Ilustrasi non-Islamisme Harian Washington Times oleh Linas Garsys. |
Gerakan kaum Islam radikal yang berusaha menerapkan hukum Islam abad pertengahan dan membangun kekhalifahan di seluruh dunia telah berkembang besar-besaran dalam setengah abad terakhir. Tetapi gerakan itu kini menghadapi gerakan kontra yang signifikan berkembang, terutama di negara-negara mayoritas Muslim. Semakin banyak Muslim yang terdorong oleh guncangan seperti jatuhnya Kabul pun takut sehingga menolak versi Islam radikal ini. Kesadaran terhadap gelombang anti-kaum Islam radikal itu sebagian besar terbatas pada mereka yang terlibat langsung, tetapi bagaimanapun, dia layak untuk diketahui lebih baik.
Anti-Islamisme terdiri dari empat tren yang saling melengkapi. Mulai dari yang paling tenang hingga yang paling radikal. Mereka adalah kaum Islam moderat, kaum yang tidak relijius, kaum
murtad dan kaum pindah agama. Semuanya hadir di panggung internasional. Tetapi, untuk tujuan ilustrasi, saya memusatkan perhatian dalam setiap kasus pada negara Timur Tengah yang penting. Yaitu, kaum Islam moderat di Mesir, kaum tidak relijius (irreligiosity) di Turki, kaum ateis di Arab Saudi dan kaum yang berpindah agama di Iran.
Moderasi: Negara polisi yang berlangsung selama 30 tahun di bawah kekuasaan Husni Mubarak begitu konsisten mengakomodasi kaum Islam radikal sehingga rakyat Mesir pun tidak berani menentang mereka. Kejatuhannya dari kekuasaan pada 2011 akhirnya memungkinkan mereka mengungkapkan pandangan mereka secara terbuka. Sikap itu lebih jauh digalakkan oleh pemerintahan tokoh Islam radikal Mohamed Morsi selama satu tahun. Hasilnya adalah adanya kaum anti-Islam radikal yang hiperbolis, seperti yang terlihat dari serangan jalanan terhadap orang-orang yang berpenampilan seperti anggota Ikhwanul Muslimin, yang diperolihatkan oleh para wanita yang melepaskan jilbab, dan popularitas yang luar biasa dari tokoh-tokoh anti-kaum Islam radikal yang pedas seperti Islam al-Behairy, Ibrahim Issa, Mukhtar Jom' ah, Khaled Montaser dan Abdallah Naser. Bahkan Presiden Abdel Fattah al-Sisi, seorang mantan simpatisan Islam radikal mengakomodasi sentimen moderat ini.
Intelektual Mesir Ibrahim Issa. |
Kaum yang tidak relijius (Irreligiosity): Presiden Turki penganut Islam radikal Recep Tayyip Erdoğan, telah mendominasi politik negara itu sejak 2002 dengan tujuan hendak melahirkan sebuah "generasi yang saleh." Tetapi kaum muda Turki kini justru tengah menjalankan cara-cara yang tak Islami. Penelitian survei oleh Volkan Ertit menemukan bahwa hal-hal yang suci tengah semakin kurang pengaruhnya terhadap persoalan seperti kepercayaan terhadap adanya mahluk supernatural, berpakaian yang memperlihatkan bentuk tubuh, cumbu rayu sebelum menikah, seks di luar nikah dan homoseksualitas. Sebuah laporan pemerintah mendokumentasikan adanya seruan deisme yang berkembang di kalangan mahasiswa kampus keagamaan. Sebuah survei oleh WIN/Gallup pada 2012 memperlihatkan bahwa "orang yang tidak relijius" membentuk 73 persen populasi Turki (angka tertinggi dari 57 negara yang disurvei).
