[N.B.: Tulisan berikut merefleksikan apa yang pengarangnya ajukan kepada redaksi Commentary. Jadi, tidak persis dengan tulisan yang diterbitkan. Untuk mendapatkan teks yang dicetak persis, silakan lihat tempat penerbitannya yang sebenarnya.]
Para analis konflik Arab-Israel sepakat atas sangat sedikit masalah. Tetapi ada dua poin yang pada tahun 1989 melahirkan sebuah konsensus yang hampir menjangkau seluruh spektrum arus utama. Pertama, hampir semua orang sepakat bahwa kerusuhan yang dimulai pada Desember 1987 di Tepi Barat dan Jalur Gaza (selanjutnya disebut wilayah) membuat status-quo semakin tidak menyenangkan dibanding sebelumnya. Di antara masyarakat Israel dan Arab, ada kesadaran atas urgensi baru seputar masa depan wilayah. Kedua, ada kesepakatan luas bahwa Israel menghadapi dilema yang nyaris tidak dapat diselesaikan sehubungan dengan masa depan wilayah. Solusi yang moderat kurang bisa dipertahankan sementara posisi kaum ekstremis menguat.
Meski ada dua dilema ini, upaya untuk menemukan jalan keluar pun tidaklah kurang. Rencana-rencana penting itu mencakup usul Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir untuk mengadakan Pemilu di wilayah-wilayah tersebut; seruan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) untuk melakukan negosiasi langsung antara PLO - Israel supaya bisa mendirikan Negara Palestina. Juga ada usul Jaffee Center terkait dengan langkah-langkah sementara menuju pendirian entitas Palestina.
Saya tidak berniat mengkritik usulan ini. Apalagi menawarkan usulan saya sendiri. Sebaliknya, saya ingin meninjau peran yang diberikan kepada Pemerintah AS dalam berbagai skema ini. Apa yang seharusnya Washington lakukan pada saat sulit ini supaya bisa meneruskan apa yang disebutnya proses perdamaian? Evaluasi yang cermat atas kepentingan Amerika menunjukkan pendekatan yang agak berbeda dari yang saat ini sedang dicoba dibangun.
Sebelum beralih kepada peran Amerika, pilihan perlu digambarkan karena pilihan-pilihan itu muncul di Timur Tengah. Untuk alasan yang bakal segera menjadi jelas, maka paling masuk akal untuk melihat hal ini dari sudut pandang pemilih Israel.
Israel memperoleh lima wilayah berbeda selama Perang Enam Hari yang terjadi pada Juni 1967. Salah satunya, kawasan Semenanjung Sinai. Kawasan itu tidak lagi di bawah kendalinya. Telah dikembalikan sepenuhnya kepada Mesir pada April 1982 (dengan isu terakhir, Taba, yang akhirnya diselesaikan pada awal 1989). Sebagai imbalan atas perjanjian damai. Jika negosiasi berlanjut, dua wilayah lain, yaitu Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan, suatu hari nanti akan menimbulkan masalah diplomatik. Tetapi prospek itu masih jauh. Yerusalem Timur sudah dianeksasi Israel. Dengan demikian, ia menjadi kasus khusus yang tidak dapat ditangani saat ini. Dataran Tinggi Golan juga tidak menjadi persoalan diplomatik selama Pemerintah Suriah tidak memperlihatkan minat untuk mengakhiri konflik militernya dengan Israel. Kenyataan ini menyebabkan Tepi Barat dan Gaza menjadi fokus diplomasi. Terutama yang pertama.
Arus utama Israel mencakup dua posisi dasar terhadap wilayah-wilayah ini. Satu, posisi Partai Likud yang berusaha tetap mempertahankan wilayah-wilayah itu untuk tetap berada di bawah kendali Israel (bahkan, menurut Camp David, Partai Likud memberi otonomi kepada penduduk wilayah-wilayah itu). Yang lain, yaitu posisi Partai Buruh yang berusaha mengembalikan sebagian besar tetapi tidak semua wilayah itu kepada kekuasaan Arab. Masing-masing posisi ini mengingatkan kita kembali pada salah satu dari dua tradisi utama Zionisme. Kedua pandangan tersebut masing-masing mendapat dukungan dari sekitar 40 persen pemilih Israel. Akibatnya, posisi keduanya secara mendasar seimbang. Keseimbangan yang nyaris sama menciptakan masalah tersendiri. Soalnya, tidak ada pendekatan yang sempat dijalankan secara penuh. Sebaliknya, masing-masing dari mereka saling meniadakan atau memperumit pendekatan yang lain dengan cara mengubah personel dan kebijakan yang tampaknya tak ada habisnya.
Ada masalah lain juga. Dan itu jauh lebih mendasar dan parah. Masalahnya, dalam bentuknya yang murni, kedua pendekatan arus utama tidak mungkin dapat dijalankan. Partai Likud akan mencapai tujuannya dengan membawa penduduk Arab masuk dalam Pemerintahan Israel atau dengan mencabut hak mereka. Kedua opsi itu penuh bahaya bagi Israel. Jika orang Arab dibawa masuk, angka kelahiran mereka yang lebih tinggi menyebabkan Pemerintahan Israel kehilangan sifat Yahudinya. Ini berarti meniadakan seluruh usaha kaum Zionis. Jika orang Arab kehilangan haknya, hasilnya, mereka akan menjadi warga negara kelas dua. Banyak masyarakat Yahudi Israel pun akan mengalami situasi yang dihasilkan itu menjadi begitu menjijikkan secara moral, sehingga mungkin meninggalkan negara itu. Pendukung asing Israel, termasuk Yahudi internasional akan berkecil hati. Singkatnya, pencabutan hak orang Arab bakal melemahkan titik-titik paling rentan Israel.
