Seputar tantangan yang kaum Muslim hadapi ketika memodernisasi diri. Kutipan dari buku In the Path of God: Islam and Political Power (1983), pp. 195-99.
Kesepakatan atas langkah-langkah yang perlu agar Wertenisasi bisa bertahan hidup atau ingin kembali muncul itu terkait dengan apa yang belum bisa dicapai oleh komunitas [Muslim[.
—Gustave E. von Grunebaum
Keputusan untuk mengadakan modernisasi pada akhirnya bermuara pada pertanyaan apakah mau mengikuti pola syariah yang menjadi khas wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam (islamicate) atau mencoba cara-cara Barat. Dalam hal ini, fundamentalisme, reformisme, dan sekularisme menjadi jawaban utama. Yang mana dari ketiga cara itu yang hendak diadopsi, umat yang akan menentukannya, yang lebih dari apa pun, bakal berhasil dengan modernisasi.
Syari'ah sendiri tidak terlampau menghambat modernisasi. Sama halnya seperti sikapnya terhadap Barat. Setelah dua abad terpapar, umat Islam pun masih enggan mengakui kekuatan dan kepemimpinan Barat dalam bidang budaya. Hasilnya adalah apa yang disebut Naipaul sebagai "gangguan bagi kaum Muslim" (Muslim disturbance). Yaitu, ada kekaguman atas apa yang dilakukan Barat yang bercampur-aduk dengan kebencian atas fakta bahwa hal itu berhasil dengan baik. Ada keinginan untuk meniru hasilnya tetapi enggan untuk meniru tindakannya:
Barat, atau peradaban universal yang dipimpinnya, secara emosional ditolak. Ia merusak. Mengancam. Tetapi pada saat yang sama, dia dibutuhkan karena Barat memiliki mesin, barang, obat-obatan, pesawat tempur, kiriman uang dari para emigran, rumah sakit yang mungkin mempunyai obat untuk kekurangan kalsium dan universitas yang memberikan gelar master dalam bidang media massa. Semua penolakan terhadap Barat terbungkus dalam asumsi bahwa di luar sana bakal selalu ada peradaban yang hidup dan kreatif, yang anehnya bersikap netral, terbuka untuk menarik semua orang. Penolakan, dengan demikian, bukanlah penolakan yang mutlak. Ia juga, bagi komunitas secara keseluruhan, merupakan cara untuk berhenti berjuang secara intelektual. Menjadi parasite. Parasitisme adalah salah satu buah fundamentalisme yang tidak diakui.
Apa yang dianggap paling benar oleh kaum fundamentalis juga berlaku, dalam bentuk yang lebih halus, juga benar bagi umat secara keseluruhan.
Ada dua fenomena yang nyaris paralel di sini. Di satu sisi, agama yang memiliki persyaratan kaku-ketat (Syariah) punya sisi gelap dari implikasi budayanya (islamisasi cara hidup). Di sisi lain, ada proses perubahan (modernisasi) dengan sisi gelap budayanya sendiri (cara hidup Barat). Secara teori, seorang Muslim menghadapi beberapa konflik ketika dia berupaya mendamaikan Syariah dengan modernisasi. Soalnya, keduanya jarang tumpang tindih dan itu terjadi kebanyakan dalam bidang ekonomi. Dengan sedikit penyesuaian, dia harus membuat keduanya cocok satu sama lain. Tidak banyaknya konflik antara syariah dan modernisasi mendorong sebagian Muslim dan kaum fundamentalis, untuk percaya bahwa mereka dapat menjadi modern tanpa Westernisasi. Bahwa mereka dapat menghindari sebagian besar ciri kehidupan Barat yang menyebabkan penderitaan tersebut.
