Untuk mengetahui catatan kaki artikel ini, lihat versi tulisan yang diterbitkan dalam Middle East Quarterly pada http://www.meforum.org/480/lessons-from-the-prophet-muhammads-diplomacy.
Tanggal 10 Mei 1994, Yaser Arafat menyampaikan apa yang dipikirkannya sebagai pembicaraan off-the-record di sebuah masjid saat dia mengunjungi Johannesburg, Afrika Selatan. Tetapi seorang wartawan Afrika Selatan, Bruce Whitfield dari Stasiun Radio 702 Talk Radio, menemukan cara untuk diam-diam merekam pernyataan-pernyataannya (dalam Bahasa Inggris). Momen tersebut menjadi salah satu masa penuh optimisme bagi proses perdamaian Arab-Israel. Soalnya, Arafat baru saja enam hari sebelumnya kembali dengan penuh kemenangan ke Gaza. Secara luas dianggap bahwa konflik itu mereda. Dalam konteks ini, pembicaraan Arafat yang penuh dengan semangat berperang di Johannesburg tentang "jihad untuk membebaskan Yerusalem," berdampak besar bagi warga Israel karena ia mengawali sebuah proses penuh kekecewaan yang hampir tak mereda pada tahun-tahun berikutnya.
Yang tidak kurang merusaknya dari komentarnya tentang Yerusalem adalah sindiran tersamar Arafat tentang kesepakatannya dengan Israel. Dia bersikeras mempertahankan tindakan yang diambilnya ketika muncul berbagai kritik dari bangsa-bangsa Arab dan kaum Muslim karena dia memberikan konsesi kepada Israel. Caranya, dengan membandingkan tindakannya dengan tindakan Nabi Muhamad, S.A.W. dalam situasi yang sama:
Saya lihat perjanjian ini tidak lebih dari perjanjian yang ditandatangani antara Nabi kita Muhamad, S.A.W. dengan kaum Quraisy di Mekah.
Arafat lebih lanjut membandingkannya. Ia mencatat bahwa meskipun Nabi Muhamad, S.A.W. dikritik atas diplomasi ini oleh salah satu sahabatnya yang terkemuka (dan khalifah masa depan), 'Umar Ibnu al-Khattab, nabi benar-benar bersikeras pada kesepakatan, karena hal itu membantunya mengalahkan kaum Quraisy kemudian mengambil alih kota mereka, Mekkah. Dalam semangat yang sama,
Kami sekarang menerima perjanjian damai, tetapi [hanya supaya] bisa melanjutkan perjalanan ke Yerusalem.
Dalam kurun waktu lima tahun sejak dia pertama kali menyinggung Nabi Muhamad, S.A.W. dan Suku Quraisy, Arafat sering menyebut ini sebagai model diplomasinya sendiri.
Persinggungan pernyataan ini dengan peristiwa-peristiwa dalam sejarah Islam awal ini sama sekali tidak jelas bagi orang-orang yang tidak percaya (baca: di luar Islam). Namun banyak kaum Muslim yang akrab dengan persoalan kesepakatan nabi dengan kaum Quraisy. Dengan membicarakan perjanjian itu di Johannesburg dan berulang kali mengatakannya sejak itu, ia mengizinkan Arafat mengirimkan pesan yang hampir rahasia tentang niatnya terhadap Israel. Pesan ini dapat dipahami oleh umat Islam tetapi tidak bagi seluruh dunia. Apakah niat yang Arafat sampaikan dengan referensinya pada biografi nabi? Sebuah jawaban membutuhkan diskusi mendetil seputar sejarah atas kejadian yang sebenarnya dari hampir empat belas abad yang lalu.
Ada alasan kedua untuk meninjau referensi Arafat dengan hati-hati. Soalnya, ia dapat memicu perdebatan yang meresahkan di Amerika Serikat. Diskusi dapat memicu beberapa komentar yang mengancam. Pada gilirannya persoalan itu malah memunculkan masalah kebebasan berbicara ketika topiknya menyangkut hal-hal yang peka dalam Islam.
Penulisan sejarah
Kehidupan Nabi Muhammad tentu bukan sebuah topik penelitian konvensional, sehingga memerlukan beberapa kata pengantar.
Ernest Renan (1823-92). |
Seabad lalu, kritikus Prancis Ernest Renan secara mengagumkan mengatakan bahwa Nabi Muhamad, S.A.W. adalah satu-satunya pemimpin agama yang hidup "dalam terang sejarah." Maksudnya bahwa sumber-sumber sastra Arab, teks-teks agama, biografi, kronik dan banyak lagi – penuh dengan informasi tentang kehidupan nabi. Di luar rincian kisahnya yang mengesankan, mereka juga memberikan banyak bukti yang dapat ditafsirkan sebagai merugikan reputasi nabi - yang tentu saja hanya menambah kredibilitas mereka.