Tujuan Partai Buruh juga punya masalah mendasar. Soal tidak adanya lawan bicara Arab yang bertanggung jawab yang bisa diajak untuk merundingkan masa depan wilayah dan kepada siapa wilayah-wilayah itu harus dilepaskan, misalnya. Tokoh lama yang disukai partai itu sebagai lawan bicara adalah Raja Husein dari Yordania. Bertahun-tahun, Raja Husein berusaha menarik ulur menggoda para pemimpin Israel dengan prospek negosiasi tetapi tidak pernah bergerak lebih dari sekedar pertemuan rahasia dengan mereka. Kemudian, pada Juli 1988, dia menarik diri dari permainan diplomatik dengan Israel. Setidaknya untuk beberapa waktu mendatang. Dengan melepaskan klaim kerajaannya atas Tepi Barat.
Adapun penduduk Arab di wilayah tersebut, mereka menolak bertanggung jawab untuk bernegosiasi dengan Israel. Mereka sebaliknya, menunjuk Pemimpin PLO Yaser Arafat sebagai jurubicara. PLO, tentu saja, semakin semangat untuk berbicara dengan Israel dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan sampai mengucapkan kata-kata ajaib yang dituntut oleh Washington. Tetapi bagi kebanyakan masyarakat Israel, dia tetap tidak dapat diterima sebagai pihak yang bernegosiasi. Ia tidak memenuhi syarat sebagai lawan bicara karena enggan untuk benar-benar menerima keberadaan Israel; dengan catatan panjang sikapnya yang berwajah ganda (duplicity) dan aksi kekerasan yang dilakukannya. Dan terutama karena kurangnya otoritasnya yang sebenarnya.
Masih ada persoalan lebih lanjut dengan rencana Partai Buruh. Sebuah persoalan yang tidak banyak diperhatikan pada tahap awal ini, tetapi bisa menggagalkan negosiasi ke depan untuk maju. Yaitu bahwa perjanjian apapun yang Israel capai dengan Palestina sepertinya bakal diveto oleh Hafez al-Asad di Damaskus. Pria ini seolah mengulangi mantra seperti, "Tidak ada damai tanpa Suriah." Dia tidak sombong. Dia memang punya kekuatan untuk membatalkan kesepakatan Arab-Israel yang lemah. Nyatanya, dia pernah satu kali berhasil mencapainya. Akibatnya, kesepakatan Israel dengan Libanon, Mei 1983 dibatalkan dalam waktu kurang dari satu tahun.
Terlepas dari suramnya prospek kemajuan diplomatik, atau karena berbagai perkembangan diplomatik itu sendiri, dua partai utama Israel itu mempertahankan harapan yang nyaris mistis soal kemungkinan adanya solusi yang disukai. Sementara itu, propaganda Partai Likud memanfaatkan kebajikan untuk melakukan resolusi dan ketangguhan Israel yang lama untuk membantu menyelesaikan masalah. Dengan demikian, jika hanya orang Israel yang bertahan di wilayah, dia tampaknya menyiratkan bahwa penduduk Arab di wilayah-wilayah itu akan menjadi patuh. Atau, lebih baik lagi, menghilang. Dalam kata-kata Shamir, "sesuatu akan terjadi." Jika tidak ada yang mau mengambil langkah khusus untuk menerapkannya, maka satu setengah juta orang bakal menerima bentuk otonomi lokal terbatas atau meninggalkan kawasan itu atas kemauan mereka sendiri. Tidak peduli bahwa mereka sekarang sangat menentang kedua solusi ini, namun bagaimanapun, mereka akan melihat bahwa masih ada harapan.
Adapun Partai Buruh, mistiknya terletak pada keyakinan nyata mereka bahwa jika mau menunggu cukup lama, maka Raja Husain akan bersedia kembali ke meja perundingan. Dan, kali ini dia akan siap bersikap serius. Karena itu, ketika memperdebatkan pemikiran ini, Partai Buruh cenderung mengabaikan kenyataan bahwa Raja Husain menolak klaim atas Tepi Barat (dan sebagai gantinya menekankan tanda-tanda yang menunjukkan niat Yordania untuk menegaskan kembali klaim itu). Atau meminta negara-negara adidaya untuk memaksakan solusi. Tetapi Soviet dan Amerika tidak mungkin mengindahkan seruan Partai Buruh untuk memaksakan solusi Yordania, jika hanya karena opini dunia saat ini luas menerima perlunya sebuah negara Palestina merdeka. Memang, jika ada yang dipaksakan, maka itulah soal kemungkinan negara seperti itu.
Tak satu pun harapan Israel ini didasarkan pada premis yang masuk akal. Sebaliknya, harapan itu merepresentasikan harapan para politisi yang agak nekad yang terjebak dalam kesulitan yang tidak mereka buat sendiri. Paling-paling, mereka menyiratkan adanya niat untuk duduk diam sampai keadaannya berubah. Yang paling buruk, harapan-harapan itu memperlihatkan adanya ilusi, bukan analisis terhadap persoalan yang sebenarnya.
