Keberhasilan Israel
Persoalan mungkin saja tampak tidak pernah membaik bagi Israel, atau semakin buruk bagi orang-orang yang menginginkannya
Persoalan mungkin tampak tidak pernah membaik bagi Israel, atau semakin buruk bagi orang-orang yang menginginkannya.
Ingat: Negara Yahudi sudah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir dan Yordania serta lima perjanjian dengan Otoritas Palestina (PA), "mitra perdamaiannya". Dengan Suriah, berbagai negosiasi tingkat tinggi yang kini tengah berlangsung tampak begitu menjanjikan sehingga kedua belah pihak pun secara terbuka memperkirakan bahwa negosiasi-negosiasi dapat diselesaikan dalam beberapa bulan. Hubungan diplomatik lain pun lebih kuat daripada sebelumnya: Israel punya sekutu kawasan yang kuat di Turki, menikmati hubungan yang berkembang dengan negara-negara raksasa seperti India dan Cina, dan secara umum melepaskan status hampir paria-nya yang tertatih-tatih pada masa lalu. Hubungannya dengan Amerika Serikat hangat, mendalam, pribadi dan timbal balik.
Andaikata diplomasi gagal karena alasan apa pun, Israel dapat mengandalkan kekuatan militernya. Ia satu-satunya negara Timur Tengah yang terlibat dalam "revolusi urusan militer" yang paling brutal. Penggunaan teknologi tinggi persenjataan, pada dasarnya, membuatnya secara mengagumkan mampu membangun persenjataan konvensional. Termasuk pesawat dan tank. Hal itu menyebabkan beberapa Negara-negara Arab pada dasarnya mengakui bahwa mereka tidak dapat bersaing dengannya di level itu.
Mereka sebaliknya, mengarahkan perhatian mereka lebih tinggi (kepada senjata pemusnah massal) dan lebih rendah (kepada penggunaan terorisme). Tetapi bahkan di arena itu, Israel pun jauh dari tak berdaya: ia mempunyai sistem pertahanan peluru kendali Arrow yang berfungsi baik. Sementara itu, untuk tujuan pembalasan serangan, dia punya senjata pemusnah massal sendiri. Ia juga punya kemampuan anti-teroris yang tangguh.
Masalah keamanan nyaris tidak menguras daftar keunggulan Israel. Secara ekonomi, Israel kini menikmati pendapatan per kapita sebesar $18.000 (setara Rp 260 juta). Pendapatan ini menempatkannya sedikit di depan Spanyol dan sedikit di belakang Kanada. Dengan kata lain, dia masuk dalam liga negara-negara besar. Lebih baik lagi, Israel memperlihatkan tingkat pertumbuhan tahunan yang sangat mengesankan sejak tahun 1990. Berkat "Silicon Wadi" -nya, Israel menjadi raksasa teknologi tinggi dengan sektor komputer dan Internet yang lebih besar secara absolut dibanding negara lain mana pun di dunia di luar Amerika Serikat. Secara demografis, tingkat kelahiran 2,6 anak per wanita di antara orang Yahudi Israel adalah salah satu yang tertinggi di Barat. Selain itu, negara tersebut tetap menjadi magnet bagi imigrasi. Dengan 5 juta warga Yahudi, dengan cepat ia mensejajarkan diri dengan Amerika Serikat sebagai tempat dengan populasi Yahudi terbesar di dunia.
Akhirnya, ada soal panorama politik. Tidak seperti negara-negara tetangga dan saingannya, Israel mendapat manfaat dari budaya sipil yang hidup sekaligus kuat. Setiap orang punya hak untuk berpendapat sendiri. Aliran partainya (terkenal) cair dan tidak ada orang yang tunduk pada politisi. Betapapun penuh warna dan argumentatifnya forum publik, namun ketika menyangkut masalah keamanan penting, partai-partai besar menemukan banyak landasan yang sama.
Dalam Pemilu tahun lalu, misalnya, dua kandidat untuk jabatan perdana menteri berbeda dalam hal nada dan kecepatan. Tetapi sama sekali bukan pada substansi proses perdamaian. Ya, mereka sepakat, Palestina harus berbuat lebih banyak untuk memenuhi keinginan mereka sesuai janji mereka. Tetapi tidak, kegagalan mereka dalam bidang ini bukan alasan yang cukup untuk menghentikan negosiasi.
Kegagalan di Kalangan Para Musuh Israel
Sebaliknya, jika orang Israel tampaknya bernasib baik, Bangsa Arab - dan juga Iran - tampaknya bernasib kurang baik. Negara-negara Arab, dalam kata-kata seorang pejabat PBB, "menjadi pembeli keperluan militer tertinggi di dunia yang sangat luar biasa." Mereka menghabiskan 8,8 persen PDB mereka untuk urusan militer, dibandingkan dengan dunia yang secara keseluruhan mengeluarkan 2,4 persen PDB-nya. Namun demikian, terlepas dari semua pengeluaran ini, kekuatan konvensional Arab mengalami penurunan. Yang pasti, beberapa negara (seperti Mesir) memiliki akses kepada senjata canggih Amerika. Tetapi kurangnya kemahiran teknis berarti bahwa Mesir hampir selalu menjadi konsumen perangkat keras militer, membayar barang jadi yang harus diajarkan orang lain cara mengoperasikannya.
