Tulisan berikut ini terdiri dari surat-surat kepada redaksi media beserta jawabannya dari Daniel Pipes.
Surat Kepada Redaksi:
Daniel Pipes berpendapat bahwa resolusi konflik Israel-Palestina akan terjadi hanya ketika rakyat Palestina, yang telah dipukul babak belur, akhirnya menyerah pada apa pun yang bersedia diberikan Israel kepada mereka [baca artikelnya, "Does Israel Need a Plan?" Commentary, February 2003]. Ini semacam logika berupaya merugikan pihak lain, tetapi sekaligus merugikan diri sendiri yang dijamin menyebabkan masalah ini terus berputar hingga milenium baru. Ini mewakili sedikit lebih dari penghayatan moralitas kekuasaan yang dangkal.
Menjadi benar-benar pro-Israel berarti berdamai dengan antagonisme yang tertanam dalam Zionisme terhadap "penduduk asli" dan skema yang berabad-abad dianut untuk mencabut penduduk asli dari tanah mereka. Dan, sebaliknya dia mencabut hak sipil dasar mereka. Menjadi benar-benar pro-Israel berarti membantu negara berkembang menjadi inklusif. Tidak hanya bagi imigran Yahudi Ethiopia atau Rusia terbaru. Tetapi juga bagi pengungsi Palestina atau penduduk Ramallah atau Nablus.
Untuk menjadi anti-Israel, cukup perhatikan Daniel Pipes: akar dominasi Yahudi dan kekalahan Palestina.
ALAN GOLDSTEIN
Plainfield, New Jersey
Surat Kepada Redaksi:
Daniel Pipes berupaya mengkritik siapapun yang berupaya mencari cara untuk keluar dari krisis Israel – Palestina. Entah itu Presiden Bush atau para pengkritiknya yang berhaluan ekstrim Kiri. Namun, penjelasannya tentang "peta jalan" (road map) Pemerintahan Bush pada dasarnya tidak berimbang.
Setiap draf dokumen yang berturut-turut dirancang lebih bersimpati pada pendekatan Israel yang lebih sesuai dengan posisi Perdana Menteri Sharon. Pipes mengabaikan fakta bahwa peta jalan itu berbasis kinerja sehingga menguji reformasi dan komitmen Palestina pada setiap titiknya untuk menghentikan kekerasan. Yang mungkin lebih baik menjadi sasaran kritiknya adalah anggota lain "kuartet" Timur Tengah—yaitu Rusia, Uni Eropa (UE) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun, Pemerintahan Bush bagaimanapun telah berhati-hati melindungi Israel dari tekanan yang mengerikan.
Pipes menggambarkan Lembaga Kajian Israel Policy Forum (Forum Kebijakan Israel---IPF), tempat saya bergabung, sebagai "tidak sabar agar peta jalan bisa bergerak maju." Dengan demikian, peta jalan menyiratkan adanya strategi untuk menyenangkan hati pihak lawan yang tergesa-gesa merekomendasikan kompromi Israel. IPF menawarkan "jalur pintas" menuju peta jalan sebagai saran untuk menyederhanakan dokumen. Pendekatan kami didasarkan pada asumsi bahwa pemantau internasional yang dipimpin oleh Amerika dapat memfasilitasi berhentinya kekerasan sehingga bisa memverifikasi kepatuhannya terhadap reformasi keamanan (sebuah mekanisme yang dianggap Pipes "jelas tak dapat dijalankan"). Para pemantau akan tetap menjadi "wasit," pengamat yang tak akan campur tangan secara fisik untuk menghentikan kekerasan, jangan sampai mereka sendiri menjadi sasaran kemarahan warga Palestina. Bagaimanapun, para pemantau hanyalah satu saran dalam rencana yang secara terpusat menargetkan masalah kekerasan.
Oleh karena itu kami bertanya-tanya mengapa Pipes menulis bahwa jalan pintas tidak memberlakukan batasan atas warga Palestina sehingga membuat mereka menjadi tidak bertanggung jawab. Dalam proposal kami, jika kekerasan tidak berakhir, tidak ada yang bergerak maju. Jika kekerasan berlanjut, konsesi lain segera dihentikan dan prosesnya diteliti kembali. Pendekatan kami, jika diterapkan, akan menyelamatkan nyawa warga Yahudi, membendung krisis ekonomi Israel, dan mulai meningkatkan keamanan jangka pendek dan jangka panjang Israel. Dalam lingkungan yang berubah seperti itu, pemain penting di pihak Palestina yang menerima hak Israel untuk hidup dapat memperoleh status dan pengaruh.