Tetapi sumber-sumber yang tampak begitu solid pada masa Renan segera mendapat kritik yang terus-menerus dari para sarjana yang meragukan keakuratannya. Berawal dengan diterbitkannya Studi Nabi Muhamad pada tahun 1889-90 oleh orientalis besar Hungaria Ignaz Goldziher, para orientalis seperti cendekiawan hukum Joseph Schacht dan sejarawan agama John Wansborough kemudian mengembangkan teori yang rumit tentang asal-usul Islam.
Secara singkat, mereka mencatat bahwa biografi konvensional Nabi Muhamad, S.A.W. hanya dicatat dalam sumber-sumber sastra beberapa dekade atau bahkan berabad-abad setelah peristiwa yang mereka gambarkan. Para cendekiawan itu berteori bahwa informasi tentang Nabi Muhamad, S.A.W. tidak (seperti yang diyakini oleh kaum Muslim) diturunkan dari satu generasi kepada generasi lain melalui tradisi lisan. Sebaliknya kisah itu dimunculkan dalam waktu yang jauh lebih kemudian sebagai amunisi terhadap argumen yang panas tentang agama Islam. Untuk menekankan pemikirannya, Goldziher dan para lain berpendapat bahwa orang-orang yang berpolemik yang belakangan muncul mengaitkan pandangan mereka sendiri dengan kehidupan Nabi Muhamad, S.A.W.
Para cendekiawan yang menerima pendekatan ini sedikit banyak mengabaikan catatan kaum Muslim yang standar tentang Islam masa awal dan kehidupan nabi. Dalam versi baru mereka, peristiwa-peristiwa seputar Kota Mekkah, Nabi Muhamad, S.A.W. dan Al-Qur'an semuanya cukup berubah. Dalam upaya yang mungkin paling radikal dari persoalan ini, Buku Hagarism, sebuah studi tahun 1977 oleh Patricia Crone dan Michael Cook, para penulisnya sepenuhnya mengecualikan sumber-sumber sastra Arab. Mereka merekonstruksi sejarah awal Islam hanya dari informasi yang ditemukan dalam papirus Arab, koin dan prasasti serta sumber sastra non-Arab dalam beragam bahasa (Aram, Armenia, Koptik, Yunani, Ibrani, Latin, dan Suryani). Pendekatan ini membawa Crone dan Cook ke arah baru yang sulit dikendalikan (wild). Dalam catatan mereka, peran Kota Mekkah digantikan oleh sebuah kota di Arabia barat laut dan Nabi Muhamad, S.A.W. diangkat "kepada peran nabi kitab suci" hanya sekitar tahun 700 M. Atau tujuh puluh tahun setelah kematiannya. Adapun Al-Qur'an disusun di Irak pada masa belakangan yang sama.
Ide-ide ini tentu saja sangat berimplikasi terhadap agama Islam. Banyak ide itu menguntungkan. Meskipun demikian, kaum Muslim soleha banyak yang sungguh-sungguh tidak memperhatikan alur penelitian ini. Dengan demikian, muncullah dualitas pemikiran yang aneh yang akhirnya tak berlanjut. Dan sekarang, para sarjana bagai rayap berusaha menyingkirkan struktur tradisional yang megah. Orang-orang saleh itu bertindak seolah-olah struktur pemikiran tradisional Islam (beams and joints) itu sama kuat dengan sebelumnya.
Beralih kepada Perjanjian Hudaybiya dan penaklukan Kota Mekkah; setiap detil terakhir tentang bahasan ini berasal dari sumber-sumber sastra Arab. Untuk tujuan diskusi ini, yang berkaitan dengan pernyataan Yaser Arafat dan interpretasi para pendengarnya tentang hal itu, maka terlihat bahwa masalahnya bukanlah apa yang terjadi pada abad ketujuh tetapi pada apa yang diceritakan oleh sumber-sumber tertulis Arab tentang peristiwa-peristiwa itu dan bagaimana umat Islam masa kini memahaminya. Dengan kata lain, kita hanya perlu melihat sumber sastra - yang sangat menyederhanakan masalah, karena semua analis menggunakan teks yang persis sama.
Cara ini sudah mapan lalu apa yang dikatakan sumber-sumber sastra Arab?
Peristiwa
Berbagai sumber sejarah mengisahkan berbagai ketegangan yang terjadi antara Nabi Muhamad, S.A.W. dengan para bangsawan Suku Quraish yang menguasai Mekkah, kotanya sendiri. Para pemimpin Quraish melihat nabi yang baru muncul itu sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan mereka. Soalnya, pesannya yang monoteistik meremehkan status Mekkah sebagai tujuan ziarah para pengikut agama-agama politeistik Arab. Ketegangan antara Suku Quraish dan komunitas Muslim yang baru lahir akhirnya memaksa Nabi Muhamad, S.A.W. untuk tinggalkan kota itu pada 622, saat dia mendapat tempat perlindungan di Medinah, sebuah kota di utara Mekkah. Setelah 628, Nabi Muhamad, S.A.W. berhasil membangun kekuatan yang cukup di Medinah. Pada saat itulah, dia berniat menantang Suku Quraish mungkin untuk mengalahkan dan merebut kota mereka. Karena itu, dia membuat kesepakatan dengan mereka. Namanya, Perjanjian Hudaybiya, yang diberi nama sesuai dengan nama kota tempat perjanjian itu ditandatangani. Kaum Muslim yang suka berperang merasa kecewa dengan hasil perjanjian itu. Namun, perjanjian itu sama-sama mengikat kedua belah pihak.