Sekutu? Uni Soviet sudah tinggalkan mereka, dan tidak ada yang mendekat yang bisa menggantikannya. Negara-negara Arab sangat mencurigai Amerika Serikat terlibat dalam konspirasi melawan mereka. Kecurigaan ini, seperti, baru-baru ini terjadi dalam kasus kecelakaan EgyptAir di New York, menghalangi mereka untuk berhubungan lebih dekat dengan satu-satunya negara adidaya di dunia itu. Mereka juga tidak punya kemampuan untuk melancarkan serangan balik yang efektif terhadap lobi pro-Israel di Washington. Juga tidak bisa menanggapi kerja sama yang berkembang antara Turki dan Israel dengan cara yang bisa membuat kepentingan mereka sendiri maju.
Di luar Israel, jika itu kata yang tepat, Timur Tengah membanggakan diri, dengan rezim otokratis tingkat tertingginya di dunia. Belum lagi sejumlah besar negara jahat termasuk Iran, Irak, Suriah, Sudan dan Libya. Budaya hormat dan intimidasi tetap dominan di mana-mana. Gerakan demokrasi dan hak asasi manusia lemah. Negara-negara Arab sangat rentan terhadap Islamisme, sebuah ideologi totaliter dalam tradisi fasisme dan Marxisme-Leninisme. Meski mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir, penganut Islam radikal masih menjadi kekuatan oposisi utama di negara-negara seperti Aljazair, Mesir, dan Arab Saudi, yang mengancam stabilitas pemerintahan demi pemerintahan.
Ekonomi Arab juga tidak berkembang baik. Lonjakan harga minyak akhir-akhir ini, betapapun disambut baik oleh para produsen, tidak dapat mengaburkan beberapa realitas suram, terutama pendapatan per kapita tahunan di kalangan masyarakat berbahasa Arab sehingga tidak naik mencapai sepersepuluh dari pendapatan perkapita Israel. Ya, Kuwait mempunyai pendapatan per kapita (seperti Israel) dengan $18.000 (setara Rp 261 juta). Tetapi di Yaman pendapatan per kapita tahunannya adalah $270 (setara Rp 3. 915. 000). Lebih tepatnya, Mesir, Yordania dan Suriah semuanya berada di sekitar $1.000 (setara Rp 14,5 juta). Satu persen kecil dari ekuitas dunia yang mengalir ke pasar negara berkembang akhir-akhir ini berakhir di negara-negara berbahasa Arab. Ketika sampai pada persoalan teknologi tinggi, Timur Tengah adalah lubang hitam, dengan sedikit penjualan bahkan nyaris tanpa inovasi. Sejarawan R. Stephen Humphreys karena itu mencatat, "dengan sedikit mengecualikan Turki dan tentu saja Israel ... tidak satu pun barang buatan Timur Tengah yang dapat dijual secara kompetitif di pasar dunia."
Secara demografis, orang Arab dan Iran memiliki terlalu banyak hal baik yang justru berdampak merugikan. Tingkat kelahirannya sangat tinggi sehingga sekolah tak mampu mempertahankan standarnya. Selain itu, ekonominya tidak dapat menghasilkan pekerjaan yang cukup. Ahli demografi Onn Winckler karena itu menyebutkan pertumbuhan penduduk sebagai "masalah sosial ekonomi paling kritis" di Timur Tengah.
- Penolakan Bangsa Arab
Secara keseluruhan, semua faktor ini tampaknya memperlihatkan bahwa Israel sebegitu jauh pasti lebih unggul dibanding para musuh historisnya. Begitulah, memang, tampaknya pandangan para pemimpin Israel itu sendiri. Berkat kuatnya posisi Israel, Perdana Menteri Ehud Barak kini bisa berbicara dengan percaya diri tentang "berakhirnya perang" dan negaranya akhirnya diterima hadir permanen oleh tetangganya. Berbagai perasaan ini digaungkan secara luas baik di Israel maupun di Washington.
Namun ada dua kecenderungan memperlihatkan sebaliknya. Yang pertama berkaitan dengan kekuatan Bangsa Arab. Yang kedua terkait dengan kelemahan Israel. Dalam kedua kasus tersebut, fenomena yang akan saya diskusikan hanya sebagian bersifat material. Jadi, lebih banyak berada pada ranah kualitas yang sulit dipahami dan tidak berwujud seperti semangat dan semangat juang internal. Namun justru sifat-sifat inilah yang pada akhirnya dapat menentukan nasib bangsa dan masyarakat.
Posisi Bangsa Arab sudah mengalami beberapa peningkatan, entah nyata atau segera muncul sudah lama diakui. Bangsa Arab misalnya menguasasi bagian cadangan minyak dan gas dunia yang lebih besar, terus-menerus memperoleh senjata pemusnah massal, dan tengah bergerak menuju modernisasi ekonomi (terutama di Mesir). Kemajuan di salah satu atau semua bidang ini dapat secara serius mengancam keunggulan kwalitatif Israel berikut keamanan jangka menengahnya. Kecuali jika permusuhan Bangsa Arab terhadap Negara Yahudi telah hilang untuk sementara. Tetapi di sinilah alasan terbesar persoalan itu berada.
Seperti beberapa tahun terakhir, penolakan tidak terlampau bercorak sekuler dan sebaliknya lebih berwajah Islami, sehingga memperoleh resonansi yang lebih dalam di kalangan Bangsa Arab biasa.
