"Semakin banyak umat Muslim beriman kepada Yesus Kristus selama tiga puluh tahun terakhir. Khususnya selama tujuh hingga sepuluh tahun terakhir, dibanding waktu lain mana pun dalam sejarah manusia" tulis Joel Rosenberg pada 2008. Gerak langkah orang beralih mengimani Yesus pun meningkat sejak saat itu. Uwe Siemon-Netto pun lantas mengukuhkannya pada 2016. Dikatakannya bahwa "sebuah fenomena global sedang berlangsung: Umat Muslim berbondong-bonding berpindah memasuki berbagai denominasi Kristen setiap bagian dunia." Memang, para misionaris Kristen bahkan nembuat nama dan singkatan untuk mereka: orang beriman berlatar belakang Muslim atau MBB.
Mengapa kecenderungan ini terjadi, berapa angka yang terlibat, dan apakah konsekuensinya?
Secara historis, nyaris semua yang berpindah agama adalah umat Kristen yang menjadi Muslim. Bukan sebaliknya. Selama 1.400 tahun Islam menjadi "Hotel California" bagi agama-agama (Kau bisa check-out kapan pun kau mau. Tetapi kau tidak bisa meninggalkannya"). Soalnya, dia melarang penganutnya memaklumkan diri sebagai ateis atau penganut agama lain. Dari sudut pandangan Islam, hal itu berdampak pada persoalan yang sama. Sikap ini bisa dilacak hingga asal mula agama itu sendiri (sebuah Hadith mengutip pernyataan Nabi Muhamad yang mengatakan, "Siapa pun yang berpindah agama, bunuhlah dia). Jadi ada pemikiran bahwa meninggalkan Islam itu sama dengan bergabung dengan musuh. Dengan demikian, sama-sama pengkhianatan. Selain itu, untuk bisa hidup wajar sebagai umat Muslim, orang punya aspek sosial yang kuat dan turut terlibat menjaga solidaritas komunal.
Mohammad Ali Taheri, pendiri Yayasan Interuniversal Mysticism (Erfan-e Halghe), versi Islam era baru yang didirikan di Iran. |
Umat Muslim yang murtad karena itu di mana pun berada menghadapi penolakan dari keluarga. Dikucilkan secara sosial. Juga kehilangan pekerjaan. Selain itu, di negara-negara mayoritas Muslim, pemerintah mereka mungkin juga menganiaya, memenjarakan, menyiksa dan membunuh mereka. Karena itu, Muslim skeptis pun secara historis sangat terikat untuk bertahan dalam batasan-batasan (boundaries) Islam. Bahkan agama-agama baru yang berasal dari Islam sekalipun (seperti Agama Druze, Nusayri/Alawi, Alevi, "Babi" dan Baha'i) awalnya melakukan hal yang sama dan lama mempertahankan hubungan yang suram dengan Islam. Pola tersebut masih berlaku hingga kini. Misalnya, dengan Interuniversal Mysticism (Erfan-e Halghe), sebuah versi Islam zaman baru yang didirikan oleh Mohammad Ali Taheri di Iran.
Secara historis hal itu menyebabkan hanya sedikit umat Muslim yang menjadi Kristen. Sebuah laporan dari sejarawan Gereja David Garrison, menemukan ada 5 gerakan dari kaum Muslim terhadap umat Kristen sebelum abad kedua puluh dan 69 gerakan seperti itu hanya dalam 12 tahun pertama abad kedua puluh satu. Setidaknya beberapa dari 5 gerakan pertama terjadi karena ditekan atau untuk memperoleh keuntungan tertentu. Yang paling menonjol dari yang pertama adalah kasus kaum Muslim Moriscos di Spanyol pada abad keenam belas. Mereka ditekan untuk pindah agama oleh penguasa Katolik mereka. Pada berbagai kesempatan yang langka, memang seluruh komunitas berpindah agama supaya bisa memperoleh keuntungan, seperti saya jelaskan sebelumnya:
Di Rusia abad ketujuh belas, ada peraturan yang melarang non-Kristen memiliki budak. Hal itu menyebabkan orang-orang Tatar yang kaya-raya beralih menjadi Kristen. Termasuk di dalamnya nenek moyang para tokoh seperti musisi Sergei Rachmaninoff, penyair dan sejarawan Nicholas Karamzin dan novelis Ivan Turgenev. Sekitar tahun 1700, beberapa keluarga penguasa Muslim Sunni di Libanon pun masuk Kristen untuk memperluas kedudukan politik mereka.
