Judul asli: "20 Years Post 9/11."
Hayder Al-Shakarchi melakukan wawancara. Transkripnya banyak sekali diedit.
DC Insider: Apakah tujuan dari para pelaku Tragedi 11 September 2001?
Daniel Pipes: Sangat luas diyakini bahwa kaum Islam radikal menyaksikan kekalahan Rusia di Afghanistan sebagai kunci menuju keruntuhan Uni Soviet yang lebih lanjut. Dan, mereka pun memutuskan, "Oke, satu jatuh, satu lagi menyusul...Mari kita jatuhkan Amerika Serikat." Jelaslah, peristiwa 11 September itu jauh dari mencapai sasaran itu.
DC Insider: Apakah pelajaran utama dari Tragedi 11 September 2001?
Pipes: Bahwa kau bisa membunuh ribuan orang, menyebabkan kerusakan ekonomi global, menciptakan huru-hara politik yang mahadahsyat --- dan masih belum mencapai tujuanmu. Untuk semua huru-hara, dari kaum Islam radikal, atau jihadi --- sudut pandang yang dicapainya nyaris tidak ada. Memang, orang bisa saja berdekat bahwa kontraproduktif untuk menarik perhatian dunia terhadap agresi kaum Islam radikal.
Gerakan kaum Islam radikal agaknya belajar bahwa kekerasan itu tidak efektif. Jauh lebih baik bekerja melalui lembaga --- pendidikan, hukum, politik, media dan selanjutnya --- di dalam sistem. Sebagai contoh, ambil saja Southern Poverty Law Center --- sebuah organisasi penting yang pernah memusatkan perhatian pada hak-hak sipil Kaum Kulit Hitam yang kini sudah menjadi sekutu kaum Islam radikal.
Dua puluh tahun kemudian, satu harapan yang sangat tipis "Bersatu Kita Kuat" masih bergelantungan di terminal bus utama Manhattan. |
Ketika sampai pada persoalan kekuatan yang jauh lebih luas, maka militer A.S., badan intelijen dan penegakkan hukum bakal mengalahkan kaum Islam radikal. Jadi ide --- bukan kekerasan --- menawarkan jalan bagi kaum Islam radikal untuk memajukan cita-cita mereka. Memang, kadang-kadang masih terjadi kekerasan, untuk memastikannya, tetapi tidak terlampau penting dan kurang efektif dibandingkan dengan melakukan penyusupan terhadap berbagai lembaga yang saya sebutkan sebagai Islamisme yang sah menurut hukum.
DC Insider: Pasca-tragedi 11 Setember 2001 (9/11) melahirkan berbagai macam ketidaksepakatan tentang siapa yang bertanggung jawab atas serangan itu, apa yang menyebabkan serangan itu, dll. Apakah itu awal dari gesekan besar antara kaum Kiri dan kaum Kanan yang kita lihat hari ini?
Pipes: Jangka pendek, Tragedi 11 September 2001 menyatukan masyarakat Amerika. "Bersatu Kita Bisa" (United We Stand) itu adalah slogan dan secara singkat, adalah kenyataan. Tapi kemudian, ada ketidaksepakatan mendalam seputar penyebab dan implikasi dari serangan itu menjadi yang terpenting. Kaum konservatif berpendapat bahwa serangan itu datang dari para ekstremis yang membenci masyarakat Amerika karena alasan ideologis. Sementara kaum liberal berpendapat bahwa kesalahan kebijakan luar negeri AS membuat negara itu sebagian atau bahkan sepenuhnya disalahkan atas apa yang telah terjadi.
Dalam beberapa bentuknya, perdebatan ini mengawali terjadinya perbedaan opini yang sangat besar antara kaum Kiri dan kaum Kanan di Amerika Serikat yang diperoleh hari ini. Perbedaan pendapat itu punya begitu banyak masalah yang benar-benar tidak disetujui oleh kedua belah pihak sehingga mereka tidak bisa menemukan titik temu. Seperti soal aborsi, senjata api, transeksual, dan sebagainya. Saya tidak mengatakan Tragedi 11 September 2001 itu menyebabkan retakan itu, tetapi ia pasti berkontribusi pada masalah ini.
DC Insider: Tragedi 11 September 2001 menginspirasi konspirasi teori yang tidak terhitung banyaknya. Sebagai pengarang dari dua buku tentang teori konspirasi, apakah anda melihat ada teori-teori itu yang masuk akal?
Pipes: Sesungguhnya, hanya ada satu teori konspirasi yang signifikan yang ada: bahwa Pemerintah AS berada di balik serangan pada 11 September 2001 sebagai cara untuk membenarkan perjuangan memerangi Islam sekaligus untuk meyerang Afghanistan. Beberapa polling pendapat umum yang dibuat di Eropa menemukan bahwa sepertiga populasi meyakini teori ini. Demikian juga dengan banyak kaum Muslim. Masuk akal? Tidak, Tragedi 11 September 2001 sebagai sebuah pekerjaan dalam negeri itu omong kosong, tetapi omong kosong yang penting yang punya dampak politiknya.***
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL