Perang Israel melawan Hamas memunculkan kesulitan lama: Apa yang akan dilakukan dengan Palestina? Negara-negara Barat, termasuk Israel, perlu menetapkan tujuan suapa bisa menjabarkan kebijakan mereka terhadap Tepi Barat dan Gaza.
Mari kita bahas, apa yang kita tahu bisa berjalan baik dan yang tidak berjalan baik:
- Kendali Israel. Tidak ada pihak yang mendambakan untuk melanjutkan situasi yang berawal pada 1967 ketika Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengambil kendali atas sebuah populasi yang secara relijius, budaya, ekonomi dan politik itu berbeda dan memusuhi Israel.
- Sebuah negara Palestina. Perjanjian Oslo 1992 sudah mengawali proses ini. Tetapi sebuah anarki kekuasaan, ekstremisme ideologis, antisemitisme, jihadisme dan panglima perang menyebabkan Palestina benar-benar gagal.
- Sebuah negara dengan dua bangsa: Melihat sikap antipati bersama kedua populasi, maka prospek perpaduan antara Israel – Palestina (apa yang disebut oleh Muammar al-Kadafi sebutkan sebagai "Israstine"), sama tidak jelasnya seperti terlihat.
Meninggalkan tiga kemungkinan ini membuat kita hanya punya satu pendekatan praktis, yang dapat berfungsi sangat baik pada periode 1948 – 1967:
- Pemerintahan bersama Yordania dan Mesir: Amman menguasai Tepi Barat dan Kairo menangani Gaza.
Yang pasti, pendekatan yang kembali ke masa depan ini tidak banyak memberikan antusiasme. Tidak hanya soal bahwa Pemerintahan Yordania-Mesir itu tidak dapat dibedakan, tetapi menghidupkan kembali pengaturan ini justru menghambat dorongan-dorongan Palestina. Entah itu kaum nasionalisnya maupun kaum Islamisnya. Lebih lanjut, Kairo pun tidak pernah menginginkan Gaza dan mati-matian menolak kembalinya Gaza. Oleh karena itu, seorang analist politik akademis menolak gagasan ini. Dia menganggap gagagasan itu "fantasi yang sulit dipahami yang hanya dapat mengaburkan pilihan nyata dan sulit."
Bukan itu. Kegagalan Yasir Arafat dan Mahmoud Abbas, Otoritas Palestina dan "proses perdamaian", telah mendorong Amman dan Yerusalem untuk berpikir ulang. Memang, Ilene R. Prusher dari Harian Christian Science Monitor pada 2007 lalu sudah menemukan bahwa gagasan konfederasi Tepi Barat-Yordania "tampaknya punya daya tarik di kedua sisi Sungai Yordan."
Pemerintah Yordania memang sangat antusias mencaplok Tepi Barat pada 1950. Dia baru melepaskan klaimnya atas Tepi Barat hanya setelah ditekan pada 1988. Kini ia pun menunjukkan tanda-tanda ingin kembali ke sana. Dan Diker dan Pinchas Inbari pernah mendokumentasikan kenyataan itu untuk Jurnal Middle East Quarterly pada 2006 seputar bagaimana "gagalnya PA memantapkan kendalinya menjadi entitas yang layak secara politik menyebabkan Amman mempertimbangkan kembali apakah strategi lepas tangan terhadap Tepi Barat itu merupakan kepentingan terbaiknya." Pejabat Israel juga memperlihatkan pihaknya terbuka terhadap ide ini sehingga kadang menyerukan supaya pasukan Yordania memasuki Tepi Barat.
Karena putus asa terhadap pemerintahan sendiri, beberapa orang Palestina menyambut baik opsi Yordania. Seorang pejabat senior PA yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan kepada Diker dan Inbari bahwa bentuk federasi atau konfederasi dengan Yordania menawarkan "satu-satunya solusi jangka panjang yang masuk akal dan stabil atas konflik Palestina-Israel." Hanna Seniora pun berpendapat bahwa "Prospek untuk solusi dua negara yang melemah akhir-akhir ini memaksa kami untuk meninjau kembali kemungkinan konfederasi dengan Yordania." Hassan M. Fattah dari Harian The New York Times mengutip pernyataan seorang warga Palestina di Yordania: "Bagi kami, semuanya telah hancur -¬ kami telah berjuang selama 60 tahun dan tidak ada yang tersisa. Akan lebih baik jika Yordania mengurus masalah di Palestina, jika Raja Abdullah bisa menguasai Tepi Barat."
Ini juga bukan sekedar omong kosong: Diker dan Inbari melaporkan bahwa negosiasi di belakangan layar antara PA-Yordania pada 2003-04 "menghasilkan kesepakatan prinsip untuk mengirimkan 30.000 anggota Pasukan Badar," ke Tepi Barat.
Dan ketika Presiden Mesir Hosni Mubarak mengumumkan setahun yang lalu bahwa "Gaza bukanlah bagian dari Mesir, juga tidak akan pernah," maka itu bukanlah kata akhir. Pertama, berbeda dari Mubarak, masyarakat Mesir sangat menginginkan adanya ikatan yang kuat dengan Gaza. Hamas pun setuju. Para pemimpin Israel kadang kala setuju. Jadi ada dasar untuk melakukan perombakan kebijakan.
