Pemutakhiran informasi mengikuti catatan kaki.
Seorang Duta Besar Inggris untuk Irak yang putus asa memperingatkan Raja Faisal dari negara itu pada 1933, "Apakah saya harus melapor kepada pemerintah saya," bertanya secara retoris,
bahwa orang-orang publik Irak, orang-orang yang memegang posisi tertinggi di negara, berpidato pada acara-acara besar di mana mereka menyuarakan pendapat yang mereka tahu itu salah dan tidak berarti? Apakah saya harus mengatakan bahwa Parlemen Irak itu hanyalah tipuan, tempat waktu dan uang terbuang sia-sia oleh segelintir orang, yang, sambil menyamarkan diri sebagai negarawan, tidak menjalankan apa yang mereka ucapkan atau mengatakan apa yang mereka yakini? [1]
Perdana Menteri Irak Nuri al-Said (kiri) berbincang-bincang dengan Putra Mahkota Abdullah pada 1957. Secara pribadi, Said mendiskusikan Israel secara tenang dan masuk akal. Tetapi komentar publiknya pahit dan tak kenal damai.
Dengan semangat yang sama, Duta Besar AS untuk Irak era 1950-an menulis tentang Nuri al-Sa'id, yang menjabat perdana menteri kala itu yang dalam empat belas kesempatan mengatakan: "Pernyataan publik Nuri tentang Israel sangat berbeda dari apa yang dia katakan secara pribadi. Pernyataan publiknya, sama seperti pernyataan para nasionalis Pan-Arab, bernada getir dan tanpa kompromi. Secara pribadi, dia membahas soal Israel secara tenang, masuk akal dan tidak berlebihan."[2]
Pada 1993, terkait dengan invasi Saddam Hussein ke Kuwait, penulis Kanan Makiya mencatat bahwa "begitu banyak pemikir dan intelektual dunia Arab mendukung proyek diktator Irak selama krisis Teluk itu meski orang-orang yang sama tidak bakal bermimpi hidup di bawah pemerintahannya. Jadi, secara pribadi mereka membenci Saddam Hussein dan semua yang dia wakili; tetapi di depan umum mereka mendukungnya."
Contoh-contoh tentang Irak ini memperlihatkan ciri kehidupan publik Bangsa Arab: para politisi gegap gempita mengumandangkan pesan-pesan emosional dalam pidato-pidato kepada massa mereka dan berbicara lembut dalam sambutan-sambutan off-the-record yang bijaksana kepada lawan bicara Barat.
Kenyataan itu memunculkan dua pertanyaan: Haruskah orang luar mengindahkan teriakan atau bisikan mereka? Panduan mana yang lebih baik untuk kebijakan? (Ini berbeda dengan bertanya tentang keyakinan pribadi yang sebenarnya karena bagaimana seorang politisi bertindak itu jauh lebih penting daripada bagaimana dia berpikir secara mendalam.) Tinjauan sejarah menemukan jawabannya cukup mudah. Dan mungkin mengejutkan.
Pernyataan-pernyataan seputar Israel
Para politisi meneriakkan anti-Zionisme yang berapi-api di depan umum namun membisikkan pesan yang lebih lembut secara pribadi.
Konflik Arab-Israel memicu sikap tidak konsisten yang sangat terkenal antara ucapan publik dan pribadi. Para politisi meneriakkan anti-Zionisme yang berapi-api di depan umum namun membisikkan pesan yang lebih lembut secara pribadi. Gamal Abdel Nasser, orang kuat Mesir sejak 1954 sampai 1970, menjadi contoh kontras ini.