sepakat untuk menghapuskan perang dari masyarakat selama sepuluh tahun. Selama masa itu, masyarakat menjadi aman. Tidak ada orang yang memerangi pihak lain....Kejahatan tidak ada di antara kita. Dan tidak ada lagi penyergapan atau perusakan tempat atau harta benda orang lain (spoliation),
Selama masa dua tahun setelah penandatanganan perjanjian itu, Nabi Muhamad, S.A.W. berhasil secara signifikan membangun basis pertahanannya. Dia melakukan penaklukan baru dan membentuk aliansi dengan suku-suku yang berkuasa. Khususnya dengan Bani Khuza'a. Akibatnya, setelah tahun 630, dia dapat dikatakan sudah lebih kuat berhadapan dengan Suku Quraish dibanding pada saat perjanjian ditandatangani. Bani Quraish tidak terlampau berhasil membangun aliansi baru, tetapi ia memang bersekutu dengan sebuah suku kuat lainnya, Bani Bakar.
Kini Bani Khuza'a serta Bani Bakar berdiam berdekatan satu lain. Keduanya punya sejarah permusuhan yang panjang. Dan, permusuhan di Arabia, seperti juga di Appalachia, diteruskan dari generasi ke generasi. Pada Desember 629, beberapa orang Bani Bakar, yang mungkin saja dengan bantuan orang Suku Quraish membalas dendam sehingga membunuh beberapa orang dari suku yang kemudian (baca: Bani Khuza'a) dalam sebuah pesta. Mendengar khabar itu, Nabi Muhamad, S.A.W. langsung memilih menanggapinya secara drastis ---untuk menyerang Kota Mekkah. Tampaknya, dia menetapkan sudah tiba waktunya untuk menyerang kekuasaan tertinggi Suku Quraish di kota mereka sendiri.
Menanggapi reaksi itu, Suku Quraish mengirimkan delegasi kepada Nabi Muhamad, S.A.W. Mereka meminta dia untuk menjaga perjanjian serta menawarkan (sebagaimana cara Bangsa Arab) kompensasi material atas kehidupan orang-orang yang dibunuh. Nabi Muhamad, S.A.W. bagaimanapun, tidak berminat untuk berkompromi dengan mereka sehingga menolak semua permintaan Suku Quraish. Karena putus asa, Abu Sufyan, pemimpin delegasi Quraish pergi ke masjid di Medinah lalu memaklumkan, "Oh masyarakat, saya jamin perlindungan bagi semua orang." Mendengar pengumuman ini, Nabi Muhamad dengan dingin menanggapi, "Kau yang katakan ini, oh Abu Sufyan, bukan salah satu dari kami."
"Siyer-i Nebi," sebuah manuskrip abad ke-16 dari Kekaisaran Utsmaniyah memperlihatkan Nabi Muhamad, S.A.W. (dengan wajah tertutup kerudung) pada 630 dilindungi oleh malaekat Gabriel, Michael, Israfil dan Azrail. |
Nabi Muhamad, S.A.W., diam-diam bersiap diri untuk menyerang Suku Quraish. Ini berarti, ketika negosiasi yang menghina itu berakhir, dia sudah siap dengan perintah singkat untuk berangkat perang dengan kekuatan besar melawan Mekkah. Pasukannya begitu besar sehingga masyarakat Mekkah tidak berusaha melawan. Sebaliknya, mereka menyerah di kota mereka, tanpa bertempur pada Januari 630. Dan dengan demikian, berakhirlah insiden Suku Hudaybiya.
Penilaian
Apakah yang dapat orang lakukan terhadap penggalan peristiwa ini? Ada dua poin yang menonjol. Pertama, Nabi Muhamad, S.A.W. yang secara teknis sesuai dengan haknya sendiri, membatalkan perjanjian terhadap Suku Quraish atau sedikitnya sekutu mereka, sudah melanggar syarat perjanjian. Kedua, sangat jelas bahwa tanggapannya itu tidak berimbang dengan pelanggaran. Penyergapan oleh suku sekutu, bahkan mungkin dengan persetujuan Suku Quraish, nyaris tidak menjamin mereka untuk tidak menaklukkan seluruh kawasan musuh.
Perpaduan pemikiran-pemikiran ini mengarah kepada kesimpulan ini; Jika tidak ada dasar untuk menuduh kaum Muslim melanggar janji, maka tidak ada alasan untuk mempertanyakan keabsahan perjanjian jika mereka siap mengeksploitasi insiden kecil guna menghancurkan saingannya. Ini bukan persoalan hukum tetapi persoalan moral dan politik.