Kedua, Gaza bisa dibilang lebih merupakan bagian dari Mesir daripada "Palestina." Selama sebagian besar periode Islam, ia dikuasai oleh Kairo atau sebagian dari Mesir secara administratif. Bahasa Arab sehari-hari Gaza itu sama dengan yang digunakan oleh orang Mesir yang tinggal di Sinai. Secara ekonomi, Gaza paling banyak punya jaringan dengan Mesir. Hamas sendiri berasal dari Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi Mesir. Apakah sudah waktunya untuk menganggap warga Gaza sebagai orang Mesir?
Ketiga, Yerusalem bisa lebih unggul dari Mubarak (baca: Presiden Mesir). Jika Yerusalem mengumumkan tanggal untuk menghentikan pasokan air, listrik, makanan, obat-obatan, dan perdagangan lainnya, ditambah lagi dengan menerima peningkatan keamanan Mesir di Gaza, maka Kairo harus bertanggung jawab atas Gaza. Di antara keuntungan lainnya, hal ini membuatnya bertanggung jawab atas keamanan Gaza sehingga akhirnya menghentikan ribuan serangan roket dan mortir Hamas.
Opsi Jordan-Mesir memang tidak mempercepat gerak denyut nadi persoalan. Tetapi justru mungkin itulah nilainya. Ia menawarkan cara unik yang sadar untuk memecahkan "masalah Palestina."
Pemutakhiran 7 Januari 2009: The National Post secara cerdas membubuhkan rencana saya (dalam judulnya untuk artikel ini) opsi "kembali kepada masa depan" ("back-to-the-future option,"). Tetapi sangat menyukai nama yang diberikan untuk itu oleh blogger Mary P. Madigan: "Solusi Tidak Ada Dua Negara" ("the no-state solution." ). Sempurna.
Untuk diskusi yang luas seputar topic ini, lihat weblog saya yang dimulai pada 2005 bertajuk, "The West Bank to Jordan, Gaza to Egypt."
Saya juga bukan orang yang baru menentang ide Negara Palestina. Perhatikan judul artikel yang saya terbitkan dalam Harian New York Times pada 25 April 1988. Judulnya, "Imagine a Palestinian State: A Nightmare for the Arabs and for Israel." Berikut ini, rangkuman singkat dari artikel tersebut;
tidak seorang pun seharusnya mengharapkan adanya Negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza untuk mengakhiri konlflik Arab – Israel. Ia hanya menggerakkannya menuju tahap baru... Adanya Negara Palestina berarti ada bencana-bencana baru bagi bangsa Palestina sekaligus instabilitas bagi negara-negara Arab.
Pemutakhiran 8 Januari 2009: Beberapa pembaca menginterpretasi tulisan ini sebagai dukungan terhadap ide "Yordania itu Palestina" --- ide bahwa masyarakat Palestina bisa menganggap Yordania sebagai negara mereka. Ada tanggapan terkait soal itu:
- Saya kembali beberkan panjang lebar menentang ide Yordania itu Palestina (Jordan-is-Palestine) ketika persoalan itu merupakan isu yang hidup. Lihat artikel saya seputar isu tersebut mulai 1988I pada "Is Jordan Palestine?." JUga saya ulas dalam sebuah artikel yang lebih pendek dari dua tahun kemudian pada "President Arafat? [and the Jordan-Is-Palestine Issue]." Pandangan saya tidak berubah pada masa-masa antara dua masa itu (interim). Saya tetap menentang dimulainya gerakan itu karena semua alasan yang saya ungkapkan di sini.
- Ide saya dalam tulisan di atas adalah bahwa Yordania -– Dinasti Hashemit khususnya ---memerintah Palestina. Bukan sebaliknya. Dan hal yang sama jelas berlaku juga untuk Mesir. Katakan, jika kau mau, Palestina adalah Yordania.
Pembaca lain pernah menanyakan apakah dampak dari skenario Yordania – Mesir yang akan dialami oleh warga Israel yang berdiam di Tepi Barat, khususnya, apakah itu berarti mereka dievakuasi paksa sebagaimana terjadi pada mitra mereka di Gaza? Tidak! Dan sekali lagi, ada dua pemikiran:
- Perbatasan antara Israel dan Tepi Barat itu, jauh lebih cair dibandingkan dengan perbatasan antara Israel dan Gaza. Saya andaikan, mereka tidak akan kembali kepada perbatasan wilayah yang ada pada 1967.
- Ide saya berkaitan dengan Pemerintah Israel yang memerintah populasi Palestina. Ia tidak mengatakan apa-apa soal penguasaan kawasan.
Pemutakhiran 26 Januari 2009: Saya memperhatikan "semakin meningkatnya perdebatan seputar solusi dua negara yang tidak menyebutkan Yordania – Mesir sebagai pilihan dalam weblog saya bertajuk, "Give Up on the Two-State Solution?"
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Mesir, Yordania, Palestina
Related Articles:
- Gaza to Egypt – Voices of Support
- How to Turn Gaza Over to Egypt
- Jordan to the West Bank, Egypt to Gaza: The Three-State Solution
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.