Q: Media Eropa kerapkali memperlakukan Israel sebagai negara jahat kawasan. Bahkan dikatakan bahwa pembentukan negara itu pun merupakan sebuah kesalahan. Apakah Anda melihat Israel sebagai "negara yang jahat?"
DP: Aneh bahwa orang harus berargumentasi bahwa Israel itu bukanlah negara yang jahat. Juga bahwa ia adalah negara yang layak didukung. Soalnya, dengan standar pun, dia itu negara bebas, negara makmur, negara yang menjalankan supremasi hukum. Singkatnya, ini negara Barat dengan standar hidup dan cara hidup yang mirip dengan yang ditemukan di Eropa dan sangat jauh berbeda dari musuh-musuhnya di wilayah Palestina, Mesir, Suriah, Yordania, Iran, dan sebagainya. Ini pembalikkan fakta. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Flash Eurobarometer pada November 2003 menetapkan bahwa orang Eropa melihat Israel sebagai negara paling berbahaya di dunia. Ini pandangan yang luar biasa. Sebuah pandangan yang mencerminkan bukan pada Israel. Tetapi pada keadaan politik Eropa yang menyedihkan sekaligus tidak menyenangkan. Pandangan yang kurang pengetahuannya tentang Timur Tengah, tentang konflik Arab-Israel, tentang siapa sekutu dan siapa musuh, tentang masalah dan solusinya. Ini perkembangan yang sangat menyedihkan.
Daniel Pipes diwawancarai oleh Anna Masso. |
Q: Apakah Anda melihat hubungan antara Eropa dan Israel semakin baik atau parah?
DP: Saya pikir ada beberapa peningkatan selama tahun-tahun terakhir. Khususnya dengan perubahan pemerintahan sejumlah negara yang semakin menyenangkan. Yang paling dramatis di Prancis. Tetapi, reputasi Israel memang sangat jatuh beberapa tahun sekarang ini sehingga perlu kerja besar supaya bisa melihat hal-hal itu berubah.
Q: Apakah Anda pikir Hamas harus dihargai sebagai kekuatan politik yang sah, karena rakyat Palestina mendukungnya dalam Pemilu yang demokratis?
DP: Hamas itu merupakan gerakan Islam radikal yang sangat mengandalkan terorisme guna mencapai tujuan-tujuannya. Tujuan utamanya adalah menghapus Israel dan menggantikannya dengan pemerintahan kaum Islam radikal. Teroris dan penganut Islam radikal, itulah musuhnya. Bagi saya aneh bahwa siapapun di Barat harus mendambakan diri untuk mendukung Hamas atau membantu Hamas ketika organisasi itu jelas-jelas bukan sekedar musuh Israel tetapi juga musuh Barat secara keseluruhan. Saya pikir sangat fatal untuk melegitimasinya sekaligus untuk berurusan dengannya.
Q: Anda pernah menuliskan kata pengantar untuk buku yang bakal terbit karya Jonathan Schanzer soal konflik antara Hamas dan Fatah. Dapatkah konflik itu dilihat sebagai bagian perkembangan demokrasi Palestina?
DP: Hamas dan Fatah punya tujuan yang sama. Keduanya mendambakan penghapusan Israel. Tetapi pendekatan mereka berbeda. Filosofi mereka berbeda. Orangnya beda. Taktiknya beda. Karena itu, kerapkali mereka bekerja sama. Kerapkali juga mereka saling berperang. Tidak ada perang tetap atau kerja sama yang tetap. Ia cair. Ia berubah seiring dengan berjalannya waktu. Ada momen ia menjadi sangat jahat selama beberapa tahun, tetapi bisa saja ia berkembang sangat baik.
Q: Apakah konflik politik Israel-Palestina terkait dengan soal kebangsaan (nasionalist) atau teologis?
DP: Pada akhirnya konflik Arab-Israel bertumpu pada asumsi kaum Muslim. Bahwa wilayah yang pernah dikuasai Muslim tidak boleh dikuasai oleh non-Muslim sehingga tetap menjadi wilayah Muslim. Bahwa bangsa non-Muslim harus datang, mengambil alih, dan memerintah itu sangat bertentangan dengan asumsi mereka.