Ide-ide anutan partai-partai arus utama Israel mungkin terlihat sia-sia. Meski demikian, proposal penyelesaian masalah yang diajukan oleh kelompok pinggiran (yang masing-masing terdiri dari sekitar 10 persen pada kedua ujung spektrum politik) malah gagal. Bahkan bisa menyebabkan upaya mengatasi masalah saat ini semakin suram. Kaum ekstrim kanan berbicara tentang upaya menyingkirkan orang Arab dari tanah mereka dengan membujuk mereka secara tepat. Kedengarannya bagus. Tetapi, semua orang tahu kelompok itu akan menggunakan kekuatan jika bujukan tidak berdampak seperti diinginkan. Lebih dari skema lainnya, skema ini bakal benar-benar membahayakan keberadaan Israel. Soalnya dia sangat meningkatkan ketegangan komunal di dalam Israel, memicu percecokan internal yang dalam dan keras dalam kebijakan Israel, menyebabkan hubungan Israel dengan Mesir terputus, mengasingkan dunia Yahudi sekaligus menyebabkan Israel kehilangan dukungan Amerika.
Kaum esktrim kiri sedikit lebih baik. Kelompok itu dengan lembut menerima keberadaan negara Palestina, tetapi tidak secara cerdas dan menyeluruh memikirkan banyaknya konsekuensi berbahaya dari langkah semacam itu bagi Israel. Mereka gagal melihat kemerosotan militer, sosial, dan ekonomi yang hampir pasti akan dialami Israel setelah Palestina berdiri. Berbeda dari semua bukti ini, kaum kiri malah menganggap bahwa Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan dalam damai. Mereka serius menerima perbandingan 'Arafat tentang Yordania, Palestina dan Israel dengan negara-negara Benelux (baca: Belgia, Nederland dan Luxemburg). Tidak kalah mencengangkan, bahwa kelompok itu serius menyusun ketentuan yang disetujui orang Palestina untuk lebih dulu melepaskan hak untuk mengumpulkan tentara atau untuk bersekutu dengan negara asing. Sama seperti masyarakat Barat yakin bahwa perlucutan senjata sepihak mereka mengilhami Soviet melakukan hal yang sama, kaum kiri di Israel pun menipu diri dengan berpikir bahwa dengan rela mengambil risiko, pemerintahnya sendiri akan mampu menjinakkan musuh mereka.
Inilah penderitaan Israel. Dan ini jalan buntu yang nyaris total.
Amerika menggemakan Posisi Bangsa Israel
Ketika mengurutkan pandangan Amerika tentang proses perdamaian, maka hal yang sangat mencolok adalah seberapa dekat mereka mendekati empat pendekatan utama Israel. Di kalangan arus utama, orang menemukan beberapa varian posisi Partai Likud atau Partai Buruh (dengan lebih banyak lagi yang memilih yang terakhir). Sementara itu, kaum pinggiran memilih penduduk wilayah-wilayah itu dipindahkan atau Negara Palestina merdeka. Ambil hanya satu contoh yang menonjol, Presiden George Bush nyaris mengadopsi posisi Partai Buruh ketika mendefinisikan tujuan pemerintahannya dalam domain Arab-Israel sehingga posisi itu menjadi "keamanan bagi Israel, berakhirnya pendudukan [Israel], dan tercapainya hak-hak politik Palestina. "
Terlebih lagi, prioritas Israel cenderung menjadi prioritas Amerika. Yang paling mencolok, karena intifada menciptakan kesadaran tentang situasi mendesak (sense of urgency) di Israel bahwa jika masalah wilayah diselesaikan, maka urgensi ini langsung terasa di Washington.
Tidaklah mengherankan bahwa teman-teman Amerika di Israel harus menggemakan sikap yang berkembang di Israel. Orang-orang itu, entah karena punya kerabat yang berdiam di Israel mengagumi karakter demokrasi liberal negara itu, mengenang kembali Peristiwa Holocaust. Atau juga mereka sebagai orang Kristen fundamentalis, menganggap pentingnya kesejahteraan Israel secara eskatologis. Melihat Israel bukan sekedar dari segi nilai potensialnya bagi Amerika Serikat, tetapi sebagai sesuatu yang baik dan penting dalam dirinya sendiri.
Di sisi lain, sangatlah mengejutkan bahwa orang Amerika yang memusuhi Israel juga menggemakan posisi Israel. Dalam ungkapan klasik George Ball pada 1977, para musuh Israel akan "menyelamatkan Israel bukan dirinya sendiri." Pada 1989, misalnya, Helena Cobban, seorang penganjur PLO berikut cita-citanya yang penuh semangat mendukung kebijakan Timur Tengah Menteri Luar Negeri James Baker dengan alasan bahwa "akan membantu menempatkan hubungan AS dengan Israel pada pijakan yang lebih sehat ... Yang Israel butuhkan dari AS adalah agar tidak banyak lagi perselisihan kebijakan yang disembunyikan. Kenyataan ini menjadi kepentingan jangka panjang Israel yang menerima dukungan tegas dan realistis, di mana kepentingan AS didefinisikan dan ditindaklanjuti dengan jelas. Dengan demikian kreativitas Ball membantu membawa polemik anti-Israel dari pinggiran perdebatan AS memasuki arus utama.
