Penumpang Reach 871, Pesawat C-19 Angkatan Udara AS yang terbang dari Kabul menuju Qatar pada 15 Agustus 2021 lalu, membawa 823 warga Afghanistan. |
Ketika prospek sejumlah besar orang Afghanistan melarikan diri dari negara mereka – yang disebut-sebut ada lima juta orang melarikan diri, menjadi pusat perhatian, maka ada asumsi yang nyaris universal muncul ke permukaan. Bahwa Barat, yang di sini berarti Eropa Barat dan Tengah, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, harus menjadi tujuan akhir mereka. Tapi apakah ini masuk akal?
Dari sudut pandang orang Afganistan, hidup dalam negara warisan Kristen itu menyebabkan masyarakat sekuler menyinggung banyak adat-istiadat mereka sehingga menimbulkan tekanan yang sangat parah. Kurangnya ketrampilan umum mereka yang sesuai dengan ekonomi modern membuat mereka tertahan. Menemukan populasi negara penerima yang berprasangka terhadap mereka, membuat mereka mengeluh sambil mengangis tentang rasisme struktural, xenofobia, dan "fobia terhadap Islam" (Islamofobia). Mereka merujuk kepada insiden-insiden yang terjadi karena rasa benci bahkan serangan-serangan yang kejam, seperti yang terjadi di New York City, North Carolina, Quebec, New Zealand, dan daerah-daerah sekitar.
Dari perspektif Barat, undangan terbuka pada 2015-16 oleh para pemimpin Jerman dan Swedia, yang memungkinkan para pengungsi memasuki negara mereka masing-masing sekitar 1 juta dan 100.000 migran Suriah dan tempat lain yang tanpa diperiksa ternyata berdampak buruk. Orang Barat tanpa daya menyaksikan ketika orang-orang Timur Tengah tiba dengan pesawat, perahu, kereta api, bus, mobil dan berjalan kaki melalui pantai, ladang dan stasiun kereta api Eropa. Mereka kemudian menyaksikan sejumlah besar orang membawa penyakit, menolak asimilasi, memberlakukan hukum Islam, terlibat dalam gelombang kejahatan, melakukan taharrush (serangan seksual massal) di Kota Cologne, Prancis dan melancarkan serangan jihad di Paris dan Brussel. Dengan gelisah, mereka pun menerima bahwa masyarakat mereka berubah menjadi negara-negara dengan pengawasan semu.
Masalah-masalah ini memperlihatkan perlunya untuk secara radikal memikirkan kembali apa yang terbaik bagi para migran yang berada dalam kesulitan dan bagi masyarakat Barat. Saya menyampaikan pendapat bahwa yang pertama (baca: para migran) umumnya harus tetap berada dalam zona budaya mereka sendiri. Itulah tempat mereka paling siap menyesuaikan diri, di mana mereka dapat tetap jauh lebih setia pada tradisi mereka, menemukan peran ekonomi terbaik mereka, paling mudah dapat kembali ke rumah, dan tidak banyak mengganggu masyarakat tuan rumah. Dengan demikian, pengungsi, pencari suaka, dan para pendatang ilegal Asia Timur harus diarahkan untuk bermukim kembali di Asia Timur, orang Asia Selatan di Asia Selatan, orang Timur Tengah di Timur Tengah, orang Afrika di Afrika, orang Amerika Latin di Amerika Latin, dan orang Barat di Barat. Ini bisa berarti migrasi internal, seperti di Suriah atau berpindah ke negara-negara terdekat.
Orang Timur Tengah untuk Timur Tengah
Dengan memusatkan perhatian pada Timur Tengah, maka pola ini, tentu saja, memang sudah ada. Yang paling pantas dicatat bahwa ada, sekitar 2, 2 juta pengungsi Afghanistan berdiam di Pakistan dan Iran. Mereka adalah para korban perebutan Pemerintahan Taliban pada 1996. Selain itu, masih ada lagi sekitar 5,6 juta pengungsi Suriah yang hidup di negara-negara sekitarnya.