Ketika Mesir memerintah Suriah pada 1831-41, pada masa itulah wajib militer massal diberlakukan. Kala itu, "setiap Muslim Suriah yang memenuhi syarat direkrut menjadi tentara Mesir." Yvette Talhamy menjelaskan:
Wajib militer tidak disambut baik oleh penduduk setempat. ... Sementara beberapa warga Suriah memilih melarikan diri dari negara atau melukai diri sendiri guna menghindari wajib militer. Yang lain lagi beralih kepada para misionaris dan menyatakan bersedia memeluk agama Kristen. Soalnya, orang Kristen dibebaskan dari wajib militer dengan imbalan membayar pajak bebas dari wajib militer. Akibatnya, para misionaris Protestan Amerika dibanjiri permintaan untuk menerima warga Druze dan yang lainnya untuk menjadi anggota gereja mereka.
(Yang menyedihkan bagi orang-orang yang berpindah agama adalah, taktik ini terbongkar karena mereka wajib militer "terlepas dari apakah mereka sungguh-sungguh berpindah agama atau pura-pura.")
Keengganan yang sama masih terjadi akhir-akhir ini. Tatkala berkunjung ke Sudan, Februari 1972, saya berdiam di rumah seorang misionaris Amerika yang sudah berdiam di Khartoum selama dua puluh tahun. Sambil mengajar, dia hati-hati sekali mengadakan ibadah Minggu. Tetapi, sepanjang waktu itu, dia hanya mendapatkan lima jiwa yang beralih agama menjadi Kristen. Atau satu orang setiap empat tahun. Demikian juga, dalam sebuah buku yang terbit pada 1984, bertajuk Ten Muslims Meet Christ, seorang misionaris Amerika mengisahkan kisah tentang sedikitnya hasil dari bermisi di Iran.
Jumlah orang yang berpindah agama
Jumlah orang beriman berlatar belakang Muslim sangat sulit dihitung akibat kerahasiaan bahkan karena perpindahannya yang pura-pura. Meski demikian, masih ada beberapa perkiraan yang mencengangkan. Duane Alexander Miller dan Patrick Johnstone memperkirakan jumlah seluruh orang beriman berlatar belakang Muslim pada 2010 mendekati 10 juta jiwa. Jadi dia menandai 50 kali lipat peningkatan lebih kurang dari 200.000 orang yang berpindah agama dari lima tahun sebelumnya. Laporan seputar perpindahan agama umat Muslim menjadi umat Kristen yang luas berasal dari kawasan-kawasan yang berbeda seperti dari Aljazair, Albania, Suriah dan Kurdistan. Negara-negara dengan jumlah pribumi terbesar mencakup Aljazair, 380 ribu; Ethiopia, 400 ribu, Iran, 500.000 (versus hanya 500 orang pada 1979); Nigeria, 600.000. Dan Indonesia, ada angka 6.500.000 yang menakjubkan (akibat situasi-situasinya yang unik). Menurut Andrew van der Bijl dan Al Janssen, "bahkan ada umat Kristen di Medinah dan Mekkah."
Di Mesir, sebuah sumber Gereja Koptik menginformasikan kepada saya "Banyak umat Muslim berpindah menjadi Kristen pasca-kerusuhan 2011 dan naiknya Ikhwanul Muslimin ke puncak kekuasaan. Gereja Koptik karena itu mengatakan justru Presiden Muhamad Morsi, seorang penganut Islam radikal itu sebagai "evangelis agung" sehingga mereka berhenti menghitung jumlah orang yang berpindah agama. Pergilah ke gereja manapun dan kau hampir pasti menemukan bekas Muslim, khususnya wanita yang menghadiri kegiatan gereja."
Yang paling dramatis adalah pernyataan Ahmad al-Qat'ani dalam sebuah wawancara yang disiarkan oleh Televisi Al Jazeera, Desember 2000 lalu. Dalam wawancaranya yang paling banyak dikutip, Direktur Libya's Companions' Lighthouse for the Science of Islamic Law (Mercusuar Sahabat Libya untuk Ilmu Hukum Islam atau (منارة الصحابة للعلوم الشرعية/ Manarat as-Sahaba li'l-'Ulum ash-Shar' iya), itu dengan tanpa bukti menyatakan bahwa 6 juta Muslim masuk Kristen setiap tahun. Dia melaporkan bahwa populasi Muslim di Afrika berubah. Dari lebih dari setengah populasi Muslim menjadi hanya sepertiga. Dengan demikian, perpindahan agama memperbesar kemungkinan Islam hilang dari kawasan sub-Sahara Afrika. Mungkin dia melebih-lebihkan angka itu untuk tujuan penggalangan dana. Tetapi angka yang diungkapkannya itu telah beredar luas.