Tentu saja, ungkapan dari komentar-komentar ini munafik. Bahkan menipu. Soalnya, mereka yang tidak bersahabat dengan Israel benar-benar ingin mencelakainya. Tapi mereka merasa terkekang untuk mengatakannya secara terbuka. Sebaliknya mereka menggunakan retorika anti-demokrasi ala Ball (yang menyiratkan bahwa pejabat Departemen Luar Negeri AS adalah hakim kepentingan Israel yang lebih baik dibanding para pemilihnya sendiri) sebagai cara untuk menyamarkan tujuan mereka yang sebenarnya dengan mengesampingkan pemimpin Israel dan memaksakan solusi pada mereka. Solusinya tentu adalah pembentukan negara Palestina merdeka, yang menjadi pilihan kaum kiri dari spektrum Israel
Ironisnya, semua orang Amerika yang moderat, bahkan mereka yang memusuhi Israel, secara implisit menerima anggapan bahwa kepentingan Amerika itu identik dengan kepentingan Israel. Apakah mereka melakukannya secara tidak sadar atau sebagai cara untuk menyembunyikan motif tersembunyi mereka, namun faktanya mereka rutin menggambarkan peristiwa di Timur Tengah melalui mata Israel.
Ringkasnya, masyarakat Amerika di seluruh arus utama politik memperhatikan dari dekat posisi yang lebih relevan dengan adegan Israel dibanding dengan posisi Amerika. Alasan khas ini tidak sulit ditemukan. Tidak adanya prisma ideologis standar dari kaum kiri/kanan yang digunakan untuk melihat Timur Tengah membuat kawasan ini menjadi subjek kebingungan politik yang tidak biasa. Juga, penekanan luar biasa pada politik Israel menyebabkan ia mempengaruhi perdebatan di sini (baca: Amerika Serikat). Kemudian juga, minat media tunggal dalam konflik Arab-Israel mengilhami masalah itu akibat tidak adanya emosi yang lahir dari konfrontasi yang paling jauh itu. Mau tak mau, wacana dalam seminar di Universitas Tel Aviv, membayangi mitranya di Universitas New York misalnya. Selain itu, perdebatan di aula Knesset ( Parlemen Israel) dibawa ke Kongres.
Mendefenisikan Pendekatan Amerika
Tidaklah mengherankan bahwa upaya untuk mengalihkan sudut pandang Israel ke Amerika Serikat justru menghalangi visi. Ini mengakibatkan beberapa kekhawatiran semakin membesar (terutama moralitas sarana yang digunakan untuk memadamkan gerakan intifada) ketika terlalu sedikit perhatian diberikan kepada orang lain (terutama sudut pandang Soviet). Bahkan yang lebih mendasar lagi, ia menekankan konflik Arab-Israel di luar semua proporsi kepentingan aktualnya sambil mengurangi signifikansi sejumlah isu lain di lingkungan yang sama. Perang Irak-Iran, misalnya, diakui tetapi hanya sedikit perhatian diberikan pada Perang Lebanon pada 1982. Pemberontakan sipil yang lebih besar dan mungkin lebih berdampak di bagian lain dunia (termasuk Birma dan Aljazair) tidak banyak menarik perhatian daripada yang terjadi di Tepi Barat dan Gaza dan seterusnya. Kadangkala terlibat bahwa masalah Israel sama besarnya dengan masalah Amerika.
Parahnya lagi, empat posisi Israel punya implikasi yang tidak diinginkan bagi Amerika Serikat. Masing-masing dari mereka mengharuskan Pemerintah AS mengambil posisi yang tidak layak atau bertentangan dengan kepentingannya sendiri.
Permintaan Likud untuk mendapatkan restu Washington supaya Israel terus berkuasa bertentangan dengan sejumlah posisi Amerika, baik politik maupun hukum. Parahnya lagi, menerima kebijakan ini, berarti Washington meracuni hubungannya dengan Pemerintah Mesir, Yordania, dan Arab lainnya. Impian Partai Buruh atas Washington yang memaksakan beberapa bentuk solusi Yordania tidak realistis. Para pejabat Amerika pun tidak hanya cenderung bersimpati kepada nasionalisme Palestina, tetapi juga khawatir bahwa upaya Yordania untuk menyatukan Tepi Barat dengannya akan membuat Yordania semakin tidak stabil.
Jika Washington tidak bisa menerima posisi arus utama Israel, maka pandangan kaum ekstremis bahkan kurang bagus terhadap persoalan itu. Tidak ada Pemerintah Amerika yang bersedia melanjutkan hubungan yang normal dengan Israel jika warga Arab Tepi Barat diusir keluar dari sana. Semua presiden Amerika menentang pembentukan Negara Palestina yang dipimpin PLO karena bahaya nyata yang akan ditimbulkannya kepada beberapa teman Amerika di kawasan itu, termasuk Yordania serta Israel.