Peluang untuk menjadi modern tanpa Westernisasi sama baiknya dengan mengandung anak tanpa seks. |
Tapi keyakinan ini ilusi. Andai modernisasi secara teoretis berbeda dari westernisasi, maka keduanya sebenarnya saling terkait. Peluang untuk menjadi modern tanpa Westernisasi sama baiknya dengan mengandung anak tanpa seks. Seorang Muslim yang ingin bekerja sebagai pilot pesawat jet, misalnya, tidak akan memiliki kemampuan teknis (technicalized) yang memadai kecuali dia juga di-Barat-kan. Modernisasi bukanlah prinsip abstrak, tetapi kekuatan yang sangat nyata yang diproyeksikan oleh para guru, administrator, investor dan penulis Barat. Pelatihan pilot pesawat jet harus dilakukan di lingkungan yang kebarat-baratan baik oleh orang Barat atau oleh orang yang kebarat-baratan. Selain itu, westernisasi diperlukan karena umat Islam tidak hanya dipengaruhi oleh syariat tetapi juga oleh seluruh Islamisasi peradaban (Islamicate civilization). Sekalipun Hukum Syariat jarang bertentangan dengan modernisasi, peradaban Islam berbeda dari peradaban Barat dalam berbagai isu.
Orang luar dapat dengan mudah melihat kesalahan logika di balik fundamentalisme dan reformisme. Fundamentalisme berasumsi bahwa Muslim dapat memodernisasi diri tanpa proses Westernisasi. Asumsi itu, ungkap Naipaul, melahirkan kontradiksi. Reformisme berpendapat bahwa kedua proses itu cocok satu sama lain, sehingga memunculkan berbagai kepalsuan yang dicatat oleh begitu banyak cendekiawan. Tetapi sekularisme juga gagal. Soalnya, ketika para pemimpin Muslim membuang Hukum Syariah itu sendiri sekalipun, warisan Islamisasi itu pun tetap ada. Melepaskan gagasan tentang seorang khalifah secara formal hampir tidak mengurangi kesulitan Pemerintah Muslim vis-à-vis nasionalisme. Pelarangan pemakaian cadar juga tidak (seperti yang dilakukan otoritas Iran pada 1936) tidak sekedar membuat kaum Muslim semakin takut terhadap anarki sosial dan seksual. Kaum Muslim tetap terikat pada warisan Islam. Bahkan ketika mereka mengingkari Syari'ah dan mencoba melakukan teknisisasi sekalipun, islamisasi (islamicate) unsur-unsur Islami tetap menahan mereka untuk sepenuhnya menjadi kebarat-baratan.
Hasilnya adalah suasana kacau-balau. Juga sikap yang saling bertentangan satu sama lain. Dalam kata-kata seorang pengacara Pakistan, "Orang-orang kami secara emosional menolak Barat. Secara materi, kami mungkin bergantung pada Barat." Penyangkalan semacam ini membuat umat Islam lumpuh. Sekaligus menghalangi mereka untuk bertindak tegas. Individu dan pemerintah campur aduk, jarang mau mengabdikan diri pada program sekuler atau program kaum fundamentalis. Seiring dengan sikapnya yang ragu, retorikanya yang kosong, janji-janjinya yang palsu, representasi yang salah, sulap, logika yang tersiksa dan khayalan, reformasi menang justru karena ia gagal. Soalnya, sangat sedikit komitmen yang dituntutnya tetapi sangat banyak toleransi diberikannya terhadap kontradiksi yang menawarkan jalan tengah yang hampa tetapi penuh sikap optimis bagi umat Islam yang tidak dapat memutuskan program fundamentalis atau sekularis. Reformisme dengan demikian tidak memuaskan. Tapi alternatifnya pun tidak menarik. Kaum sekuler dan kaum fundamentalis menawarkan program yang lebih tajam dan persuasif. Tetapi hanya sedikit Muslim yang ingin bereksperimen dengannya. Kecuali di beberapa negara, terutama Turki dan Albania di satu sisi, Iran dan Pakistan di sisi lain, para pemimpin Muslim menghindari diri untuk berkomitmen pada solusi yang jelas. Hasilnya adalah terjadinya kemandegan budaya dan gejolak politik.