Uskup Dr Guli Francis-Dehqani, Uskup Gereja Anglikan di Chelmsford, Inggris. |
Umat Kristen berlatar belakang Muslim juga menetap di Barat. Sampai sebegitu jauh Amerika Serikat menampung paling banyak (450.000 orang) sementara Bulgaria paling banyak menampung umat Kristen berlatar belakang Muslim di Eropa (45.000 orang). Sejak 2014, Katedral Liverpool menyelenggarakan ibadah mingguan berbahasa Persia (namanya "Sepas"). Ibadah dipimpin oleh seorang diaken asal Muslim. Uskup Anglikan di Chelmsford, Inggris misalnya adalah putri seorang Muslim kelahiran Iran yang beralih masuk Kristen. Perpindahan agama yang dilakukan umat Muslim dengan demikian semakin meningkatkan jumlah jemaat Gereja Evangelisch-Lutherischen Dreieinigkeits-Gemeinde. Dari awalnya 150 jemaat menjadi hampir 700 jemaat hanya dalam kurun waktu dua tahun. Institusi baru pun didirikan. Seperti Pars Theological Centre di London. Lembaga yang ada sejak 2010 itu "memperlengkapi dan memobilisasi gereja Iran dengan melatih generasi baru pemimpin pelayan untuk memimpin gereja dan mengubah dunia berbahasa Persia untuk kemuliaan Tuhan."
Ketidakjelasan dan perbedaan angka seputar orang yang berpindah agama menunjukkan bahwa tidak ada pihak yang punya pendapat yang benar tentang jumlah Muslim yang masuk Kristen. Tetapi, jumlahnya memang besar. Umat Kristen menyambut gembira fenomena ini. Joel Rosenberg karena itu memuji-muji bahwa "Gereja benar-benar dibangkitkan di tanah kelahirannya."
Mengapa Umat Muslim Menjadi Kristen
Duane Miller mencatat bahwa "umat Islam yang beralih kepada Kristus sering kali diusir dari Islam sama banyaknya dengan mereka yang tertarik kepada Kristus atau Kristen." Paparan berikut ini hanya memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang mendorong umat Islam secara khusus yang beralih menganut Agama Kristen. Dan ternyata daftarnya panjang.
Mimpi dan penglihatan, terutama tentang Yesus, mungkin menarik sekitar seperempat orang beriman yang berlatar belakang Muslim. Mike Ansari, seorang mualaf Kristen Iran, melaporkan bahwa banyak orang "sebenarnya mengalami mimpi dan penglihatan tentang seorang pria berpakaian putih bersinar jauh sebelum kita berada di luar sana yang memberi tahu mereka tentang Yesus." Dabrina Bet Tamraz mencatat bahwa orang Iran yang berpindah menjadi Kristen sering bertanya satu sama lain, "Pernahkah kau melihat pria [berjubah] putih, apakah kau melihat Yesus?" Pemimpin sebuah Gereja Presbiterian di Pakistan menemukan bahwa sejumlah imam Afghanistan (Afghan imams) berjalan ratusan kilometer supaya bisa belajar Alkitab dengannya. Ketika ditanya apakah yang mendorong mereka melakukannya, pendeta itu lantas menjawab: "Mimpi! Kristus menampakkan diri kepada mereka dalam tidur dan memerintahkan mereka untuk datang ke sini untuk mendengar kebenaran." Dan di Colorado, Pastor George Naeem yang mengajar bahasa Arab melalui radio dan internet melaporkan bahwa "Hampir semua [muridnya] datang ke tempatnya mengajar mengikuti mimpi mereka."
Michael Stollwerk (yang tidak meniup trompet). |
Michael Stollwerk mengisahkan sebuah momen usai dia memimpin ibadat di Katedral Wetzlar di Frankfurt utara: "Saya berdiri di pintu keluar katedral. Masih dengan mengenakan jubah. Saya tengah mengucapkan selamat jalan kepada umat ketika seorang wanita bercadar mendekati saya. Saya lalu meraba-raba kantong jubah mencari dompet. Saya kira dia pengemis. 'Tidak, tidak,' katanya. 'Saya hanya punya satu pertanyaan: Apakah Anda imam di sini?' Saya jawab: 'Yah, satu sisi saya memang demikian. Saya imam.' Dia lalu melanjutkan: 'Dalam hal ini Anda adalah orang yang tepat. Tuhan memerintahkan saya dalam mimpi untuk pergi ke gereja besar di alun-alun pasar untuk menanyakan kebenaran kepada imam'." Dia pun dibaptiskan beberapa bulan kemudian. Siemon-Netto, yang menceritakan kisah-kisah ini, melanjutkan:
Selanjutnya saya mendengar episode cerita serupa dari seorang teolog Lutheran. Seorang imam. Saya mengunjunginya tengah malam, melalui pintu belakang rumahnya, di Mesir untuk tujuan yang sama. Saya mendengar kisah yang sama dari seorang misionaris Katolik yang pernah bekerja di Aljazair. Dari seorang pemimpin Gereja Baptis yang pengunjungnya dengan penuh kekaguman mengisahkan kepadanya bahwa Kristus telah menampakkan diri kepada mereka di tenda-tenda mereka di Arab Saudi. Seorang pendeta Anglikan berbicara tentang ratusan wanita Persia yang menghadiri pelajaran Alkitab rahasia di Teheran setelah memimpikan Kristus. Pendeta Gottfried Martens di Berlin memperkirakan setidaknya dua pertiga pengikutnya yang berasal dari Persia dan Afghanistan mengikuti instruksi dari "sesosok cahaya" yang mengidentifikasi diri sebagai Yesus dalam Alkitab Kristen. Jadi bukan "Isa" dalam Al-Qur'an.