Di depan umum, Nasser tanpa henti meneruskan agenda anti-Zionis. Menjadikan Israel sebagai isu pokok politik pan-Arab. Sekaligus memanfaatkan perlawanannya terhadap Israel sehingga bisa menjadi pemimpin Arab paling kuat pada masanya. Tetapi, menurut Miles Copeland, seorang agen CIA yang bekerja sama dengan Nasser, dia sebenarnya menganggap masalah Palestina itu "tidak penting."[3]
Pola yang sama diterapkan pada isu-isu tertentu. Ketika berbicara kepada dunia, Nasser menolak keberadaan Negara Yahudi itu sendiri. Juga menolak berkompromi dalam persoalan apa pun dengannya. Sementara secara pribadi dia berbicara kepada diplomat Barat tentang kesiapannya untuk bernegosiasi dengan Israel. Di depan umum, dia memimpin perjuangan di Liga Arab melawan rencana AS untuk Otoritas Lembah Jordan yang hendak mengalokasikan perairan Sungai Jordan. Secara pribadi, dia menerima rencana ini.[4] Setelah perang 1967, dia secara terbuka menolak negosiasi dengan Israel dan bersikeras "Bahwa apa yang diambil dengan paksa akan diperoleh kembali dengan paksa." Bahkan ketika dia diam-diam memberikan isyarat kepada Pemerintah AS bahwa dia bersedia menandatangani perjanjian untuk tidak melancarkan perang melawan Israel "dengan segala konsekuensinya." [5]
Pernyataan publik dalam semua kasus ini menentukan kebijakan yang sebenarnya. Nasser bahkan diam-diam mengakui bahwa teriakan-teriakan itu menawarkan panduan yang lebih tepat dibandingkan bisikan. Kepada John F. Kennedy dia katakan bahwa "beberapa politisi Arab membuat pernyataan keras mengenai Palestina secara terbuka dan kemudian menghubungi Pemerintah Amerika untuk meringankan pernyataan keras mereka dengan mengatakan bahwa pernyataan mereka dimaksudkan untuk konsumsi lokal Arab." [6] Pernyataan itu persis menggambarkan perilakunya sendiri.
Presiden Suriah, Hafez Assad (kanan), di Dataran Tinggi Golan, pada tahun 1973. Assad secara publik menolak pembatasan pilihan militernya untuk melawan Israel. Secara pribadi, masyarakat Suriah mengaku meyakini bahwa demiliterisasi perbatasan Suriah-Israel dapat dinegosiasikan. |
Orang kuat Suriah, Hafez al-Assad pun bertindak serupa. Richard Nixon pernah menulis tentang dia, katanya, "Saya yakin Asad akan terus memainkan pemikiran garis keras yang paling keras di depan umum, tetapi secara pribadi dia mengikuti pepatah Arab yang dia katakan kepada saya dalam salah satu pertemuan kami: 'Lebih baik seorang buta dapat melihat dengan satu mata daripada tidak bisa melihat sama sekali.'"[7] (Pepatah itu tampaknya secara implisit mengatakan bahwa Assad mengelabui populasi Suriah dari pemikiran yang lebih lembut yang dia sampaikan kepada Nixon karena akibat indoktrinasi, mereka tidak mampu mengelola hal yang benar.) Assad di depan publik menolak setiap pembatasan pilihan militer vis-à-vis Israel. Tapi Harold H. Saunders, seorang diplomat AS terkemuka, melaporkan "Posisi yang diambil oleh Suriah secara pribadi adalah bahwa demiliterisasi perbatasan [Suriah-Israel ] dapat dinegosiasikan."
Seorang Duta Besar AS untuk Arab Saudi pada era 1970-an menceritakan bahwa Raja Faisal suatu ketika membahas soal konspirasi Zionis. Namun, setelah beberapa jam, raja menyuruh pencatat pidatonya berhenti mencatat lalu dia membahas persoalan yang sebenarnya, ketika dia berpikir jauh lebih masuk akal.
Jimmy Carter: "Saya belum pernah bertemu seorang pemimpin Arab yang secara pribadi menyatakan ingin agar Negara Palestina merdeka."