Tetapi, Turki bisa sedikit dikecualikan dalam kasus ini. Di sana, sekitar 4 persen pengungsi Suriah diperkirakan sudah mendapatkan kewarganegaraan Turki. Ini tentu saja situasi darurat. Pengungsi dibiarkan hidup dalam kemiskinan, ditahan dalam tempat khusus (holding pens) atau dibiarkan mengalami kehidupan miskin di perkotaan, tidak diijinkan untuk terlampau nyaman. Sebaliknya, mereka didorong entah untuk kembali ke negaranya atau untuk melanjutkan pengungsian mereka menuju Barat. Perilaku ini berkembang di Turki sekalipun. Karena itu Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengungkapkan persoalan itu ketika dia menegaskan bahwa, "Turki tidak punya kewajiban, tanggung jawab atau kewajiban untuk menjadi gudang pengungsi Eropa."
Pemerintah Turki membangun tembok sepanjang 295 Km sepanjang perbatasannya dengan Iran agar migran illegal tidak bisa masuk. Khususnya para migran illegal dari Afghanistan. |
Sikap enggan ini bukan sesuatu yang baru. Sebagian besar negara Arab (dan Libanon khususnya) selama 70 tahun melakukan upaya terbaik mereka untuk membuat warga Palestina merasa tidak diterima dengan senang hati. Dengan harapan bahwa tindakan itu bakal mendorong mereka untuk akhirnya meninggalkan negara mereka.
Perilaku brutal sembrono itu tak bisa diterima. Perubahan mendasar harus terjadi. Organisasi-organisasi internasional harus meningkatkan harapan-harapan itu dan pemerintahan negara-negara Barat harus menekannya. Negara-negara Timur Tengah perlu bertanggung jawab bagi para saudara mereka.
Segera setelah melakukannya, maka persoalan mencari tempat tujuan pengungsi yang cocok bakal sangat mudah dalam kasus Timur Tengah. Enam negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (Gulf Cooperation Council) yaitu Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu dekat dan kaya. Kebutuhan tenaga kerja mereka nyaris tidak terpenuhi sehingga mereka bisa menetapkan kawasan luas yang kosong. Sungguh begitu menarik negara-negara itu sebagai tujuan pengungsian, karena warga asing sudah membentuk separuh populasi mereka.
Kerajaan Arab Saudi (KSA) yang berbesar di antara mereka dalam soal luas wilayah, populasi dan ekonomi secara khusus menawarkan banyak hal menarik bagi kaum Muslim Sunni. Untuk diketahui, Kerajaan Arab Saudi itu punya tenda-tenda kosong berkualitas bagus yang mampu menampung sekitar 3 juta orang karena pertimbangan darurat di Mina, persis di sebelah timur Mekkah. Tenda-tenda itu tahan peluru, ber-AC, lengkap dengan toilet dan dapur. Sumberdaya unik ini didiami hanya lima hari setahun oleh orang-orang yang menjalankan ibadah haji.
Berdiam di Arab Saudi berarti para pengungsi perlu menahan iklim beku (seperti di Swedia). Aau belajar bahasa yang sulit diucapkan oleh sedikit orang (seperti bahasa Hongaria). Jelas jauh lebih nyaman untuk memulangkan pengungsi dari Kerjaan Arab Saudi ke Afghanistan daripada dari, katakanlah, dari California.
Dengan memiliki ikatan budaya yang mendalam dengan saudara dan saudari Saudi mereka, banyak orang Afghanistan akan menemukan batasan ketat Kerajaan Arab Saudi secara budaya lebih menyenangkan daripada Barat. Mereka dapat bersukacita dalam undang-undang yang mengizinkan poligami (tidak seperti Irlandia), yang (tidak seperti Inggris) mengizinkan pernikahan anak, yang (tidak seperti Prancis) mengizinkan pemakaian burka berbalut bikin (burkini) dan mengizinkan anjuran untuk memukul istri, yang (tidak seperti Amerika Serikat) mengizinkan adanya perbudakan dalam rumah tangga dan sunat perempuan, sembari mudah pula untuk hmembunh orang/anggota keluarga demi kehormatan, dan bahwa (tidak seperti semua negara Barat) bisa terlibat dalam pemenggalan kepala resmi.
