Judul yang diterbitkan dalam National Post: "Behind the Veil of Islam"
Islam pernah mengalami keberhasilan duniawi. Namun selama dua abad, dia mengalami trauma. Solusi pun muncul dengan sendirinya dalam wujud sekularisme dan reformisme. Tetapi kaum fundamentalis menetapkan pilihan solusi yang baru. Dan pilihan inilah yang menjadi ancaman bagi Barat.
Ketika Timur Tengah dan banyak wilayah Muslim lain tetap bergejolak keras, pertanyaan yang kadang ditanyakan adalah; Apakah Islam itu ancaman? Tidak, saya jawab. Tetapi untuk pertanyaan: Apakah Islam fundamentalis merupakan ancaman? Jawabannya ya.
Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan meninjau tiga topik: Islam – hanya Islam, bukan Islam fundamentalis – dan pengalaman sejarah Muslim. Apakah yang sebenarnya Islam fundamentalis (atau biasa disebut sekarang, Islamisme itu); dan seperti apakah tanggapan Barat terhadapnya.
Islam
Islam merupakan agama bagi sekitar satu miliar orang. Kira-kira seperenam dari umat manusia. Inilah agama yang berkembang pesat, khususnya di Afrika. Juga di seluruh dunia. Penganutnya menganggap agama mereka sangat menarik. Punya kekuatan batin yang cukup luar biasa. Seorang penulis karena itu mengatakan, "Dunia pria dan keluarganya punya daya tarik yang tak tertandingi dalam Islam." Muslim yakin agama mereka terbaik. Sebagian keyakinan ini berasal dari Islam sebagai agama ketiga dari tiga monoteisme utama Timur Tengah. Jauh dari merasa malu mengikuti Yudaisme dan Kristen, kaum Muslim yakin agama mereka menyempurnakan agama sebelumnya. Mereka menganggap Yudaisme dan Kristen sebagai varian Islam yang tidak sempurna dan bahwa Islam adalah agama terakhir Tuhan.
Loyalitas umat Islam terhadap agama mereka tidak ada bandingannya. Sebagian karena rasa percaya diri batiniah. Sebagian karena fakta bahwa orang murtad (mereka yang akan meninggalkan Islam karena keyakinan lain) dihukum berat.
Namun, dengan melihat Islam dalam sejarah, bukan sebagai sebuah teologi, maka fakta utama yang ditemukan adalah bahwa pada era modern, yaitu selama dua abad terakhir, dunia Muslim terjebak dalam trauma. Umat Islam sangat sulit memahami mengapa persoalan berubah menjadi sangat salah bagi mereka. Mari saya jelaskan:
Sejak awal, Islam merupakan agama yang berhasil secara duniawi. Nabi Muhamad, S.A.W. melarikan diri dari Mekkah pada tahun 622 Masehi, sebagai pengungsi. Dia kemudian kembali pada 630 sebagai penguasa Mekkah. Pada tahun 715 umat Islam telah mencapai Spanyol di barat dan India di timur. Selama periode abad pertengahan, umat Islam menjadi bangsa yang paling sukses. Dalam arti bahwa budaya mereka paling maju, mereka hidup paling lama, mereka punya tingkat melek huruf tertinggi dan mereka berada pada tahap paling maju dalam perkembangan inovasi teknis. Menjadi seorang Muslim berarti menjadi bagian dari peradaban pemenang. Kaum Muslim pun lalu mulai menganggap ada korelasi antara kesuksesan duniawi dan Islam. Perasaan berkembang bahwa menjadi Muslim berarti disukai oleh Tuhan secara duniawi – di samping, tentu saja, dengan cara spiritual.
Trauma modern secara simbolis dimulai hampir tepat 200 tahun lalu. Pada Juli 1798. Ketika Napoleon mendarat di Mesir. Sejak saat itu, kaum Muslim dengan penuh rasa sakit menyadari bahwa mereka bukan lagi pemimpin. Tentu saja, perubahan ini tidak mendadak terjadi begitu saja pada 1798. Krisis ini terbentuk mulai sekitar enam abad sebelumnya. Meskipun demikian, selama masa panjang itu, sebagian besar kaum Muslim tidak menyadari adanya perkembangan di Eropa. Mengapa umat Muslim kini menemukan diri mereka tertinggal dalam hal keunggulan militer, perkembangan ekonomi, kesehatan, umur panjang dan melek huruf?