Nabeel Qureshi, seorang beriman berlatar belakang Muslim Pakistan, menjelaskan pola umum ini dengan mengacu pada Islam: "Mimpi adalah satu-satunya cara yang rata-rata umat Muslim harapkan untuk mendengar langsung dari Tuhan."
Umat Muslim yang berpikiran cukup terbuka untuk membaca Alkitab cenderung terkesan dengan perbedaannya dengan Al-Qur'an. Terutama karena Alkitab menekankan pada cinta. Wasef menjelaskan: "Ketika mereka membaca Alkitab, [ia] langsung mengubah mereka. Alkitab itu lebih baik daripada pembicaraan atau debat apa pun. Ketika saya duduk dan berbicara dengan [umat Muslim], semua yang saya katakan adalah dari Alkitab."
Ada anggapan luas di kalangan Muslim yang bahkan didukung oleh studi penelitian yang disponsori oleh umat Muslim sendiri. Bahwa umat Kristen berperilaku lebih baik daripada umat Muslim. Bahwa mereka berperilaku, ironisnya, lebih Islami. Dalam sebuah wawancara tahun 2014 yang ditonton lebih dari 400.000 kali di YouTube, seorang wanita yang sepenuhnya tertutup yang menyebut namanya sebagai Shadya Sabir Hussein secara terbuka menyatakan di televisi Mesir bahwa dia "membenci Islam" dan karena itu berencana menjadi Kristen karena semua pembunuhan melibatkan umat Muslim. Seorang cendekiawan Irak mencatat bahwa berbagai masalah di Irak menyebabkan "banyak pemuda kita [hendak] masuk Kristen, setelah mengecam nama baik Islam sebagai agama teroris." Krisis Aljazair pada era 1990-an pun berdampak serupa: semua kematian atas nama Islam menyebabkan banyak orang menyatakan bahwa "Kristen adalah kehidupan, Islam adalah kematian."
Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS), akibat kebrutalannya, telah meningkatkan tren ini. Omar, seorang pengelola Gereja Protestan bersaksi bahwa "Banyak saudara di sini berpindah agama atau datang ke gereja akibat dari apa yang dilakukan ISIS terhadap mereka dan keluarga mereka." Jasim, seorang mekanik dipenjara ISIS selama enam bulan pada 2016 karena tidak tahu ajaran-ajaran dasar Agama Islam. Selama waktu itu ISIS memaksanya membaca Al-Qur'an dan menyiksanya: "Setelah menyaksikan kebrutalan mereka dengan mata kepala sendiri, saya mulai skeptis dengan keyakinan saya." Dia kemudian mengunjungi sebuah gereja. Dan, "Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk menemukan bahwa Agama Kristen adalah agama yang saya cari."
Isu perdamaian dan kekerasan sangat berpengaruh dalam kisah orang berpindah agama. Kepada saya, Mark Durie mengisahkan, "Dalam pengalaman saya banyak Muslim dari negara-negara mayoritas Muslim yang sangat trauma karena itu kedamaian batiniah menjadi tema tetap." Menteri Intelijen Iran Mahmoud Alavi membenarkan kenyataan ini ketika mengutip motif orang berpindah agama menjadi Kristen: "Kami mencari agama yang bisa memberi pikiran yang tenang kepada kami." Sadegh, yang sekarang bernama Yohanes, mulai meragukan imannya saat belajar di universitas di Iran: "Saya temukan bahwa sejarah Islam benar-benar berbeda dari yang diajarkan di sekolah. Mungkin, saya pikir, ia agama yang dimulai dengan kekerasan? Sebuah agama yang dimulai dengan kekerasan tidak bisa membawa orang menuju kebebasan dan cinta. Yesus Kristus berkata 'mereka yang menggunakan pedang akan mati oleh pedang.' Kata-kata ini benar-benar mengubah pikiran saya."
Kontak pribadi dengan orang Kristen yang hidup benar kadang berperan dalam kisah seseorang berpindah agama. Mohammad Eghtedarian misalnya pernah tinggal bersama seorang imam selama enam hari. Pengalaman tinggal bersama ini membuka kesempatan bagi sang imam untuk mengajukan pertanyaan yang mengubah hidupnya: "Apakah kau mengalami kedamaian dan kebebasan dalam Islam?"