Konon, ada empat tahap konflik Arab-Israel yang berbeda selama satu abad terakhir. Akibatnya, ada empat tahap pendekatan Arab yang berbeda pula. Tahap pertama, tahap pan-Suriah, yang bertujuan menciptakan Suriah yang lebih besar. Yang kedua adalah pan-Arab, yang hendak menciptakan negara Arab yang lebih besar. Yang ketiga, tahap nasionalis Palestina. Kini tahap keempat, tahap penganut Islam radikal. Mungkin ada tahap kelima dan keenam. Kuncinya di sini bukanlah pendekatan yang berubah setiap beberapa dekade, melainkan keyakinan yang mendalam di kalangan Muslim bahwa Israel itu negara yang tidak sah karena ia berada dalam wilayah yang selama lebih dari satu milenium dikuasai oleh umat Muslim.
T: Apakah Anda melihat konflik ini bakal berakhir?
DP: Saya memang lihat kemungkinan konflik berakhir. Saya tidak melihat konflik itu berlangsung selamanya. Soalnya, tidak ada konflik yang berlangsung selamanya. Memang, saya lihat bahwa konflik mungkin akan berakhir dalam 20-30 tahun, ketika orang Palestina yakin bahwa Israel ada dan itu permanen. Juga menyadari bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan. Jadi terimalah. Dan, alih-alih berupaya menghapuskan Israel, mereka sebaliknya berupaya memperbaiki negaranya, ekonomi, masyarakat dan budaya mereka sendiri.
Islam
Q: Secara panjang lebar Anda pernah menulis soal perbedaan antara Islam dan Islamisme. Juga Anda menyebutnya "Islam militan" atau "fundamentalisme." Bagaimana anda menjelaskan perbedaannya?
DP: Islam itu agama pribadi. Ada banyak cara memahami apa artinya menjadi Muslim. Orang bisa menjadi Sufi. Menjadi mistikus. Jadi orang yang bisa menjalankan hukum secara sangat ketat. Juga bisa menjadi Muslim abangan yang tidak banyak pedulikan agamanya. Semua ini berikut cara-cara lainnya mungkin terjadi dalam agama Islam.
Islamisme adalah sebuah pendekatan yang sangat khusus. Sebuah pendekatan yang meyakini bahwa kaum Muslim akan berkuasa sekaligus kaya raya jika mengikuti hukum Islam secara lengkap terperinci, yang mendambakan supaya hukum Islam dijalankan di manapun di dunia dan yang melihat non—Muslim sebagai lebih rendah sehingga akan dikalahkan. Itu ideologi yang berakar pada kelahiran Islam, tetapi berkembang dalam keadaannya sekarang sekitar 80 tahun silam. Ia bagian dari Islam tetapi bukan Islam secara keseluruhan.
T: Kaum Muslim garis keras serta beberapa pengkritik Islam bagaimanapun bersikeras bahwa Anda tidak bisa menjadi seorang Muslim sejati kecuali Anda mengikuti hukum Islam – yang menyebabkan Islam dan Islamisme tidak ada bedanya?
DP: Sangat menarik untuk dicatat bahwa para penganut Islam radikal dan mereka yang mengatakan bahwa Islam sendiri merupakan masalahnya sepakat bahwa saya salah. Mereka juga mengatakan saya salah karena mengatakan Islamisme itu adalah Islam. Kaum radikal Islam mengatakan demikian karena mereka ingin menggambarkan Islam versi mereka sebagai satu-satunya. Sementara itu mereka yang melihat Islam sebagai masalah, mencampuradukkan agama dan ideologi. Saya pikir itu salah. Bahkan jika Anda orang Barat non-Muslim yakin itu masalahnya sekalipun, saya berpendapat Anda harus menggunakan sudut pandang saya. Soalnya, pemerintah Barat tidak dapat memerangi Islam. Negara kita bukanlah negara tentara salib. Oleh karena itu, Anda harus melawan ideologi Islamisme, bukan melawan agama Islam. Kita tahu bagaimana melawan ideologi. Kita pernah melawan Fasisme dan Komunisme. Dan sekarang ada Islamisme. Tetapi, kita tidak bisa memerangi agama. Jadi, jika persoalannya direduksi menjadi soal agama, kita tidak punya alat lagi untuk melindungi diri kita sendiri.
T: Apakah Islamnya Muslim yang tidak radikal itu Islam sekular dan terprivatisasi?