Dua abad kemudian, pertanyaan yang sama masih muncul. Indeks apa pun yang dilihat, orang bakal menemukan umat Muslim secara berkelompok berada di bawah. Entah ketika berbicara tentang stabilitas politik, pemenang Hadiah Nobel, medali Olimpiade atau standar lain yang dapat diukur dengan mudah, umat Islam tertinggal. Ada tiga tanggapan utama memberikan ciri yang khas ketika kaum Muslim berupaya mencari solusi yaitu sekularisme, reformisme dan Islamisme.
Sekularisme meyakini bahwa supaya maju umat Muslim perlu belajar dari Barat. Dengan demikian, secara khusus, dimensi publik Islam tidak lagi valid. Islam harus menjadi agama pribadi. Selain itu, hukum suci Islam (disebut Hukum Syariah), yang mengatur hal-hal seperti sistem peradilan, cara negara berperang dan sifat interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan, harus dibuang seluruhnya. Negara sekuler terkemuka adalah Turki, di mana Kemal Ataturk pada periode 1923-38 melakukan perubahan luar biasa di negara tersebut. Tapi sekularisme tetap hanya dihayati dan dijalankan oleh sedikit orang di kalangan umat Muslim, dengan sangat sedikit contoh lain selain Turki.
Reformisme menjadi jalan tengah yang suram. Jika sekularisme merepresentasikan upaya untuk belajar dari Barat, maka reformisme mengambil (appropriates) dari Barat. Kaum reformis mengatakan sesuatu seperti, "Lihat, Islam dan cara Barat itu pada dasarnya cocok. Kita kehilangan jejak atas prestasi kita sendiri, yang justru dieksploitasi oleh Barat. Kita harus mengadopsi cara-cara Barat dan dapat melakukannya dengan mudah karena itu milik kita sendiri. " Untuk mencapai kesimpulan ini, para reformis kembali kepada kitab suci Islam dan membacanya kembali dalam sudut pandang Barat. Dari segala penjuru, kaum reformis lalu terlibat dalam penafsiran ulang semacam ini. Ketika sampai pada soal sains mereka berkata, "Tidak ada masalah. Sains sebenarnya Muslim. Kata aljabar berasal dari bahasa Arab, al-jabr. Aljabar adalah inti matematika dan matematika adalah inti dari sains. Semua sains dan teknologi modern berasal dari kita. Jadi tidak ada alasan untuk menolak ilmu pengetahuan Barat. Ini hanya soal mengintegrasikan kembali ke dalam hidup kita apa yang Barat ambil dari kita sejak awal." Akibatnya, reformisme sangat meluas di dunia Muslim.
Islamisme
Tanggapan ketiga adalah Islamisme – yang akan menjadi pusat perhatian saya. Pendekatan ini berpendapat bahwa umat Muslim tertinggal masa kini karena mereka bukan Muslim yang baik dan untuk meraih kembali kejayaan lama berarti sepenuhnya hidup sesuai dengan syariah. Jika umat Muslim mau melakukan itu, mereka akan sekali lagi berada di puncak dunia, sama seperti satu milenium yang lalu. Ini bukanlah tugas mudah. Soalnya, hukum suci berisi banyak sekali peraturan yang menyentuh setiap aspek kehidupan. Banyak di antaranya bertentangan dengan praktik modern. Syariah agak mirip dengan hukum Yahudi, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan agama Kristen. Syariah misalnya, melarang riba atau pengambilan bunga uang, yang berimplikasi mendalam pada kehidupan ekonomi. Menutup seluruh badan perempuan dan lebih luas lagi, pemisahan jenis kelamin berimplikasi luas bagi kehidupan sosial dan keluarga. Lebih parah lagi, penganut Islam radikal menolak pengaruh Barat. Ada pengecualian penting seperti berkaitan dengan teknologi, terutama varian militer dan medis. Tanpa mendasarkan diri pada upaya untuk belajar secara terus terang dari Barat atau pada kepura-puraan mengambil kembali apa yang sudah dimulai oleh kaum Muslim, Islamisme diam-diam mengambil alih dari Barat sambil menyangkal bahwa hal itu dilakukannya. Para penganut Islam radikal sepenuhnya menolak adat-istiadat (customs), filosofi, institusi politik, dan nilai-nilai Barat, tetapi bersedia mempelajari teknik-teknik khusus dari Barat. Selain itu, mereka memendam permusuhan yang mendalam terhadap non-Muslim, khususnya terhadap kaum Yahudi dan Kristen. Retorika dan memang tindakan kaum penganut Islam radikal menunjukkan sifat-sifat ini berkali-kali.