Daniel Pipes tidak menawarkan apa-apa selain konflik yang berkelanjutan. Juga tidak menyodorkan mekanisme untuk menguji reformasi Palestina. Kami tawarkan langkah-langkah konkret yang memaksa Palestina menghentikan kekerasan yang selanjutnya bakal meringankan penderitaan para korban di kedua sisi, tanpa mencelakakan Israel dengan pertumpahan darah tanpa akhir.
STEVEN SPIEGEL
University of California
Los Angeles, California
Surat Kepada Redaksi:
Daniel Pipes berspekulasi bahwa jika Palestina sendiri akhirnya "yakin bahwa mereka sudah kalah," maka tetangga Arab Israel akan "sulit untuk tetap menolak" terhadap Negara Yahudi. Namun dia tidak menjelaskan mengapa harus demikian.
Lebih dari satu abad berlalu sejak dimulainya migrasi Yahudi modern menuju Palestina, tidak pernah dalam periode ini Bangsa Yahudi serius terancam oleh kekerasan yang dilakukan atas mereka oleh warga Arab pribumi. Sebaliknya, kekuatan militer gabungan Mesir, Suriah, Yordania, Irak, dkk. Justru telah mengancam eksistensi Israel sehingga menewaskan ribuan orang Yahudi.
Perang negara-negara Arab tidak pernah termotivasi oleh tujuan untuk berjuang "bagi" Palestina, seperti diungkapkan Pipes. Mereka senantiasa memperjuangkan apa yang mereka anggap sebagai kepentingan geopolitik mereka sendiri.
BENJAMIN D. SHERMAN
Saddle Brook, New Jersey
Surat Kepada Redaksi:
Sangat tepatlah yang dikatakan Daniel Pipes bahwa Bangsa Palestina dan saudara-saudara Arab mereka belum menerima ekistensi Israel sehingga membenamkan diri mereka dalam anti-Semitisme sambil meracuni pikiran kaum pemuda mereka. Dan bahwa kecuali dan hingga mereka menghilangkan ilusi pemikiran bahwa mereka mampu hancurkan Israel, maka tidak bakal ada perdamaian sejati. Pemikiran ini baik-baik saja sejauh ini. Tetapi Pipes tidak bisa memprediksi berapa lama waktu yang dibutuhkan Bangsa Arab untuk menumpahkan kebencian mereka. Bisa memakan waktu 50 atau bahkan 100 tahun.
Dalam skenario seperti itu, resep Pipes tidak berhasil membahas realitas demografis yang menimbulkan ancaman besar bagi Israel. Menurut Arnon Sofer dari Universitas Haifa, Bangsa Yahudi akan membentuk hanya lebih dari 40 persen populasi yang berdiam di sebelah barat Sungai Yordan pada 2020. Pada saat itu, Sofer perkirakan, akan ada 15,2 juta orang tinggal di daerah itu. Sebanyak 6,4 juta warga Yahudi dan 3 juta warga Arab dan warga non-Yahudi lainnya di dalam perbatasan Israel sebelum 1967 dan 5,8 juta warga Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
Fakta-fakta ini tidak luput dari perhatian Bangsa Arab. Seorang penulis untuk harian yang berbasis di London Al-Hayat mengamati:
Kita mampu meningkatkan ancaman demografis atas Israel, jika kita memperlihatkan tekad yang diperlukan. Sudah saatnya ada perencanaan jangka panjang untuk mengelola krisis Arab-Israel, yang umurnya masih panjang. Kita harus memberikan kepada warga Palestina dari 1948 status yang layak mereka terima. Soalnya, tanpa mereka, kita tidak bisa membuat Palestina kembali menjadi Arab.
Persoalan ini nyaris tidak terdengar seperti musuh yang sedikitnya bermaksud datang untuk menerima "keberadaan Bangsa Yahudi yang berdaulat antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania" sekalipun. Apalagi yang mungkin "yakin bahwa mereka telah kalah" yang merupakan persyaratan yang Pipes sarankan sebagai prasyarat untuk perdamaian.