DP: Sekularisme berarti dua hal yang berbeda. Orang sekuler adalah orang yang tidak relijius. Masyarakat sekuler adalah masyarakat yang memisahkan agama dari politik. Islam yang tidak radikal tidak perlu sekuler dalam pengertian pribadi. Orang bisa saja menjadi saleh, tetapi bukan penganut Islam radikal. Tetapi itu memang berarti sekuler dalam pengertian terakhir, di mana masyarakat memisahkan politik dari agama. Rezim Atatürk di Turki misalnya, bersifat sekuler. Anda bisa beragama, tetapi Anda tidak bisa membawa agama ke ranah politik.
T: Apakah pendapat Anda tentang istilah "Islamofobia" – yang belakangan ini banyak digunakan di Eropa?
DP: "Islamofobia" itu gagasan yang cacat secara fundamental. Soalnya, orang yang mengkhawatirkan Islam itu bukanlah fobia. "Fobia" menyiratkan bahwa mereka punya perasaan tidak senang yang salah yang tidak dapat dibenarkan terhadap sesuatu. Padahal orang yang khawatir dengan terorisme, dengan pemberlakuan hukum Islam, Syariah, berurusan dengan serangkaian masalah nyata. Memaki-maki mereka sama-sama tidak adil sekaligus mendelegitimasi ketakutan itu sendiri. Padahal, ini adalah orang-orang yang punya keprihatinan yang nyata dan sah yang perlu dibereskan.
Eropa
T: Dalam sebuah wawancara video baru-baru ini Anda mengatakan tentang masa depan Islam di Eropa. Anda katakan bahwa ada 5% kemungkinan akan ada keharmonisan. Juga ada 47,5% kemungkinan Islam menjadi dominan di Eropa dan masyarakat Eropa menegaskan kembali kendalinya. Juga Anda katakan bahwa pilihan terakhir mungkin menyiratkan adanya perselisihan masyarakat sipil. Maukah Anda menjelaskan apa yang Anda maksud?
DP: Sangat mengejutkan melihat bahwa asumsi standar kebanyakan orang Eropa adalah entah bagaimana hubungan Eropa-Muslim akan berhasil. Mungkin ada masalah pada saat ini tetapi akan diselesaikan pada masa datang. Namun saya belum melihat sumber optimisme itu. Jika orang mau melihat kaum Muslim yang berdiam di Eropa, maka ia melihat bahwa mereka mengundurkan diri dari masyarakat, bukan melibatkan diri. Anak-anak imigran semakin memusuhi peradaban Eropa yang ada daripada para imigran itu sendiri. Di pihak Eropa, orang melihat semakin banyak kekhawatiran, keprihatinan dan ketakutan akan kehadiran kaum Muslim. Jadi harapan bahwa semua orang akan rukun sepertinya tidak berdasarkan kenyataan. Oleh karena itu saya melihat kemungkinan untuk berhasil sangat rendah. Bukan nol, tapi mimimal.
Di sisi lain, alternatif antara dominasi Muslim dan penegasan kembali Bangsa Eropa menurut saya agak seimbang. Saya tidak bisa memprediksi mana di antara mereka yang lebih mungkin terjadi. Krisis ke depan yang belum terjadi yang akan membantu menentukan ke arah mana Eropa akan bergerak.
T: Krisis macam apa yang akan terjadi di luar yang telah kita lihat?
DP: Ada krisis-krisis kecil. Persoalan Rushdie. Persoalan Foulard. Persoalan paus. Tapi ini bukan krisis nyata. Berbagai kerusuhan kecil terjadi sana-sini. Tetapi tidak ada yang benar-benar menyebabkan terjadinya perubahan besar. Jadi saya pikir ada jarak lima, sepuluh, lima belas tahun ke depan. Saya tidak bisa memprediksi. Tetapi bisa jadi seperti kerusuhan Prancis tahun 2005. Tetapi jauh lebih kejam. Tidak lagi membakar mobil tetapi membunuh orang. Bisa jadi pemilihan pemerintah yang bisa memutuskan untuk mengirim imigran Muslim kembali ke negara asal mereka. Tidak mampu saya memprediksi sifat spesifiknya. Saya hanya berpikir ada masalah di depan yang akan menunjukkan kepada kita ke arah mana Eropa akan menuju.
Q: Apakah yang dapat masyarakat Eropa lakukan guna mencegah terjadinya krisis yang parah?