Banyaknya persoalan ini menunjukkan perlunya pendekatan Amerika terhadap konflik Arab-Israel. Bukan saja karena penting untuk memeriksa jernihnya arah kepentingan Amerika Serikat, tetapi juga karena berbeda dari pandangan Israel, pendekatan itu bisa menumbuhkan benih wawasan yang berguna bagi rakyat Israel dan Bangsa Arab. Menjauhkan diri dari sudut pandang Israel dan memandang Timur Tengah dengan kaca Amerika segera membuat sejumlah perbedaan terlihat jelas. Ambil satu contoh penting saja, ketika ciri khas Yahudi Negara Israel menjadi perhatian terdalam warga Israel, maka bukan satu, tetapi secara umum dikatakan bahwa masyarakat Amerika perlu atau harus menanganinya. Sejauh orang Amerika benar-benar terlibat dalam masalah ini, maka hal itu dilakukannya karena motif agama, ideologis atau kemanusiaan, tetapi tidak keluar dari raison d'êtat-nya.
Apakah yang khas dari kepentingan Amerika dalam konflik Arab-Israel? Cara terbaik untuk melihat ini adalah dengan melihat kepentingan Amerika di Timur Tengah secara keseluruhan. Kepentingan ini konsisten ditegaskan kembali oleh para pemimpin Amerika termasuk setidaknya empat elemen: sebuah Israel yang aman; stabilitas di negara-negara Arab yang moderat; melepaskan kawasan itu dari pengaruh Soviet; dan aliran bebas minyak. Kala diterjemahkan dalam kebijakan, maka tujuan ini punya dua implikasi utama: menjaga segitiga Mesir-Israel-AS hidup terus sambil mempertahankan Doktrin Carter. Segitiga itu dibaiat Maret 1979. Bersamaan dengan penandatanganan perjanjian damai Mesir-Israel di halaman Gedung Putih yang benar-benar menjadi pusat dari apa yang bisa disebut Timur Tengah bagian barat. Demikian pula, pada Januari 1980 Presiden Carter menunjuk Teluk Persia sebagai wilayah di mana AS akan mencurahkan kekuatan militer menjadi hal yang utama (key) di Timur Tengah bagian timur.
Perjalanan selama sepuluh tahun tidak meredupkan komitmen ini sedikit pun. Sebagian karena lebih sedikit pemikiran baru Mikhail Gorbachev yang telah berhasil mempengaruhi kebijakan Soviet di Timur Tengah dibanding dengan di wilayah besar lainnya. Yang pasti, ada banyak sinyal tidak setuju yang membayangi sebuah kebijakan baru (khususnya terhadap Suriah dan Israel). Tetapi kebijakan itu terlampau ambigu dan kontradiktif untuk menjamin pedoman kebijakan Amerika yang sudah lama ada untuk diabaikan. Lebih jauh lagi, tidak satu pun langkah Gorbachev di Timur Tengah yang tidak dapat diubah. Karena itu, Pemerintah AS perlu bersiap diri jika ia jatuh dari kekuasaan atau berubah pikiran.
Demokrasi Israel, Otokrasi Arab
Perlu dipahami dengan benar bahwa Israel yang aman dan negara-negara Arab moderat yang stabil itu bakal mampu memberikan kunci yang memungkinkan kebijakan khusus Amerika dikembangkan. Bila dikerjakan dengan cara yang sangat logis, maka tujuan ini bakal memberikan hasil yang tidak terduga. Oleh karena itu, mungkin berguna untuk menyajikan beberapa latar belakang seputar apa artinya sebuah negara memperhatikan keamanan dan stabilitas negara-negara lain.
Dulu, ketika prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara asing masih diagung-agungkan, tujuan itu hanya terkait dengan hubungan eksternal saja. Prinsip non-intervensi berarti bahwa sebuah negara tidak menjalankan kebijakan untuk mencampuri peristiwa-peristiwa yang terjadi sepenuhnya di dalam batas-batas negara lain. Para penguasa bisa mensubsidi ekspor, menolak Pemilu bahkan menekan kaum minoritas negaranya, dan pemerintah negara-negara tetangga tidak mengatakan apa-apa. Tetapi revolusi Prancis secara permanen menghancurkan gagasan menyenangkan ini. Selama dua abad sekarang ini, sepasang prinsip baru semakin mendominasi gagasan lama. Yaitu gagasan tentang ikatan nasionalis, yang makin mengesampingkan keraguan tentang non-intervensi dan gagasan tentang ideologi hak asasi manusia, yang menjadikan jenis pelanggaran tertentu sebagai urusan semua pihak.
Gagasan yang terakhir ini merupakan hasrat khusus Amerika, dan ini menyebabkan Pemerintah AS mungkin menjadi paling suka mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Karena itu, masyarakat Amerika membedakan secara mendasar antara negara demokratis dan non-demokratis. Singkatnya, mereka merasa jauh lebih berhak untuk menekan yang terakhir daripada yang pertama. Dalam kasus otokrasi, kemarahan memicu aktivisme. Dalam kasus demokrasi, asumsi bahwa pemerintah terpilih akan menyelesaikan masalah sendiri, tanpa perlu Amerika terlibat, menyebabkan adanya rasa enggan yang jauh lebih besar untuk terlibat. Asumsi ini bagus, karena negara-negara demokratis memang memiliki mekanisme koreksi diri yang biasanya membuat cara kerja mereka tidak kalah bijaksana daripada apa yang diharapkan Amerika.