Nyaris semua sejarahwan Barat sepakat dengan kesimpulan ini. Di sini, dalam urutan kronologis kasar, terlihat bagaimana beberapa kalangan yang punya otoritas dalam bidang itu menilai aksi Nabi Muhamad, S.A.W. Perhatikan bahwa ketika para penulis yang lebih awal menggunakan bahasa yang lebih keras (dalih, casus belli), maka para pengarang yang kemudian tidak sepakat dengan mereka atas persoalan-persoalan yang mendasar;
William Muir, menulis pada 1861: "pelanggaran yang dituduhkan ...oleh Suku Quraish (Coreish) memberikan dalih yang adil untuk obyek ambisinya yang sangat besar, untuk menaklukkan Kota Mekkah.
Carl Brockelmann, 1939: Muhamad "hanya menantikan dalih sebagai syarat untuk menyelesaikan persoalannya dengan Suku Quraish sekali dan selama-lamanya. Perselisihan antara sebuah Suku Bedui yang sudah masuk Islam dan beberapa orang Suku Quraish yang terlibat, di mana beberapa orang-orang dari Mekkah sendiri diduga terlibat, menjadi alasan untuk mengumumkan bahwa perjanjian sudah dilanggar."
Bernard Lewis, 1950: "pembantaian seorang Muslim oleh satu orang Mekkah, yang tampaknya merupakan perbedaan pendapat pribadi yang murni menjadi casus belli bagi serangan terakhir sekaligus penaklukan terhadap Kota Mekkah."
Montgomery Watt, 1956: "Pada tahun 628, dalam Perjanjian Hudaybiyah, tepatlah bagi Nabi Muhamad, S.A.W. untuk membangun perdamaian sekaligus menghentikan blokade. Soalnya, kala itu, dia bisa mencurahkan lebih banyak energinya untuk bekerja di kalangan suku-suku nomad. Dua puluh satu bulan setelah perjanjian itu, bagaimanapun, kekuatannya bertumbuh sangat cepat. Dan ketika para sekutunya dari Bani Khuza'ah meminta bantuan, dia pun merasakan sudah tiba waktu baginya untuk beraksi."
John Glubb, 1970: "Mungkin saja Nabi sendiri berniat jahat ketika melihat prospek untuk harus menunggu selama sepuluh tahun sebelum dia memasuki Kota Mekkah yang kini tampaknya siap bagaikan plum matang yang bakal jatuh di atas pangkuannya. Dia mungkin saja selanjutnya menerima peluang yang diberikan oleh Beni Kinana untuk melanggar perjanjian."
Marshall Hogdson, 1974: "Nabi Muhamad menafsirkan perang antara beberapa sekutu suku Bedui dari kubu Suku Quraish melawan sekutu kaum Muslim sebagai Suku Quraish melanggar perjanjian.
Frank Peters, 1994: "Pelanggaran mungkin diselesaikan dengan cara-cara lain. Dan Bani Quraish tampaknya bersedia bernegosiasi. Tetapi pada Januari 630 A.D. Nabi Muhamad, S.A.W. menganggap kesempatannya cocok dan waktunya tepat untuk menyelesaikkan persoalan dengan para penganut politeis di Mekkah sekali dan selama-lamanya."
Dan Arafat--- apakah yang mau diungkapkannya soal tindakannya pada masa datang ketika merujuk kepada Perjanjian Hudaybiya? Tampaknya, dia membandingkannya dengan Nabi Muhamad, S.A.W. dengan maksud mau mengajukan beberapa pemikiran kepada khalayak Muslim soal tindakan-tindakannya sendiri;
- Dia membuat konsensi-konsensi yang tidak popular yang akhirnya berhasil baik.
- Dia akan mencapai tujuannya --- meskipun tujuan itu tetap saja ambigu. Bisa saja tujuan itu sekedar Kota Yerusalem (disejajarkan dengan Kota Mekkah) atau seluruh Israel (yang disejajarkan dengan persekutuan kaum Bani Quraish).
- Pada waktu yang tepat, dia berniat hendak mengeksploitasi pelanggaran kecil untuk menyerang musuhnya.
Poin ketiga bersifat operasional. Poin ini memungkinkan Arafat untuk tidak lagi menyiratkan bahwa dia akan melanggar perjanjiannya dengan Israel. Tetapi ketika keadaannya berubah lebih baik, ia pun mengambil keuntungan dari beberapa hal teknis untuk merusak kesepakatan yang ada dan melancarkan serangan militer terhadap Israel.