Sebaliknya, pertimbangkanlah beberapa elemen haram (terlarang) di Barat yang dihindari oleh para migran Afghanistan dengan tinggal di Arab Saudi:
- Anjing peliharaan (70 juta orang) dari mereka sendiri yang berdiam di Amerika Serikat), melihatnya sebagai sebuah praktek yang tidak bersih.
- Makanan bercampur daging babi serta kehidupan sosial yang basah kuyup dengan alkohol.
- Undian-undian yang disponsori negara, perusahaan-perusahaan judi ala Las Vegas dan kewajiban menerima skema-skema asuransi (insurance schemes).
- Liburan Tahun Baru, Valentine Day, Paskah, Natal dan liburan lain yang mengganggu perasaan kaum Muslim.
- Pembayaran pinjaman berbunga.
- Para wanita dengan pakaian mencolok, balet, kontes kecantikan dalam pakaian renang, wanita single yang hidup sendiri, mandi bersama, mandi dengan dada terbuka, kencan, klub para pria dan prostitusi yang dilindungi hukum.
- Bar khusus untuk para gay, pawai para gay (gay-pride parades) dan perkawinan gay.
- Subkultur narkoba dan perilaku yang tidak terlampau peduli terhadap bahan-bahan yang membuat orang berhalusinasi (hallucinogens) dengan beberapa narkoba yang dianggap sah menurut hukum di jurisdiksi-jurisdiksi tertentu.
- Kebebasan menyampaikan perasaan anti-Islam di depan publik, novel-novel yang menghina, para politisi, organisasi para mantan Muslims, dan seorang pastor yang secara public hendak membakar Al-Qur'an.
Tidak ada bahaya untuk bertemu dengan pawai para gay sepeti ini, di Arab Saudi. |
Negara-negara Arab yang kaya raya namun jarang penduduknya bisa sangat mudah menempatkan para migran. Tetapi, negara-negara Timur Tengah lain seperti Mesir dan Aljazair juga mampu lakukan itu. Dengan demikian, pemerintah, organisasi internasional dan organisasi pengungsi harus berhenti memusatkan perhatian secara eksklusif pada Barat sebagai tujuan kedatangan para migran. Sebaliknya mereka beralih kepada negara-negara sekitarnya untuk menerima mereka masuk, menampung, mempekerjakan dan memberikan suara kepada para saudara mereka yang membutuhkannya.
Umat Kristen dan Minoritas Agama Lainnya
Daftar ciri-ciri (features) kultural ini punya implikasi lain: Umat Kristen, Yahudi, Zoroaster, Yazidi, Bahai dan lain-lain menemukan diri mereka semakin tidak diterima di Timur Tengah sehingga harus diterima di Barat.
Kolonialisme Eropa meningkatkan status Kristen regional, kelompok minoritas agama terbesar di kawasan itu, dengan memusatkan perhatian pada umat Kristen. Tetapi dalam jangka panjang tindakan itu menciptakan kemarahan terhadap mereka yang berubah menjadi kebijakan untuk menghapuskan mereka, mendorong mereka keluar dari rumah mereka dan pergi ke Barat. Kelompok minoritas ini dan minoritas agama lainnya harus diterima dengan baik.
Beberapa pemerintah Barat mulai memperhatikan persoalan itu. Ketika krisis Suriah memburuk pada 2015, Perdana Menteri Polandia Ewa Kopacz mengumumkan bahwa pemerintahnya hanya akan menerima 60 keluarga pengungsi Suriah Kristen, menjelaskan bahwa "Orang Kristen yang dianiaya secara biadab di Suriah pantas mendapatkan negara-negara Kristen seperti Polandia untuk bertindak cepat membantu mereka," menyiratkan Muslim tidak pantas mendapatkan bantuan ini. Demikian pula, Pemerintah Slovakia menerima 200 pengungsi Kristen Suriah, menjelaskan bahwa "Di Slovakia, kami tidak punya masjid." Karena itu, juru bicara Kementerian Dalam Negeri melanjutkan, migran Muslim tidak akan betah di sana. Pemerintah Hungaria diam-diam memberikan perlindungan kepada sekitar 1.000 orang Kristen Mesir selama periode dua tahun bahkan ketika mereka tidak menerima kaum Muslim masuk negara mereka.
