberapa peka. Di sisi lain, rezim Arafat/Rajoub itu lebih daripada sekadar "korup". Secara eksklusif mereka pun tertarik untuk membangun sebuah pemerintahan yang diktator sehingga warga Palestina tidak akan punya kebebasan sipil sama sekali.
Rewadah Edais, seorang siswa sekolah menengah yang tinggal hampir sepanjang tahun di San Francisco (AS) dan mengunjungi Yerusalem secara teratur, menambahkan, "Orang Israel merebut tanah kami, tetapi dalam hal pemerintahan, mereka tahu apa yang mereka lakukan."
Kesimpulan
Beberapa tema muncul dari sejarah ini. Pertama, terkait dengan semua retorika yang terlampau panas atas "pendudukan Israel yang "jahat" dan "brutal," warga Palestina pun menyadari adanya keuntungan dari demokrasi liberalnya. Mereka mengapresiasi adanya Pemilu, pemerintahan berdasarkan hukum, kebebasan berpendapat dan beragama, hak kaum minoritas, struktur politik yang teratur rapi serta keuntungan lain dari sebuah negara yang baik. Ringkasnya, ada pemilih di kalangan warga Palestina yang menginginkan hidup normal. Memang, mereka mungkin sulit dipahami ketika terjebak dalam kerumunan massa yang penuh kebencian yang begitu mendominasi liputan berita.
Kedua, banyak dari mereka yang telah merasakan manfaat ekonomi Israel enggan melepaskannya. Betapapun tidak mempannya warga Palestina itu terhadap persoalan-persoalan ekonomi, mereka tahu banyak persoalan itu ketika mereka memilikinya.
Ketiga, seperti dikutip dari perkiraan yang disebutkan di atas, mayoritas 70 hingga 90 persen warga Palestina lebih suka hidup di bawah kekuasaan Israel. Terlihat bahwa persentase mayoritas seperti ini lebih jarang terjadi di antara warga Palestina. Implikasinya jelas terhadap konsesi Israel pada "hak untuk kembali." Ia menunjukkan bahwa warga Palestina akan pindah ke Israel dalam jumlah besar.
Keempat, hal ini menyiratkan bahwa beberapa solusi status akhir yang lebih imajinatif termasuk menggambar ulang perbatasan wilayah negara sulit diterapkan. Soalnya, warga Palestina tampaknya tidak lagi bersemangat untuk hidup di bawah kekuasaan Otoritas Palestina dibandingkan dengan warga Israel.
Jadi, dengan kata dan perbuatan, warga Palestina sekalipun mengakui Israel sebagai sebuah negara paling beradab di Timur Tengah. Di tengah suramnya ekstremisme politik dan terorisme dewasa ini, fakta ini memberikan secercah harapan.
Pemutakhiran 6 Juli 2005: Saya merangkum artikel ini dalam artikel bertajuk, "Palestinians Who Cling to Israel."
Pemutakhiran 2 Januari 2008: Untuk membaca tulisan-tulisan saya berkaitan dengan topic ini, termasuk pemutakhiran datanya, lihat "Bibliography - My Writings on Arabs Appreciating Israel."
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Israel & Zionisme, Politik Timur Tengah, Rakyat Palestina.
Artikel Terkait:
- Bibliography – My Writings on Arabs Appreciating Israel
- Palestinians Who Cling to Israel
- "Hamas is Worse than Israel, Worse than Sharon"
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.