Diwawancara oleh Marcello Iannarelli.
World Geostrategic Insights: Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan mengatakan pada 2 September 2022 bahwa "Tidak terpikirkan NATO tanpa Turki. Yunani tidak ada nilainya di dalam NATO. Jika ada Turki, NATO jadi kuat. Jika tidak ada Turki, NATO lemah." Apakah dia benar?
Daniel Pipes: Tidak, dia salah. Dan ada dua alasan mendasar. Pertama, Turki tidak memasukkan asset-asetnya yang penting seperti angkatan bersenjatanya yang kuat dan industri militernya yang hebat serta lokasi geografisnya yang penting bagi aliansi NATO. Aset-aset itu semuanya dirusak oleh aksi-aksi Turki. Pasukannya menyerang warga sipil di Suriah. Persenjataannya dikirim ke Etiopia dan lokasinya menyebabkan dia secara memalukan mengklaim daratan dan lautan. Kedua, Yunani itu anggota setia NATO. Ia sudah membangun kekuatan militernya dan bekerja secara positif dengan dua mitra bukan anggota NATO yaitu dengan Siprus dan Israel. Yunani yang bisa diandalkan membuatnya jauh lebih berharga bagi NATO dibandingkan dengan Turki.
Rencana "Tanah Air Biru" yang memalukan telah menarik satu pengikut di Turki |
WGI: Tepat sehari kemudian, pada 3 September, Erdoğan menuduh Athena secara illegal menjarah pulau-pulau Yunani. "Pendudukan pulau-pulau yang kalian lakukan tidak mengikat kami. Ketika datang waktunya, jamnya, kami akan lakukan hal yang perlu." Ia juga memperingatkan Yunani "untuk tidak melupakan Izmir" yang merujuk kepada kemenangan pasukan Turki atas Yunani, persisnya seabad sebelumnya. Apa pendapat anda terhadap pernyataan-pernyataan ini?
DP: Saya melihat pernyataan itu sebagai upaya mengalihkan persoalan yang sangat berbahaya pada saat ketika NATO sudah memusatkan perhatiannya membantu Ukraina melawan agresi Putin. Tindak permusuhan apapun oleh Erdoğan versus Yunani tidak sekedar menjadi bencana dalam dirinya sendiri, tetapi bakal sangat merusak fron bersama melawan invasi Rusia. NATO perlu secara keras dan jelas memperingatkan Erdoğan bahwa dia bakal memihak Yunani melawan Turki persis seperti dia memihak Ukraina melawan Rusia. Saya juga bertanya-tanya jika Putin mendorong Erdoğan supaya mengancam Yunani. Jika demikian, apa mungkin ancaman itu atau quid pro quo atau apakah yang diharapkan sebagai imbalannya?
Apakah yang Putin (Kiri) dan Erdoğan siapkan? |
WGI: Sebaliknya, Ankara baru-baru ini memperbaiki hubungan (fences) dengan negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Suriah, Israel dan Mesir. Apakah yang memantik mengawali kampanye yang menarik itu sekarang?
DP: Perhatikan perbedaan kontras yang sangat mencolok dari ancaman terhadap Yunani dan hubungannya yang cepat memanas dengan negara-negara Timur Tengah itu. Mengingat bahwa Turki itu secara efektif adalah pemerintah diktator, penjelasannya mungkin tidak sepenuhnya terletak pada strategi yang canggih tetapi lebih pada bias dan inkonsistensi Erdogan. Sebagai negara pengganggu yang sering abertindak tidak secara lagis, mungkin dia melihat negara-negara Timur Tengah sebagai ancaman terhadap kekuasaannya, sementara menganggap Yunani sebagai tidak penting. Bukan hanya populasi Turki delapan kali lebih besar daripada Yunani tetapi Erdogan memang langsung menyaksikan penurunan ekonomi Yunani setelah resesi global 2008. Jadi, dia memobilisasi opini publik terhadap lawan yang dianggap lebih lemah kemudian menjauh dari apa yang dia lihat sebagai lawan yang lebih mengancam.
WGI: Apakah perubahan luar negeri ini mengisyaratkan adanya pergeseran taktis atau strategis?
Nyaris apapun yang dilakukan Erdoğan itu bersifat taktis.