Senator AS Ted Cruz (dari Partai Republik Texas) juga lebih suka menerima pengungsi Kristen, bukan Muslim. CNN melaporkan bahwa dia "berpikir bahwa Muslim yang melarikan diri dari perang saudara Suriah harus dikembalikan ke negara-negara Muslim lainnya. Tetapi populasi Kristen, dia percaya, tidak punya tempat lain untuk pergi. Cruz menghilangkan kekhawatiran ini dengan mengatakan kepada wartawan ... bahwa orang- Kristen 'tidak menimbulkan risiko yang berarti' bagi keamanan nasional."
Berbagai Perubahan di Eropa
Bangsa Eropa semakin banyak yang berpikir mengenai zona budaya.
Pada 2014, partai oposisi terbesar Denmark, Venstre, menyerukan adanya perbedaan antara "orang Kristen Amerika atau Swedia" pada satu sisi dan "orang Muslim Somalia atau Pakistan" pada pihak lain karena "perbedaan besar kemampuan dan keinginan mereka untuk berintegrasi." Pernyataan itu selanjutnya mengatakan:
Terlampau banyak imigran non-Barat berlatar belakang Muslim tidak menginginkan model masyarakat kita yang berorientasikan kebebasan. ... Pada masa depan kita harus mempermudah mereka yang secara tradisional dapat dan mau berintegrasi untuk datang ke Denmark, sambil mempersulit mereka yang tidak memiliki kemampuan atau kemauan untuk berintegrasi.
Saat berkuasa pada 2019, Partai Sosial Demokratik Denmark menerapkan kebijakan di mana pelamar non-Barat tinggal di luar Eropa selama proses aplikasi mereka. Seorang jurubicara pemerintah menjelaskan: "Jika kau ajukan permohonan suaka di Denmark, kau tahu bahwa kau akan dikirim kembali ke negara di luar Eropa."
Pada 2015, Partai VVD yang berkuasa di Belanda menentang penerimaan pengungsi non-Eropa. Juga di awal tahun 2015, Partai Fidesz yang berkuasa di Hungaria menanggapi serangan jihadi Charlie Hebdo dengan menyerukan kebijakan ketat untuk membatasi imigrasi dari luar Eropa dan mencatat bahwa, dibandingkan dengan negara-negara Eropa lainnya, ada segelintir "orang dengan latar belakang budaya yang berbeda dari kita" di Hungaria. Menteri Luar Negeri Austria kala itu dan kini kanselir, Sebastian Kurz, pada 2017 mengusulkan bahwa Negara Georgia sebagai lokasi yang memungkinkan bagi kamp-kamp pengungsi sehingga menimbulkan kegemparan di sana dan di Kremlin.
Donald Trump pada September 2017 mendukung pengungsi yang tinggal di wilayah mereka sendiri:
Karena biaya memukimkan kembali satu pengungsi di Amerika Serikat, kita dapat membantu lebih dari 10 orang di wilayah asal mereka. Karena kebaikan hati kita, kami tawarkan bantuan keuangan kepada negara-negara tuan rumah di kawasan ini. Dan kita dukung perjanjian baru-baru ini dari negara-negara G20 yang akan berusaha menampung pengungsi sedekat mungkin dengan negara asal mereka. Ini adalah pendekatan yang aman, bertanggung jawab dan manusiawi.
Uni Eropa mengambil langkah raksasa pertama menuju kebijakan zona budaya (culture-zone policy) pada tahun 2016 dengan "Fasilitas Uni Eropa untuk Pengungsi di Turki". Berdasarkan kebijakan ini, Uni Eropa memberikan €6 miliar (hampir setara dengan Rp 99 Trilun) kepada Turki untuk "bantuan kemanusiaan, pendidikan, manajemen migrasi, kesehatan, infrastruktur kota dan dukungan sosial-ekonomi." Tujuan sebenarnya dari bantuan ini adalah untuk mempertahankan para migran Suriah tetap bertahan di Turki dan tidak membuat mereka pindah ke Eropa. Secara paralel, Pemerintah Emirat mendanai sebuah kamp di Pakistan untuk sepuluh ribu pengungsi.