Pipes mengesampingkan jawaban yang jelas nyata dari "pemindahan paksa warga Arab Palestina dari wilayah pendudukan Israel." Karena itu, ia menulis, "biaya (price) politik, baik di luar negeri maupun di dalam Israel, bakal tak terhitung, sehingga membuat pilihan ini jauh lebih fantastis daripada nyata." Tetapi sekedar menunggu warga Arab Palestina keluar dari daerah pendudukan, seperti diusulkan Pipes, juga bermasalah. Itu sebabnya Israel pada umumnya, khususnya para politisi berhaluan moderat/Kanan, tidak punya pilihan selain merumuskan rencana yang tidak bergantung pada sikap warga Arab untuk menerima Negara Yahudi secara ramah.
Kaum Kiri Israel beserta rekan-rekan Yahudi Amerikanya hanya menyerukan penarikan mundur sepihak berdasarkan garis pemisah pra-1967, sehingga mengabaikan bahaya yang sangat termasyhur dikatakan oleh Abba Eban sebagai "batas-batas Auschwitz." Dalam hal ini mereka memperoleh dukungan dari Uni Eropa, Rusia, dan anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa lain sebagaimana dirumuskan dalam apa yang disebut peta jalan untuk pembentukan Negara Palestina. Yang lebih penting lagi adalah komitmen Amerika terhadap pembentukan Negara Palestina yang semula dibuat oleh Presiden Clinton dan sekarang diperkuat oleh Pemerintahan Bush.
Dalam situasi ini, bagi saya tampaknya Israel harus mempertimbangkan kriteria untuk membagi perbatasan dan populasi yang memenuhi kebutuhan akan keamanan dan hak historis agama nasionalnya. Kriteria ini harus mencakup pertukaran populasi secara timbal balik antara warga Palestina dan warga Israel yang berdiam di wilayah sengketa. Israel, dengan demikian, dapat melebarkan wilayah sempit delapan mil miliknya menjadi mungkin dua puluh mil. Selain itu, Israel juga perlu mempertahankan kendali kedaulatan atas wilayah-wilayah yang menjalin kontak antara entitas Palestina baru dan negara-negara Arab.
Pembagian ini tidak sekedar menghasilkan puluhan komunitas Yahudi di Tepi Barat dan Gaza tetapi juga merelokasi warga Palestina ke arah timur Kota Tulkarm dan Kota Qalqilya. Juga ke utara kamp pengungsi Rafah yang berbatasan dengan Mesir. Perbatasan baru juga harus memastikan Israel berdaulat atas tempat-tempat suci utama Yahudi, termasuk Gua Para Bapak Bangsa (Cave of the Patriarchs) di Hebron dan Makam Rachel. Akhirnya, entitas Palestina baru apapun harus didemiliterisasi dan dilarang membentuk aliansi militer dengan negara-negara Arab.
Untuk menghentikannya, sebagaimana Pipes tampaknya sarankan, abaikan saja kematian penduduk Palestina yang penuh dengan semangat bermusuhan yang semakin meningkat tak terhindarkan.
DAVID SCHIMEL
Great Neck, New York
Surat Kepada Redaksi:
Artikel Daniel Pipes itu sangat brilian. Namun pemikirannya ditentangnya sendiri sehingga tidak mengikuti konsekuensi logis argumennya sendiri. Pipes berpendapat bahwa konflik-konflik besar abad ke-20 diselesaikan baik dengan kekalahan mutlak dari satu pihak atau tidak sama sekali tidak diselesaikan. "Perang antara Korea Utara dan Selatan, Pakistan dan India, Irak dan Iran, dan Irak dan Kuwait belum berakhir," tulisnya, "karena pihak yang kalah menafsirkan setiap kekalahan itu hanya sebagian dan sementara."
Dengan demikian, Israel harus menghancurkan Palestina secara militer. Skemanya tidak mengizinkan pilihan lain. Tetapi Pipes menarik kesimpulan yang bertentangan dengan analisisnya. "Apa yang akan membantu mengubah hati Palestina ini," tulisnya, "adalah upaya pencegahan Israel: mempertahankan militer yang kuat sekaligus yang mengancam yang secara masuk akal dapat menggunakan kekuatan ketika diserang." Pipes mengklaim bahwa upaya pencegahan berhasil" dari 1948 hingga 1993. Dengan demikian, dia mengabaikan fakta bahwa harapan-harapan untuk melakukan genosida yang sama yang kini dihayati oleh masyarakat Palestina dan kemudian dihayati oleh negara-negara tetangga Arab Israel, yang melancarkan perang melawan Israel pada 1948, 1956, 1967, dan 1973.