Bangsa Arab secara historis, menolak eksistensi permanen Negara Yahudi yang berdaulat di tanah air bersejarahnya. "Penolakan" itu didasarkan pada satu atau varian lokal lain dari nasionalisme yang diimpor Eropa ke Timur Tengah (seperti pan-Arab, pan-Suriah, Palestina atau sejenisnya). Meski demikian, penolakan itu punya dua cacat; cacat karena jangkauannya yang terbatas dan cacat karena bersifat faksionalisme. Seperti beberapa tahun terakhir, penolakan tidak terlampau bercorak sekuler dan sebaliknya lebih berwajah Islami, sehingga memperoleh resonansi yang lebih dalam di kalangan Bangsa Arab biasa karena keberadaan Israel kini dianggap sebagai penghinaan terhadap kehendak Allah. Penolakan juga mendapat manfaat secara operasional akibat Bangsa Arab semakin bersatu (dan penganut Islam radikal secara mengejutkan memang pandai bekerja sama). Efek bersihnya bukanlah untuk membuat Bangsa Arab lebih moderat terhadap Bangsa Israel tetapi, sebaliknya, hendak memperkuat sekaligus mempertajam antagonisme Arab terhadap Israel. Karena itu, elemen penolakan yang vokal kini mencakup kaum Muslim dan kaum Islam radikal yang saleh, kaum nasionalis Arab, para tiran dan intelektual yang memberi dorongan baru pada mimpi lama zaman ini untuk menghancurkannya.
Pemikiran ini tidak bisa sering atau cukup kuat diungkapkan sehingga mayoritas mereka, para penutur bahasa Arab terus menolak gagasan damai dengan Israel. Meski kalah dalam enam putaran perang, mereka tampaknya tidak segan untuk mencoba lagi. Sikap itu terlihat dalam salah satu survei pendapat Bangsa Arab yang mendalam yang terbaru, yang dilakukan oleh ilmuwan politik Hilal Khashan dari American University of Beirut. Melibatkan seribu enam ratus responden, mereka terbagi rata antara orang Yordania, Lebanon, Palestina dan Suriah. Hasil survei yang dinyatakan dengan rasio 69 hingga 28 persen itu memperlihatkan bahwa mereka secara pribadi tidak menginginkan berdamai dengan Israel. Sebanyak 79 hingga 18 persen menolak gagasan berbisnis dengan Israel bahkan setelah perdamaian total. Sebanyak 80 hingga 19 persen, responden menolak belajar tentang Israel. Sebanyak 87 hingga 13 persen, mendukung serangan kelompok Islam terhadap Israel.
Inilah pandangan tentang Israel yang mendominasi debat politik di dunia Arab. Dan, pandangan disampaikan kepada publik di setiap arena. Mulai dari wacana ilmiah hingga media populer hingga jingle taman kanak-kanak. Memang benar bahwa beberapa kalangan Bangsa Arab yang berpikir sebaliknya. Almarhum Raja Hussein dari Yordania misalnya fasih berbicara tentang perlunya mengesampingkan konflik dengan Israel lalu melanjutkan berbagai hal. Putra-putranya dan penerusnya pun tampaknya memiliki pikiran yang sama. Beberapa perwira tentara Arab pasti memilih untuk tidak menghadapi pasukan militer Israel dalam waktu dekat. Umat Kristen Kuwait dan Lebanon, yang sadar diri akan pendudukan, kini sebagian besar ingin meninggalkan Israel sendirian. Juga ada pemimpin bisnis yang yakin, seperti yang secara ringkas padat dikatakan oleh seorang bankir Arab, bahwa "seluruh tujuan perdamaian adalah bisnis." Tetapi elemen-elemen ini, secara keseluruhan, hanya mewakili sebagian kecil populasi Arab dan belum mampu mengubah rasa permusuhan yang mendasarinya.
Sebuah insiden dari halaman olahraga menjelaskan poin pemikiran seputar penolakan itu. Hanya beberapa bulan lalu, atlet Israel mengikuti pertandingan resmi pertama kalinya ke sebuah ibu kota Arab. Ibukota Qatar di Teluk Persia yang kecil dan moderat. Bukan ibu kota "negara yang sedang berkonfrontasi" dengan Israel di garis depan. Pengalaman itu ternyata, seperti yang secara tepat dilukiskan oleh Kantor Berita Agence France-Presse (AFP), sebagai "cobaan berat". Para atlet Israel dipaksa tinggal terisolasi nyaris sepenuhnya dari atlet lain. Mereka harus masuk-keluar hotel melalui pintu samping. Di antara bendera negara-negara yang bersaing, hanya bendera Israel yang tidak dikibarkan di depan umum. Kerumunan besar massa muncul mencemooh para atlet Yahudi. Media menggembar-gemborkan kehadiran mereka sebagai "kesempatan untuk mengungkapkan penolakan orang Arab terhadap semua yang berbau Israel."
