Pengantar: Artikel saya "Profs Who Hate America" (Para dosen yang membenci Amerika) muncul dalam Harian New York Post pada 12 November 2002. Ia memicu tanggapan bersama dua dari enam dosen yang saya sebutkan di dalam tulisan tersebut. Tanggapan mereka disetujui untuk diterbitkan oleh Harian Los Angeles Times. Agar perdebatan antara mereka dan saya dapat dipahami oleh para pembacanya, redaksi Los Angeles Times meminta saya menuliskan kembali artikel saya supaya lebih pendek. Dan saya lakukan itu. Dengan demikian, artikel berisi itu poin pemikiran yang agak berbeda. Artikel saya diterbitkan lebih dulu, kemudian diikuti oleh tanggapan dari Foner-Gilmore.
Universitas-universitas Amerika telah berubah menjadi tempat persemaian perlawanan, dan inilah saatnya untuk mengambil tempat itu kembali.
Ambil contoh masalah Irak. Orang Amerika umumnya memusatkan perhatian pada perilaku brutal rezim terhadap penduduknya sendiri dan ancaman yang ditimbulkannya ke luar, namun pada saat yang sama, tidak sepakat dengan persoalan cara menanggapinya. Tanyakan saja kepada para profesor apa masalahnya. Mereka kemungkinan besar akan menjawab bahwa Amerika Serikat, bukan Irak, adalah ancaman utama. Selain itu, minyak menjadi perhatian utama Pemerintahan Bush. Bukan nuklir.
Dua profesor sejarah memperlihatkan pandangan ini secara khas. Eric Foner dari Universitas Columbia menegaskan bahwa melancarkan perang lebih dulu melawan Irak bakal membawa kita kembali "kepada gagasan aturan hutan-rimba". Dia lantas secara tidak masuk akal menilai argumen Washington saat ini "persis sama" dengan yang digunakan Jepang untuk membenarkan serangan mereka di Pearl Harbor.
Glenda Gilmore dari Universitas Yale melihat imperialisme AS dalam konfrontasi Washington melawan Irak. Ini merupakan "langkah pertama dalam rencana Bush untuk mengubah negara kita menjadi negara agresor yang tidak bisa mentolerir oposisi." Dia juga menyatakan: "Kita sudah bertemu musuh, dan musuh itu adalah kita."
Pandangan seperti ini bergema di kampus-kampus. Mereka menegaskan bahwa universitas tetap, seperti yang terjadi sejak pertengahan 1960-an, institusi besar yang paling radikal, yang memusuhi sekaligus terasing dalam kehidupan Amerika.
Pernyataan itu bukan hendak menyarankan supaya sensor dilakukan. Para profesor memiliki hak penuh terhadap kebebasan berekspresi. Tetapi ia menunjukkan perlunya mengajukan beberapa pertanyaan sulit:
• Mengapa akademisi Amerika begitu mudah melihat negara mereka sendiri sebagai masalahnya?
• Mengapa universitas mempekerjakan orang yang tanpa henti meminta maaf kepada musuh AS?
• Mengapa para profesor terus-menerus tidak memahami tantangan terpenting yang dihadapi negara, seperti Perang Vietnam, Perang Dingin, Perang Teluk Persia, dan sekarang perang terhadap teror?
• Apakah dampak jangka panjang dari suasana universitas yang radikal dan represif terhadap mahasiswa?
Negara butuh universitasnya supaya menjadi lebih dewasa, bertanggung jawab dan patriotik. Untuk mencapai perubahan ini berarti mengambil kembali akademi yang bandel dari para dosen dan pengelola yang sekarang mengelolanya.
Penting diingat bahwa universitas sudah dibangun selama beberapa dekade bahkan berabad-abad. Secara hukum, finansial atau moral ia bukanlah milik karyawan yang kebetulan menjadi staf yang bekerja di sana. Pihak terakhir itu tidak berhak membajak institusi vital ini dari arus utama kehidupan Amerika.
Para pemangku kepentingan luar seperti anggota dewan penyantun kampus, alumni, orangtua mahasiswa dan dalam kasus lembaga-lembaga pendidikan negeri, legislator negara bagian – perlu lebih mengkhawatirkan persoalan politik daripada sepak bola.
Mereka harus mengambil langkah-langkah untuk menciptakan kembali lingkungan yang seimbang secara politik. Seperti sebelum tahun 1960-an. Di mana persoalan kecendekiawanan dan pengajaran yang sehat dapat kembali terlaksana.