Singkatnya, kaum penganut Islam radikal mengubah Islam menjadi ideologi. Istilah Islamisme sangat berguna, karena dia menunjukkan bahwa ini adalah "-isme" yang sebanding dengan "-isme" lain di abad ke-20. Setelah Marxisme, Leninisme dan fasisme datanglah Islamisme. Ia merepresentasikan versi rasa Islam dari ide-ide utopis radikal zaman kita. Ia menanamkan sejumlah besar ide politik dan ekonomi Barat ke dalam agama Islam.
Ketika penganut Islam radikal berkuasa, seperti di Iran, Sudan dan Afghanistan, hasilnya adalah masalah. Kontraksi ekonomi pun terjadi. Iran, tempat penganut Islam radikal memerintah selama dua dekade, adalah negara yang jauh lebih miskin disbanding sebelumnya. Represi terhadap perempuan menjadi syarat mutlak. Represi paling spektakuler bisa orang saksikan di Aghanistan, tetapi ia ada di mana-mana. Hak pribadi diabaikan, senjata pribadi dikembangbiakkan dan terorisme serta bentuk agresi lain menyusulinya. Singkatnya, ini adalah negara jahat (rogue). Islamisme adalah bahaya nyata bagi Muslim dan non-Muslim.
Perlu dicatat apa yang bukan Islamisme. Ia bukan Islam tradisional, tapi sesuatu yang sangat baru. Jika ditinjau poin demi poin, ada perbedaan besar antara keduanya. Islam tradisional berusaha mengajarkan manusia bagaimana hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan Islamisme bercita-cita untuk menciptakan masyarakat yang adil. Iman Muslim tradisional memuncak selama satu milenium dan lebih banyak perdebatan di antara para sarjana, ahli hukum, dan lainnya. Tapi para penganut Islam radikal, sebagai otodidak, langsung beralih kepada Al-Qur'an dan nyaris mengabaikan seluruh korpus pembelajaran Islam. Muslim tradisional berbeda dari penganut Islam radikal. Kaum tradisionalis tidak mengenal dunia modern dengan baik, belum mempelajari bahasa-bahasa Eropa, belajar di Barat, tidak mempelajari rahasia-rahasia kemajuannya. Tetapi para penganut Islam radikal sangat tenggelam dalam semua masalah ini. Internet menawarkan (boasts) ratusan situs Islam. Saya ragu apakah ada satu pun yang Muslim tradisional.
Islamisme bukan jalan mundur, tapi jalan maju. Ia berurusan dengan masalah kehidupan modern. Dengan sedikit pengecualian, kaum penganut Islam radikal bukanlah orang-orang dari desa. Sebaliknya, mereka adalah penduduk kota yang harus mengatasi masalah kehidupan perkotaan modern. Misalnya, soal tantangan wanita karier menonjol dalam diskusi mereka; apa yang dapat dilakukan seorang wanita yang harus bepergian dengan transportasi umum yang sangat padat untuk melindungi dirinya dari orang-orang menggerayahi badannya? Para penganut Islam radikal punya jawaban yang siap disampaikan: Tutupi dirimu, tubuh dan wajah, dan beri isyarat melalui pemakaian pakaian Islami bahwa kau tidak dapat didekati.
Masih mengenai apa yang bukan Islamisme, saya berpendapat bahwa Islamisme bukanlah respons terhadap kemiskinan. Pandangan ini berbeda dari asumsi yang berlaku. Bagaimanapun, jika Islamisme merupakan hasil dari kemiskinan absolut, maka Bangladesh akan menjadi sarang Islamisme, padahal bukan. Jika ia merupakan tanggapan terhadap pemiskinan, maka Irak, yang ekonominya sekarang sekitar 10% dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, akan menjadi sarang fundamentalisme. Ternyata, bukan.