Selama umat bersikeras mencari solusi atas masalahnya saat ini dengan versi program kuno yang diperbaiki, maka ia akan tetap miskin dan lemah. Sekularisme tidak dapat dihindari. |
Hasil lainnya adalah bahwa kompromi tidak diterima secara meyakinkan. Umat yang bersatu itu bertentangan dengan nasionalisme, sehingga bangsa-bangsa memang ada, tetapi dinamikanya pincang. Situasi kaum Dhimmi yang tidak mampu berbenturan dengan cita-cita Barat tentang kewarganegaraan yang setara, sehingga kaum non-Muslim dapat memasuki pemerintahan dan militer tetapi tidak bisa menjadi kepala negara. Tradisi menarik diri dari politik pada kawasan mayoritas Muslim (Islamicate) bertentangan dengan cita-cita demokrasi, masyarakat sipil, dan milisi; Pemilu pun berlangsung curang, asosiasi sukarelanya lemah dan hasil perekrutan hanya diperoleh dari sebagian kecil populasi. Prosedur pengadilan syar'i berbeda secara fundamental dari Hukum Umum Inggris (British Common Law) dan KUHP Napoleon atau sistem hukum Eropa lainnya, Akibatnya, unsur-unsur dari beberapa sistem yang diambil pada waktu yang sama yang dicampuradukkan secara bebas tidak memuaskan siapa pun. Kompromi-kompromi ini tidak bisa melestarikan cara-cara lama secara utuh dan tidak benar-benar berasimilasi dengan cara-cara Barat. Semua itu menyebabkan umat terombang-ambing secara ideologis, sehingga berupaya mencari program yang sesuai dengan tradisinya namun bermanfaat untuk menghadapi modernitas. Mereka mencari ceruk di antara dua kekuatan super sambil berharap entah bagaimana mendapatkan kembali citra diri yang berhasil di masa lalu.
Untuk melepaskan diri dari situasi anomi, umat Islam hanya punya satu pilihan. Itu terjadi karena, modernisasi memerlukan Westernisasi. Pilihan kaum fundamentalis itu ilusi. Sebagian besar proposalnya "terlalu sederhana untuk menjadi nilai dalam memecahkan masalah kompleks yang sekarang dihadapi dunia." Islam tidak menawarkan cara alternatif bagi memodernisasi. Selama umat bersikeras mencari solusi atas masalahnya saat ini dengan versi program kuno yang diperbaiki, maka ia akan tetap miskin dan lemah. Sekularisme tidak dapat dihindari. Sains dan teknologi modern membutuhkan penyerapan proses pemikiran yang menyertainya; demikian juga dengan institusi politik. Karena isi kebudayaan Barat harus ditiru, tidak kurang dari bentuknya, maka keunggulan peradaban Barat harus diakui agar dapat belajar darinya. Bahasa Eropa dan institusi pendidikan Barat tidak dapat dihindari, bahkan jika yang terakhir mendorong pemikiran bebas dan hidup santai sekalipun. Hanya ketika umat Islam secara eksplisit menerima model Barat, maka mereka akan berada dalam posisi teknis (technicalize) yang belakangan berkembang. Sekularisme sendiri menawarkan jalan keluar dari penderitaan Muslim.
Perbandingan dengan sejarah masyarakat Yahudi modern memperlihatkan bahwa umat Islam mungkin saja menyaksikan melemahnya hukum dari waktu ke waktu. Perdebatan masa kini seputar kepatuhan terhadap Hukum Syariat kira-kira sama dengan perdebatan masyarakat Yahudi sekitar satu abad silam. Dulu, seperti sekarang, para pendukung Westernisasi mendapat kekuatan. Sama seperti yang kuat diyakini oleh para penganut hukum. Pengalaman masyarakat Yahudi menunjukkan bahwa kekuatan penganut paham sesuai hukum, betapapun kuat, banyak dan terorganisasi dengan baik, akan tetap gagal. Soalnya, mereka menentang etos yang berlaku pada zaman itu. Antinomi Westernisasi. Terlalu banyak hal yang terjadi dalam kehidupan saat ini yang merusak keterikatan orang pada hukum. Tidak terbayangkan bahwa kaum Muslim dapat menahan Westernisasi lebih dari yang bisa dilakukan oleh orang Yahudi.
Jika mereka menerima Westernisasi, sebagian berpendapat bahwa esensi Islam akan hilang dan agama ditinggalkan. Sebagaimana dilihat oleh M. Jamil Hanifi, meninggalkan syariat berarti "Allah yang Mahakuasa tidak punya petunjuk yang memadai tentang kehendak-Nya. Kitab sucinya tidak punya interpretasi yang disepakati. Emosi keagamaan tidak punya konsekuensi etika dan sosial yang jelas dan otoritas dalam komunitas tidak punya legitimasi tradisional."
H.A.R. Gibb melihatnya dalam istilah yang jauh lebih gamblang: Menurutnya, "Menolak Hukum Syariat pada prinsipnya... dalam beberapa arti tertentu berarti murtad. ... karena mempertahankan Syariah itu bertautan dengan kemampuan Islam untuk bertahan atau lenyapnya Islam sebagai sebuah sistem yang terorganisir." Tapi ini terlalu kaku: agama, seperti semua institusi manusia, bertahan hidup melalui adaptasi, dan jika Islam harus membuang hukum dan mengadopsi iman dan etika, seperti yang dilakukan Yudaisme, itu akan terjadi. Itu juga bisa berkembang, karena Islam Protestan akan melayani Muslim tidak kurang baik dari yang dilegalkan; penurunan hukum tidak perlu merusak hubungan manusia dengan Tuhan. Konon, upaya orang-orang Muslim yang gigih menjaga hukum patut dihormati, karena mereka mempertahankan tradisi penting ketika menghadapi tantangan yang mahabesar.
Jika ajaran Syariat sering bertentangan dengan cara-cara Barat, begitu pula dengan ajaran Halakha dalam lingkungan masyarakat Yahudi. Setidaknya dalam ranah privat, Halakha lebih ungguli daripada Syariat dalam soal jumlah dan ruang lingkup peraturannya. Gereja Kristen karena itu bahkan menganjurkan ajaran yang berbeda dari kebiasaan Barat modern (seperti soal larangan bercerai dalam Gereja Katolik). Ketiga agama tersebut tidak menyarankan atau melarang penarikan bunga atas uang, namun tidak menghalangi penggunaan bebas pembayaran bunga di Barat dan di Israel. Dalam beberapa hal, hukum suci justru membantu orang Yahudi menjadi modern. Mencurahkan waktu yang penuh untuk belajar Talmud secara luas dipuji karena ia memberikan keterampilan melek huruf dan analitik kepada orang Yahudi yang terbukti sangat berharga di luar ghetto atau lingkungan sosial masyarakat Yahudi (shtetl). Kemampuan orang Yahudi untuk beradaptasi pada kehidupan modern di kemudian hari memperjelas bahwa kuncinya adalah soal sikap, bukan soal hukum suci. Sementara kebanyakan orang Yahudi menerima cara Barat dan bekerja keras untuk menerapkan atau menyesuaikannya, kaum Muslim terlalu sering berusaha menyempurnakan Westernisasi dan berkembang modern tanpa modernisasi itu sendiri.
Untuk kembali makmur, umat Muslim menghadapi serangkaian tuntutan yang tak terhindarkan. Kesuksesan duniawi membutuhkan modernisasi. Modernisasi membutuhkan Westernisasi. Westernisasi membutuhkan sekularisme. Sekularisme harus didahului dengan kemauan untuk meniru Barat. Dan kesediaan ini hanya akan diterima ketika umat Islam yakin bahwa itulah satu-satunya pilihan mereka. Westernisasi adalah prospek yang tidak menyenangkan yang tidak bakal dilakukan umat Islam kecuali semua upaya lain gagal. Jadi, jika masyarakat Barat berkembang dan kaum fundamentalis tertinggal, maka Westernisasi akan terlihat bagus sehingga mampu menarik lebih banyak Muslim. Tetapi justru ini persisnya yang tidak terjadi pada tahun 1970-an, ketika perubahan umat secara dramatis justru meningkatkan kekuatan kaum fundamentalis dan sebaliknya melemahkan kekuatan masyarakat Barat. Inilah fenomena dunia yang dikenal sebagai kebangkitan Islam.
Topik Terkait: Sejarah, Islam, Pola Timur Tengah
Artikel Terkait:
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.