Aturan praktisnya sederhana: dengan negara-negara demokratis, kebijakan Amerika hanya menyangkut keamanan eksternal. Dengan negara-negara yang tidak demokratis, kebijakan itu meluas hingga masalah internal juga. Beberapa contoh menunjukkan aturan ini diterapkan secara luas. Ketika berupaya memenangkan reformasi internal, Washington tidak merasa bersalah atau secara moral menyesal karena sudah menjatuhkan negara-negara seperti Afrika Selatan, Chili, Yugoslavia, Kuba, dan Uni Soviet. Di sisi lain, Washington juga berhati-hati menghindari masalah domestik negara-negara demokratis. Dalam kasus Inggris, ini berarti Washington diam terkait dengan persoalan Irlandia Utara. Jika masalahnya muncul, Washington hanya menegaskan kembali dukungannya terhadap kebijakan Pemerintah Inggris. Paling-paling, diam-diam dia menyampaikan pandangannya kepada Pemerintah Inggris. Mencolok sekali cara Washington menahan diri dari mendefinisikan posisi Amerika yang berbeda di Irlandia Utara. Demikian pula, Pemerintah AS tidak punya kebijakan seputar separatisme Quebec ketika kawasan itu menjadi isu panas. Pemerintah AS juga tidak menetapkan posisinya sendiri dalam konflik antara kawasan Walloons dan Flemish di Belgia, persoalan Basque di Spanyol atau pada sejumlah isu lainnya.
Amankan Israel. Semua ini memiliki implikasi penting bagi Israel. Dalam beberapa hal, Israel menyajikan gambaran yang sangat rumit. Soalnya, ketika pemerintahan yang sepenuhnya demokratis dijalankan di dalam negeri Israel, demokrasi hanya sebagian dijalankan di wilayah-wilayah pendudukan. Lebih jauh lagi, perilaku negara Israel di wilayah-wilayah itu merupakan percampuran kompleks dari kebijakan dalam dan luar negerinya. Dikatakan, sikap yang konsisten mengharuskan Washington untuk tidak boleh merumuskan kebijakan tentang masalah keamanan dalam negeri Israel sekaligus membatasi kebijakannya pada urusan luar negeri Israel. Washington seharusnya tidak mengambil posisi dalam hal-hal seperti distribusi air di Tepi Barat, pembangunan pemukiman Yahudi dan tanggapan Israel terhadap intifada, kecuali jika kepentingan nasional Amerika dipertaruhkan. Dalam kasus wilayah, ini hanya berarti satu hal. Perjanjian damai Mesir-Israel. Jika ketegangan di wilayah mengancam sehingga membangkitkan kerusuhan rakyat di Mesir, jika elemen Palestina mencoba melakukan sabotase di Mesir, atau sesuatu yang lain membahayakan perjanjian ini, maka Pemerintah AS harus secara aktif mengambil peran langsung untuk dirinya sendiri. Tapi selama prospek ini jauh, ia harus menjauh.
Sampai sebegitu jauh, kerusuhan itu masih jauh. Pemerintah di Kairo tidak lagi punya minat yang aktif dalam urusan Arab-Israel. Demi kepentingan dan agar rakyat Mesir lega, Husni Mubarak tidak berusaha meniru Gamal Abdel Nasser sebagai tokoh dunia atau Anwar as-Sadat sebagai idola pertunjukan siang hari Amerika. Sebaliknya, Mubarak menetapkan diri Walikota Mesir, memusatkan dirinya dengan persoalan ekonomi, polusi dan segudang masalah lain yang dihadapi negara. Baginya, proses perdamaian berguna terutama sebagai cara untuk memfasilitasi dia untuk kembali memasuki gelanggang politik Arab. Sekarang, keterlibatan kembali dalam politik Arab ini telah tercapai, sehingga Pemerintah Mesir membutuhkan Arab-Israel tenang. Di Kairo, dengan demikian, substansi proses perdamaian kurang penting dibandingkan dengan penampilan aksi dan gerakan. Dari sudut pandang Mesir, perkembangan di lapangan di Tepi Barat dan Gaza kurang penting dibandingkan dengan penampilan diri yang dipertahankan.
Perspektif ini harus diingat dalam menilai proposal sepuluh poin Kairo baru-baru ini untuk melanjutkan Pemilu di wilayah-wilayah itu. Presiden Mubarak menawarkan idenya karena dia membutuhkan agar Israel dan Palestina untuk terus bernegosiasi; ia sakit hati jika negosiasi itu direduksi menjadi konfrontasi kekerasan. Pada saat yang sama, Mubarak tidak banyak terlibat, karena dia tidak terlalu mempedulikan kekhususan rencana Pemilu dibanding dengan fakta bahwa negosiasi sedang berlangsung; dan akhirnya, dia tidak punya banyak hal yang dipertaruhkan di sini. Singkatnya, nasib sepuluh poinnya tidak akan membahayakan hubungan Mesir dengan Amerika Serikat dan Israel.