DP: Ada banyak langkah yang bisa diambil masyarakat Eropa. Ada misalnya langkah untuk mengintegrasikan imigran Muslim dengan masyarakat setempat. Secara umum negara-negara Eropa itu adalah apa yang saya sebut keluarga-keluarga besar. Kau anggota sebuah negara karena kau berasal dari garis keturunan negara itu, bersekolah di sana, tahu bahasanya, dan menganut agama yang ada di sana. Dan sekarang untuk pertama kalinya banyak negara Eropa, bahkan semua negara Eropa kecuali Prancis, dihadapkan pada pertanyaan: apa artinya menjadi orang Finlandia, apa artinya menjadi orang Swedia, apa artinya menjadi orang Estonia. Anda dulu tak harus menjelaskannya sampai sekarang. Sekarang Anda perlu jelaskan. Ini krisis. Saya pikir ini krisis yang perlu diperhatikan. Apa yang dilakukan seseorang terhadap orang yang penampilannya berbeda, cara berdoa beda, dan makannya berbeda? Bagaimana cara menciptakan sebuah bangsa yang menyertakan mereka?
Juga, orang Eropa perlu punya lebih banyak anak, jika ingin mempertahankan peradaban mereka. Angka kelahiran sangat rendah sekarang. Karena peningkatan jumlah anak kurang signifikan, maka sulit untuk melihat bagaimana satu abad dari sekarang bakal ada Eropa yang masih menjadi Eropa saat ini.
Di pihak imigran, perlu ada kemauan yang lebih besar untuk berpartisipasi. Sekaligus juga untuk keberadaan peradaban Eropa, dan tidak berusaha mengubahnya, tetapi hidup di dalamnya.
Kebebasan Berbicara
T: Anda menulis buku tentang "Persoalan Rushdie " (Rushdie Affair) pada 1990. Tepat setelah peristiwa itu terjadi. Sekarang ada beberapa konflik serupa soal "menyinggung Islam" di Barat. Apakah ada yang berubah dari persoalan Rushdie hingga hari ini?
DP: Munculnya peristiwa Rushdie itu mengejutkan. Soalnya, untuk pertama kalinya kaum Muslim mengatakan apa yang boleh dan tidak boleh ditulis, atau dinyatakan, di Barat. Contoh lain, yang cukup banyak jumlahnya, menegaskan kembali sekaligus mengukuhkan pemikiran itu. Seiring berjalannya waktu, kaum Islam semakin bertekad untuk membatasi kebebasan berbicara. Mereka pergi kepada PBB, misalnya, untuk mendapatkan dasar hukum supaya bisa melarang pembicaraan semacam itu. Orang Barat pada umumnya, orang Eropa khususnya, semakin resah dengan pembatasan itu.
T: Seiring dengan tekanan di PBB untuk melarang "penistaan agama" di seluruh dunia, apakah Barat harus menerima bahwa di dunia yang semakin saling terkait dan multikultural ini, kebebasan berbicara tidak bakal seperti dulu lagi, setidaknya selama beberapa dekade terakhir? ?
DP: Orang bisa melihat kebebasan berbicara sungguh-sungguh berkurang di banyak negara Barat. Satu perkembangan aneh terjadi di Arab Saudi awal tahun ini. Yaitu ketika dewan konsultatif Saudi diminta mengkonfirmasi gagasan bahwa tidak boleh ada kritik terhadap agama. Tetapi dewan menolaknya. Soalnya, para anggotanya mencatat bahwa dewan tersebut bakal mengakui agama politeistis, yang menurut mereka "tidak dapat diterima". Jadi yang sebenarnya dimaksudkan adalah untuk melindungi Islam. Dan saya kaget jika undang-undang seperti itu disahkan.
T: Jadi kalau pembatasan kritik terhadap agama itu bakal berkaitan dengan semua agama secara sama, apakah umat Islam sebenarnya tidak menginginkannya?
DP: Benar.
T: Terkait dengan apa yang bisa dan tidak bisa kita katakan, anda pernah menuliskan bahwa Barat sendiri, bahkan di Amerika Serikat pun mengalami semakin banyak persoalan ketika menyebutkan adanya musuh dalam "perang terhadap terror"?
DP: Sulit bagi orang Barat modern untuk berbicara blak-blakan masalah semacam ini. Sikap itu merupakan hasil dari kesadaran atas kepercayaan diri dan perasaan bahwa tidak sopan dan tidak perlu berbicara terus terang. Cukup berbicara secara tersamar dan hati-hati.