Berbagai lokasi proyek yang didanai Uni Eropa di Turki untuk mendorong para migran untuk tetap bertahan menetap di Turki. |
Krisis Afghanistan
Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban di Afghanitan, 15 Agusts 2021 lalu, mendorong banyak politisi Eropa, khususnya Jerman, menyerukan supaya para migran Afghanistan tetap berdiam di kawasan mereka. Jerman tampaknya hendak mengenang tahun 2015 – 2016 dengan mengangkat bahu, seperti terlihat dari berbagai kutipan yang dikumpulkan oleh Frederik Schindler dalam Harian Die Welt:
- Chancellor Angela Merkel: Jerman seharusnya melakukan apa saja untuk membantu negara-negara Afghanistan "mendukung para pengungsi."
- Sekretaris Umum Partai CDU Paul Ziemiak: "Kita tak akan mampu selesaikan persoalan Afghanistan melalui migrasi ke Jerman."
- Thorsten Frei (Partai CDU), wakil ketua ketua kelompok parlementer Uni (baca: partai CDU): "Jerman dan komunitas internasional harus melakukan apapun yang mungkin bisa dilakukan untuk mendukung negara-negara tetangga supaya mau menerima mereka dan untuk memastikan bahwa para pengungsi diberikan untuk berdiam di kawasan." Pada 2015, terlampau sedikitnya kamp pengungsi di negara-negara tetangga Suriah memaksa orang untuk pergi ke Eropa dan "perkembangan yang sama tidak boleh terulang lagi."
- Calon kanselir dari Partai Uni (baca: CDU) Armin Laschet: "Kali ini kita harus memberikan bantuan kemanusiaan di kawasan itu, di negara-negara asal para pengungsi, pada waktunya .... Fokusnya haruslah untuk memberikan bantuan kemanusiaan di tempat."
- Calon kanselir Olaf Scholz dari Partai SPD: Tujuannya pertama-tama untuk mendukung negara-negara Afghanistan dan tidak mengulangi kesalahan karena mengabaikan negara-negara ini.
- Sebuah "position paper" Partai FDP : Dalam perundingan dengan Tajikistan, Uzbekistan dan Turkmenistan, Uni Erpa harus menetapkan koridor yang aman bagi para pengungsi Afghanistan. Ditambah lagi, Berlin harus melibatkan diri dalam dikusi yang mendalam (in-depth discussions) dengan Ankara soal menerima para pengungsi lain.
Di Belanda, Geert Wilders menyerukan agar warga Afghanistan tetap bertahan "di kawasan itu. Mengapa negara-negara Muslim lainnya tidak menyediakan tempat berlindung yang aman?" Sebuah dokumen resmi Pemerintah Belanda lantas bertanya, "Mengapa para pencari suaka tidak ditahan di wilayah tersebut?" lalu menjawab "Itulah yang diinginkan oleh Pemerintah Belanda dan Uni Eropa (UE). Tetapi perlu waktu untuk mengaturnya... Memperkuat fasilitas penerimaan migran di kawasan harus dipadukan dengan kemungkinan untuk memukimkan kembali pengungsi itu ke Eropa."
Pemerintah Austria menyerukan rencana Uni Eropa untuk mendeportasi imigran ilegal ke "pusat-pusat deportasi masa depan di wilayah sekitar Afghanistan." Menteri Dalam Negeri Austria Karl Nehammer menambahkan bahwa "Mereka yang membutuhkan perlindungan harus menerimanya sedekat mungkin dengan negara asal mereka." Santiago Abascal dari Partai Vox di Spanyol menyatakan bahwa "Orang Afghanistan yang melarikan diri dari teror Taliban harus diterima baik di negara-negara Muslim tetangganya." Menteri urusan migrasi Yunani, Notis Mitarachi menyatakan bahwa dia menganggap Turki adalah tempat yang aman bagi warga Afghanistan untuk menetap. Presiden Emmanuel Macron dari Prancis bersikeras bahwa "Eropa sendiri tidak dapat menanggung konsekuensi" dari berbagai perkembangan di Afghanistan.