Dua puluh hubungan diplomatik Mesir dan Israel, sejak perjanjian tahun 1979, perdamaian menjadi saksi pahit getir atas keadaan yang sama. Secara formal memang ada perdamaian. Tetapi Kairo mengizinkan, bahkan mensponsori, kampanye propaganda jahat melawan Israel. Termasuk melakukan berbagai bentuk anti-Semitisme yang paling kasar. Selain itu, Mesir pun dengan cepat membangun kekuatan militer ofensif yang dapat dikerahkan melawan Negara Yahudi. Akibatnya, otoritas Mesir memberi tahu rakyat mereka, "Untuk berbagai alasan kita harus berhubungan dengan orang Israel dan menandatangani kertas tertentu. Tetapi kita tetap benci mereka. Kalian pun harus lakukan itu." Di Yordania, meski pemerintah tidak memainkan permainan ganda itu, beberapa hal keadaannnya justru menjadi lebih buruk. Upaya terbaik dua raja kerajaan itu gagal mendorong pandangan yang lebih damai dan bersahabat terhadap Israel bagi penduduk Yordania
Upaya membangkitkan impian warga Arab untuk menolak Israel menjadi fakta yang sangat penting bahwa di dalam negeri Israel sendiri (yaitu dalam perbatasan yang ditetapkan pada 1967), proporsi penduduk Yahudi merosot. Dari 87 persen menjadi 79 persen saat ini. Kemerosotan ini sungguh tak terelakkan. Pada tahun 1998, dari total pertumbuhan penduduk Israel sebesar 133.000, hanya 80.000 orang Yahudi. Porsi warga Arab menjadi bagian terbesar dari sisanya. Dari statistik tersebut, beberapa ahli demografi memperkirakan bakal ada mayoritas non-Yahudi pada pertengahan abad ke-21.
Tetapi ciri Yahudi "Negara Yahudi" akan berubah sesuai dengan keinginan orang Arab jauh sebelum mereka mencapai status mayoritas di sana. Kini, jika warga Arab Israel terwakili di Knesset sebanding dengan jumlah mereka, maka mereka sudah memegang 24 dari 120 kursinya. Bahkan dengan tujuh kursi yang sekarang mereka duduki, seperti dicatat oleh analis Eric Rozenman,
pemilih Arab dan anggota Knesset Arab... telah membantu menyisihkan mayoritas Yahudi dalam hal-hal penting. Seperti dalam pembentukan koalisi Perdana Menteri Yitzhak Rabin pada 1992 dan persetujuan Oslo dan Oslo II pada 1993 dan 1995. Ketujuh anggota Arab Israel mendukung kedua perjanjian; yang pertama disahkan 61 banding 50, dengan sembilan abstain, yang terakhir disahkan oleh 61 banding 59.
Kecenderungan ini tak diragukan bakal bertahan, tulis Rozenman. Terutama karena warga Arab Israel "disemangati oleh negara tetangga Palestina yang baru (dan mungkin juga oleh Yordania yang semakin Palestina)." Ketika jumlah warga Arab mendekati atau bahkan lebih banyak dari warga Yahudi, "negara mungkin masih demokratis, tetapi suasana sipil, budaya publik, kemungkinan besar diam-diam tidak akan menjadi Yahudi. Inilah kesadaran umum yang berkembang sekarang ini."
"Palestina" tetap menjadi satu-satunya isu yang paling mampu memobilisasi kaum Muslim Amerika. Posisi yang diartikulasikan oleh organisasi Muslim tentang masalah ini nyaris sama-sama ekstrem.
Semakin berkembangnya kekuatan sekaligus hak pilih kaum Muslim di Amerika Serikat memberikan dasar lebih lanjut bagi optimisme Arab. Bukan saja jumlah komunitas Muslim Amerika sudah mendekati jumlah komunitas Yahudi, tetapi mereka juga mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, kesejahteraan ekonomi dan kecerdasan politik. Jika lobi lama pro-Arab terhambat akibat ketergantungannya pada uang minyak, para pensiunan diplomat Amerika dan Kristen Arab sayap kiri serta organisasi baru yang dinamis seperti Dewan Muslim Amerika dan Dewan Hubungan Amerika-Islam merupakan persoalan yang lain sama sekali. Meski kebijakan luar negeri bukan satu-satunya penyebab bagi mereka, "Palestina" tetap menjadi satu-satunya isu yang paling mampu memobilisasi kaum Muslim Amerika. Posisi yang diartikulasikan oleh organisasi Muslim tentang masalah ini nyaris sama-sama ekstrem, menentang negosiasi dengan Israel atau hampir semua bentuk akomodasi dengannya.
Berbagai organisasi Muslim ekstremis ini tidak sekedar berniat membuat diri mereka didengar, tetapi Pemerintahan Clinton pun, setidaknya, secara terbuka menyambut mereka pada tingkat tertinggi. Pada jamuan makan malam yang dia selenggarakan untuk berbuka puasa Desember lalu, Menteri Luar Negeri Madeleine K. Albright mengatakan kepada para tamunya: "Saya ingin pastikan bahwa keprihatinan yang logis dari Muslim Amerika diperhitungkan saat menyusun program, kegiatan dan laporan dari Departemen ini." Duduk di depannya adalah para tokoh radikal Muslim Amerika.
Apakah mengherankan bahwa banyak orang Arab, setelah mengetahui fakta-fakta seperti itu atau mendengar kata-kata memabukkan seperti itu keluar dari bibir Menteri Luar Negeri Amerika, seharusnya kembali dipenuhi dengan kesadaran untuk percaya diri baru tentang masa depan? Juga bahwa kesadaran diri itu hanya dapat didukung oleh apa yang mereka lihat terjadi di sisi lain, di dalam Israel sendiri.
II. Israel yang Kelelahan
Pernah terkenal karena kepercayaan diri, keberanian dan tujuan hidupnya, namun kini Israel sudah menjadi sebuah masyarakat yang berubah.
