Berikut ini versi laporan simposium yang telah diedit yang disponsori oleh Dewan Kebijakan Timur Tengah (Middle East Policy) pada 26 Mei 1994, di Gedung Kantor Senat Hart di Washington, DC. Mantan Senator George McGovern, Presiden Dewan memperkenalkan panel simposium. Mereka adalah Thomas R. Mattair, Direktur Penelitian dan Analisis Kebijakan Dewan, sekaligus penyelenggara dan moderator; Michael Collins Dunn, Analis Senior di The International Estimate dan editor buletinnya, The Estimate, menjadi pembahas.
Senator McGOVERN: Pagi ini kita akan mengkaji hakikat Islam politik, alasan kebangkitannya, perbedaan antara gerakan Islam moderat dan ekstremis di Timur Tengah, dan kebijakan Amerika Serikat dan negara-negara sahabat di kawasan terkait dengan gerakan-gerakan ini. Kami berhasil mengumpulkan sekelompok panelis yang akan menyajikan kepada kita berbagai perspektif masalah ini.
[Keterangan PELLETREAU]
Dr. DANIEL PIPES, Editor, Middle East Quarterly: Saya akan membahas tiga pertanyaan. Pertama, apakah Islam itu musuh? Tidak, jawab saya, tetapi kaum Muslim fundamentalis memang demikian. Kedua, haruskah kita bedakan antara apa yang, untuk ringkasnya, saya sebut sebagai kaum fundamentalis yang baik dan fundamentalis yang buruk? Tidak, tidak ada perbedaan seperti itu. Terakhir, apa artinya ini bagi kebijakan AS? Dengan demikian, kita sebaiknya mengambil langkah-langkah yang lebih aktif dibandingkan yang digambarkan oleh Duta Besar Pelletreau hari ini atau yang dikatakan penasihat keamanan nasional Anthony Lake seminggu yang lalu atau jurubicara administratif lainnya pada bulan-bulan sebelumnya.
Saya mulai dengan membedakan antara Islam dan Islam fundamentalis. Sebagai orang yang mempelajari Islam selama beberapa tahun, saya sangat menyadari bahwa agama itu punya hampir satu miliar penganut dan merupakan agama yang berkembang pesat. Saya juga memahami bahwa umat Islam menganggap iman mereka sangat menarik dan mereka mencurahkan perhatian penuh padanya. Patricia Crone, seorang cendekiawan Islam karena itu mengatakan, "dunia pria dan keluarga mereka" dalam Islam mencatatkan rekor keberhasilan yang tak tertandingi.
Secara sederhana dan umum dapat dikatakan, selama abad-abad awal bahkan selama milenium pertama, umat Islam melihat ke seluruh penjuru dunia, dan menyaksikan bahwa keadaan mereka baik-baik saja. Berdasarkan hampir semua indeks, baik itu soal umur panjang, melek huruf, kekayaan, kekuasaan, umat Islam mengungguli kaum non-Muslim. Korelasi jangka panjang antara iman Islam dan kesuksesan duniawi secara luas berasumsi bahwa yang satu berjalan seiring dengan yang lain. Kitab-kitab suci tidak menceritakan apa pun tentang Tuhan yang lebih mendukung umat Islam dengan memberi mereka kesuksesan duniawi. Namun pembangunan yang luar biasa selama berabad-abad menyebabkan gagasan ini menyebar luas.
Namun bagaimanapun, selama dua abad terakhir, agama Islam mengalami krisis. Awal dari berbagai kesulitan ini dapat ditelusuri secara persis. Setidaknya secara simbolis, pada kedatangan Napoleon di Mesir pada tahun 1798. Islam modern mengalami trauma menyusul fakta bahwa umat Islam gagal berdasarkan indikator yang sama yang memperlihatkan keunggulan mereka sebelumnya. Tantangan besar bagi umat Islam dengan demikian, adalah menjelaskan mengapa dunia Islam runtuh, lalu berupaya mengatasi permasalahan tersebut. Jika menjadi seorang Muslim membangun keadaan yang penuh rahmat, mengapa umat Islam justru gagal?
Para pemikiran menawarkan tiga jawaban utama terhadap pertanyaan ini. Kaum sekularis ringkasnya, meyakini bahwa kaum Muslim dapat membebaskan diri pada persoalan masa kini dengan sepenuhnya larut dalam peradaban paling maju pada zaman kita, peradaban Bangsa Barat. Ini berarti mereduksi Islam ke ranah privat.
Kaum reformis menyerukan umat Islam untuk mengambil apa yang cocok bagi mereka dari Barat, dengan memilih unsur-unsur yang mereka anggap berguna.