Henry Kissinger pada 1973 mengamati bahwa, "Setiap pemimpin yang saya ajak bicara sejauh ini menjelaskan bahwa jauh lebih mudah bagi mereka untuk meredakan tekanan [terhadap Israel] secara de facto daripada sebagai kebijakan publik Arab."[8] Jimmy Carter mengangkat alis ketika dia mengungkapkan pada 1979, pada saat politisi Arab sangat mendesak supaya Negara Palestina merdeka, "Saya belum pernah bertemu seorang pemimpin Arab yang secara pribadi menyatakan ingin agar Negara Palestina merdeka."[9] Tiga tahun kemudian, Carter menjelaskan dalam memoarnya bahwa;
hampir semua orang Arab bisa melihat bahwa Negara [Palestina] merdeka di jantung Timur Tengah mungkin menjadi titik gesekan yang serius sekaligus pusat radikalisai pengaruh.... Namun, karena kuatnya pengaruh politik PLO [Organisasi Pembebasan Palestina] di berbagai dewan internasional dan ancaman serangan teroris yang dilakukan oleh beberapa pasukannya, beberapa orang Arab berani menyimpang dari posisi awal dalam pernyataan publik mereka.[10]
Beberapa kalangan, kenang analis politik Barry Rubin, mengatakan kepadanya bahwa pemimpin Palestina Faisal Husseini sangat baik "kepada mereka secara pribadi, dan betapa mereka diyakinkan soal keinginannya yang sebenarnya bagi perdamaian. Namun, di depan umum, Husseini menganut garis yang jauh lebih keras, mendukung serangan teroris tertentu, dan, dalam sebuah pidatonya di Beirut sebelum meninggal dunia, menetapkan penghancuran Israel sebagai tujuan Palestina."[11]
Sebuah kabel rahasia Pemerintah AS tertanggal 2 Oktober 2009, soal Tunisia (dikeluarkan oleh WikiLeaks) menunjukkan perbedaan pribadi - publik lain di mana sekali lagi pesan publik lebih instruktif:
Tunisia jelas berhati-hati dengan opini publik, yang dikobarkan oleh gambaran kekerasan dari konflik Israel-Arab. Terutama gambaran kekerasan pertempuran di Lebanon pada musim panas 2006 dan di Gaza pada awal 2009. Para pemimpin Tunisia kadang kala mengeluh kepada kami bahwa liputan serangan Al-Jazeera tentang konflik-konflik ini membangkitkan kemarahan opini publik Tunisia, membatasi jangkauan Pemerintah Tunisia untuk memilih kebijakan (GOT). Ironisnya, media Tunisia, yang dikontrol ketat oleh negara, aktif mengobarkan api kemarahan publik terkait konflik tersebut. Pers tabloid Tunisia khususnya, meskipun sangat patuh dalam liputannya tentang Presiden Ben Ali, bebas menerbitkan teori konspirasi berlebihan yang melibatkan Israel dan Yahudi sebagai fakta, padahal itu liputan peristiwa yang umumnya tidak seimbang di teater Israel-Palestina.
Kairo berteriak lantang dengan teori konspirasi anti-Israel dan anti-Amerika ketika Menteri Kebudayaan Mesir, Farouk Hosny, gagal terpilih sebagai Ketua Organisasi Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Pendidikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), yang juga terjadi pada Oktober 2009. Tentu saja, rahasia kawat Pemerintah AS (yang disiarkan WikiLeaks) tentang persoalan ini mengarah kepada reaksi pribadi yang jauh lebih bernuansa (dengan mengatakan bahwa insiden itu "menjengkelkan").
Sementara itu, wartawan Matti Friedman menemukan bahwa Hamas secara pribadi menipu:
jurubicara Hamas tertentu mempercayakan rahasia mereka kepada para wartawan Barat, termasuk beberapa yang saya kenal secara pribadi. Rahasia bahwa kelompok itu nyatanya merupakan kesatuan yang secara rahasia pragmatis dengan retorika yang penuh semangat perang. Para wartawan Barat pun sangat mempercayainya, Mereka karena itu, tidak melihatnya sebagai sandiwara sehingga kerapkali tidak menghargai orang-orang setempat yang cerdas agar bisa digunakan untuk menipu mereka,
Menteri Luar Negeri Israel, Moshe Dayan (kiri) dan Presiden Mesir, Anwar Sadat, pada tahun 1977. Menurut Dayan, secara pribadi, Sadat "berulangkali mengatakan menolak Negara Palestina, sehingga sangat bertentangan dengan sikapnya di depan umum.