Perlu dicatat betapa mudahnya Arafat atau para pemimpin Palestina masa depan menemukan cara ini sehinga mau menjalankannya - secara hukum. Arafat telah menandatangani lima perjanjian yang rumit dengan Israel yang mencakup ratusan halaman rinci yang membuat orang tidak mampu berpikir. Perjanjian Oslo II pada 28 September 1995, misalnya, memuat 314 halaman di luar lampiran yang mencakup banyak persoalan-persoalan khusus. Cukup ambil satu klausa saja yang berbunyi: otoritas Israel mewajibkan diri untuk membantu Otoritas Palestina (PA) mengelola sistem statistik dengan mentransfer "prosedur yang sudah diperkirakan, bentuk kuesioner, buku pegangan, pemberian kode manual, prosedur dan hasil dari langkah-langkah pengendalian kualitas beserta analisis survei." Preseden Hudaybiya menyiratkan bahwa Arafat dapat memilih melakukan penyimpangan atau pelanggaran (katakanlah, tidak menerima hasil dari langkah-langkah pengendalian kualitas) kemudian mengubahnya menjadi casus belli untuk melakukan serangan habis-habisan terhadap Negara Yahudi.
Nabi Muhamad sebagai Manusia Sempurna
Referensi Hudaybiya yang dibuat Arafat bergema selama lebih dari lima tahun sehingga memicu perdebatan tentang episode Hudaybiya itu sendiri dan niatnya. Surat kabar dan majalah yang biasanya tidak terlibat dalam opini tentang peristiwa abad ketujuh, apalagi dengan sejarah suci Islam, mendapati diri mereka terdorong untuk memasuki bidang subjek yang sama sekali tidak dikenal (dan benar-benar tidak menyenangkan). Seringkali mereka pun melakukan kesalahan. Terlepas dari persoalan apakah mereka menangani topik ini akurat atau tidak, tanggapan dari lembaga-lembaga Muslim Amerika sangat diperhatikan. Secara umum, mereka menanggapi setiap kritik terhadap tindakan Muhamad dengan kemarahan yang tak terbantahkan dan kadangkala bahkan dengan intimidasi.
Sebelum memasuki kancah Amerika, beberapa latar belakang lagi-lagi diperlukan. Kali ini tentang sikap Muslim terhadap Nabi Muhammad:
Kaum Muslim awal melihat Nabi Muhamad S.A.W. sebagai manusia teladan tetapi tidak berarti manusia sempurna. Memang, mereka tidak berani lakukan itu. Al-Qur'an sendiri menyebut Nabi Muhamad, S.A.W. sebagai "salah" (93:7) sehingga memuat banyak informasi yang mengungkapkan kelemahannya. Yang mungkin paling memberatkan terkait dengan episode ayat-ayat Setan ketika untuk alasan politik yang jelas, Nabi Muhamad, S.A.W. mengakui keabsahan dewa-dewa pagan Kota Mekkah (53:19-21), sehingga untuk sementara membuat Islam menjadi agama politeistik (dan menenangkan para pengkritik Quraisynya). Bukti internal menunjukkan kepada penulis biografi Barat modern terkemuka Nabi Muhamad, S.A.W., Montgomery Watt, bahwa insiden ayat-ayat setan pasti benar: "Tampaknya tidak mungkin ada Muslim yang menciptakan cerita ini."
Kemudian, selama berabad-abad, noda-noda Nabi Muhammad, S.A.W. pun memudar. Itu terjadi karena, seperti dijelaskan oleh Annemarie Schimmel dalam studinya tentang tempat nabi dalam agama Islam, "kepribadian Nabi Muhamad, S.A.W. memang, selain Alquran, menjadi pusat kehidupan umat Islam." Para ahli hukum, mistikus, dan orang-orang saleh mengubah Nabi Muhamad, S..A.W. menjadi teladan kebajikan, mengabaikan kesalahan-kesalahannya yang nyata. Kaum fundamentalis mengambil proses ini selangkah lebih maju. Di mata mereka, Nabi Muhamad, S.A.W. telah memperoleh kesempurnaan seperti Yesus. Terkait dengan episode ayat-ayat Setan, misalnya, seorang intelektual Mesir yang berpengaruh hanya menolak informasi tentang hal itu sebagai "buatan (meski ada di dalam Al-Qur'an sendiri), "memang, ia menyebutnya tidak kurang dari "fabel dan kebohongan yang menjijikkan."
Sikap protektif kaum Muslim terhadap Nabi Muhamad, S.A.W. ini juga menimbulkan kebencian yang mendalam terhadap orang-orang Kristen Barat, yang tidak pernah malu dengan persoalan untuk mengungkapkan pandangan mereka sendiri yang tidak terlampau meninggi-ninggikan nabi Islam itu. Untuk mendapatkan rasa ini mungkin cukup untuk mencatat bahwa salah satu nama abad pertengahan Nabi Muhamad, S.A.W adalah Mahound. Nama itu didefinisikan dalam The Oxford English Dictionary, berarti nabi palsu Muhamad, tuhan palsu, monster, atau iblis. Pada zaman modern pun, ketidaksepakatan tentang masalah Nabi Muhamad, S.A.W. tetap meluas dan intens. Kadang-kadang, ketidaksepakatan bahkan berkonsekuensi politik langsung. Ketika menghadapi umat Kristen yang benci terhadap Nabi Muhamad, S.A.W, para imperialis Eropa semakin berusaha mengajukan persoalan yang tidak dapat diterima oleh kaum Muslim. Schimmel misalnya berpendapat bahwa ini "adalah salah satu atau setidak-tidaknya alasan kaum Muslim India menolak Inggris."