Perjuangan demi Kebebasan berbicara
Perbedaan pendapat tidak berarti tidak adanya patriotisme
oleh Eric Foner dan Glenda Gilmore
Los Angeles Times
27 Desember 2002
Kami adalah dua dosen yang disebut oleh Daniel Pipes ketika dia menanyakan, "Mengapa para akademisi Amerika kerap menghina negara mereka sendiri ketika pada saat yang sama mencari-cari alasan pemaaf bagi rejim penindas yang berbahaya?"
Pipes yang mengangkat dirinya sendiri sebagai wasit dari ujaran yang dapat diterima sekaligus pendiri Campus Watch baru-baru ini, memasukkan kami dalam daftar enam "Profesor yang Membenci Amerika" dalam sebuah publikasi di New York. Dengan menggunakan kami sebagai contoh profesor yang tanpa henti menentang pemerintah mereka sendiri, dia menyerukan "orang luar" (seperti alumni, legislator negara bagian, orangtua mahasiswa dan lainnya) supaya "mengambil langkah untuk ... menetapkan standar pernyataan para dosen untuk media."
Jika Pipes hanya hendak memperlihatkan kesalahpahaman yang sangat besar seputar kebebasan akademik, maka tidak ada alasan untuk khawatir. Tetapi tulisannya yang membosankan merupakan gejala dari kecenderungan yang lebih luas di kalangan pengamat politik konservatif, yang sejak 11 September semakin menyamakan kritik terhadap Pemerintahan Bush dengan kurangnya patriotisme.
William J. Bennett, salah satu pendiri lembaga kajian konservatif Empower America, dalam buku terbarunya "Why We Fight" mengklaim bahwa para cendekiawan yang berbeda pendapat dengan dia "menabur kebingungan yang luas yang melemahkan" sekaligus "melemahkan tekad negara." American Council of Trustees and Alumni, sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1995 oleh Lynne Cheney, istri Wakil Presiden AS Dick Cheney, yang meminta kepada kelompok tersebut untuk mengambil peran yang lebih "aktif" dalam menentukan apa yang terjadi di kampus, menghukum profesor yang tidak mengajarkan "kebenaran" bahwa peradaban itu sendiri "dicontohkan paling baik di Barat dan bahkan di Amerika."
Seruan Pipes supaya "orang luar" mengawasi pernyataan para dosen memunculkan kembali ingatan terhadap Perang Dunia I dan era McCarthy, ketika para pengkritik pemerintah dipenjara dan institusi pendidikan tinggi memecat profesor yang antiperang atau "subversif". Para sejarawan pun kini menganggap episode seperti itu sebagai anomali memalukan dalam sejarah kebebasan sipil di Amerika Serikat.
Dengan menyamakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah dengan kebencian terhadap negara kita, Pipes memperlihatkan ketidaksukaan mendalam terhadap esensi pemerintahan demokratis. Yaitu hak untuk berbeda pendapat.
Apakah dosa kami sehingga serangan ini muncul tidak terkendali? Komentar kami muncul di surat kabar mahasiswa universitas masing-masing yang menentang pernyataan Pemerintahan Bush tentang hak untuk meluncurkan perang preemptive melawan Irak.
Sikap yang sama disuarakan oleh banyak tokoh masyarakat. Termasuk para anggota Pemerintahan Bush yang pertama, mantan Presiden Carter dan anggota Kongres. Ini adalah sudut pandang dari hampir setiap negara di dunia, termasuk sudut pandang dari sebagian besar sekutu lama Amerika Serikat.
Tak satu pun dari kami menawarkan "alasan pemaaf bagi rezim yang berbahaya dan represif". Menganggap sebuah rezim represif itu satu hal, tetapi sangat berbeda persoalannya untuk meyakini bahwa Amerika Serikat berhak untuk mengambil peran sepihak sebagai polisi global.
Kecil kemungkinannya bahwa Universitas Columbia atau Yale, tempat kami mengajar, akan mengindahkan seruan untuk mengizinkan "orang luar" mendikte opini apa yang boleh disuarakan oleh para dosennya. Bahayanya adalah bahwa lembaga-lembaga yang kurang aman secara finansial sehingga lebih bergantung pada badan legislatif dapat tunduk pada ancaman yang semakin besar terhadap kebebasan berbicara ini.
Eric Foner adalah dosen sejarah pada Universitas Columbia University sementara Glenda Gilmore adalah dosen sejarah Universitas Yale.
Topik Terkait: Akademia, Kajian Timur Tengah
Artikel Terkait:
- [Hamid Dabashi:] Columbia University's Hysterical Professor
- Hamas in Florida Classroom
- [Middle East Scholars:] Getting it Wrong in the Middle East
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.