Kaum fundamentalis menjadi topik kita hari ini. Pendekatannya menjadi keprihatinan Pemerintah AS pada tingkat kebijakan. Soalnya, kaum fundamentalis menyerukan kepada kaum Muslim untuk taat kaku kepada cara Islam sembari menyakini bahwa kaum Mulism bakal hidup Makmur hanya jika mereka melakukannya demikian. Dengan keras mereka menolak cara Barat (dengan sedikit pengecualian, seperti terkait dengan pengetahuan medis atau teknologi militer). Mereka juga mencurigai Barat mencoba melemahkan agama mereka melalui konspirasi dan dalih lainnya. Mereka percaya bahwa orang Barat ingin memikat umat Islam – khususnya kaum muda Muslim – dengan menciptakan alternatif yang menggoda selain Islam. Bukan sekedar budaya rendahan kita, namun juga budaya tinggi kita yang mencuri perhatian umat Islam. Bukan hanya Madonna dan blue jeans namun juga musik klasik dan universitas. Semua itu, seluruh perpaduannya, baik yang tinggi maupun yang rendah, menyesatkan umat Islam agar menjauh dari jalan yang lurus dan membuat tidak mungkin mengorganisir masyarakat menurut garis-garis Islam.
Sembari mengibarkan spanduk bertuliskan "Islam adalah solusi", kaum fundamentalis, mungkin secara tidak sengaja, mengembangkan ideologi dengan pandangan sosial, ekonomi, dan politik yang berbeda. Atau, mengutip pernyataan Pemimpin Malaysia Anwar Ibrahim, "Kami bukan sosialis, kami bukan kapitalis, kami Islam." Perlu ditekankan bahwa Islam yang dipolitisasi seperti ini menjadi formulasi abad ke-20 yang sangat baru. Islam seperti itu tidak banyak kesamaannya dengan Islam seperti yang dipraktikkan secara tradisional. Islam fundamentalis tidak mewakili tradisi melainkan sebuah agenda politik yang radikal (yang, pada dasarnya, cukup kebarat-baratan).
Pertarungan besar kini sedang berlangsung demi jiwa Islam. Dan hal itu tidak hanya terjadi antara Muslim dan Barat. Namun antara Muslim dan Muslim. Kaum fundamentalis dan sekularis saling bertarung berebut kekuatan. Ambil koran dan bacalah berita dari hampir semua negara Muslim. Kalian akan pahami maksud saya. Pada tingkat internasional, konflik terjadi antara Pemerintah Turki dan Iran. Kelompok sekuler dan fundamentalis merupakan sebagian kecil dari populasi Muslim. Masing-masing mungkin berjumlah sekitar sepuluh persen. Namun mereka aktif, terorganisir dan politis. Sebaliknya, kaum reformis merupakan kelompok besar di tengah-tengah yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan jumlah mereka.
Kita non-Muslim menjadi pengamat pertempuran ini. Sebagai orang Amerika, kita punya peran yang lebih besar dibandingkan dengan kebanyakan kaum non-Muslim. Namun peran itu kecil saja. Dan persoalan ini mengantarkan saya pada topik kedua, apakah kita bisa membedakan antara kaum fundamentalis yang baik dan fundamentalis yang buruk. Pemerintahan Clinton berpendapat bahwa hanya kelompok fundamentalis yang terlibat terorisme yang menantang kepentingan kita. Bukan kaum fundamentalis yang terlibat dalam proses politik dan bekerja dalam sistem. Saya tidak setuju. Walaupun kelompok dan ideologi fundamentalis itu berbeda satu sama lain dalam banyak hal, mereka semua pada dasarnya adalah ekstremis yang membenci peradaban kita. Mereka membenci kita bukan karena apa yang kita lakukan tetapi karena siapa kita.
Mana ada fundamentalis yang hanya ingin menjalani hidupnya dengan tenang. Seorang fundamentalis yang pendiam itu orang bodoh (oxymoron). Kaum Muslim fundamentalis menekankan dua hal: Hukum Suci Islam harus diterapkan di negeri-negeri Muslim dan kekuasaan Islam harus diperluas. Kedua tujuan tersebut menyiratkan agresivitas yang melekat dalam diri mereka. Karena alasan taktis, mereka mungkin saja mengubah atau menekan aspirasi-aspirasi tersebut, namun mereka tidak mengabaikannya. Berdasarkan definisinya, mereka mencari cara hidup yang sangat tidak sesuai dengan cita-cita kita. Oleh karena itu, Pemerintah AS pada prinsipnya tidak boleh bekerja sama dengan kaum fundamentalis, tidak mendorong mereka, dan tidak terlibat dalam dialog dengan mereka. Kita tidak boleh bekerja sama dengan kelompok fundamentalis, tetapi menentang mereka.