NICHOLAS STIX
Belle Harbor, New York
Surat Kepada Redaksi:
Artikel Daniel Pipes secara tepat menghancurkan banyak solusi yang disukai namun cacat atas konflik Arab-Israel. Tetapi resepnya sendiri untuk perdamaian bergantung pada premis yang salah. Premis bahwa "pencegahan" Israel berhasil pada periode 1948-93. Dalam arti biasa konsep itu, pencegahan itu tidak terjadi.
Ketika Israel dengan tegas mengalahkan musuh-musuhnya, seperti pada 1948 dan 1967, hasilnya adalah nyaris terjadinya perang perbatasan dan gerilya saat itu. Juga berlanjut dengan pertempuran habis-habisan dalam waktu enam atau tujuh tahun. Kemenangan Israel yang lebih samar pada 1956, 1973, dan 1982 sebenarnya menghasilkan jeda yang lebih damai dan lebih lama sebelum konflik terbuka kembali meledak. Tidak jelas bahwa kemenangan konvensional itu banyak menghalangi bangsa-bangsa Arab. Mengalahkan Palestina dalam perang saat ini, bahkan ditambah dengan kebijakan Amerika yang lebih akomodatif sekalipun, sama-sama tidak mungkin akan benar-benar bisa membalikkan tren.
Bangsa Arab mengakui kelemahan strategis mendasar Israel terkait dengan soal populasi, luas tanah, sumberdaya alam, sekutu yang tidak dapat diandalkan, dan (dalam pandangan Arab) kekuatan yang terus bertahan. Pandangan ini meremehkan upaya pencegahan strategis Israel terlepas dari keberhasilan taktisnya. Hanya ada dua cara untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini, meskipun keduanya bermasalah.
Salah satunya adalah beraliansi penuh dengan AS. Termasuk membuat pangkalan angkatan laut, darat dan udara AS di Israel (tetapi tidak, seperti yang diusulkan Thomas Friedman, aktif menjaga ketertiban perbatasan Israel atau menjaga ketertiban batas-batas wilayah yang bisa dilepaskan dengan Palestina). Masalah yang muncul dari pengaturan ini adalah bahwa A.S. bakal enggan menerimanya, sehingga membahayakan kemandirian Israel, sekaligus berpotensi mewajibkan Israel untuk membantu membawa wilayah perairan Amerika di tempat-tempat lain—katakanlah, Korea.
Alternatif lain bagi Israel adalah dengan mengakhiri kebijakan nuklirnya yang ambigu. Menjadi kekuatan nuklir yang dimaklumkan secara terbuka mungkin membuat dunia internasional mengencam, menyerukan sanksi dan terjadinya perlombaan senjata regional. Namun, bisa dibilang, Israel tetap menghadapi masalah ini. Supaya berhasil, Israel harus memastikan bahwa kekuatan nuklirnya kebal terhadap serangan pertama dan bahwa mereka jauh lebih unggul. Meskipun solusi terhadap dilema strategis Israel ini tidak diinginkan sebagai sekutu Amerika, ia dapat diterapkan oleh Israel secara sepihak.
JONATHAN F. KEILER
Bowie, Maryland
Surat Kepada Redaksi:
Seperti dikatakan Daniel Pipes, impian Palestina untuk menggantikan Israel mendorong perilaku kekerasan mereka sejak awal. Perilaku itu bakal terus ada selama mereka meyakini bahwa terorisme dapat mematahkan keinginan Israel untuk bertahan hidup. Untuk mencapai "perubahan hati" Palestina, resep utama Pipes bagi Israel adalah adanya kebijakan pencegahan yang teguh dan "kredibel".
Tapi masuk akal kedengarannya. Meski kebijakan pencegahan tidak dengan sendirinya cukup kuat untuk mempengaruhi transformasi yang diinginkan. Kredibilitas upaya ada dalam benak penontonnya. Seperti diamati Pipes, Israel yang lelah perang dan cinta damai terjebak dalam tipu muslihat Perjanjian Oslo, sehingga menyerahkan Lebanon selatan kepada Hizbullah, membuat tawaran perdamaian yang luar biasa murah hati di Taba, dan sering kali keluar dari kebijakannya untuk melakukan pembalasan.
Mengapa Palestina tidak berpegang teguh pada gagasan bahwa keberhasilan taktis Israel baru-baru ini terbukti fana. Terutama sekarang ketika "kuartet" internasional mungkin tergoda dengan penyelamatan politik mereka?