Pernah terkenal karena kepercayaan diri, keberanian dan tujuan hidupnya, namun kini Israel sudah menjadi sebuah masyarakat yang berubah. Kekuatan mesin militernya tidak perlu diragukan lagi. Hanya beberapa kalangan yang mengetahui hati dan jiwa negeri itu berupaya menyembunyikan fakta soal luasnya kemerosotan semangat juang itu, bahkan di dalam lingkungan mesin militer itu sendiri. Seorang pensiunan kolonel dengan rapih merangkum kenyataan ini "publik Israel benar-benar lelah akibat perang."
Kelelahan terwujud dalam banyak bentuk di Israel kontemporer. Luasnya perasaan bahwa mereka sudah cukup lama berperang, dan bahwa sudah tiba waktunya untuk menetap, membuat banyak orang mengungkapkan secara terbuka kekesalan mereka terhadap perlunya kesiapan militer dan biaya yang sangat besar untuk memelihara angkatan bersenjata modern. Mereka lelah akibat kehilangan nyawa yang terus-menerus. Mereka ingin melarikan diri dari ketakutan yang ditimbulkan oleh terorisme. Mereka sangat ingin menghentikan perang suku yang kembali meledak - dan perjanjian damai yang menjanjikan jalan keluar yang cepat. (Seperti dikatakan seorang Israel kepada saya, "Kakek, ayah, saya sendiri dan anak saya semuanya sudah berperang melawan orang Arab. Saya ingin pastikan bahwa cucu saya juga tidak harus melakukannya.") Di kalangan kaum muda, menghindari wajib militer, meski tidak diketahui, hingga kini semuanya menjadi masalah serius. Di kalangan tentara sendiri, semangat juang nyaris tidak seperti dulu lagi. Hal itu terungkap dari catatan Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defence Force---IDF) yang jelas tidak heroik di Libanon kepada semua orang, termasuk kepada musuh Hizbullah.
Pada saat yang sama, ekonomi Israel yang melonjak memberi banyak warga rasa nyaman akan kehidupan yang baik yang tidak mudah didamaikan dengan kebutuhan akan kesabaran dan ketabahan - dan, terutama, pengorbanan - dalam menghadapi musuh yang tampaknya tidak berubah. Para pria paruh baya Israel semakin banyak yang tidak rela untuk pergi "berperan sebagai tentara" dalam tugas cadangan selama beberapa minggu dalam setahun ketika mereka dapat berada di kantor untuk meningkatkan kekayaan bersih mereka atau menikmati apa yang dimungkinkan oleh kekayaan bersih itu. Bagi mereka yang memiliki hati nurani sosial yang aktif, sejumlah masalah rumah tangga yang lama tertunda - kemiskinan yang terus-menerus, sistem pendidikan yang salah, hubungan yang memburuk antara sekuler dan agama - tampaknya jauh lebih berharga untuk diperhatikan, termasuk soal pengeluaran sehari-hari, dibanding dengan bergulat tanpa henti dengan lawan-lawan Israel. .
Akhirnya, Bangsa Israel lelah dengan hinaan moral yang lama diderita negara mereka di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di kalangan akademisi Barat, dan di ruang dewan redaksi media. Memang, ketika bereaksi sangat keras terhadap pengucilan moral yang sedang berlangsung ini, beberapa intelektual terkemuka di negara itu, seolah-olah negeri itu tercela. Mereka seolah-olah mengakomodasi sebagian besar konflik Arab-Israel versi Arab lalu mengumumkannya sebagai kebenaran baru yang penting. Jadi, untuk mengutip ungkapan yang sangat berpengaruh dari pemikiran ini, mahzab "sejarawan baru" di Israel berpendapat bahwa Negara Yahudi bersalah atas "dosa asal" karena diduga merampas hak penduduk asli Palestina dan karena itu sampai batas tertentu dianggap tidak sah. Yang lain, yang dikenal sebagai "pasca-Zionis", mencirikan nasionalisme Yahudi - Zionisme - sebagai, jika bukan rasis, paling-paling ideologi yang sudah ketinggalan zaman dan parokial, dan yang seharusnya tidak lagi menjadi dasar kehidupan publik Israel.
Ide-ide seperti itu, pertama kali diinkubasi di kalangan kaum ekstrim kiri dan di universitas kenamaan, kemudian menyebar ke berbagai kalangan mahasiswa, seniman, dan jurnalis. Kini, ide-ide itu menjadi bahan dokumenter televisi dan buku teks pendidikan. Sedangkan terkait dengan tahun sekolah Israel saat ini, siswa kelas sembilan tidak lagi mengetahui bahwa perang kemerdekaan Israel pada 1948-1949 merupakan pertempuran yang dilancarkan oleh segelintir orang melawan banyak orang, tetapi justru sebaliknya, tentang Bangsa Yahudi yang menikmati keunggulan militer atas orang Arab. Mereka juga mengetahui bahwa banyak orang Palestina melarikan diri dari negara itu pada tahun-tahun perang itu. Bukan dengan tujuan membuka jalan bagi serbuan tentara Arab yang dianggap sedang berbaris menuju kemenangan, tetapi karena rasa takut yang sangat beralasan akan kebrutalan dan teror Yahudi.