Israel pun mencatat perbedaan yang sama. Menjelang 1948, Laura Zittrain Eisenberg menulis bahwa, mata-mata Lembaga Yahudi (Jewish Agency) "menemukan bahwa ketika banyak penghubung mereka secara pribadi mendukung pemisahan [Palestina], beberapa dari mereka pun bersedia untuk melakukannya di depan publik."[12] Menurut Moshe Dayan, Anwar Sadar pun "kerapkali secara pribadi mengungkapkan penolakannya terhadap adanya Negara Palestina dan itu sangat berbeda dari sikap publiknya. [13]
Rakyat Palestina sekalipun bahkan memperlihatkan inkonsistensi sikap. George Habash, seorang pemimpin Palestina, mengamati pada 1991 bahwa ketika Pemerintah Aljazair dan Yaman benar-benar menginginkan adanya sebuah Negara Palestina, "Yordania tidak menginginkannya dan Suriah pun belum memutuskannya." Dia karena itu menyimpulkan, "Anda bisa katakan bahwa barangkali Negara-negara Arab yang efektif tidak menginginkan satu Negara Palestina."[14]
Andai pandangan yang disampaikan dalam pembicaaan berdua dengan para pejabat Barat itu berperan, maka konflik Arab-Israel sudah lama diselesaikan pada masa lalu.
Apapun yang Nuri Al-Said katakan dalam percakapan pribadinya, perilakunya terhadap Israel tetap penuh permusuhan. Nasser mengobarkan tiga perang melawan Israel. Terlepas dari perasaan-perasaan pribadi, para pemimpin Arab sangat menghargai isu-isu Palestina. Andai pandangan yang disampaikan dalam pembicaaan berdua dengan para pejabat Barat itu berperan, maka konflik Arab-Israel sudah lama diselesaikan pada masa lalu.
Tergoda oleh Bisikan ---dan Tidak
Memang masuk akal secara intuitif jika orang menghargai informasi rahasia lebih daripada informasi terbuka. Penulis Spanyol Miguel De Unamuno karena itu mengatakan, "Beberapa orang akan mempercayai apapun jika Anda membisikkannya kepada mereka." Selain itu, orang dalam secara alami menghargai percakapan empat mata yang eksklusif dan rahasia dengan para pemimpin. Dalam semangat ini, orang Barat sering kali mengistimewakan pembicaraan pribadi daripada pembicaraan di depan umum.
Pada akhir 2007, Mahmoud Abbas secara terbuka menolak mengakui Israel sebagai Negara Yahudi, yang menjadi isu utama pada saat itu, hanya dengan mengatakan, "Dari perspektif sejarah, ada dua negara: Israel dan Palestina. Di Israel, ada orang Yahudi dan lainnya yang hidup di sana. Ini yang dengan suka rela kami akui, tidak ada yang lain." Terlepas dari rasa enggan yang jelas untuk menerima ciri Yahudi Israel, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert bersikeras memutarbalikkan pembicaraan pribadi Abbas untuk menggantikan pernyataan publiknya.
Kesan saya dia ingin berdamai dengan Israel, dan menerima Israel sebagaimana Israel menyebut dirinya sendiri. Jika Anda memintanya untuk mengatakan bahwa dia melihat Israel sebagai Negara Yahudi, maka tidak akan dia katakan. Tetapi jika Anda bertanya kepada saya apakah dalam jiwanya dia menerima Israel, sebagaimana Israel menyebut dirinya sendiri, saya pikir dia menerimanya. Memang tidak signifikan. Mungkin tidak cukup, tetapi bukannya tidak signifikan.
Pada tahun 2010, WikiLeaks menerbitkan kabel diplomatik yang melaporkan bahwa beberapa pemimpin Arab mendesak Pemerintah AS untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. Yang paling flamboyan, Raja Abdulah dari Arab Saudi ingin Washington "memenggal kepala ular". Para analis politik Amerika umumnya setuju bahwa pernyataan pribadi ini membuka kedok kebijakan Saudi dan politisi lainnya yang sebenarnya, meskipun tidak ada komentar publik yang sebanding.
