Multimedia untuk wawancara ini
Video
Saya ingin membuat tiga poin geostrategis dalam beberapa menit pembicaraan saya. Dan saya juga mohon maaf sebelumnya karena harus pergi, karena jadwal pesawat memang sudah seperti itu.
Poin pertama adalah bahwa – dan ini telah saya katakan sebelumnya, saya ingin mengulanginya. Bahwa Iran itu merupakan ancaman yang jauh lebih besar dibanding ISIS. Kita membuat kesalahan yang sangat luar biasa dengan bergabung dengan Iran melawan ISIS. Perlu satu poin bahwa ISIS mungkin mendapatkan $5 juta (setara Rp 72,5 miliar) per hari dari pendapatan minyak dan 15.000 tentara. Dan, memang, dinamis. Tetapi Iran itu sebuah negara yang kuat dengan 75 juta penduduk. Pendapatan minyaknya ratusan juta dolar, miliaran dolar. Juga punya 100.000 tentara. Dan, tentu saja, jaringan terornya yang sedang membangun senjata mereka? Saya akan meramalkan bagi Anda, bapak dan ibu, bahwa ISIS, yang muncul begitu tiba-tiba, juga akan menghilang tiba-tiba juga karena ia memiliki begitu banyak musuh Ia terlampau kewalahan, berusaha melakukan begitu banyak hal pada saat bersamaan sehingga tidak lama lagi tengah menuju keruntuhannya. Sebagai sebuah negara ia bakal lenyap sedangkan Iran akan menjadi entitas yang tahan lama.
Ijinkan saya juga meramalkan bahwa kepentingan sebenarnya dari ISIS, Negara Islam, ISIL, Daesh, sebut saja apa yang Anda mau, tidak terletak pada negara besar yang sekarang ada antara Bagdad dan Turki. Melainkan pada kebangkitan gagasan kekhalifahan. Khalifah penguasa terakhir dengan kekuasaan untuk memerintah pada tahun 940-an. Tahun 940-an, bukan 1940-an. Jadi sudah lama sekali. Ya, institusi kekhalifahan berlanjut hingga tahun 1924, tetapi sebutan itu tidak ada artinya. Hanya sebutan! Kekhalifahan sebenarnya, kekhalifahan yang memerintah menghilang lebih dari satu milenium lalu. Belakangan tiba-tiba, orang ini yang menyebut dirinya Kalifah Ibrahim membangkitkan kembali institusi kekalifahan pada 29 Juni 2014. Dan ini mengirim getaran kegembiraan kepada seluruh dunia Muslim sehingga menciptakan gagasan menggembirakan yang mendadak tentang kekhalifahan yang mungkin dapat dijalankan sekali lagi setelah menghilang selama satu milenium, dan ini penting.
Saya benar-benar bisa bayangkan kelompok lain menggunakan standar yang sama kemudian menuntut agar mereka diterima sebagai kekhalifahan. Bisa saja saya lebih jauh membayangkan bahwa negara-negara seperti Turki, Arab Saudi, dan bahkan Iran (dengan cara Islam Syiah sendiri) menggunakan klaim kekhalifahan lalu mengubah politik Islam menuju arah yang bahkan lebih radikal dibanding dengan pada masa silam dan oleh karena itu menjadi sebuah perkembangan yang sangat negatif. Tetapi itu sebuah ide. Jadi, pemikiran bahwa Pemerintah AS seharusnya bekerja sama dengan Iran melawan ISIS itu gila. Sikap benar-benar gila-gila.