Kemudian, memang ada alasan praktis untuk berpindah agama. Karena alasan bahwa Islam dan umat Muslim tertinggal jauh di belakang di seluruh dunia. Hal ini mendorong beberapa Muslim ingin maju dengan cara bergabung dengan umat Kristen. Merasakan bahwa melakukannya berarti bergabung dengan tim yang modern.
Akhirnya, perpindahan agama dapat dilakukan dengan harapan bisa memperoleh keuntungan materi. Harian Daily Telegraph London melaporkan bahwa beberapa "orang Kristen di Libanon yang menjadi Kristen karena bantuan makanan dan obat-obatan di Libanon" (Rice Christians) mengaku berpindah agama supaya bisa mendapatkan manfaat dari bantuan amal yang dibagikan oleh berbagai badan amal Kristen." Harian itu juga melaporkan kisah Ibrahim Ali. Ia warga Suriah miskin yang diberi "tempat tidur, dua kali makan panas sehari serta sedikit uang saku bulanan, dengan syarat dia setuju mengikuti pelajaran tentang Injil mingguan mereka" yang ditawarkan oleh Gereja Anglikan di pinggiran Kota Beirut. Ali mengaku dia berpindah agama karena alasan praktis. Demikian juga yang dilakukan orang-orang lainnya.
Pengamatan
Pastor Zakariya Botros. |
Ada tiga pemikiran seputar proses perpindahan agama. Pertama, walau beberapa Jurubicara Kristen (Zakariya Botros, Jay Smith & David Wood) mengkritik Islam, proses ini terbatas manfaatnya jika mau dilihat sebagai upaya untuk menarik minat umat Muslim. Jill Nelson karena itu menafsirkan pernyataan Wasef: "Debat publik antara umat Muslim dan umat Kristen bukan alat pelayanan yang efektif. Kepustakaan Kristen biasanya juga tidak efektif.... Pernyataan seperti yang dibuat oleh para pemimpin penginjil terkemuka yang mengatakan Islam itu 'jahat' kemudian mengkritik Nabi Muhammad juga cenderung mendorong umat Muslim menjauhkan diri dari Agama Kristen." Victor Atallah dari Middle East Reformed Fellowship pun sependapat: "Kita harus berhati-hati untuk tidak mengecam Nabi Muhammad tetapi juga tidak memaafkannya."
Kedua, upaya missioner tradisional orang Barat, seperti memberikan pendidikan dan merawat orang sakit, ternyata tidak banyak berperan memenangkan hati orang untuk masuk Kristen. Siaran radio dan televisi, yang beberapa didirikan dan dipimpin oleh umat Kristen berlatar Muslim, sebagian besar menggantikan peran missioner tradisional, termasuk Radio Monte Carlo, SAT-7 International, METV, High Adventure Ministries, Voice of Christ Media, dan Middle East Reformed Fellowship. Ketika menjelaskan peran stasiun-stasiun ini di Kabylie, sebuah wilayah yang benar-benar dihuni oleh Suku Berber (atau Amazigh) di Aljazair sebuah surat kabar Aljazair menuliskan:
Umat beriman yang kami temui menegaskan bahwa informasi tentang Agama Kristen, dalam wawancara mereka, punya peran penting dalam legitimasi doktrin-doktrin Kristen. Seperti yang diakui Said. Dia mengaku bahwa dia banyak mendengarkan Radio Monte Carlo, khususnya siaran-siaran populernya dalam Bahasa Amazigh. Sedangkan bagi Slimane, dia memaklumkan bahwa "80 persen alasan yang mendorong saya kepada Agama Kristen datang dari Radio Monte Carlo." Ada juga stasiun radio lain. Seperti "Miracle Channel" (SAT-7). Dan sebagian besar umat beriman menegaskan bahwa mereka mendengarkan stasiun-stasiun ini yang menyiarkan pesan Agama Kristen ke seluruh penjuru dunia.
Stasiun radio dan televisi dengan liputan negara tertentu, seperti Aghapy TV untuk Mesir atau Elam Ministries, Iran Alive Ministries, Mohabat TV dan Nejat TV untuk Iran, juga berdampak substansial. Ketika menjelaskan tentang Mohabat TV Ansari mengatakan: "Tampaknya sekitar 16 juta orang Iran dalam 12 bulan terakhir menonton satu atau lebih program kami di TV satelit dan di perangkat seluler mereka. Kasarnya, itu berarti sekitar 20 persen populasi Iran."