Di kalangan kaum beriman, kesucian nabi itu sedemikian rupa sehingga umat Islam menentang diskusi apa pun kecuali diskusi yang benar-benar suci tentang karakter dan tindakannya. Terlebih lagi diskusi-diskusi yang datang dari kalangan kafir. Seperti dikatakan Shabbir Akhtar dalam judul bukunya yang tepat, Be Careful with Muhammad! "Pengesahan kenabian Muhamad menjadi gambaran penting dari pandangan kaum Muslim. Oleh karena itu, umat Islam bertanggung jawab untuk menjaga kehormatan Nabi mereka." Bahkan tuduhan Nabi Muhamad bersalah sekalipun dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap Islam sehingga di beberapa tempat dapat dihukum secara hukum. Undang-undang Pakistan mengamanatkan hukuman penjara atau hukuman mati karena "sengaja menodai, merusak atau menodai Al-Qur'an dan secara langsung atau tidak langsung dengan kata-kata yang diucapkan atau ditulis atau dengan gambaran yang dapat dilihat atau dengan tuduhan, sindiran atau sinisme yang mencemarkan nama Nabi yang Suci." Hukum ini sering diterapkan. Beberapa orang Kristen sudah dijatuhi hukuman mati berdasarkan hukum tersebut (satu hukuman karena memberitahu seorang Muslim bahwa Salman Rushdie menggambarkan Nabi Muhammad secara akurat), meskipun belum ada yang dilaksanakan. Selain itu, puluhan orang sedang menunggu persidangan di Pakistan atas tuduhan penistaan agama.
Sebagian besar kaum Muslim sangat tidak ingin untuk membiarkan jenis diskusi terbuka (open-ended discussion) persisnya atas setiap topik tentang nabi mereka. Oleh karena itu, orang Barat yang melakukan apa yang menurut mereka wajar, mengatakan persisnya apa yang mereka pikirkan tentang Nabi Muhamad, mendapati diri berada dalam rentetan kritik pahit dari kaum Muslim fundamentalis. Yang paling terkenal kasus Salman Rushdie, yang kebetulan melibatkan seorang Muslim yang tinggal di Inggris Raya. Tetapi ancaman yang sama dapat menimpa seseorang dari agama apa pun yang tinggal di negara mana pun (yang menjelaskan, misalnya, mengapa penulis Why I Am Not a Muslim merasa dibatasi sehingga menulis bukunya dengan menggunakan nama samaran).
Kontroversi
Warisan panjang perilaku penuh semangat permusuhan ini berarti bahwa ketika para wartawan, cendekiawan dan politisi Amerika mengemukakan opini seputar Perjanjian Hudaybiya, maka reaksi umat Muslim sebagai lembaga dapat diramalkan penuh dengan semangat permusuhan. Dewan Relasi Amerika – Islam (CAIR) yang berbasis Washington, sebuah organisasi yang pantas dikatakan punya "hubungan yang dekat" dengan Hamas, sebuah kelompok teroris Timur Tengah, mempelopori upaya untuk berusaha menekan diskusi kritis atas Perjanjian Hudaybiya yang dirujuk oleh Yaser Arafat.
Jika seorang pengamat politik atau politisi takut mengemukakan bahasan ini, CAIR pun akan merancangkan tanggapan kaum Muslim yang abusif. Contoh pertama terjadi dalam sebuah tajuk rencana Majalah U.S. News & World Report, 10 Juni 1996, ketika pemimpin umum majalah itu, Mortime B. Zuckerman, secara ringkas menyinggung soal Perjanjian Hudaybiya:
Bangsa Israel punya pertanyaan historis: Apakah Arafat itu juru damai sejati atau apakah dia sendiri meyakini retorikanya sendiri ketika menggemakan kembali doktrin Nabi Muhamad, S.A.W yang membuat perjanjian dengan musuh, ketika dia lemah, tetapi melanggar perjanjian itu ketika kuat?
Dalam edisi Majalah U.S. News & World Report yang selanjutnya, pada 17 Juni, para editornya secara terbuka mencatat dalam kolom "kata untuk para pembaca kami" bahwa "Banyak pembaca Muslim mengatakan atau menulis mengeluhkan bahwa kami berbicara tidak baik tentang Nabi Muhamad, S.A.W. dan warisannya." Secara pribadi mereka lalu mengatakan perasaan "sedang terkepung." Ketika mencabut pernyataan itu dengan kata-kata panjang lebar dan penuh hati-hati, pihak majalah membuat poin-poin kunci berikut ini:
Para pembaca harus yakin bahwa tidak ada niat apapun untuk tidak menghargai Islam sebagai sebuah agama atau untuk tidak menghargai Nabi Muhamad, S.A.W. ...perjanjiannya selama 10 itu dirusak dua tahun kemudian oleh masyarakat Kota Mekkah.