DP: Nyaris apapun yang dilakukan Erdoğan itu bersifat taktis. Entah bekerja sama dengan Bangsa Kurdi, mempromosikan pertumbuhan ekonomi, membeli senjata dari Rusia atau berusaha meningkatkan pesonanya secara internasional. Dia hanya punya dua tujuan yang tetap; mengumpulkan kekuasaan pribadi dan memajukan agenda kaum penganut Islam radikal.
WGI: Turki semakin menjadi masalah bagi sekutu Barat karena dia tidak memenuhi persyaratan aliansi untuk pemerintahan yang demokratis dan bekerja sama dengan lawan-lawannya (Rusia, Cina). Apakah NATO akan lebih baik tanpa Turki?
DP: Tentu saja. Turki menjadi tanggung jawab (liability) setiap kali NATO menghadapi ISIS, Iran, Rusia atau Cina. Blok Ankara hingga Swedia dan Finlandia bergabung dengan aliansi menawarkan contoh yang tepat waktu untuk menghambat NATO.
WGI: Haruskah aliansi mencari cara untuk mengeluarkan atau meminggirkan Turki?
DP: Ya, walaupun saya sangat meragukan hal ini terjadi karena mentalitas yang melihat Erdoğan sebagai penyimpangan kemudian mengharapkan Turki kembali kepada Turki lama yang baik pada 1952 – 2002. Tetapi saya punya berita bagi NATO. Hanya ada sedikit perbedaan, semua partai politik Turki melihat NATO dengan sikap yang jauh lebih bermusuhandibanding dengan melihat Erdoğan. Omong-omong, saya saksikan dengan mata kepala sendiri kelemahan Turki NATO pada 2017. Ketika organisasi saya, Middle East Forum (Forum Timur Tengah) menyelenggarakan sebuah acara NATO. Kala itu, 11 delegasi negara-negara dengan penuh semangat memamerkan diri mendukung Ankara, daripada mendukung prinsip-prinsip pendirian NATO "guna melindung kebebasan" masyarakatnya.
WGI: Sebagai solusi yang lebih mudah daripada mengeluarkan Turki, anda pernah menyarankan pembentukan sebuah NATO 2.0 tanpa Turki. Apakah yang anda pikirkan soal itu?
DP: Secara teoritis memungkinkan untuk mengeluarkan Turki dari NATO tetapi sulit dan kontroversial. Saya usulkan untuk memulai sebuah organisasi baru yang mencakup semua 29 anggota lain, tetapi tanpa Turki. Kemudian, pindahkan semua asset NATO ke organisasi baru. Kali ini, ada aturan yang jelas untuk keanggotaan. Aturan untuk mengeluarkan anggota pun perlu dimasukkan di dalamnya. Kita memang kreatif, tetapi bagaimana dengan menghapuskan rujukan geografisnya dan menyebut organisasi baru itu mirip dengan Aliansi Global Negara-Negara Demokrasi (Global Alliance of Democracies--- GLAD). Organisasi itu kemudian membuka pintu bagi Israel, India, Australia, Jepang, Korea Selatan dan negara-negara lain untuk bergabung. Bisa saja ia menjadi proto-PBB dari negara-negara demokrasi.
WGI: Akankah Turki tidak menyebabkan persoalan yang jauh lebih banyak di luar NATO, dengan beraliansi lebih dekat lagi dengan Rusia dan Cina?
Turki jauh lebih banyak membutuhkan NATO daripada NATO membutuhkan Turki.
DP: Saya pikir tidak. Pertama, Turki jauh lebih banyak membutuhkan NATO daripada NATO membutuhkan Turki. Turki bergabung dengan NATO pada 1952 karena takut kepada Rusia. Tidak ada soal berapa banyak Putin dan Erdoğan menghabiskan waktu bersama sebagai sahabat, sekarang rakyat Turki tahu siapakah bos dan siapa yang memenangkan perang selama dua abad. Kedua, Ankara sudah bersekutu akrab dengan Moskow serta Beijing dalam arena diplomatik, keuangan, perdagangan dan militer. Statusnya sebagai anggota NATO tidak dapat mencegahnya.
Topik Terkait: Turki, Rakyat Turki dan Kekaisaran Utsmaniyah
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list