Stabilitas Rezim-rezim Moderat Arab. Aturan praktis yang sama tentang aktivisme Amerika berimplikasi sama pentingnya juga bagi negara-negara Arab moderat seperti Maroko, Tunisia, Mesir, Yordania, Arab Saudi, serta negara-negara emirat Teluk Persia. Kuncinya, sekali lagi, terletak pada bentuk pemerintahan. Meski banyak dari negara-negara ini berbentuk demokrasi, dalam analisis akhirnya, semuanya otokratis. Kecuali Republik Mesir dan Tunisia, negara-negara itu diperintah oleh para raja dan amir. Tidak satu pun dari mereka sampai menyelenggarakan Pemilu pemilihan kepala negara. Pemilu juga tidak pernah memasukkan pertanyaan mendasar tentang kebijakan luar negeri.
Oleh karena itu, negara-negara Arab moderat cocok dengan rubrik negara-negara di mana masyarakat Amerika merasa berhak terlibat dalam urusan internal. Washington mungkin bertanya di Maroko soal reformasi tanah dan di Tunisia tentang perlakuan terhadap Muslim fundamentalis. Di Mesir, tentang bagaimana keadaan hubungan umat Muslim dan umat Koptik dan program privatisasi? Di Yordania bertanya tentang bagaimana reformasi ekonomi, kebebasan pers dan perlakuan atas warga Palestina? Di Arab Saudi, pertanyaannya nyaris tidak ada habisnya. Mengenai segala hal. Mulai dari soal hak-hak perempuan dan perlakuan terhadap kaum Syi'ah hingga serikat pekerja dan eksekusi mati.
Yang aneh adalah bahwa tidak satu pun pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar menonjol dalam kebijakan AS. Kadang-kadang, situasi di Timur Tengah tampak kacau balau. Setiap langkah kecil Pemerintah Israel diawasi ketat oleh Amerika, sementara bahkan tindakan terbesar dan paling berbahaya sekalipun dari Pemerintah Arab moderat hanya mendapat sedikit perhatian. Semua ini tidak logis dan bertentangan dengan kepentingan Amerika. Seperti di tempat lain di dunia, yang masuk akal adalah mengasumsikan bahwa pemerintahan demokratis akan menemukan jalannya sendiri, tetapi rezim otokratis harus ditekan untuk berperilaku dengan cara yang lebih dapat diterima.
Menahan Soviet. Kini, tidak kurang dibandingkan dengan masa kekuasaan Brezhnev, Soviet hadir di Timur Tengah. Kehadiran itu pertama-tama bergantung pada hubungan Soviet yang baik dengan tiga negara: Libya, Yaman Selatan dan Suriah. Dari ketiga-tiganya, Suriah sejauh ini paling penting karena sentralitas geografisnya, keterlibatannya yang mendalam dalam konflik dengan Israel dan bakat para pemimpinnya, terutama Presiden Hafiz al-Asad. Bilamana Damaskus bisa diyakinkan untuk melepaskan diri dari Kremlin, maka wajah politik Timur Tengah akan berubah, seperti halnya konflik Arab-Israel.
Tapi ada sedikit prospek untuk ini akibat hubungan antara Damaskus dan Moskow yang berlangsung semakin dalam dan langgeng. Tentu saja, ada ketegangan baru antara keduanya, karena ada fakta bahwa Asad lebih setia pada kebenaran lama dibanding kepada Gorbachev. Ketegangan politik itu memang penting. Tetapi tidak perlu dilebih-lebihkan, meskipun meresahkan hubungan kerja mereka yang patut dicontoh selama bertahun-tahun. Soalnya, seperti yang terjadi pada Fidel Castro, Kremlin mempunyai terlampau banyak kepentingan yang sama dengan Asad sehingga perlu menggulingkannya menyusul perbedaan pendapat antara mereka, tidak peduli seberapa pun sensasinya.
Beberapa pengamat berpendapat bahwa untuk bisa memutuskan aliansi Soviet-Suriah Israel harus dipaksa untuk menyerahkan Dataran Tinggi Golan. Pernyataan mereka salah ganda. Asad, harus diingat, tidak sekedar mencari penganti tanah Suriah tetapi juga berusaha menghancurkan Negara Yahudi. Sikap anti-Zionisme Asad juga bukanlah sesuatu yang naya sementara (passing concern) karena ia sangat terkait erat dengan politik domestik Suriah. Bahkan dengan kelangsungan hidupnya sebagai presiden. Dengan konsisten, ia berjuang sejak merebut kekuasaan pada 1970 untuk mencegah terjadinya penyelesaian konflik dengan Israel. Tekanan Soviet tidak akan mengubah sikap anti-Zionismenya. Selain itu, tidak ada alasan untuk berpikir bahwa dia bisa dibuat senang dengan konsesi Israel. Dengan demikian, Pemerintah AS tidak akan memperoleh keuntungan apa-apa dengan menekan Israel supaya mengembalikan Dataran Tinggi Golan kepada rezim yang saat ini berkuasa di Suriah. Upaya itu, jauh dari mengurangi kehadiran Soviet di Suriah. Soalanya, kesepakatan seperti itu mungkin saja justru semakin merangsang semangat Asad.
Selain itu, aliansi Suriah-Soviet itu jauh melampaui konfrontasi dengan Israel. Suriah merepresentasikan sekutu paling penting Moskow di Timur Tengah. Dengan demikian ia melayani sejumlah fungsi lainnya. Ia menyediakan fasilitas angkatan laut penting, terutama di Tartus; mempelopori upaya Soviet untuk mensabotase Turki; mengoordinasikan jaringan teror yang disponsori negara di seluruh Timur Tengah; dan menekan negara-negara minyak yang rentan untuk menjaga jarak dari Amerika Serikat. Berbagai dimensi non-Israel ini tidak boleh dilupakan dalam mempertimbangkan cara untuk mengurangi ikatan Soviet-Suriah.