Upaya pencegahan memunculkan calon penyerang dengan biaya dan keuntungan yang prospektif. Tetapi jika Palestina sebagai pengganti Israel itu merupakan hadiahnya, dan jika hadiah itu tampaknya dapat dicapai, lalu apa biayanya yang menjadi terlalu besar?
Mulai sekarang, Israel tidak boleh menjalankan aksi pencegahan pasif tetapi pertahanan aktif. Pemikir militer terkemuka Carl von Clausewitz melihat dengan jelas bahwa tujuan utama dalam perang—yaitu menundukkan keinginan musuh untuk perang—mempersyaratkan adanya perubahan harapan dengan menempatkan apa yang diinginkannya di luar jangkauannya. Untuk tujuan ini, Clausewitz menetapkan sebuah syarat yang diperlukan: pertama-tama hancurkan kekuatan militernya, yang menjadi sandaran harapan-harapannya yang penuh dengan semangat berperang. Inilah tepatnya kebijakan yang kini diterapkan Israel ketika berupaya membasmi struktur komando teroris berikut gudang senjata yang dilindunginya di wilayah tersebut.
MICHAEL BALCH
Iowa City, Iowa
Surat kepada Redaksi:
Daniel Pipes benar ketika melihat kemenangan defenitif Israel atas Palestina sebagai syarat yang perlu bagi perdamaian sejati di Timur Tengah. Tetapi saya takut, syarat itu tidak cukup. Sebagaimana ditulis oleh Edward Luttwark seputar tata internasional masa kini, "lembaga-lembaga penjaga perdamaian biasanya mengabadikan perang dengan membekukan proses yang justru membuat perang berlangsung habis-habisan." Bahkan jika AS dan Israel sekalipun melakukan apapun yang dianjurkan Daniel Pipes, masih saja ada Uni Eropa, Liga Arab, PBB yang bakal mendukung Palestina sehingga mencegah mereka untuk menerima kekalahan.
ANTOINE CHICHE
Paris, France
Surat kepada Redaksi:
Tesis Daniel Pipes bahwa Palestina harus mengalami "perubahan hati" sebelum resolusi konflik apapun maju menuju perdamaian. Inilah apa yang sebagian besar masyarakat Israel juga nantikan.
Tetapi beberapa hambatan serius menghalangi. Masyarakat Palestina yang miskin, tidak berdaya dan tidak bisa bersuara tidak akan pernah bisa melawan permusuhan monolitik terhadap Israel di dunia Arab, ketika musuh-musuh ini punya petrodolar yang tidak terbatas dan memiliki kendali atas media massa, mempunyai kader-kader penyelenggara aksi dan orang-orang yang direkrut untuk beraksi sementara para pemimpin pun sudah dikerahkan di antara warga Palestina. Jika Bangsa Arab tidak benar-benar benci kepada Israel sekalipun, para pemimpin kelompok seperti Hizbullah dan Jihad Islam tidak akan pernah berubah pikiran. Tidak peduli seberapa rendahnya perasaan warga Palestina.
Bahkan andaikan ada beberapa tingkat penderitaan yang menyebabkan warga Palestina akan mengatakan, "cukup sudah penderitaan kami," kita akan bertanya, apakah Israel punya kemauan politik untuk membuat tingkat kerusakan yang perlu yang dituntut supaya bisa mencapai tujuan ini? Saya tidak yakin demikian. Terutama selama Palestina tidak melakukan serangan dalam bentuk sekelompok konvoi tank penyerang, pesawat pengebom dan gelombang infanteri.
Saya mengagumi usaha keras Mr. Pipes untuk mencari kejelasan tentang dilema yang menyakitkan Israel. Tetapi analisis yang valid bisa dimulai dengan menerima kenyataan pahit bahwa jihad Arab dan Palestina melawan Israel adalah fakta kehidupan yang tidak dapat diubah di Timur Tengah. Israel harus mencari cara untuk bertahan hidup dalam menghadapinya.
ALAN RAUZIN
Miami Beach, Florida
Surat kepada Redaksi:
Daniel Pipes menyajikan sebuah kritik yang sangat mengagumkan terhadap banyaknya rencana dan peta jalan yang sedang dipersiapkan untuk mengakhiri perang Palestina melawan Israel. Secara tepat, dia menyerukan supaya "membujuk warga Palestina untuk menghentikan niat membunuh mereka vis-à-vis Israel." Tapi apa sebenarnya yang harus dilakukan ini?