Iran merupakan musuh utama. Dan itu menjadi poin kedua pembicaraan saya. Iran, tentu saja, musuh utama masa kini. Kepemimpinan Iran yang memperoleh senjata nuklir tidak hanya bakal mengubah Timur Tengah tetapi juga bakal mengubah dunia. Para tiran lain pun punya senjata nuklir. Pikirkan Stalin dan Mao. Tetapi ada sesuatu yang berbeda tentang kelompok tiran ini. Yaitu bahwa dalam kelompok itu mereka memikirkan tentang akhir zaman. Mereka punya pemikiran apokaliptik. Mereka punya gagasan bahwa, jika menggunakan senjata nuklir, maka mereka akan mendatangkan hari-hari Imam Mahdi, Dajjal, dan rangkaian peristiwa lain lebih cepat sehingga mengarah kepada Hari Kebangkitan. Dengan demikian, mereka bahkan semakin berbahaya.
Sekarang, kita dapat mengadakan seminar bagus berjam-jam tentang apakah mereka benar-benar menggunakan senjata nuklir atau tidak. Tetapi saya tidak ingin mengetahuinya. Saya rasa Anda pun tidak. Yang sangat penting adalah bahwa mereka dihentikan untuk melakukannya. Dan itu tidak bakal mudah karena kepemimpinan Iran, seperti kepemimpinan Korea Utara, benar-benar bertekad supaya bisa mendapatkan senjata nuklir sehingga bakal membayar berapa pun harga yang diperlukan. Sementara itu, Korea Utara dilanda kelaparan massal. Iran pun akan mengalami kemerosotan ekonomi berikut masalah lain, tetapi negara-negara itu terus berupaya mendapatkan nuklir. Dan sementara virus komputer dan pembunuhan serta pemboman yang ditargetkan, yang tengah terjadi, pasti bakal memperlambat segalanya, mereka pun tidak dapat menghentikannya. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan menggunakan kekuatan untuk menghantam instalasi nuklir Iran.
Jadi, yang saya pikirkan itu semuanya cukup jelas. Prospeknya jelas. Tetapi saya hendak berbicara lebih dari itu dan mengatakan bahwa ketika hari bahagia itu tiba, Revolusi Islam Iran pun digulingkan. Kita saksikan orang berlari menuju jatuhnya Revolusi Iran pada Juni 2009. Rasa bahagia itu ditekan, tetapi tidak dihilangkan. Akan ada upaya lebih lanjut. Dan pasti pada suatu hari nanti, Republik Islam akan runtuh. Ketika itu terjadi, maka pesan saya kepada Anda, rakyat Iran yang muak dengan negara ideologis ini akan menjadi sangat ramah. Surat khabar-surat khabar memperlihatkan bahwa mayoritas orang Iran membenci pemerintah mereka. Sekaligus membenci Islam yang ditetapkan bagi mereka oleh pemerintah mereka. Ketika saat itu tiba, saya pikir orang Iran akan menjadi teman yang baik.
Sebaliknya, saya pikir masalah besar kita di Timur Tengah adalah Turki. Turki, juga negara yang sangat besar dengan kira-kira 80 juta populasi. Berada di lokasi yang strategis penting, Turki punya ekonomi riil dan populasi yang terdidik. Turki menjalankan Islamisme. Ya, kepemimpinan Turki menjalani Islamisme, dengan cara yang jauh lebih cerdas daripada Iran. Saya menyebut Khomeini, "Islamisme 1.0," sementara Erdoğan, "Islamisme 2.0." Khomeini menggunakan revolusi dan kekerasan dan seterusnya dan penerusnya memerintah dengan lalim. Tetapi Erdoğan, Recep Tayyip Erdoğan, tokoh dominan politik Turki, adalah sosok yang jauh lebih pintar yang telah memenangkan, saya kira, sembilan Pemilu dalam kurun waktu 13 tahun dalam berbagai jenis; parlementer, referendum, presidensial. Ia berhasil meningkatkan ekonominya tiga kali lipat dan menjadi sosok yang sangat penting dan populer di negara ini. Basisnya sangat kuat. Ini bukan seorang despot. Sekarang, pantas diakui bahwa seiring dengan berjalannya waktu, dia menjadi semakin otoriter, otokratis, tidak menyenangkan dan senang menetapkan keputusan sendiri. Tetapi dia meraih kekuasaan secara demokratis. Ia pun bakal mampu bertahan. Rezimnya bakal bertahan lebih lama daripada rezim Khomeini. Dan seperti yang bisa orang saksikan 10-20 tahun ke depan, saya yakin, Turki bukan Iran, yang akan menjadi masalah besar kita sehingga kita harus bersiap untuk itu hari ini.