Dalam laporan halaman depan tentang pengenalan buku-buku ini ke sekolah-sekolah, Harian New York Times dengan tepat menggolongkannya sebagai tanda "revolusi diam" (quiet revolution). Para politisi, pemimpin bisnis, dan bahkan perwira militer kini pun mulai menyadari revolusi ini. Dampaknya nyaris tidak bisa dibesar-besarkan. Berkat terobosan pasca-Zionisme, seperti yang diamati Meyrav Wurmser dalam Middle East Quarterly, masyarakat Israel "sekarang menghadapi krisis identitas dan nilai yang menyerang komponen dan elemen dasar dari identitas [nya]: Yudaisme dan nasionalisme. " Tanpa kedua komponen itu, jelas, hanya sedikit yang tersisa dari proyek Zionis.
Implikasinya bagi Kebijakan
Yang paling mengejutkan adalah betapa sedikitnya perhatian yang orang Israel berikan pada masa kini kepada tetangga Arab mereka.
Apa implikasinya, bagi politik dan diplomasi akibat kelelahan Israel dan dari keterasingan diri yang sangat mendalam yang merupakan akibat yang wajar? Di atas semuanya itu, yang paling mengejutkan adalah betapa sedikitnya perhatian yang orang Israel berikan pada masa kini kepada tetangga Arab mereka. Akibat kemuakan mereka terhadap pertempuran beriring dengan tekad untuk membangun ekonomi Internet, mereka tampaknya memutuskan bahwa orang Arab pun merasakan hal yang sama, menginginkan hal yang sama, sehingga akan mengalaminya. (Dalam psikologi, istilah untuk ini adalah proyeksi). Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Jaffee Center di Universitas Tel Aviv, sepenuhnya dua pertiga orang Israel sekarang setuju dengan pernyataan meragukan berikut ini: bahwa kebanyakan orang Palestina menginginkan damai. Bahwa penandatanganan perjanjian bakal mengakhiri konflik Arab-Israel. Juga bahwa jika terpaksa memilih antara negosiasi dan meningkatkan kekuatan militer, Israel harus memilih yang pertama. Perdana Menteri Ehud Barak dengan sempurna meringkas pandangan ini dalam seruannya yang berulang-ulang tentang perdamaian yang akan "bermanfaat bagi semua orang." Asumsi tak terucapkan yang ada adalah bahwa orang Arab, tidak kurang dari orang Israel, berusaha menyelesaikan konflik mereka yang telah berlangsung seabad dengan cara yang harmonis.
Tentu saja, pada tingkat tertentu orang Israel tahu betul soal penolakan Bangsa Arab yang terus berlanjut. Tanda-tanda penolakan terlalu mencolok. Bahkan untuk sikap mirip unta, sikap tidak mau menghadapi kenyataan sebagai benar-benar bodoh. Tetapi mereka jelas memilih untuk tidak menekankan atau bahkan mengabaikan fenomena itu. Bagaimana menjelaskan tidak satu pun jurnalis Israel penuh waktu yang melaporkan dari ibu kota Arab, atau fakta bahwa survei yang cermat oleh Hilal Khashan tentang opini Arab, dengan berita yang benar-benar mencemaskan, tidak mendapatkan perhatian apa pun di pers Israel ketika muncul musim panas lalu. ? "Ini hanya kata-kata. Biarkan mereka bicara," adalah bagaimana Shimon Peres, berbicara untuk banyak orang sebangsanya, dengan terang-terangan menolak bukti tak terbantahkan tentang perasaan dan sikap orang Arab.
Pernyataan Peres yang bernada menghina merangkum asumsi penuh khayalan Israel yang tersebar luas. Asumsi penuh khayalan bahwa perdamaian di Timur Tengah itu sedang dibuat bagi Israel. Dan bahwa jika Israel ingin mengakhiri perjuangan yang berlarut-larut, mereka dapat melakukannya sendiri. Mereka dapat "menyelesaikan" masalah Palestina dengan menyetujui pembentukan negara di Tepi Barat dan Gaza. Mereka dapat menghilangkan sikap anti-Zionisme dengan membantu menyalurkan uang kepada orang Arab yang akan menggunakan kekayaan baru yang mereka temukan sehingga mau menjadi tetangga yang baik (dan tidak pernah mengumpulkan persenjataan yang lebih kuat). Atau, dalam skenario pasca-Zionis, mereka dapat memenangkan hati Bangsa Arab dengan membongkar atribut Yahudi dari Negara Yahudi.
Warga Israel kadangkala tampaknya siap berjuang keras membujuk lawan bicara Arab mereka supaya mau menerima hadiah yang ingin mereka berikan kepada mereka.
Apapun taktik yang dipilih, premis yang mendasarinya sama. Bahwa keputusan utama perang dan damai dalam konflik Arab-Israel dibuat di Yerusalem dan Tel Aviv daripada yang sebenarnya terjadi di Kairo, Gaza, Amman dan Damaskus. Akibat pesona fantasi ini, orang Israel kini tampaknya siap mengeksekusi apa yang menjadi pemindahan sepihak wilayah yang dimenangkan dengan susah payah kepada Suriah di utara, kepada Otoritas Palestina di tengah negara dengan harapan masalah mereka menghilang. Memang, mereka kadangkala tampaknya siap berjuang keras membujuk lawan bicara Arab mereka supaya mau menerima hadiah yang ingin mereka berikan kepada mereka.