Otoritas Palestina (PA) telah mengubah ribuan kaum mudanya menjadi senjata pemusnah massal dengan meracuni pikiran mereka dengan kebencian yang mematikan terhadap warga Yahudi dan Israel. Yang dibutuhkan adalah program de-jihadisasi besar-besaran. Sama seperti program de-Nazifikasi pasca-Perang Dunia II. Buku-buku sekolah harus dibersihkan, perkemahan musim panas harus digunakan secara eksklusif untuk olahraga dan rekreasi, media harus kembali melaporkan berita dan masjid harus menghindari khotbah beracun mereka. Hanya setelah tugas-tugas ini selesai, Israel dapat merasakan bahwa perdamaian dalam arti apa pun menjadi mungkin.
HARVEY LITHWICK
Metar, Israel
Surat kepada Redaksi:
Analisis Daniel Pipes tentang situasi Israel masa kini tepat. Tetapi solusinya tidak bergerak cukup jauh. Palestina telah dikalahkan secara militer. Bahkan lebih dari sekali sejak 1948.
Ketika Uni Soviet masih ada dan mau mendukung mereka, Israel senantiasa dilarang untuk menjalankan kekuatan penuh sebagai pemenang sehingga tidak dapat membentuk masyarakat Palestina dengan norma demokrasi. Tapi sekarang ini, tanpa kekuatan besar di belakang musuhnya yang kalah itu, Israel harus memperlakukan Palestina seperti Amerika Serikat memperlakukan Jerman dan Jepang pasca-Perang Dunia II. Palestina harus ia paksa menyelenggarakan sidang wakil rakyat (constituent assembly) guna menerapkan konstitusi yang demokratis. Juga untuk mengadakan pemilihan umum yang menyeluruh, adil dan bebas. Kemudian, dia harus menjadi penjamin konstitusi itu. Sama seperti Amerika Serikat adalah penjamin utama demokrasi Jerman dan Jepang bahkan sampai hari ini.
Siapa yang kemudian dipilih rakyat Palestina itu urusan mereka sendiri. Tidak menjadi masalah. Pemimpin akan dibatasi oleh aturan permainan demokrasi. Hal ini dapat dilihat di tempat seperti Turki, di mana Pemilu demokratis menghasilkan pemerintahan yang seolah-olah Islam, tetapi pada umumnya tetap kooperatif dan bersahabat baik dengan Amerika Serikat maupun Israel.
ERVIN SCHLEIFER
Hartsdale, New York
Surat kepada Redaksi:
Tesis dasar Daniel Pipes itu benar. Tetapi dia gagal menyebutkan pendekatan lain yang layak dipertimbangkan untuk mendorong perdamaian antara Israel dan Palestina. Baik Yordania dan Mesir tampaknya memainkan peran yang konstruktif dalam mencoba meredam kekerasan terhadap Israel. Untuk sampai pada solusi sementara, saya menyarankan agar AS dan PBB meminta Yordania dan Mesir mengambil alih perwalian bersama (joint trusteeship) Tepi Barat dan Gaza untuk jangka waktu tidak lebih dari dua puluh tahun. Israel untuk itu, akan terus bertanggung jawab atas warga Yahudi di daerah-daerah ini dan tanah yang mereka duduki.
Mesir dan Yordania tidak akan mau memikul tanggung jawab ini. Tetapi dengan dorongan AS, mereka mungkin menyetujuinya meski enggan. Ini akan memperlihatkan dengan tegas kepada warga Arab yang berdiam di Tepi Barat dan Gaza bahwa Israel ada di sini untuk tinggal dan harus diterima, sambil juga membiarkan mereka untuk hidup di bawah kekuasaan Arab.
ALBERT H. SOLOWAY
Columbus, Ohio
Surat kepada Redaksi:
Daniel Pipes adalah salah satu analis paling bijaksana di Timur Tengah. Tetapi dia terlampau cepat mengabaikan kemungkinan untuk "mengarahkan kembali aspirasi Palestina kepada Yordania, negara yang sudah mempunyai mayoritas warga Palestina." Gagasan "Yordania itu Palestina tidak bakal berhasil efektif karena banyak alasan," tulisnya, "satu-satunya alasan yang paling penting adalah bahwa baik Yordania maupun Palestina tidak menunjukkan kesiapan sedikit pun untuk mengikutinya."