Santiago Abascal, Ketua Partai Vox di Spanyol: "Orang Afghanistan yang melarikan dari dari terror Taliban harus ditetima di negara-negara tetangga Muslim." |
Enam pemerintahan negara-negara Uni Eropa bersama-sama menyerukan peningkatan kerja sama dengan Pakistan dan Iran agar warga Afghanistan tetap berada di negara-negara tersebut. Lebih luas lagi, para menteri dalam negeri negara-negara Uni Eropa menugaskan Komisi Uni Eropa untuk menyusun rencana di mana negara-negara tetangga dan negara tempat para pengungsi transit menerima dana Uni Eropa dengan syarat bahwa mereka setuju tidak sekedar menerima pengungsi Afghanistan tetapi juga menggunakan, gaya Turki melembagakan langkah-langkah untuk mencegah mereka meninggalkan wilayah tersebut. Menurut Christoph B. Schiltz dalam tulisannya dalam Harian Die Welt, tetangga itu termasuk Uzbekistan dan Pakistan.
Masalahnya, tidak satu pun dari enam tetangga Afghanistan yang menunjukkan kesediaannya untuk menerima pengungsi Afghanistan. Sebuah artikel di surat kabar Belanda Trouw menulis:
Pakistan menjaga perbatasannya dengan Afghanistan sebagian besar tertutup, dan sejumlah kecil pengungsi Afghanistan yang diterima oleh Pakistan diterima oleh kerabat mereka. Pakistan belum memberikan status pengungsi Afghanistan apapun sejak krisis terakhir dimulai. Menteri Luar Negeri Pakistan Shah Mahmood Qureshi [mengatakan] bahwa negaranya tidak melihat kemungkinan untuk menerima pengungsi.
Tetangga utara Afghanistan bahkan lebih ketat: mereka tidak menginginkan orang Afghanistan sama sekali. Meskipun Uzbekistan telah menerima sekitar 400 warga Afghanistan dalam beberapa pekan terakhir, negara itu kini pertama-tama mencari cara untuk mengirim mereka pergi. Minggu lalu 150 pengungsi dikembalikan ke Afghanistan setelah negosiasi dengan Taliban. Oleh karena itu, menerima lebih banyak pengungsi tampaknya tidak mungkin.
Tajikistan juga tidak ingin mendengar apa pun tentang menerima lebih banyak pengungsi. Pada hari Selasa, negara itu menandatangani kesepakatan dengan Amerika untuk lebih lagi meningkatkan keamanan perbatasan. Turkmenistan tetangganya juga menolak pengungsi, dengan alasan kesehatan: negara itu tidak ingin membawa masuk kasus korona baru. Negara lain yang bisa didatangi orang Afghanistan adalah Iran. Tetapi negara itu juga tidak mau mengakomodasi masuknya pengungsi baru.
Kesimpulan
Barat tetap saja tujuan pilihan bagi banyak pengungsi dunia serta populasi migran ekonomi. Namun, asumsi dangkal yang mengesampingkan berbagai persoalan itu (facile) itu perlu dipertanyakan.
Dari sudut pandang para migran, situasi (circumstances) linguistik, iklim, ekonomi, sosial, dan agama yang lebih akrab bagi mereka akan memungkinkan mereka untuk berkembang maju. Dorongan yang tidak dipikirkan untuk mencapai negara-negara mayoritas Kristen yang paling maju sangat tidak masuk akal bagi para migran Muslim, yang seharusnya pergi ke negara-negara yang secara geografis lebih dekat dan lebih mirip secara budaya, di mana mereka dapat lebih baik mencari pekerjaan dan memulai kehidupan baru.
Dari sudut pandang negara tuan rumah, antrian imigran yang kesulitan tampaknya tidak ada habis-habisnya: warga Suriah sebelumnya; Afghanistan sekarang ini; Iran, Yaman, Tunisia besok; dan orang-orang Sub-Sahara Afrika Sahara sehari setelahnya. Secara keseluruhan, jumlah yang ingin beremigrasi ke Barat berpotensi melampaui 1.150 juta penduduk Barat. Jika peradaban Barat ingin bertahan, para migran perta-tama harus tetap berada di zona budaya mereka.
Mengarahkan para migran yang tertekan ke zona budaya mereka sendiri dengan demikian, perlu segera dimulai demi kebaikan semua pihak.***
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah).
Related Topics: Immigration, Muslims in the West
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.