Namun, saya pikir pada masa perang orang perlu berbicara dengan jelas tentang identitas musuh. Jika orang telusuri, pernyataan Presiden George W. Bush misalnya, maka orang akan menemukan bahwa pernyataan itu dimulai dengan sangat tersamar, kemudian menjadi lebih akurat namun sekarang menjadi samar lagi. Agaknya itu khas Barat secara keseluruhan, ketika orang tidak bisa memastikan bagaimana memahami siapa musuhnya dan apa sifat perang ini. Itu problematik. Sekarang hampir tujuh tahun sejak Tragedi 11 September (2001), hampir 30 tahun sejak Iran merebut Kedutaan Besar Amerika di Teheran, Pemerintah AS selama ini masih belum menemukan siapa musuhnya dan apa masalahnya.
T: Bagaimana anda memberi nama pada musuh itu?
DP: Akan saya sebutkan musuh itu sebagai penganut Islam radikal atau Islamisme. Itu sebuah gerekan. Sebuah struktur ide. Sama seperti Fasisme dan Komunisme.
T. Apakah membicarakan konflik ini menjadi semakin sulit selama beberapa tahun terakhir?
DP: Ada begitu banyak arus yang saling bertentangan. Sulit bagi saya untuk menggeneralisasi, untuk mengatakan apa trennya, ke mana arahnya. Orang bisa katakan bahwa dia menemukan banyak eufemisme dan pernyataan tidak langsung pada saat ini dan itu tidak menjadi lebih baik.
T: Sebelum 9/11, bahkan surat kabar sayap kiri menulis tentang "Fasisme Islam." Tetapi sekarang sepertinya sudah tidak terpikirkan lagi.
DP: Kita sudah menyaksikan peningkatan aliansi kaum Kiri - Islam. Terlihat sejak Michel Foucault mengunjungi Teheran pada tahun 1978-79. Dia sangat bersemangat menyaksikan apa yang terjadi. Awalnya pandangannya banyak ditentang di kalangan yang berhaluan kiri. Tetapi seiring berjalannya waktu perlawanan itu terkikis. Saya pikir peristiwa pentingnya terjadi pada Februari 2003 ketika di seluruh Eropa para penganut Islam radikal dan kaum kiri bersatu melawan perang yang bakal terjadi di Irak. Ini menciptakan dasar ikatan antarmereka.
Orang melihat bahwa mereka punya lawan yang sama. Mereka menentang gagasan, institusi, negara, dan orang yang sama. Mereka tidak mendukung hal yang sama, tetapi menentang hal yang sama. Jadi mereka bukanlah sekutu yang sebenarnya. Mereka tidak punya kerja sama strategis. Mereka punya kerja sama taktis. Berulang kali orang temukan itu di seluruh Barat.
Menariknya orang tidak menemukannya di dunia Muslim. Di Turki, misalnya, jika Anda menentang penganut Islam radikal dalam Pemilu setahun yang lalu, Anda akan memilih kaum Kiri. Berkali-kali orang menemukan bahwa Kiri dan kaum radikal di Mesir, Pakistan, di tempat lain saling bertentangan. Tetapi di Barat, mereka erat bekerja sama. Dan bukan hanya di Barat. Di India juga, orang menemukan hal yang sama. Dan itu sangat meresahkan. Ini adalah aliansi yang sebanding dengan aliansi Hitler-Stalin, yang merupakan aliansi coklat-merah. Ini aliansi hijau-merah. Hijau dalam artian warna Islam. Ini bahaya besar bagi dunia yang beradab.
T: Aliansi ini sangat membingungkan karena tujuan gerakan kaum Islam radikal terlihat lebih ke kanan daripada ke kiri.
DP: Jika Anda melihatnya secara negatif, maka Anda bisa memahaminya lebih baik daripada ketika Anda mencoba melihat apa yang sama pada mereka. Mereka tidak punya prinsip yang sama. Sosialisme, kesetaraan gender dan kepercayaan kepada Tuhan bukanlah hal yang sama. Tetapi jika Anda melihat apa yang mereka lawan, makaGeorge W. Bush itu simbolnya, tetapi secara lebih luas lagi peradaban Barat, khususnya AS, Inggris, Israel, Yahudi, penganut Kristen dan globalisasi. Itulah yang mereka lawan.