Murtad: Di Arab Saudi, penolakan keras terhadap Islam "menyebar seperti api" kata seorang pengungsi Arab Saudi. Survei WIN/Gallup menemukan bahwa "kaum ateis yang yakin" membentuk 5 persen dari populasi di Arab Saudi. Jadi, sama seperti di Amerika Serikat. Monarki meresponsnya dengan dua cara. Pertama, Putra Mahkota Mohammad bin Salman menyetujui sebagian sentimen tersebut dengan membuka banyak cara modern memasuki negara itu. Kedua, ia mengesahkan regulasi anti-teroris yang menghukum "seruan atas pemikiran ateis dalam bentuk apa pun, atau mempertanyakan dasar-dasar agama Islam yang menjadi dasar negara ini." Ya, monarki memerangi ateisme dengan peraturan anti-teroris.
Konversi: Shay Khatiri, seorang analis, menulis tentang Iran bahwa "Islam adalah agama yang paling cepat menyusut..., sedangkan Kristen tumbuh paling cepat." Christian Broadcast Network melangkah lebih jauh; ia menyatakan bahwa "Agama Kristen tumbuh lebih cepat di Republik Islam Iran daripada di negara lain mana pun di dunia." David Yeghnazar dari Elam Ministries menemukan bahwa "Masyarakat Iran menjadi orang yang paling terbuka terhadap Injil." Menurut seorang mantan Muslim, yang kini menjadi seorang pastor Evangelis, "Kami menemukan diri kami menghadapi apa yang lebih daripada persoalan perpindahan agama kepada iman Kristen," katanya. "Ini eksodus massal dari Islam." Lela Gilbert dan Arielle Del Turco melaporkan bahwa para mullah menganggap Kekristenan sebagai "ancaman eksistensial" terhadap kekuasaan mereka. Reza Safa memprediksi Iran akan menjadi negara mayoritas Muslim pertama yang beralih masuk Kristen. Mengonfirmasi kecenderungan sosial ini, Menteri Intelijen Iran, Mahmoud Alavi, secara terbuka mengungkapkan kekhawatirannya seputar kaum Muslim yang masuk Kristen.
Menteri Intelijen Iran Mahmoud Alavi. |
Ada beberapa pengamatan seputar gelombang anti-kaum Islam radikal ini:
Kenyataan ini muncul terbatas di negara-negara mayoritas Muslim; di antara minoritas Muslim, khususnya di Barat, Islamisme terus saja bertumbuh.
Sebaliknya, teori-teori konspirasi, muncul nyaris sepenuhnya dari perkembangan internal di kalangan Muslim. Memang, dia berkembang juga di kalangan non-Muslim, terapi peran pendukungnya terbatas. Sebagai mana biasa, kaum Muslim menentukan nasib mereka sendiri.
Teori konspirasi sebaliknya, hampir seluruhnya lahir dari perkembangan internal di kalangan umat Islam. Terjadi juga di kalangan non-Muslim, tetapi peran pendukungnya terbatas. Seperti biasa, umat Islam menentukan nasib mereka sendiri.
Kaum anti-Islam radikal hampir secara diametral menentang kaum Islam radikal dalam masalah iman, keluarga, hubungan sosial, politik, dan seterusnya. Di antara implikasi lainnya, para pemikir bebas (free-thinkers) dan eks-Muslim cenderung sangat pro-Barat, pro-Amerika, dan pro-Israel.
Berbagai tren berkaitan dengan Islam secara historis dimulai di Timur Tengah kemudian bermigrasi ke luar. Karena itu diharapkan, bisa disaksikan gelombang anti-kaum radikal Islam muncul di Nigeria, Bangladesh dan Indonesia.
Demikianlah, Islamisme secara tidak sengaja mendorong umat Islam untuk menjauh dari Islam sehingga berpotensi menggoyahkan dasar-dasar imannya. Seorang penyiar Kristen bahkan menyatakan bahwa "pegangan Islam bagi orang-orang Muslim telah runtuh." Utopianisme radikal telah mendorong komunitas agama terbesar kedua di dunia itu ke dalam krisis tersembunyi tetapi parah dengan hasil yang tidak stabil.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah). © 2021 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Topik Terkait: Beralih agama masuk dan berasal dari Islam, Islam Radikal |
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.