Kecurangan Suci
Beberapa umat Muslim memang berpindah agama secara taktis karena alasan praktis. Khususnya untuk mempermudah emigrasi mereka ke negara Barat. Seorang pastor dari Church of God, Said Deeb, mengisahkan pernyataan beberapa umat Muslim yang putus asa kepadanya, "Baptislah saya. Saya akan yakini apapun hanya supaya bisa tinggalkan tempat ini." National Public Radio karena itu mengungkapkan kembali pernyataan Sebnem Köşer Akçapar dari Universitas Koç di Istanbul yang menyatakan bahwa "hanya beberapa pengungsi yang benar-benar berpindah agama. Yang lain memanfaatkan penganiayaan agama sebagai cara untuk sampai ke Barat." Fenomena ini menyebabkan Aiman Mazyek, Ketua Zentralrat der Muslime di Deutschland bereaksi sangat skeptis tentang meningkatnya jumlah Muslim yang masuk Kristen.
Ketika berada di Barat, orang-orang yang berpindah agama memperoleh dua keuntungan. Ia mempermudah mereka mendapatkan izin untuk tetap tinggal. Soalnya, pemerintah (apa pun sikap netral mereka secara teoretis) kadang kala lebih menyukai para migran Kristen. Hal ini menyebabkan pemulangan imigran menjadi lebih sulit, menjebloskan migran dalam bahaya. Mereka bakal dianiaya di negeri asalnya karena meninggalkan Islam. Volker Kauder, seorang pemimpin Partai Persatuan Demokrat Kristen (CDU) karena itu mengatakan: "Begitu orang tinggalkan Islam, terlepas dari apakah dia benar-benar masuk Kristen atau tidak, dia dapat dituntut ke pengadilan karena murtad. Ketika menyangkut penganiayaan politik, para penganiaya itu tidak peduli soal bahwa orang itu benar-benar berpindah agama."
Selebaran berbahasa Persia dan Jerman di bangku-bangku Gereja Evangelisch-Lutherische Dreieinigkeitskirche di Berlin, September 2016. © Daniel Pipes. |
Peliknya keadaan menyebabkan penghayatan spiritual beberapa orang yang berpindah agama itu meragukan. Rick Robinson dari United Pantecostal Church di Turki mengakui bahwa banyak jemaatnya mungkin saja tidak datang kepadanya sebagai orang beriman yang benar-benar tulus: "Bahkan mungkin ada beberapa yang memulai dengan bantuan hanya untuk memperoleh status pengungsi." Gottfried Martens, pendeta Evangelisch-Lutherische Dreieinigkeitskirche yang berbahasa Persia di Berlin, mengaku tidak tahu manakah umatnya yang benar-benar berpindah agama dan mana yang taktis: "Saya tahu ada — lagi dan lagi — orang datang ke sini karena mereka punya semacam harapan terkait dengan suaka mereka." Vesam Heydari, seorang anggota gereja itu pun mengakui bahwa "Mayoritas orang Iran di sini tidak berpindah agama karena yakin dengan agama Kristen. Mereka hanya ingin menetap di Jerman." Tidaklah mengherankan bahwa jemaat dari Pendeta Hugo Gevers di Leipzig itu sepertiga mantan Muslim Iran. Diakuinya bahwa "Ada saat-saat di mana kami sangat kecewa. Bertahun-tahun kami mendukung mereka, mereka memiliki kasus pengadilan dengan jawaban yang positif. Tetapi pada hari yang sama mereka berpisah dari kami." Tetapi dia mencatat bahwa tidak banyak yang pura-pura berpindah agama. Terutama karena para pendeta menerapkan prosedur untuk bisa mengidentifikasi orang-orang yang pura berpindah agama.
Lebih jauh lagi, orang tidak boleh melebih-lebihkan jumlah orang yang pura-pura berpindah agama (fraudsters). Martens seorang warga Berlin mengamati bahwa "Memang benar ada semacam kebangkitan Kristen di Iran saat ini dalam jumlah yang cukup besar. Orang yang datang kepada kami sudah berhubungan dengan gereja rumah-gereja ini dan harus melarikan diri karena itu."
Tuduhan dari Umat Muslim
Akibat kekhawatiran mereka terhadap "gelombang perkembangan umat Kristen," Joel Rosenberg mengamati bahwa, "pemimpin Muslim menjadi gelisah dan marah." Mereka lantas memusatkan perhatian mereka pada penipuan suci. Karena itu, mereka menuduh semua orang berpindah agama demi keuntungan pribadi seperti terkait dengan pendanaan, pekerjaan atau visa. Tudingan ini memberikan keuntungan yang menyenangkan bagi orang Kristen berlatar belakang Muslim karena upaya pendiskreditan justru membebaskan diri mereka dari tanggung jawab. Tuduhan semacam itu memang sangat umum terjadi di tempat-tempat seperti Irak utara dan Aljazair. Di sana, jumlah orang Kurdi dan Berber yang berpindah agama sangat tinggi.