Ya, baik Arafat maupun penggantinya tidak boleh memerintah Yordania. Tetapi mengapa tidak membiarkan Yordania dan Israel—negara-negara yang dibentuk dari Mandat Palestina—membentuk sebuah konfederasi, dengan warga Arab Palestina yang berdiam di Tepi Barat dan Gaza tetap atau menjadi warga Yordania, tetapi dengan otonomi, termasuk memberikan suara dalam pemilihan umum lokal? Upaya ini tidak dapat dilakukan saat ini tetapi harus dinegosiasikan segera setelah negara-negara Arab dan Palestina menunjukkan bahwa mereka dapat hidup damai dengan Israel.
EDWARD M. SIEGEL
New York City
Surat kepada Redaksi:
Sekali lagi kita berutang kepada Daniel Pipes karena memberikan pencerahan atas beberapa kebenaran yang menyakitkan. Peringatannya bahwa konflik-konflik dahsyat abad ke-20 "berakhir karena satu pihak benar-benar meninggalkan tujuan perangnya" itu penting dan tepat waktu. Bagi saya, mengherankan mengapa bangsa Eropa, yang tabah menerima pengaturan kembali perbatasan negara mereka lalu memindahkan populasi mereka, namun bagaimanapun, mendukung upaya Palestina untuk kembali kepada status-quo sementara pra-1947.
Pipes juga tepat sasaran ketika menyerukan diakhirinya "permainan kejam" akibat dari dukungan AS untuk mempertahankan status pengungsi Palestina. Juga mendesak Washington akhirnya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Presiden Bush harus melangkah lebih jauh dengan menjelaskan bahwa AS sangat berkeberatan soal mendukung pendirian negara (statehood) jika Palestina terbukti tidak mau atau tidak mampu mengekang terorisme. Langkah ini telah tersirat dalam kebijakan AS. Sudah waktunya langkah itu menjadi eksplisit.
Duta Besar DONALD BLINKEN
New York City
DANIEL PIPES menulis:
Kecuali Donald Blinken yang mendukung ide-ide saya (untuk itu saya berterima kasih padanya), responden saya secara umum terbagi menjadi dua. Satu kelompok (seperti Alan Goldstein, Steven Spiegel, Benjamin D. Sherman) mempermasalahkan tesis saya. Kelompok lainnya (David Schimel, Nicholas Stix, Jonathan F. Keiler, Michael Balch, Antoine Chiche, Alan Rauzin, Harvey Lithwick, Ervin Schleifer, Albert H. Soloway, Edward M. Siegel) mempermasalahkan rekomendasi kebijakan saya. Para pengkritik sebelumnya menganggap saya bertindak terlalu jauh. Yang terakhir umumnya melihat saya bergerak tidak cukup jauh. Menariknya, kelompok yang terakhir lebih banyak; sepuluh banding tiga. Sebuah indikasi tentang bagaimana sentimen bergerak dalam lingkaran simpatik kepada Israel. Balasan saya tentu akan sangat singkat.
Alan Goldstein menyerukan adanya "sikap yang inklusif" bagi warga Palestina di Israel. Bagi saya seruan ini terdengar seperti kata sandi untuk membongkar Negara Yahudi dan menggantinya dengan negara dua bangsa Yahudi-Muslim. Singkatnya, dia sedang meresepkan berakhirnya Zionisme.
Steven Spiegel menekankan bahwa proposal "jalan pintas" (on-ramp) Israel Policy Forum penuh pepak dengan syarat: "jika kekerasan tidak berakhir, tidak ada gerak maju." Bagus. Tetapi jenis persyaratan yang sama pastinya sudah menjadi premis dari seluruh proses Perjanjian Oslo. Dan persyaratan itu tidak pernah berhasil. Sikap Palestina yang tidak patuh terkadang memang menunda momentum ke depan, tetapi tidak sekali pun menghentikannya. Catatan menunjukkan bahwa persyaratan seperti itu hanyalah retorika.
Benjamin D. Sherman berpendapat bahwa negara-negara Arab punya kepentingannya sendiri. Berbeda dari kepentingan Palestina. Ya, tetapi perhatikan perubahan besar selama beberapa dekade: sebelum 1967, negara-negara itu umumnya menginginkan terjadinya konflik dengan Israel. Sejak itu, mereka ingin keluar. Setelah Palestina tidak lagi menolak, saya berharap negara Arab melakukan hal yang sama. Memang, kita melihat alur berpikir ini pada pertengahan 1990-an.