Tatkala mendengar Perdana Menteri Israel dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Suriah ketika keduanya meresmikan putaran baru pembicaraan pada bulan Desember 1999 misalnya, orang mungkin berpikir bahwa Israel adalah pihak penghasut yang kalah dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan kini mati-matian menuntut persyaratan dari Damaskus. Barak berbicara dengan nada memohon tentang perlunya "melupakan kengerian perang untuk melangkah maju menuju perdamaian" dan untuk menciptakan, "bersama dengan mitra Suriah kami, ... Timur Tengah yang berbeda di mana negara-negara hidup berdampingan dalam relasi penuh damai, saling menghormati dan bertetangga baik." Menteri Luar Negeri Suriah justru sebaliknya, menggertak seperti seorang penakluk. Bersikeras bahwa Israel "memprovokasi" bentrokan tahun 1967, ia lalu menuntut pengembalian tanpa syarat atas "semua tanah yang diduduki Israel". Kenyataan ini melanggar protokol utama diplomasi dan merupakan sinyal yang cukup. Sinyal bahwa Menteri Luar Negeri Suriah tidak punya kekuatan untuk mengambil keputusan apa pun yang menegaskan lebih lanjut siapa yang merayu dalam pertemuan ini dan siapa yang dirayu.
Ketika tiba kepada persoalan Libanon, orang Israel tampaknya meyakinkan diri mereka sendiri bahwa penarikan pasukan secara sepihak dari "zona keamanan" mereka di selatan bakal menyebabkan lawan utama mereka di Lebanon, Hizbullah, membiarkan mereka sendirian. Padahal kepemimpinan Hizbullah, berulang-ulang dan terbuka mengatakan bahwa ia berniat melanjutkan pertempuran sampai hingga Yerusalem. Juga bahwa ia "tidak akan pernah mengakui keberadaan negara yang disebut Israel. Bahkan jika semua orang Arab mengakuinya sekalipun." Terlebih lagi, orang Israel tampaknya diyakinkan bahwa prospek penarikan mereka dari Libanon menjadi salah satu hal yang membuat orang Suriah khawatir, seolah-olah cara terbaik untuk menakut-nakuti musuh Anda adalah dengan mengancam mundur.
Di jalur Palestina, pihak yang pura-pura lebih berotot - Israel - telah dengan tegas menahan diri untuk tidak meminta pihak yang tampaknya lebih rentan untuk memenuhi banyak kewajiban yang dilakukannya sejak 1993. Akibatnya, PA pun tidak menyerahkan penjahat dan terorisnya. Atau menghentikan aksi penghasutannya yang tiada henti untuk melakukan kekerasan. Juga tidak membatasi besaran angkatan bersenjatanya. Logo PA pun karena itu terang-terangan memperlihatkan peta masa depan Palestina yang membentang dari Sungai Yordan hingga Laut Mediterania. Sebuah Palestina, tidak terletak sepanjang Israel tetapi sebaliknya. Untuk semua ini, badan politik Israel tampaknya tidak mengindahkan.
Orang Israel berada di jalan mereka sendiri menuju perdamaian, dan tidak ada "mitra", terlepas dari betapapun rasa permusuhannya yang akan membelokkan mereka darinya.
Surat kabar Ha'aretz melaporkan bahwa negosiator Israel pada prinsipnya pernah mengaku kepada Otoritas Palestina, bahwa pihaknya sudah setiap hari mengendalikan bagian-bagian Yerusalem. Pada akhir 1999, ketika Perdana Menteri Barak mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan membebaskan dua tahanan Palestina pembunuh warga Israel, tindakannya ditanggapi bukan dengan ucapan terima kasih tetapi dengan demonstrasi berisik yang meneriakkan slogan-slogan agresif, "Barak, kamu pengecut. Tahanan kita tidak bakal dipermalukan." Slogan itu diikuti dengan tuntutan agar Israel kini melepaskan semua dari sekitar 1.650 orang Palestina yang dipenjara. Tidak diragukan lagi, para demonstran akhirnya bakal mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang Israel berada di jalan mereka sendiri menuju perdamaian, dan tidak ada "mitra", terlepas dari betapapun rasa permusuhannya yang akan membelokkan mereka darinya.
Ringkasnya, Israel masa kini sangat berbeda dengan Israel zaman dulu. Selama empat dasawarsa lebih, negara itu membuat kemajuan yang mantap berhadapan dengan musuh-musuhnya dengan memperlihatkan sikap yang sabar dan kemauan yang kuat, yang bila perlu didukung oleh keberanian dan kekuatan militer. Dari sebuah negara yang masih muda pada tahun 1948 yang diserbu oleh lima tentara Arab, ia memantapkan dirinya sebagai kekuatan yang kuat, yang berhasil mengatasi boikot minyak, terorisme, dan permusuhan dari negara adidaya. Tetapi sejak Kesepakatan Oslo pada September 1993, tanda-tanda kelelahan semakin nyata. Dan kini, kelelahan ini sangat nyata.
Tetapi sejak Kesepakatan Oslo pada September 1993, tanda-tanda kelelahan semakin nyata. Dan kini, kelelahan ini sangat nyata.