Tidaklah mengherankan bahwa segera setelah invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003, Sekretaris Jenderal Liga Dunia Muslim Abdullah al-Turki memperingatkan bahwa "berbagai organisasi non-Muslim" (artinya misionaris Kristen) telah memasuki Irak" untuk memulai aktivitas mereka dengan kedok memberikan bantuan kemanusiaan." Juga memperingatkan "bahaya yang ditimbulkan oleh organisasi itu bagi umat Islam." Ahmed al-Shafie dari Asosiasi Cendekiawan Muslim di Sulaymaniyah, Irak, mengecam masuknya misionaris Kristen secara rahasia: "Kami mengecam keras tindakan tercela terhadap Islam dan umat Muslim yang memperlihatkan bahwa ada tangan-tangan tersembunyi dengan agenda asing [sedang bekerja] hendak menghancurkan masyarakat negara ini." Tokoh Muslim lainnya di Sulaymaniyah mengulangi tuduhan ini pada 2007: "Para misionaris mengeksploitasi situasi ekonomi yang sulit yang dialami para pemuda ini di daerah-daerah ini karena mereka menganggur dan nyaris tertekan. Dalam beberapa kasus, para pemuda itu ingin pergi ke luar negeri dan [masuk Kristen] menjadi cara mudah untuk mencapai impian mereka karena mereka dapat mengatakan bahwa mereka terancam dan membutuhkan tempat berlindung yang aman."
Mohamed Aissa, Menteri Urusan Agama Aljazair. |
Pada 2006 lalu, seorang pejabat di Kementerian Urusan Agama Aljazair, Mohamed Aissa, mengklaim bahwa misionaris Kristen membujuk umat Muslim dengan tawaran itu sehingga "memperoleh keuntungan dari kebingungan kaum muda sehingga beralih kepada mereka." (Dia juga mencatat bahwa "Banyak kaum muda yang sudah bertobat, kembali kepada Islam.") Pada tahun yang sama, Pemerintah Aljazair pun mengesahkan sebuah undang-undang yang melarang "siapa saja yang mendesak atau memaksa atau menggoda agar seorang Muslim berpindah menganut agama lain" dengan ancaman hukuman dua hingga lima tahun penjara berikut denda €5,000-€10,000 (sekitar Rp 85,5 juta – Rp. 171 juta).
Mendapatkan umat beriman berlatar belakang Muslim adalah separuh perjuangan. Tetapi, mempertahankan mereka untuk tetap bertahan sebagai umat Kristen adalah bagian perjuangan lainnya. Sebuah kajian tentang orang-orang yang kembali menganut Islam di Indonesia oleh Julia Sianturi menemukan beberapa faktor pendorong tindakan mereka:
Kuatnya ikatan dengan keluarga serta akar keislaman mereka yang dalam tampaknya menjadi penyebab penting utama keputusan mereka untuk kembali kepada Agama Islam. Keputusan mereka mungkin lahir dari beberapa pengaruh seperti diskriminasi dari komunitas sekitar serta persoalan ketuhanan Yesus. Rasa tidak puas mereka terhadap etika pastoral bisa saja menjadi keprihatinan yang muncul akibat dampaknya pada persepsi umat Kristen berlatar belakang Muslim tentang gereja dan Agama Kristen.
Kesulitan-kesulitan itu begitu luar biasa. Andrew van der Bijl dan Al Janssen mengakui bahwa "sedikitnya separuh dari semua umat Muslim yang sudah berpindah agama [menjadi Kristen] kembali menganut Islam." Untuk membahas isu ini, Duane Miller menulis buku dengan ide hendak menyajikan jumlah umat Kristen berlatar belakang Muslim yang belum pernah ada sebelumnya dengan "sebuah rumah baru yang menyambut kedatangan mereka."
Orang-orang yang sudah berpindah agama yang tetap bertahan sebagai umat Kristen menghadapi berbagai alternatif yang menantang seperti;
1. Merahasiakan bahwa mereka sudah pindah agama. Caranya dengan berusaha benar-benar rahasia sambil tetap menampilkan diri dan kebiasaan sebagai Muslim. Banyak orang yang sudah pindah agama, Nelson mencatat, masih memakai pakaian Muslim tradisional untuk menghindari berbagai akibat dari perpindahan agama mereka." Dalam beberapa kasus, mereka bahkan tetap menjalankan banyak adat-istiadat dan ritual Islam. Tetapi ini berarti mereka menderita kesepian yang sangat mendalam sehingga gagal secara moral. Tekanan itu bisa saja tidak terpikulkan.