Eric R. Mandel "secara teratur memberi pengarahan kepada anggota Senat, DPR AS dan penasihat kebijakan luar negeri mereka", sehingga menjadikannya orang dalam. Dalam sebuah artikelnya pada tahun 2019 bertajuk "Israelis and Arabs say one thing in public and another behind closed doors. Politicians and pundits need to understand the difference," dia berpendapat bahwa percakapan pribadi lebih berguna daripada pidato publik. Bukti yang disajikannya? Menemukan bahwa, "terlepas dari adanya basa-basi publik untuk perjuangan Palestina, dunia Arab Sunni sadari bahwa konflik Israel-Palestina paling-paling hanya 'isu sampingan'."
Politisi Arab mungkin tengah memberi tahu orang Amerika apa yang ingin mereka dengarkan.
Tetapi analis lain yang memperingatkan soal bujuk rayu dengan bisikan, membuat kesimpulan yang sama seperti yang dilakukan penulis ini, Yaitu bahwa pernyataan publik lebih penting daripada pernyataan pribadi. Dengan mengacu pada kutipan "memenggal kepala ular," wartawan Lee Smith mencatat, bahwa politisi Arab mungkin tengah memberi tahu orang Amerika apa yang ingin mereka dengarkan: "Kami tahu apa yang dikatakan orang Arab kepada para diplomat dan wartawan tentang Iran," tulisnya, "tetapi kita tidak tahu apa yang sebenarnya mereka pikirkan tentang tetangga Persia mereka itu." Permohonan mereka bisa saja menjadi bagian dari proses diplomasi, yang melibatkan upaya untuk melihat ketakutan dan keinginan sekutu sebagai milik sendiri. Jadi, ketika orang Saudi mengklaim orang Iran adalah musuh bebuyutan mereka, orang Amerika cenderung untuk tidak secara kritis menerima kesamaan kepentingan ini; Smith mempertahankan, bagaimanapun, bahwa "kata-kata yang diucapkan orang Saudi kepada diplomat Amerika tidak dimaksudkan untuk memberi kita jendela yang transparan ke dalam pemikiran kerajaan tetapi untuk memanipulasi kita supaya melayani kepentingan Dinasti Saud." Kita pikir mereka mengatakan yang sebenarnya karena kita menyukai apa yang mereka katakan, bukan asumsi yang bijak.
Atau seperti dicatat oleh Dalia Dassa Kaye dari Rand Corporation, "apa yang para pemimpin katakan kepada para pejabat AS dan apa yang mungkin mereka lakukan mungkin tidak senantiasa sejalan." Yehoshafat Harkabi pun mengamati dalam kajian klasiknya pada 1972 bertajuk, Arab Attitudes to Israel:
Jika di Amerika Serikat pernyataan pribadi merupakan merupakan indikasi niat yang sebenarnya, maka yang sebaliknya tampaknya benar, sangat sering terjadi di negara-negara Arab, di mana pernyataan publik jauh lebih penting dibandingkan dengan kata-kata lemah lembut yang dibisikkan kepada wartawan asing. Bahkan jika massa tidak bisa memaksakan pemikiran mereka kepada para pemimpin mereka dengan proses demokratis, maka pentingnya pernyataan publik itu terletak dalam kenyataan bahwa mereka menciptakan komitmen sekaligus membangkitkan harapan sehingga kepemimpinan bakal menjalankan apa yang dikotbahkannya.[15]
Menggali lebih dalam
Sebelum meninjau persoalan psikologi yang mendasari fenomena ini, beberapa pengecualian perlu diungkapkan.