Respon Barat
Jadi apa yang harus dilakukan dengan Islamisme? Pertama, pertempuran besar memang sedang terjadi. Tetapi ini bukan pertempuran antara Barat dan Islam seperti, katakanlah, Samuel Huntington akan melakukannya. Sebaliknya, ini tentang jiwa Islam dan pesaingnya adalah dua kelompok kaum Muslim. Kaum penganut Islam radikal versus mereka yang menolak program totaliter radikal mereka. Ia pada akhirnya merupakan pertarungan antara kaum sekular dan kaum Islam radikal. Antara Ataturk dari Turki dan Khomeini dari Iran. Dalam pertempuran ini, kita yang bukan Muslim kebanyakan adalah penonton. Kita terpengaruh oleh hasilnya dan berperan untuk membantu satu sisi atau sisi lain, tetapi pada akhirnya peran kita itu sekunder.
Kedua, kita harus membedakan Islam sebagai agama dan Islamisme sebagai ideologi politik. Ini berarti mengutuk Islamisme. Tidak boleh pernah mengutuk Islam.
Ketiga, karena kaum penganut Islam radikal menganggap kita rusak secara moral dan lembek secara politik, maka kita di Barat harus menunjukkan bahwa, memang, kita memiliki prinsip dan kemauan. Kita tidak seperti yang mereka pikirkan. Itu berarti kita harus menjalankan pendirian yang kuat dan tindakan yang jelas dan menjelaskan bahwa para penganut Islam radikal tidak dapat menyerang dan menyakiti kita tanpa diadili secara hukum.
Dengan kata lain, Barat harus:
- Dukunglah negara-negara itu, kaum Muslim dan sebaliknya yang melawan ancaman kaum Islam radikal karena (dalam kata-kata singkat pedas seorang jenderal Turki), Islamisme merupakan "musuh publik nomor satu." Upaya ini relatif mudah ketika negara-negara yang dipertanyakan itu merupakan model dari kejujuran (rectitude). Tetapi upaya itu sangat tidaklah menyenangkan bila mereka bukanlah model yang jujur seperti dalam kasus Aljazair. Mempertimbangkan pilihan tidak menyenangkan ini, saya katakan, kita harus harus memilih bahkan pemerintah yang seperti kita kisahkan, apa yang tidak kita sukai lalu mendorongnya memperbaiki perilakunya.
- Tekan negara Islam radikal (Islamist) supaya mengurangi agresivitas mereka terhadap kita. Puji dan dukung berbagai pihak di dunia Muslim yang melawan mereka. Mereka adalah orang-orang kesepian yang mencari dukungan dan pertolongan ke Barat pada masa-masa sulit perjuangan mereka.
- Labeli kelompok-kelompok Islam radikal yang melakukan kekerasan sebagaimana adanya, yaitu organisasi teroris dan memerangi mereka sesuai status mereka.
- Perlakukanlah kelompok-kelompok ini apa adanya, yaitu sebagai organisasi ekstremis yang menyatakan perang terhadap kita. Jangan bekerja sama, mendorong atau melibatkan diri dalam dialog dengan mereka, yang hanya memainkan permainan mereka supaya bisa memperoleh legitimasi.
- Mempromosikan masyarakat sipil, bukan Pemilu. Pengalaman menunjukkan, yang paling dramatis di Aljazair, bahwa jika pemerintah mengadakan Pemilu mendadak, para penganut Islam radikal sangat berhasil, karena mereka sendiri sudah punya organisasi. Oleh karena itu, kita harus melihat Pemilu bukan sebagai awal dari sebuah proses, melainkan sebagai puncaknya. Pertama bangunlah proses panjang membangun masyarakat sipil, dengan lembaga-lembaga relawan, supremasi hukum, hak minoritas, hak milik dan sejenisnya. Hanya setelah masyarakat sipil berkembang secara bertahap, barulah ada dasar yang tepat untuk Pemilu.
Jadi begitulah. Apakah Islam fundamentalis itu ancaman? Ya benar, meskipun Islam biasa tidak. Islamisme adalah fenomena mendalam terkini yang memiliki kekuatan untuk melakukan kejahatan. Tdak hanya melakukan kejahatan di lembah-lembah yang jauh di Afghanistan, tetapi juga di sini, di Kanada.***
Daniel Pipes adalah Direktur Middle East Forum (Forum Timur Tengah) dan pengarang buku Conspiracy: How the Paranoid Style Flourishes, and Where It Comes From.
Topik Terkait: Sejarah, Islam, Islam radikal
Artikel Terkait:
- The Caliphate Brings Trauma
- Study the Koran?
- [Al-Hudaybiya and] Lessons from the Prophet Muhammad's Diplomacy
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.