2. Mengumumkan perubahan agama (atau menceritakan kepada kerabat dekat atau teman yang marah karena berita itu sehingga mengkhianati kepercayaan orang yang sudah berpindah agama) membuat dunia orang Kristen berlatar Muslim kacau-balau. Tak henti-henti mereka menghadapi tekanan. Kadang menghadapi kekerasan dari keluarga, masyarakat dan pemerintah serta merasa terisolasi karena kehilangan pendapatan. Identitas Muslim tidak bisa mereka tinggalkan. Mungkin mereka dipaksa dirawat karena dianggap sakit mental. Ketika hanya satu pasangan berpindah agama, pernikahan dapat saja putus dan kontak dengan anak-anak hilang.
Di negara-negara mayoritas Muslim, pihak berwenang biasanya menolak mengakui seseorang berpindah agama dari Islam, menjebak umat Kristen berlatar belakang Muslim secara legal sebagai Muslim. Wanita Muslim yang menjadi Kristen yang hanya boleh menikah dengan sesama Muslim karena kartu identitas mereka mencantumkan mereka sebagai Muslim, dibatasi untuk menikahi lakil-laki Kristen berlatar belakang Muslim. Ironisnya, orang yang terlahir Kristen pun menghindari umat Kristen berlatar belakang Musli. Gereja-gereja mapan menolak mereka. Khawatir dituduh menjadi bagian dari perpindahan agama mereka sehingga bisa dihukum. Karena itu, seorang imam pernah dengan kejam mengatakan orang yang berpindah menjadi Kristen "perlu diam soal keyakinan mereka kepada Tuhan kita. Atau kita semua akan menderita."
3. Pindah ke kota lain untuk memulai awal yang baru sebagai orang yang terlahir Kristen berarti meninggalkan keluarga, memulai hubungan sosial baru. Dengan demikian, orang yang baru masuk Kristen bisa tenang mencari nafkah meski selalu dihantuai rasa takut diketahui orang atau terungkap perpindahan agamanya.
4. Bermigrasi ke negara-negara mayoritas non-Muslim mungkin tampak sebagai sebuah solusi yang sempurna. Tetapi sebenarnya tidak. Di luar berbagai pergulatan membangun kembali kehidupan baru, yang biasanya dengan bahasa baru, tekanan dari pihak Islam dapat saja terus berlanjut bahkan di sana. Beberapa umat Kristen berlatar Muslim tetap takut pada pemerintah asal mereka dan karena itu hidup dalam "suasana penuh curiga yang sangat luar biasa." Seorang yang berpindah agama mengamati bahwa "Mungkin seseorang yang ada di dalam gereja adalah salah satunya." Oleh karena itu, "para pengungsi berhati-hati menjaga jarak satu sama lain. Tidak pernah mengungkapkan informasi tentang kasus mereka atau detail kehidupan mereka di rumah." Para wanita menghadapi masalah khusus. European Centre for Law and Justice (Pusat Hukum dan Keadilan Eropa) ketika menulit tentang Prancis mengatakan, "sebagian besar wanita yang pindah agama diancam akan dinikahkan secara paksa, dikirim kembali ke negara asal orangtua mereka atau diasingkan selama mereka tidak kembali ke Islam. Dalam berbagai kasus yang semakin jarang terjadi, orang yang berpindah menjadi Kristen malah digantung atau bahkan dibunuh oleh para penganut Islam radikal." Dengan demikian, rasa takut dan rasa sepi terus mencengkam mereka.
Perpindahan agama secara sukarela dalam jumlah besar dari Muslim menjadi Kristen merupakan hal baru dalam sejarah. Ia mengubah ketidakseimbangan yang patut dipuji. Soalnya, Islam hampir selalu memburu orang beriman dengan mengorbankan Agama Kristen. Perubahan haluan ini berpotensi berimplikasi besar terhadap cara umat Muslim melihat diri mereka sendiri dan agama mereka. Keyakainan diri tradisional yang berasal dari perpindahan agama satu arah tidak lagi berlaku. Akankah sesuatu yang lain menggantikannya? Atau akankah situasi rentan ini bakal meruntuhkan kepercayaan Muslim? Implikasinya sangat dalam.
Beralih menjadi penganut Agama Kristen, pada gilirannya, menjadi bagian dari perpindahan yang lebih besar dari Islam. Ia juga mencakup peralihan menjadi penganut agama lain (terutama Zoroaster di kalangan masyarakat Kurdi dan Hindu di antara masyarakat India. Yudaisme dan Buddha juga menarik minat orang-orang yang ingin beralih agama). Termasuk dianutnya deisme dan ateisme. Bersama-sama, kecenderungan yang saling terkait ini memunculkan perkembangan yang jarang diperhatikan namun signifikan yang bergerak jauh sehingga meniadakan gelombang penganut Islam radikal yang tercatat luas selama setengah abad terakhir. Soalnya, mereka memang berpotensi menghentikan lonjakan perpindahan agama itu.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah). © 2021 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Topik Terkait: Perpindahan agama menjadi atau dari Islam
Artikel Terkait:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.