Dan poin terakhir adalah soal Palestina. Kita saksikan meningkatnya kekerasan terhadap orang Yahudi Israel. Ada lebih banyak aksi kekerasan dalam sebulan terakhir dibanding dua tahun sebelumnya. Ada banyak penjelasan untuk ini. Gagalnya perundingan damai Kerry, perang Hamas terhadap Israel pada musim panas ini, penerimaan Eropa atas apa yang disebut "Palestina." Tetapi saya pikir ada hal yang jauh lebih mendalam yang bisa dilihat di sini. Yaitu bahwa sejak 1921, hampir seabad silam, seiring dengan diangkatnya Haji Amin al-Hussaini menjadi Mufti Yerusalem oleh Komisaris Tinggi Inggris, maka gagalnya posisi kepemimpinan Palestina selama hampir 94 tahun ini adalah penolakannya terhadap Israel. Pernyataan ini hendak mengatakan, bahwa tidak diterimanya Zionis atau Israel, berarti penolakan mutlak terhadap semuanya. Husseini benar-benar menolak Israel sehingga penelitian terbaru membuktikan dia benar-benar mempengaruhi Hitler untuk melakukan Solusi Akhir (Final Solution). Solusi Nazi adalah mengusir orang Yahudi. Tetapi Husseini, sebagai calon penerima orang Yahudi di Palestina, mengatakan tidak, bunuh mereka, dan ini berdampak pada kepemimpinan Nazi.
Jadi, itulah ganasnya sikap Palestina terhadap kaum Yahudi, Zionis dan Israel. Keganasan itu tercermin oleh Yasser Arafat sampai dia meninggal hampir sepuluh tahun yang lalu hari ini, dan sejak itu tercermin oleh Mahmoud Abbas. Ini adalah posisi gagal (default). Sekarang, ketika membutuhkan, ketika lemah, pemimpin Palestina seperti Arafat dan Abbas bersikap akomodatif. Kesepakatan Oslo menjadi salah satu contoh yang baik, tetapi ketika tidak lagi dibutuhkan, mereka kembali kepada penolakan ini. Dan akhir-akhir ini khususnya karena dunia luar mengatakan kepada Otoritas Palestina dan Hamas, "Kami akan menghargai Anda, apa pun yang Anda lakukan. Anda dapat membunuh orang Israel Yahudi melalui misil dari Gaza atau melalui jihad mobil di Yerusalem dan Anda tidak akan membayar harganya. Kami akan memberi Anda uang, kami akan memberi Anda senjata, kami akan memberi Anda pengakuan. Anda tidak tidak perlu khawatir tentang apa pun."
Akibat mendapatkan pesan bahwa apa pun yang mereka lakukan terhadap Israel dan Israel ini baik-baik saja, orang Palestina pun dengan senang hati kembali kepada posisi default penolakan mereka dan itulah yang kita lihat hari ini. Jadi, menurut saya kesalahan untuk ini ada di Swedia, di Pemerintahan Obama, di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan di tempat lain. Kita, Barat, yang mengatakan kepada orang Palestina, "Silakan. Tidak ada harga yang harus dibayar. Kami mungkin menegur Anda dengan beberapa cara halus, tetapi kami tetap hargai Anda untuk ini." Jadi selama kita, dunia luar, mengatakan kepada orang Palestina untuk terus maju, mereka akan terus maju. Mereka akan melakukan apa yang telah mereka lakukan selama hampir satu abad.
Saya lihat Jamie sedang datang ke sini. Sebaiknya saya berhenti bicara. Terima kasih sudah datang.
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.