Baru-baru ini, pada Pemilu nasional tahun 1996, perdebatan sengit terjadi di Israel seputar sikap Palestina yang tidak patuh dan tentang kebijaksanaan untuk mengembalikan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah. Pada saat Pemilu 1999, dengan sangat sedikit perubahan di lapangan, isu-isu tersebut pun menghilang. Mungkin 10 hingga 15 persen populasi masih menganut pandangan lama Likud. Yaitu bahwa Israel harus tetap menguasai wilayah sampai orang Arab menunjukkan perubahan hati yang sebenarnya. Kini, perdebatannya adalah soal waktu dan sifatnya. Bukan lagi tentang substansi. Simbol dari konsensus baru adalah fakta bahwa The Third Way, sebuah partai yang eksklusif berfokus mempertahankan Dataran Tinggi Golan di bawah kendali Israel dan yang merebut empat kursi Knesset pada 1996, menghilang dari percaturan politik pada tahun 1999 karena tidak memenangkan satu kursi pun. Bahkan mantan Perdaba Menteri Benjamin Netanyahu, seorang tokoh garis keras kenamaan, menandatangani dua perjanjian kosong dengan Arafat. Selain itu, di jalur Suriah, dia pun siap untuk mengakui hampir semua yang diminta Asad. Seperti yang dicatat dengan benar oleh Ehud Barak, "hanya ada perbedaan yang sangat kecil antara hal-hal yang ingin didiskusikan Netanyahu dan yang didiskusikan oleh [Shimon] Peres dan [Yitzhak] Rabin."
Banyak kalangan yang meratapi kelemahan kebijakan Israel saat ini tergoda untuk meminta pertanggungjawaban Washington. Tetapi (untuk secara simbolis mengatakan) bagaimana seseorang dapat melaksanakan advokasi Hillary Clinton terhadap Negara Palestina ketika, hanya beberapa minggu sebelumnya, Simon Peres menentukan tanggal pendirian negara seperti itu? Orang Israel sangat mampu memilih pemimpin yang siap melawan tekanan Amerika. Dan mereka sudah melakukannya pada masa lalu. Runtuhnya partai oposisi penting pada tahun 1999 membantah anggapan bahwa politisi lemah melakukan penawaran dari Washington. Mereka sebaliknya melakukan penawaran dari para pemilih mereka. Dalam kasus itu, putra sekaligus pewaris politik Menachem Begin, yang memenangkan dua pemilihan sebagai perdana menteri pada tahun 1997 dan 1981, harus mundur dari pencalonan karena sedikitnya dukungannya terhadap mereka.
Tidak, cara ini merupakan sikap melihat ke dalam bagi semangat Israel. Untuk melihat bahwa orang harus mencari akar dari disposisi saat ini sehingga mau mengabaikan pelanggaran Palestina yang berulang kali atas perjanjian yang ditandatangani dengan sungguh-sungguh. Melihat ke dalam diri untuk sudi menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah yang masih bertaring. Untuk menarik diri secara sepihak dari Lebanon. Juga untuk menyetujui penjualan besar-besaran peralatan militer Amerika kepada Mesir yang tidak ramah dan berpotensi mengancam.
Kesimpulan
Israel masa kini punya uang dan senjata. Bangsa Arab punya niat (will). Rakyat Israel menginginkan konflik selesai, Bangsa Arab ingin menang perang. Israel punya kemampuan tinggi dengan semangat yang rendah, bangsa Arab punya kemampuan rendah tetapi semangat juangnya tinggi.
Israel masa kini punya uang dan senjata. Bangsa Arab punya niat (will). Rakyat Israel menginginkan konflik selesai. Bangsa Arab ingin menang perang. Israel punya kemampuan tinggi, namun semangatnya rendah. Bangsa Arab punya kemampuan rendah tetapi semangat juangnya tinggi. Lagiālagi, rekam sejarah dunia memperlihatkan, kemenangan tidak bisa diraih oleh pihak yang punya kekuatan senjata yang lebih besar, tetapi pada pihak yang punya tekad yang lebih besar.
Di antara negara-negara demokrasi, hanya ada sedikit preseden untuk malaise yang sekarang terlihat di Israel. Analogi yang tidak sempurna itu mencakup suasana damai dan situasi yang mereda yang melingkupi sektor-sektor opini yang signifikan di Inggris dan Prancis pada era 1930-an, di Amerika Serikat selama periode Vietnam, dan di Eropa Barat pada awal era 1980-an. Tapi tidak satu pun situasi ini cukup cocok dengan Israel terkait dengan soal pelemahan negaranya. Yang lebih kritis lagi, tidak satu pun negara-negara itu yang hidup dengan ambang batas keamanan yang begitu sempit. Amerika Serikat memang kalah dalam perang panjang yang berdarah-darah di Vietnam. Tetapi negara itu secara keseluruhan hampir tidak menghadapi risiko. Di Israel taruhannya jauh lebih tinggi, ruang untuk kesalahan sangat kecil.
Ini bukannya mau mengatakan bahwa Negara Yahudi berada dalam bahaya langsung. Hanya mau mengatakan, ia terus memiliki militer yang kuat dan rakyat bangsanya relatif sehat dan demokrasinya menunjukkan kemampuannya untuk memperbaiki kesalahan mereka lima menit menjelang tengah malam. Tetapi orang ngeri memikirkan malapetaka yang harus dialami Israel sebelum rakyatnya tersadar lalu menganggap, sekali lagi, ada tugas yang suram tetapi tak terhindarkan untuk menghadapi musuh yang keras kepala di sekitar mereka.
Topik Terkait: Konflik dan diplomasi Arab-Israel, Israel & Zionisme
Artikel Terkait:
- Israeli Arabs: An Existential Danger to Israel
- Israeli Arabs in the Shadow of the Hizbullah-Israel War
- Arafat and Netanyahu
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integr