Aliansi Soviet yang ada di Timur Tengah, kemudian, tidak banyak berhubungan dengan konflik Arab-Israel. Bahkan sedikit sekali berhubungan dengan wilayah-wilayah itu Bagaimana dengan sekutu baru? Mungkinkah Raja Husain atau pemimpin lain beralih kepada Moskow karena frustrasi dengan situasi buntu di Tepi Barat? Tidak mungkin. Sekali lagi, konflik dengan Israel jauh dari satu-satunya penentu kebijakan Yordania. Soalnya, mengubah orientasi kebijakan luar negeri terlalu banyak risiko. Lagi pula, berapa banyak raja yang dilindungi oleh Kremlin? Lebih jauh lagi, para pemimpin Arab mengakui bahwa Amerika Serikat sendiri yang punya pengaruh nyata atas Israel. Juga bahwa pengaruh itu di Washington bergantung pada perilaku yang baik.
Singkatnya, tujuan Amerika untuk membatasi kekuatan Soviet di Timur Tengah hampir –hampir tidak terpengaruh oleh berbagai perkembangan di wilayah tersebut.
Aliran Minyak Gratis. Akhirnya, prioritas Amerika untuk mempertahankan aliran minyak dari Teluk Persia nyaris tidak ada hubungannya dengan konflik Arab-Israel. Meski berbagai upaya dilakukan pada pertengahan 1970-an untuk menghubungkannya dengan harga minyak dan keamanan Teluk Persia, ini terbukti salah oleh peristiwa-peristiwa berikutnya (terutama, perang Irak-Iran). Sekarang, pada era ketika produsen memperebutkan pelanggan, tesis ini kurang valid dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya.
Kesimpulan
Tidak banyak kepentingan kritis jangka panjang AS yang terpengaruh oleh persoalan wilayah. Dengan memperhatikan kebijakan Timur Tengah, maka kesimpulan ini mengarah kepada tiga aturan praktis: (1) Menilai perkembangan di wilayah-wilayah itu dalam kaitannya dengan hubungan Mesir-Israel. Hanya jikalau mereka terancam, maka Pemerintah AS harus terlibat. Akibatnya, Pemerintah AS harus menurunkan tingkat kepentingannya yang melekat pada wilayah yang dikuasai Israel. (2) Berikan perhatian yang lebih besar terhadap perkembangan internal di negara-negara Arab moderat dibanding saat ini. (3) Tidak boleh melihat konflik Arab-Israel berperan penting baik dalam kehadiran Soviet atau dalam aliran bebas minyak ke kawasan itu.
Aturan pertama dan kedua ini bertentangan dengan arus opini mayoritas saat ini. Opini yang melihat proses perdamaian sebagai inti peran Amerika di Timur Tengah. Jelas juga, pada saat banyak pejabat pemerintah diperintahkan oleh seruan halus di media yang menyerukan agar Washington melakukan tindakan lebih lanjut, maka sangat tidak mungkin bahwa seruan untuk menahan diri ini akan didengar. Dengan menggunakan cara berpikir dan bertindak yang disukai pemerintah, maka proses perdamaian dapat dikatakan merupakan kereta api yang telah meninggalkan stasiun. Siapa pun yang ingin mengusulkan rute yang berbeda tidak akan menemukan siapa pun untuk diajak bicara kecuali para kuli pengangkut stasiun kereta api.
Atau, dengan metafora lain, ketika ada konsensus yang begitu luas, tidak ada balai kota yang bertarung. Dasar kebijakan Amerika vis-à-vis proses perdamaian sangat kuat saat ini sehingga nyaris membuang tenaga sia-sia jika berusaha mengubahnya. Dalam politik, menjadi lebih awal berarti salah. Secara taktis, salah jika mau keluar dari kurva kebijakan yang mendorong adanya saran yang tidak ada harapan untuk dijalankan.
Kebijakan yang ada akan dijalankan selama satu atau dua tahun lagi. Para pihak yang menentang arahnya tidak bisa berharap banyak untuk berubah sebelum upaya tersebut habis. Pembicaraan tentang utusan khusus, rencana Pemilu dan konferensi internasional akan memenuhi udara. Mereka yang berada dalam kelompok oposisi tidak punya banyak pilihan selain menonton putaran aktivitas saat ini sambil menunggu waktu. Kebijakan yang ada saat ini terhadap wilayah harus mengikuti arah yang sudah ditentukan. Jelas, mereka yang tidak setuju sekalipun ingin kebijakan itu berhasil. Tapi, jika gagal, maka akan ada celah bagi jurubicara untuk mengusulkan pandangan alternatif. Dengan demikian, mereka yang skeptis terhadap pendekatan Amerika saat ini harus bersiap untuk saat itu.
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Israel & Zionisme, Palestina, Kebijakan AS
Artikel Terkait:
- "[Symposium] On the Strip: Where To Go from Gaza?"
- "A Shot at Peace"
- Throwing out the [Arab-Israeli] Rulebook
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.