Nasser memberi tahu petinggi angkatan bersenjatanya supaya "tidak memperhatikan apapun yang mungkin saya katakan tentang solusi damai" pada konflik dengan Israel. |
Pertama, ketika politisi Arab berbicara secara pribadi, bukan kepada orang Barat, tetapi kepada khalayak sendiri, mereka cenderung mengatakan hal yang benar. Tiga hari setelah Nasser menerima Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No.242 pada 1967, dengan syarat "perdamaian yang berkeadilan yang abadi di mana setiap negara di kawasan dapat hidup aman," dia malah menginstruksikan kepada para pembesar angkatan bersenjatanya agar tidak "memperhatikan apa pun yang mungkin saya katakan di depan umum seputar solusi damai. [16] Arafat pun di depan publik menandatangani Perjanjian Oslo pada 1993 yang mengakui eksistensi Israel, tetapi dia mengungkapkan niatnya yang sebenarnya setengah pribadi ketika dia mengundang kaum Muslim di sebuah masjid Afrika Selatan "untuk datang memerangi memulai jihad untuk membebaskan Yerusalem," yang merupakan seruan tak langsung untuk membantu mengakhiri eksistensi Israel.
Kedua, apa yang dibicarakan dalam bahasa Arab itu jauh lebih diperhitungkan dibanding dengan dalam Bahasa Inggris. Kajian terhadap pidato-pidato Arafat selama dua tahun pasca-Perjanjian Oslo menemukan bahwa dia meyakini, "hanya satu cabang pohon kurma bagi Barat dan satu senapan Kalashnikov bagi sesamanya Bangsa Arab," dengan Kalashnikov sebagai simbol yang operasional.
Ketiga, politisi tidak selalu berbicara secara berbeda di depan umum dan pribadi. Nasser kadang-kadang secara pribadi mengatakan kepada pejabat AS sama seperti dia secara terbuka katakan kepada orang Mesir, bahwa Pemerintah AS "berusaha menjaga agar Mesir tetap lemah dan ini diakibatkan oleh pengaruh Yahudi" di Amerika Serikat. [17].
Adapun penyebab dari berbedanya teriakan dan bisikan ini, Abdelraouf Al-Rawabdeh, Perdana Menteri Yordania pada 1999-2000, secara tajam menjelaskannya dalam pernyataannya tahun 2013 yang dikutipkan lengkap berikut ini:
Ustad berbicara dari mimbar, filsuf, politisi, profesor universitas, guru sekolah semuanya serius dengan apa yang mereka yakini. Mereka semua menyelaraskan diri dengan hati nurani bangsa. Tetapi tidak bertanggung jawab untuk implementasinya. Seorang ustad kembali naik ke mimbar lalu memaklumkan: "Kita harus hadapi Amerika, ujung tombak bid'ah." Baik. Apa yang dia inginkan kita lakukan? Tidak dia katakan. Bersamaan dengan itu datanglah politisi, yang tugasnya adalah untuk memahami keseimbangan kekuasaa lokal, regional, dan internasional. Dan dia hanya berbicara tentang apa yang dapat dia capai.
Suatu ketika, ketika saya mencalonkan diri untuk sebuah jabatan. Sseorang berusaja menjegal saya. Dia mendekati saya dan bertanya: "Apa pendapat Anda tentang Amerika?" Saya bertanya kepadanya: "Apakah Anda bertanya kepada saya sebagai politisi atau sebagai kandidat?"
Dikatakannya, dia bertanya kepada saya sebagai kandidat. Jadi saya katakan: "Amerika itu negara musuh, yang memasok senjata kepada Israel, membunuh rakyat Palestina kita, mengendalikan negara-negara Arab kita, mengambil alih minyak kita menghancurkan ekonomi kita." Makanya, dia senang mendengar jawaban itu. Tapi kemudian dia berkata: "Dan sebagai politisi?" Saya katakan: "Amerika itu teman. Amerika dukung kita dan memberi kita bantuan."
Dikatakannya: "Tidakkah kau lihat itu sebagai kontradiksi moral?" "Tidak," kataku. "Saya katakan bahwa Amerika itu musuh untuk menenangkan Anda. Juga saya katakan itu sebagai teman supaya bisa memberi kau makanan. Beri tahu saya mana yang kau sukai." [tertawa]
Politisi berbohong baik di depan umum maupun pribadi tetapi yang pertama memprediksi tindakan lebih baik daripada yang terakhir.