T: Jadi ketika para akademisi, para feminis yang pro hak gay menyatakan Hamas dan Hizbullah itu "progresif", apakah ini tentang – musuh bersama?
DP: Kaum feminis mengabaikan apa yang dikatakan Islam. Mereka melakukan demikian karena itu berguna secara taktis saat ini. Seperti di Iran pada 1970-an, Kaum Kiri dan penganut Islam radikal bekerja sama melawan Syah. Begitu mereka kalahkan Syah, mereka punya tujuan yang sangat berlawanan. Yang satu mengalahkan yang lain. Jadi ini taktis, asalkan ada lawan. Tetapi jika lawan dikalahkan, perbedaan mereka akan muncul. Soalnya, masing-masing bekerja untuk tujuan yang sangat berbeda.
Politik Amerika Serikat
T: Apa pendapat Anda tentang istilah "neo-konservatif"? Akankah Anda menerimanya lalu menggambarkan diri Anda sendiri?
DP: Pemikiran saya ambialen. Kaum Neokonservatif mungkin berjumlah 40 atau 50 orang di dunia. Ini bukan gerakan besar. Mereka dianggap punya kekuatan yang begitu besar. Jadi saya lebih suka gagasan menjadi salah satu dari mereka. Di sisi lain, ketika Anda melihat kebijakan tertentu, seperti perang di Irak, atau upaya cepat untuk mendemokratisasi Timur Tengah, saya temukan perbedaan yang nyata. Jadi menurut saya istilah itu tidak cocok untuk saya.
T: Baru-baru ini Anda menulis tentang kemungkinan AS menyerang Iran. Dalam konflik ini, Eropa lagi-lagi melihat AS sebagai agresor potensial utama.
DP: Orang Eropa punya kemewahan karena tidak harus membuat keputusan sulit. Karena mereka tahu bahwa AS akan ada di sana dan melakukannya untuk mereka, lalu mereka bisa mengkritik AS. Saya pikir AS sudah membuat kesalahan sejak Perang Dunia II dengan mengambil terlalu banyak tanggung jawab. Saya pikir kami seharusnya mengatakan vis-a-vis Soviet dan lainnya: Lihat, jika Anda tidak berpikir kami melakukan ini dengan benar, maka Anda melakukannya. Jika tidak suka, jika tidak menginginkan rudal Pershing pada 1981-82, baiklah, bereskanlah hubungan Anda dengan Soviet. Dan pesoalannya sama. Jika Anda pikir Iran punya rudal itu, baik-baik saja, baiklah, kami tidak akan melindungi Anda. Ia menciptakan kesadaran realisme yang jauh lebih besar. Namun sayangnya, sebagaimana adanya, kami yang mengambil inisiatif, kemudian orang lain mengkritik kami karena itu. Akan jauh lebih konstruktif bagi orang Eropa untuk membuat keputusan sulit sendiri daripada hanya mengkritik kami. Kami orang Amerika membuat orang Eropa bertindak seperti anak-anak yang tidak harus membuat keputusan penting, yang buat untuk mereka. Saya tidak berpikir itu sehat bagi orang Eropa atau diri kami sendiri.
T: Apakah integrasi Eropa yang diperketat membuat Eropa menjadi unit yang lebih "dewasa"?
DP: Saya yakin Uni Eropa punya batas-batasnya. Saya pikir ini persatuan ekonomi dan politik yang bermanfaat. Tetapi saya tidak berpikir Eropa harus mencoba untuk menjadi lebih dari sebuah konfederasi. Tidak saya pikirkan Eropa harus menjadi satu negara tunggal. Itu salah, jika dilihat dari sejarah Eropa. Mengubah Uni Eropa (UE) menjadi unit militer juga salah. Saya pikir NATO jauh lebih baik.
T: Dalam arti apa pemilihan umum Presiden AS yang akan datang penting bagi dunia?
DP: Barack Obama akan mengubah kebijakan Pemerintah AS menjadi kebijakan Eropa. AS akan menjadi Pemerintahan Eropa lain yang bertentangan dengan apa yang terjadi setidaknya selama beberapa dekade. Jadi itulah rangkaian pilihan yang sangat mendasar. Llebih mendasar daripada kapan pun sejak 1972, ketika [kandidat Demokrat] George McGovern juga menjalankan pendekatan Eropa sayap kiri.
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list