Meskipun demikian, masih ada saja pesan-pesan yang penuh kemarahan terus saja berdatangan karena pihak majalah tidak menolak pernyataan bahwa Nabi Muhamad, S.A.W. memang punya "doktrin" yang melanggar kata-katanya sendiri. Satu pekan kemudian, para editor membahas topik ini dan menuliskan apa yang membuat para pengkritik Muslim ngotot mendesak ketika mendengar persoalan itu;
Kami sangat menyesali makna ganda bahasa. Zuckerman tidak bermaksud menghina. Dia tengah mempertautkan rujukan Yaser Arafat terhadap Nabi sehingga tidak berniat untuk mengatakan bahwa ini doktrin Nabi...adalah masyarakat Mekkah, bukan Nabi Muhamad, S.A.W. yang melanggar Perdamaian Hudaybiah pada 628.
Permintaan maaf yang memalukan ini tidak menipu sehingga kontroversi pun berakhir.
Dalam insiden kedua, Yehoshua Porath, seorang professor Sejarah Timur Tengah kenamaan di Hebrew University di Yerusalem, menulis sebuah artikel dalam Majalah The New Republic, pada 8 Juli 1996:
Arafat berulang-ulang menyamakan Perjanjian Oslo dengan Perjanjian Hudaybiya, yang dicapai oleh Nabi Muhamad. S.A.W. selama berperang melawan Suku Quraish. Nabi Muhamad, S.A.W. melanggar perjanjian itu delapan belas bulan setelah perjanjian itu ditandatangani. Ketika sudah ada perimbangan kekuasaan yang menguntungkannya dan ini menjadi preseden pengarah dalam hukum Islam terkait dengan bagaimana berurusan dengan kekuasaan kaum non-Muslim.
Kredensial dan status Porath barangkali menjelaskan mengapa reaksi terhadap kisah ini sangat luar biasa. Para editor The New Republic (TNR) menjelaskan dalam edisi 15 Juli:
Dalam hitungan hari setelah penerbitan tulissan itu, TNR menjadi sasaran ratusan telepon, surat dan surat daring yang abusif yang menuduh kami menghina Nabi dan hal yang lebih parah lagi. Ternyata CAIR yang lakukan. Lewat CAIR-Net, situs internetnya, organisasi itu mendesak kaum beriman untuk melakukan aksi-aksi itu. Dan mereka lakukan.
Kemudian berlanjut dengan surat kecaman yang bernada abusif dan penuh ancaman. Satu surat yang khas menuliskan:
Kalian sebaiknya berhati-hati, ok? Karena ini tidak berlanjut lebih jauh lagi, oke? Kalian sebaiknya mengawasi orang Yahudi (baca: Yehoshua Porath) brengsek itu ... tanyakan padanya dari mana dia berasal, oke? Karena kalian tahu bajingan bangsat, ibu—ibunya itu bajingan, oke? Dia tidak bisa berbicara tentang omong kosong kaum Muslim dan Anda mendapatkan tindakan kalian bersama-sama ... kalian semua. Tidak ingin kami dengar lagi tentang masalah ini, oke? Kalian paham itu?
Kasus terakhir melibatkan seorang politisi, Wakil Rakyat Jim Saxton, seorang anggota Partai Republikan dari New Jersey. Dia menulis tentang Arafat pada Desember 1998,
bagaimana orang bisa mempercayai perjanjian dibandingkan dengan Perjanjian Hudaibiya yang dibuat oleh Nabi Muhamad, di mana sebuah perjanjian berlangsung selama ditentukan oleh kepentingan politik [?]
CAIR menyuruh supaya kantor Saxton dibanjiri dengan surat bernada benci dan agresif namun tidak mengancam, sehingga membuat anggota kongres itu merasa, dalam kata-katanya sendiri, "tidak nyaman." Dia kemudian menulis surat kepada CAIR pada 5 Januari 1999 di mana dia mengutip catatan editor U.S. News & World Report yang dikutip di atas (bahwa "Gencatan senjata 10 tahun itu dilanggar dua tahun kemudian oleh orang Mekkah"). CAIR lantas menulis siaran pers yang bernada kemenangan pada 11 Januari mengutip frasa ini dan mengaburkannya dengan menambahkan lima kata dalam tanda kurung dan menganggapnya sebagai pernyataan dari Saxton:
Gencatan senjata 10 tahun (Hudaibiya) dilanggar. . . oleh orang Mekkah (bukan oleh Nabi Muhamad S.A.W.).