Sikap terus terang Rawabdeh secara singkat menjelaskan sangat menyoloknya perbedaan antara kampanye politik dan kebutuhan diplomatik. Yang pertama membentuk kebijakan dan yang terakhir justru mengalihkan perhatian darinya. Dengan kata lain, politisi berbohong baik di depan publik maupun pribadi sehingga tidak memberikan panduan yang sempurna. Tetapi bagaimana pun yang pertama memprediksi tindakan yang lebih baik daripada yang terakhir. Informasi istimewa cenderung menyesatkan dan bisikan cenderung mengalihkan perhatian dari sana.
Nasihat apa yang dihasilkan dari ikhtisar ini? Untuk memahami kebijakan, andalkanlah pernyataan publik, bukan gumaman diam. Untuk memahami politik Timur Tengah, lebih baik membaca surat kabar dan siaran pers atau mendengarkan radio dan televisi daripada membaca kabel diplomatik rahasia atau berbicara secara pribadi dengan politisi. Retorika yang digunakan. Bukan apa yang diam-diam keluar dari mulut ke telinga, Apa yang didengar massa itu penting. Soalnya, mereka mempelajari kebijakan, sementara pejabat Barat menghadapi rayuan.
Aturan praktis ini, secara bersamaan, menjelaskan mengapa pengamat politik yang jauh kadang mampu melihat apa yang terjadi pada suatu tempat namun dilupakan oleh para diplomat dan wartawan.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah). ©2023. All rights reserved.
[1] Foreign Office 371/16903, E 1724/105/93, 22 March 1933. Dikutip dalam buku Mohammad A. Tarbush, The Role of the Military in Politics: A Case Study of Iraq to 1941 (London: Kegan Paul International, 1982), hal. 53-54.
[2] Waldemar J. Gallman, Iraq under General Nuri: My Recollections of Nuri al-Said, 1954-1958 (Baltimore: Johns Hopkins Press, 1964), hal. 167.
[3] Miles Copeland, The Game of Nations: The Amorality of Power Politics (New York: Simon and Schuster, 1969), hal. 69-70, 113.
[4] Michael B. Oren, The Origins of the Second Arab-Israeli War: Egypt, Israel and the Great Powers, 1952-56 (London: Frank Cass, 1992), bab. 5.
[5] Michael B. Oren, Six Days of War: June 1967 and the Making of the Modern Middle East (New York: Oxford University Press, 2002), hal.316.
[6] Foreign Broadcast Information Service, Daily Report, Near East and South Asia, 21 September 1962, no. 185.
[7] Richard Nixon, Memoirs (New York: Grosset and Dunlap, 1978), hal. 1013.
[8] Henry Kissinger, Years of Upheaval (Boston: Little, Brown, 1982), hal. 657.
[9] The New York Times, 31 Agustus 1979.
[10] Jimmy Carter, Keeping Faith: Memoirs of a President (New York: Bantam Books, 1982), hal. 302.
[11] The Jerusalem Post, 12 Juni 2001.
[12] My Enemy's Enemy: Lebanon in the Early Zionist Imagination, 1900-1948 (Detroit: Wayne State University Press, 1994), hal. 23.
[13] Moshe Dayan, Breakthrough: A Personal Account of the Egypt-Israel Peace Negotiations (New York: Alfred A. Knopf, 1981), hal. 162.
[14] The Nation, 30 Desember 1991.
[15] Jerusalem: Israel Universities Press, 1972, hal. 390:
[16] Dikutip dalam Mohamed Heikal, The Road to Ramadan (New York: Quadrangle/The New York Times Book Co., 1975), hal. 54.
[17] Telegram from George V. Allen, 1 October 1955, Foreign Relations of the United States, 1955-1957, vol. 14, Arab-Israeli Dispute 1955 (Washington, D.C.: U.S. Government Printing Office, 1989), hal. 539.
Pemutakhiran 21 Desember 2022: Artikel ini dibangun berdasarkan sebuah versi tulisan yang lebih pendek yang diterbitkan pada 1993 bertajuk: "Both Sides of Their Mouths: Arab Leaders' Private vs. Public Statements."
Topik Terkait: Berbagai pola Timur Tengah, Politik Timur Tengah
Artikel Terkait:
- Fighting and Hugging in the Middle East
- A Neo-Conservative's Caution
- Dim Prospects for Palestinian State
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL