Terima kasih dan selamat siang bapak ibu sekalian. Saya berterima kasih kepada Asosiasi Media Dunia (World Media Association) atas undangan ini. Saya sangat senang mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan Anda.
Topik kita adalah konsekuensi dari Tragedi 11 September 2021 (9/11). Khususnya konsekwensi yang terkait dengan dimensi budaya dan agama. Orang bisa menyaksikan berbagai konsekuensinya di dunia Muslim atau di Barat. Saya akan berbicara tentang yang pertama, bidang keahlian saya.
Konsekuensinya ada dua. Jangka pendek, konsekwensinya menjadi bencana bagi dunia Muslim. Jangka panjang, konsekwensinya positif. Dalam beberapa menit ke depan, saya ingin membahas tiga topik: pertama, anggapan saya dan bagaimana saya membaca situasi; kedua, melihat jangka pendeknya; dan ketiga, melihat jangka panjang.
Islam dalam Sejarah Moderen
Praduga saya terkait dengan pemahaman tentang Islam sebagai sebuah peradaban. Sebuah buku yang terbit pada 1958, sangat mempengaruhi saya. Judulnya, Islam and Modern. Karya almarhum Wilfred C. Smith. Sebagai cendekiawan yang terutama memusatkan perhatiannya pada anak benua itu, dia berhasil memberikan gambaran umum atas anak benua itu; Mesir, dan Turki. Tesis dasar buku ini adalah bahwa Islam adalah agama yang diasosiasikan dengan keberhasilan. Tetapi Islam belum terlampau berhasil pada era modern ini. Dia karena itu, melihat ini sebagai tantangan yang luar biasa.
Jauh lebih tepat lagi bisa dikatakan, Islam sejak awal merupakan agama yang ditautkan dengan prestasi duniawi. Saya karena itu akan berbicara atas nama saya sendiri soal itu. Bukan atas nama dia, Wilfred C. Smith. Nabi Muhamad, S.A.W. melarikan diri dari Mekah pada 622, dan kemudian kembali sebagai penguasa pada 630. Dalam kurun waktu satu abad, tentara Muslim telah mencapai mulai dari kawasan Andalusia hingga perbatasan India. Di luar penaklukan militer, peradaban baru yang cemerlang mengagumkan pun terbentuk seribu tahun lalu. Andaikata kala itu, hadiah setara Hadiah Nobel dianugerahkan, maka lebih banyak hadiah itu bakal diberikan kepada dunia Muslim.
Bagdad, Kairo, Grenada—inilah pusat pembelajaran dan kekuasaan politik. Entah orang mau melihat persoalan kesehatan atau kekayaan atau stabilitas politik atau pencapaian budaya, maka dunia Muslim sudah melakukannya dengan sangat baik. Dunia Muslim pun sudah berjalan sangat baik jika dilihat dari sudut pandang prestasi arsitektural, terobosan ilmiah, dan penerapan teknologi,
Karena berbagai alasan lonjakan prestasi ini berakhir. Orang bisa saja memperdebatkan persoalan tanggalnya. Seperti kira-kira sekitar abad ke-13. Tanggal konvensionalnya adalah saat Bangsa Mongol muncul pada 1220-an. Apapun penyebabnya, entah itu eksternal seperti kekalahan militer dan kemerosotan ekonomi atau mandegnya perkembangan ide, dampaknya cukup jelas dua kali lipat. Pertama, kecenderungan untuk melihat ke belakang daripada melihat ke depan. Kecenderungan untuk melihat kembali kepada masa lalu yang indah, untuk mengulangi formula yang sudah usang, untuk memenuhi perasaan bahwa segala sesuatu telah mencapai puncaknya dan tidak perlu melangkah lebih jauh.
Dan kedua, adanya halangan diri untuk tidak melihat apa yang dilakukan dunia luar. Salah satu penjelasan terkenal dari ini dilakukan oleh Ibn Khaldun, seorang tokoh intelektual besar yang pada 1394 di Tunisia menulis bahwa dia mendengar ada hal-hal yang terjadi di Eropa, tetapi "Hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi di sana." Dia menulis pernyataan ini saat hal-hal itu memang tengah terjadi, dan selama abad-abad berikutnya sebagian besar dunia Muslim terisolasi dari perkembangan luar biasa yang terjadi di Eropa. Sikap ini sepenuhnya hancur pada akhir abad ke-18. Simbol konvensional dari hal ini adalah ketika Napoleon tiba-tiba mendarat di Mesir pada 1798. Pasukannya dengan mudah menangani tentara lokal, menaklukkan negara itu. Ngomong-ngomong, Pasukan Napopleon hanya bisa diusir oleh Inggris. Tidak ada kekuatan lokal yang memiliki kekuatan untuk melakukannya.
Ibnu Khaldun, seperti tergambar dalam lembaran uang 10 dinar Tunisia.
Sejak saat itu, hingga dua abad sekarang ini, berkembang pertanyaan yang sangat penting di dunia Muslim: Apakah yang salah? (jika menggunakan ungkapan Bernard Lewis). Mengapa sebuah peradaban yang berkembang pesat, yang secara intelektual, religius dan ekonomi berjalan baik belakangan merosot? Apa yang terjadi? Apa yang salah?
Pada dasarnya, dua abad terakhir dapat dipahami sebagai upaya yang berlarut-larut untuk menjawab pertanyaan itu. Untuk mengetahui yang salah dan dengan demikian menjawab dan menemukan solusi serta memperbaiki berbagai hal. Secara sangat luas dapatkan dikatakan, kita dapat membagi dua abad terakhir menjadi tiga era. Pertama era liberal dari tahun 1800 hingga 1920, ketika dunia Muslim pertama-tama berupaya meniru sekaligus belajar dari Barat. Pertarungan terjadi antara mereka yang ingin meniru Barat dan mereka yang tidak ingin meniru. Era kedua, dari 1920 hingga 1980, adalah era yang melihat totalitarianisme di Barat sebagai model, tanpa terlalu lama melihat kepada kaum Fasis, tetapi lebih panjang lebar berupaya melihat kepada Marxis-Leninis. Semua ini adalah ajaran sesat Barat, bukan tradisi liberal Barat.
Periode ketiga, mulai tahun 1970-an atau sekitarnya, adalah era kaum Islam radikal tergoda (Islamist totalitarian temptation) untuk menjalankan pemerintahan totaliter. Dengan kata lain, kaum Muslim masih totaliter, seperti pada era kedua, tetapi kini bukan lagi lahir dari Eropa tetapi tumbuh di dalam negeri. Jadi kita kini berada dalam momen ini, yang memang telah berkembang selama seperempat abad terakhir, akibat para penganut Islam radikal tergoda untuk menjalankannya.
Kepada anda sekalian saya sampaikan bahwa jawaban yang diberikan kini tentang Islam militan sama salahnya dengan jawaban fasisme dan komunisme sebelumnya. Ada sesuatu yang secara fundamental tidak berfungsi tentang Islam militan; meskipun demikian, sedang diupayakan dengan keras.
Ada sebuah artikel menarik baru saja muncul di Majalah Commentary, yang ditulis oleh Francis Fukuyama. Ia berpendapat bahwa Islam militan dengan segala agresi, kengerian dan pembunuhannya, mungkin sebenarnya memiliki kualitas penebusan, yang hendak memodernisasi masyarakat yang diperintahnya. Saya tidak sepakat dengan ide itu. Orang juga bisa mengatakan bahwa Mao memodernisasi Cina, tetapi itu tidak bisa mengubah penilaian saya bahwa pemerintahannya merupakan bencana yang mengerikan. Jalan yang ditempuh kaum totaliter bukan jalan menuju modernisasi tetapi jalan menuju kegagalan.
Dampak Jangka Pendek Tragedi 11 September 2001
Sekarang mari kita beralih kepada masalah yang ada. Masalah Tragedi 11 Septempber 2001 (9/11) dan akibatnya. Dalam jangka pendek, efeknya sangat negatif justru karena peristiwa itu merupakan sukses besar bagi Islam militan. Saya yakin dukungan bagi gerakan totaliter ini terjadi karena kaum Islam militan berhasil melakukannya dan dukungan itu menghilang karena dia gagal. Tragedi 11 September 2001 merupakan prestasi yang luar biasa. Saya tidak perlu menceritakan kepada Anda bagaimana Amerika Serikat mengalami trauma, sehingga wilayah udaranya ditutup dan ekonomi nasionalnya terpukul secara signifikan dan sebagainya.
Peristiwa ini menjadi sumber kegembiraan, merasa diri agung, kesadaran akan potensi diri di dunia Muslim. Dalam minggu-minggu setelah 11 September 2001 tahun lalu, orang menyaksikan demonstrasi, pernyataan retoris yang berapi-api. Ada juga demonstrasi di Mekah yang saya yakini sebagai demonstrasi publik pertama dalam sejarah Mekah. Ada pernyataan yang sangat, sangat kuat menentang Amerika Serikat, Inggris, Israel dan sebagainya.
Sejak itu, air pasang berubah. Tanggal 11 September 2001 menjadi tanggal terkenal sementara tanggal 9 November tidak begitu terkenal. Tetapi tanggal terakhir juga penting. Ia menandai seperti halnya terjadi ketika kota penting pertama Taliban jatuh. Berdampak sangat dramatis sekaligus menenangkan. Di Pakistan, misalnya, berbagai demonstrasi besar-besaran pro-bin Laden berakhir pada bulan November beriring jalan dengan berakhirnya suasana demonstrasi dari mereka. Tak ada lagi kesadaran bahwa kesuksesan kaum Islam militan sudah dekat. Kita pun lantas menyaksikan suasana hati yang lebih tenang sejak Taliban jatuh. Bagaimanapun, meski keadaan tidak seheboh dan seekstrem seperti tahun lalu, gelombang Islam militan belum mencapai puncaknya.
Masa ini menjadi paling penting bagi banyak kaum ekstremis dalam sejarah 14 abad sejarah Islam yang panjang. Tak pernah ada waktu yang sangat mirip seperti ini bagi ekstremisme. Islam era ini tidak lagi sebagai norma tetapi pengecualian. Ia berimplikasi positif. Bahwa segala sesuatunya mungkin bakal dan pasti menjadi lebih baik. Perlu dicatat bahwa sangat sedikit suara yang menentang interpretasi kaum ekstremis. Bin Ladenisme, seperti yang kadang-kadang disebut adalah versi Islam ekstrim yang paling mengerikan, yang sedang dijelaskan secara rinci nyaris tanpa jawaban.
Dimanakah kaum moderat? Mereka memang ada. Jumlah mereka banyak. Suara mereka tidak ada. Nasib mereka malang. Mereka terintimidasi. Umumnya mereka tidak bisa melangkah terlalu jauh. Suasananya satu, jika bukan akibat Bin Ladenisme, maka ada simpati untuk itu. Itulah sebabnya, kenyataan ini menjadi momen yang buruk. Itulah sebabnya mengapa konsekuensi jangka pendek Tragedi 11 September 2001 itu begitu menghancurkan, menurut perkiraan saya, di dunia Muslim. Inilah masa yang sangat, sangat rendah. Sedikit lebih tinggi dari tahun lalu tetapi masih sangat rendah.
Konsekwensi Jangka Panjang Tragedi 11 September 2001
Namun, dalam jangka panjang, saya pikir implikasinya lebih positif. Saya yakin serangan besar-besaran terhadap Amerika Serikat ini menyadarkan Amerika Serikat akan fakta bahwa ia terlibat dalam perang. Perang sebenarnya dimulai pada November 1979. Dengan dua peristiwa mencolok: pendudukan Kedutaan Besar AS di Iran dan penyerangan serta pembunuhan beberapa hari kemudian terhadap dua orang Amerika di Kedutaan (AS) di Islamabad. Peristiwa-peristiwa ini menandai serangan awal Islam militan atas Amerika Serikat. Serangan-serangan itu diikuti oleh banyak serangan berikutnya, baik di luar negeri maupun di dalam negeri.
Selain itu, terjadi serangan terhadap Kedutaan Besar AS di Beirut pada April 1983, yang menewaskan 17 orang. Ledakan barak Marinir menyusul pada Oktober 1983, menewaskan 241 orang. Kemudian terjadi serangan terhadap kedutaan, pangkalan militer, dan pesawat terbang. Baru-baru ini, dua serangan terjadi di Arab Saudi pada tahun 1995 dan 1996, serangan di Afrika Timur terhadap Kedutaan Besar Amerika pada Agustus 1998 dan serangan terhadap USS Cole di Pelabuhan Aden terjadi pada Oktober 2000.
Ali Akbar Tabataba'i.
Serangan juga terjadi di dalam negeri. Yang pertama pada 1980. Ketika seorang mualaf Afrika-Amerika yang mendukung rezim Iran membunuh Ali Akbar Tabataba'i, seorang pembangkang Iran di pinggiran Maryland di Washington. Ada pembunuhan turis Denmark di Empire State Building, serangan World Trade Center pertama pada tahun 1993, serangan terhadap seorang anak laki-laki Yahudi di Jembatan Brooklyn, serangan di luar markas CIA, serangan terhadap seorang pemimpin Muslim di Tucson, Arizona dan serangan terhadap tiga orang India di Negara Bagian Washington, serta seterusnya.
Secara keseluruhan, saya menghitung, ada lebih dari 800 orang tewas sebelum Tragedi 11 September 2001 (9/11). Saya masukkan juga peristiwa jatuhnya Egypt Air pada akhir 1999 di dalamnya. Memang, tidak semua korban tewas selama terjadinya berbagai serangan terhadap warga Amerika itu adalah orang Amerika. Tetapi ada 800 korban tewas itu orang Amerika. Insiden-insiden ini sangat terkenal. Mendapat banyak sekali perhatian dari masyarakat. Tetapi Pemerintah AS tidak melakukan apa pun untuk melemahkan kekuatan musuh dan tidak melakukan apa-apa untuk mengubah kebijakan sehubungan dengan keamanan, imigrasi atau hal-hal lain. Yang paling mendasar, serangan ini diperlakukan sebagai episode criminal. Bukan sebagai bagian dari upaya perang. Pemboman dua kedutaan pada 1998 misalnya, menyebabkan Amerika Serikat menangkap empat pelaku, membawa mereka ke New York, memberi mereka pengacara, mengadili dan menghukum mereka. Tidak ada upaya untuk menyelidiki para pejuang lapangan guna mencapai hirarksi organisasi yang mengirim mereka.
Perubahan besar setahun yang lalu merupakan pemahaman mendadak, setelah 22 tahun. Bahwa serangan atas Amerika bukan sekedar soal kriminalitas tetapi merepresentasikan upaya perang. Tanggapannya adalah dengan mendeklarasikan "perang melawan teror". Dengan kata lain, ketika perang melawan Amerika Serikat dilancarkan selama 22 tahun, Washington baru menyadari fakta ini setahun yang lalu. Kabar baiknya, kita benar-benar tersadar dengan kasus itu.
Ini kabar baik bagi dunia Muslim juga. Saya yakini bahwa tujuan akhir perang ini - dan di sini saya akan memberi Anda wawasan yang tidak disadari oleh Pemerintah AS sendiri - adalah untuk mengubah Islam. Anda mungkin memberi tahu saya bahwa Anda belum pernah mendengar Presiden Bush mengatakan ini, dan saya setuju dengan Anda. Presiden dan semua pemimpin pemerintahan hanya berbicara tentang terorisme, seolah-olah terorisme itu sendiri adalah musuh.
Formulasi pernyataan yang dirumuskan secara hati-hati ini memang berguna, tetapi tidak akurat. Perang tidak lagi melawan terorisme seperti Perang Dunia II pasca-perang Pearl Harbor yang merupakan perang melawan serangan mendadak. Perang itu melawan mereka yang melakukan serangan sejak 1979, dan mereka adalah penganut Islam radikal. Ia juga melawan ideologi mobilisasi mereka, Islam militan. Perang itu tidak melawan Islam sebagai agama. Tidak melawan terror yang merupakan instrumen militer. Ia melawan Islam militan, sebuah interpretasi teroris terhadap Islam.
Islam militan adalah ideologi yang berlandaskan Islam tetapi diubah menjadi sesuatu yang berbeda. Masalahnya bukan lagi soal agama. Soalnya, banyak Muslim yang membenci, muak, takut pada penganut Islam militan. Ada ratusan ribu korban Muslim. Memang, ada 100.000 korban di Aljazair saja. Pada akhirnya ini soal pertempuran antara Muslim atas hakikat Islam. Akankah pembacaan kaum ekstremis yang berlaku kini atau apakah pembacaan kaum moderat? Kita yang bukan Muslim, khususnya Amerika Serikat, memiliki peran dalam mendukung satu pihak melawan pihak lain, tetapi mereka akan memutuskannya.
Huntington sebaliknya, bukan soal benturan peradaban.
Ini bukan benturan peradaban. Itu pertarungan antarumat Islam atas hakikat Islam. Dalam hal ini, perang AS pada akhirnya harus membantu Muslim moderat melawan kekuatan radikal. Pada akhirnya, saya yakin, orang Amerika akan memahami kemudian mengakui bahwa perang itu memang melawan ideologi totaliter.
Jika pernyataan ini terdengar akrab, maka seharusnya memang demikian. Sama seperti tujuan akhir AS dalam Perang Dunia II adalah menghancurkan ideologi fasis yang berdiri di belakang Jerman, Italia, Jepang dan negara serta gerakan lainnya. Dan sama seperti dalam Perang Dingin, tujuan akhir kita adalah menghancurkan ideologi Marxis-Leninis yang berdiri di belakang Uni Soviet, Cina, Kuba, Vietnam dan negara serta gerakan lainnya. Jadi hari ini tujuannya adalah untuk menghancurkan gerakan Islam militan ini berikut ideologi yang mendukungnya.
"Menghancurkan" tidak selalu berarti membunuh. Karena memang ada berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Perang Dunia II melibatkan penghancuran militer, tetapi Perang Dingin berakhir nyaris tanpa kekerasan. Jadi, penghancuran tidak harus berupa penghancuran militer. Ia berarti meyakinkan populasi musuh bahwa mereka sedang mengejar serangkaian tujuan buntu yang bakal membawanya kepada bencana. Ironisnya, beberapa pemimpin Muslim jauh lebih di depan dibanding dengan Barat dalam memahami masalah ini.
Pertanyaan kunci yang tengah dihadapi orang Amerika adalah apakah realisasi ini akan terjadi nanti atau lebih cepat? Berapa lama Washington terus melanjutkan formulasi "terorisme" ini sehingga tidak menghadapi musuh yang sebenarnya? Semakin lama ia menolak untuk menghadapi musuh yang sebenarnya, saya perkirakan, semakin besar kemungkinan bahwa musuh akan menimbulkan semakin banyak kerusakan. Saya khawatir kejadian setahun yang lalu hanyalah awal dari bencana yang jauh lebih besar sekaligus lebih buruk.
Anda tidak bisa memenangkan perang kecuali jika Anda mengetahui nama musuhmu. Sama seperti dokter harus mengidentifikasi dan mengetahui nama penyakit untuk mengobatinya, demikian pula seorang ahli strategi harus mengidentifikasi dan memberi nama musuh untuk mengalahkannya. Kita harus mengetahui nama musuh, mengisolasinya, melawannya, mengalahkannya. Tidak harus secara militer. Tetapi mengalahkannya. Ketika kita melakukannya, maka Islam moderat yang saat ini lemah, akan berpeluang untuk makmur dan berhasil.
Topik Terkait: Sejarah , Islam Radikal
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.