Ketika meninjau ketiga kasus ini terlihat bahwa organisasi Islam seperti CAIR tak sepenuhnya memahami atau tidak menerima Amandemen Pertama (baca: Konsitusi Amerika Serikat) berikut batasannya yang ketat tentang kebebasan berbicara. Kehidupan Amerika yang tanpa aturan itu tidak akan memungkinkan adanya tabu untuk berlaku pada warga masyarakat tertentu (subject) tertentu, tidak peduli seberapa pun mereka bisa saja sucinya bagi sebagian penduduk. Karena itu, bahkan masalah paling rumit sekalipun seperti penyangkalan terhadap terjadinya Holocaust (pembantaian massal Bangsa Yahudi), Yesus yang digambarkan sebagai homoseksual, perasaan rendah diri genetik kaum kulit hitam – bisa ditayangkan secara penuh dan langsung. Upaya Dewan Hubungan Amerika-Islam dan organisasi yang berpikiran yang sama dengannya untuk memaksakan gagasan Timur Tengah tentang kesucian, penyensoran, dan hak istimewa kepada orang Amerika dengan demikian pasti akan gagal.
Tradisi kebebasan berbicara AS sangat kuat. Ia nyaris dianggap sebagai sesuatu yang suci. Mengingat tradisi itu, kaum Muslim Amerika mungkin disarankan supaya paling bagus melindungi reputasi Nabi Muhamad bukan dengan menuntut pihak lain untuk diam, sedikitnya dengan mengancam mereka yang tidak setuju. Tetapi dengan meyakinkan pendengar tentang pandangan mereka. (Termasuk juga dengan menyampaikan pandangan lain yang paling menjadi perhatian mereka). Semakin cepat mereka menerima pendekatan ini, semakin baik mereka mewakili kepentingan mereka dan semakin sehat tubuh politik Amerika.
--------------------------------------------------------------------------------
Tambahan 1 September 1999: Saya kekurangan tempat di atas sehingga tidak menyebutkan dua wawancara yang diberikan oleh Yaser Arafaf pada 1998. Pertama, wawancaranya dengan Saluran Televisi Orbit pada 18 April 1998 dan dilaporkan oleh Steve Rodan dalam Harian Jerusalem Post pada 28 April 1998:
Semua orang harus tahu bahwa semua pilihan itu terbuka bagi Bangsa Palestina. Bukan sekedar bagi Bangsa Palestina tetapi bagi seluruh Bangsa Barat" urai Yaser Arafat dalam wawancara itu. Arafat lalu menjelaskan perintahnya untuk menghentikan serangan para teroris terhadap Israel dengan mengatakan bahwa Nabi Muhamad menyepakati perjanjian selama 10 tahun dengan Suku Quraisi (Koreish). Kesepakatan itu ditentang oleh salah satu pembantu utama Nabi Muhamad, S.A.W., Umar Bin Khatab yang menyebutnya sebagai "perjanjian damai yang tingkatnya lebih rendah" (inferior peace agreement).
"Saya tidak membandingkan diri saya dengan Nabi, tetapi saya memang mengatakan bahwa kita harus belajar dari langkah-langkahnya dan dari Salah a-Din," urai Arafat lagi. "Perjanjian damai yang ditandatangani itu "perdamaian yang tingkatnya lebih rendah." Arafat pun mengatakan dia mengusulkan "kami menjaga ketenangan. Kami menghormati kesepakatan sama seperti Nabi Muhamad, S.A.W. dan Salah a-Din menghormati perjanjian yang mereka tanda tangani." Para sejarahwan mengatakan bahwa Nabi Muhamad, S.A.W dan Salah a-Din menyepakati perjanjian dengan Tentara Perang Salib kemudian segera membatalkannya dari dalam.
Kedua, sebuah wawancara Yaser rafat dengan Al-Quds pada 10 Mei 1998:
Pertanyaan: "Apakah pernah Anda pikirkan Anda melakukan kesalahan dengan menerima [Perjanjian] Oslo?"
Arafat: Tidak, tidak, Rasulullah menerima perjanjian damai al-Hudaibiya dan Salah ad-Din al-Ayyubi menerima perjanjian damai dengan Richard si Hati Singa. 'Umar ibn al-Khattab menyebut Perjanjian Hudaibiya sebagai perjanjian damai yang memalukan kemudian berkata kepada Rasulullah: Bagaimana kita bisa menyetujui penghinaan terhadap agama kita? Hal ini terjadi ketika Suku Quraisy bersikeras menghapus nama Rasulullah dari perjanjian dan mengatakan kepada Rasul: "Kami hapus 'Rasulullah' karena jika kami mengakuimu sebagai Rasulullah, kami tidak akan memerangimu." Rasululah kemudian menjawab: "Hapuskan."
Pemutakhiran 10 September 1999: Untuk mengetahui berbagai reaksi terhadap tulisan ini dan apa yang orang lain katakan tentang Perjanjian Hudaybiya, lihat entri weblog, "Arafat and the Treaty of Hudaybiya - The Controversy."
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Sejarah, Islam, Islam radikal
Artikel Terkait:
- The Treaty of Hudaybiya as a Model for Muslims
- Daniel Pipes Explains 'Islamism'
- Arafat and the Treaty of Hudaybiya - The Controversy
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be reposted, forwarded, or translated so long as it is presented as an integral whole with complete information about its author, date, place of publication, as well as the original URL.