David Schimel benar soal realitas demografis. Tetapi saya mempertahankan penilaian saya tentang pemindahan penduduk (transfer). Yaitu bahwa "biaya (price) politik, baik di luar negeri maupun di dalam Israel, tidak terhitung jumlahnya, sehingga opsi ini lebih fantastis dibanding kenyataan." Pemindahan penduduk semakin populer, seperti yang ditunjukkan oleh data survei yang saya kutip dalam artikel saya. Tetapi biayanya mahal. Soalnya, dia membuat begitu banyak orang Israel, warga Amerika dan lainnya marah. Soalnya, ia lebih berarti merusak. Bukan meningkatkan keamanan Israel. Adapun soal rencana khusus Schimel untuk adanya "pertukaran populasi bersama" antara warga Palestina dan Israel yang tinggal di wilayah sengketa, saya hanya dapat mengulangi apa yang saya tulis dalam artikel saya: "salah untuk membahas masalah 'status akhir'—misalnya, soal bagaimana keadaannya ketika konflik berakhir"—hingga Palestina secara definitif menerima keberadaan Israel.
Nicholas Stix menyatakan bahwa "Israel harus menghancurkan Palestina secara militer." Mungkin perlu, mungkin juga tidak. Artikel saya hanya merekomendasikan garis besar pendekatan Amerika terhadap konflik Arab-Israel (yaitu, berusaha mencari perubahan hati warga Palestina) kemudian dengan sengaja menghindari diri untuk menasehati Pemerintah Israel bagaimana mencapai tujuan itu.
Jonathan F. Keiler menganggap saya salah karena menyatakan bahwa upaya pencegahan oleh Israel itu berhasil selama tahun 1948-93. Upaya itu memang berhasil sejauh Israel dilihat oleh musuh-musuhnya sangat berbeda pada awal dan akhir periode itu. Pada 1948, Bangsa Arab menduga mereka dapat menghabisi negara yang baru lahir itu. Pada 1993, mereka putus asa untuk mencapai tujuan ini. Konon Keiler benar ketika mengatakan bahwa upaya pencegahan tidak sepenuhnya berhasil. Penolakan terhadap Israel cukup bertahan lama selama 1993 sehingga proses Perjanjian Oslo bisa menghidupkannya kembali.
Michael Balch dan saya cukup sepakat bahwa Pemerintah Sharon mengikuti kebijakan yang benar. Secara lebih luas, kami juga setuju bahwa Washington harus mendukung kebijakan aktif Israel untuk melakukan pencegahan supaya mendorong agar hati warga Palestina mau berubah. Jadi tidak hanya pasif menunggu hal ini terjadi.
Pikiran saya sepakat dengan gagasan Antoine Chiche tentang potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh "lembaga penjaga perdamaian." Tetapi, saya tidak paham maksudnya ketika dia mengatakan, ketika masyarakat Palestina menghentikan niat mereka untuk menghancurkan Israel, lembaga-lembaga penjaga perdamaian itu tidak banyak membuat kerusakan.
Alan Rauzin menasihati hal yang membuat orang putus asa: "Jihad Arab dan Palestina melawan Israel itu fakta kehidupan yang tidak dapat diubah." Tapi jangan pernah katakan tidak pernah. Dalam politik, segala sesuatu berubah dari waktu ke waktu. Salah jika orang mengekstrapolasi dari masa sekarang ke masa depan yang tak terbatas.
Saya mendukung ide "de-jihad-isasi" yang diusulkan oleh Harvey Lithwick, meskipun menurut definisinya, upaya itu harus dijalankan, tidak mendahului, perubahan hati.
Ervin Schleifer mengusulkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Sebuah rencana yang dibahas sekaligus diabaikan oleh artikel saya. Sementara "pada prinsipnya tentu saja disambut baik," tulis saya, "hal itu kurang diinginkan selama warga Palestina terus berupaya menghancurkan Israel."
Albert H. Soloway menganjurkan supaya kembali kepada persyaratan pra-1967 (dimana "Yordania dan Mesir sama-sama bersedia menjadi wali atas Tepi Barat dan Gaza"). Edward M. Siegel menyerukan dibentuknya konfederasi Yordania-Israel. Saya heran karena kedua anjuran itu sama-sama tidak masuk akalnya dan pada saat yang sama, tidak cukup ambisius. Nasionalisme Palestina tidak dapat dimasukkan kembali ke dalam botol Yordania dan Mesir. Selain in, tidak ada rencana yang membahas soal penolakan Palestina.***
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Israel & Zionisme, Palestina, Kebiajakan AS
Artikel Terkait:
- "[Symposium] On the Strip: Where To Go from Gaza?"
- "A Shot at Peace"
- Throwing out the [Arab-Israeli] Rulebook
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.