Tentu saja, prinsip adalah satu hal dan kenyataan praktis itu hal yang cukup berbeda. Terkadang bekerja dengan kaum fundamentalis adalah keputusan yang tepat. CIA bekerja sama dengan kaum Muslim fundamentalis di Afganistan karena Pemerintahan Pakistan berturut-turut menjadikannya sebagai syarat untuk membantu kaum mujahidin melawan pasukan Soviet. Kita menggigit bibir dan melakukannya dengan benar. Soalnya, itu berarti mempertalikan kejahatan yang lebih kecil untuk melawan kejahatan yang lebih besar. Demikian pula, kita diam-diam bekerja sama dengan Pemerintah Iran melawan Irak selama krisis Kuwait. Kasus-kasus ini mirip dengan keputusan Amerika untuk bekerja sama dengan Stalin melawan Hitler.
Di sini saya ingin menyimpang sejenak dan, dengan risiko terjebak dalam rawa karena membandingkan Islam fundamentalis dengan Marxis-Leninisme. Hingga lima tahun lalu, kelompok sayap kiri mempunyai jaringan global yang menjadi ancaman bagi kepentingan Amerika, sementara kelompok sayap kanan terdiri dari rezim-rezim yang terisolasi tidak mengancam kepentingan Amerika. Jelas masuk akal untuk bekerja dengan kelompok Kanan melawan Kiri. Secara kasar dapat dikatakan, peran tersebut telah terbalik: kini masuk akal bagi Pemerintah AS untuk bekerja sama dengan kelompok Kiri melawan kaum Kanan. Kaum Kiri sudah tidak punya banyak ideologi yang tersisa. Mereka terdiri dari rezim yang karam, seperti Front Pembebasan Nasional (National Liberation Front---FLN) di Aljazair atau Dostam di Afghanistan. Mereka tidak memperjuangkan sesuatu kecuali mempertahankan kekuasaan. Mereka masih punya beberapa niat agresif terhadap Amerika Serikat.
Sebaliknya, adalah kelompok sayap kanan, yang terdiri dari kelompok Muslim fundamentalis dan kelompok lainnya yang membentuk jaringan internasional yang bersatu hendak memajukan agenda yang agresif. Selain bantuan nyata, misalnya dari Iran hingga Sudan, jaringan itu memberikan dukungan psikis yang penting kepada setiap peserta. Kaum fundamentalis merasakan kekuatan yang muncul karena menjadi bagian dari jaringan internasional yang sedang berkembang. Sama seperti yang dirasakan kaum Marxis-Leninis pada tahun 1950an. Jaringan baru ini, seperti jaringan lama, mengincar Amerika Serikat. Masyarakat borjuis ini membuat lawan-lawan ideologisnya marah karena mereka mengejar kebahagiaan, komersialisme, dan keunggulan militer tanpa malu-malu.
Beralih ke poin terakhir, saya menganjurkan adanya kebijakan yang aktif terhadap kaum Muslim fundamentalis. Namun sebelum membahas hal tersebut, ada dua poin pengantar yang perlu saya perjelas: Saya menganjurkan untuk menentang kaum fundamentalis. Bukan terhadap kaum Muslim pada umumnya. Kita berbicara tentang kebijakan AS bukan terhadap Islam sebagai agamanya, tetapi tentang Islam fundamentalis sebagai ideologi radikal. Pemilahan yang dilakukan oleh Duta Besar Pelletreau dalam hal ini tidak dapat diulangi terlalu sering. Kita tidak boleh menjelek-jelekkan kaum Muslim moderat dengan sikap fundamentalis. Omong-omong, kaum moderat juga punya banyak masalah dengan kaum fundamentalis. Memang benar, mereka mungkin saja lebih membenci kaum fundamentalis dibandingkan kaum non-Muslim. Soalnya, merekalah yang pertama-tama mendapat serangan. Bagaimanapun, Salman Rushdie, bukan Norman Mailer, yang hidupnya dalam bahaya.
Kedua, ketika memilih sebuah kebijakan, masyarakat Amerika harus ingat bahwa meskipun kaum fundamentalis sangat dekat memperhatikan Tindakan-tindakan kita, mereka tidak tahu apa-apa tentang Amerika Serikat. Mengirimkan sinyal kepada mereka pun karena itu menjadi sulit. Sebagai contoh, pada bulan November 1977 ketika Syah Iran mengunjungi Washington, warga Iran yang tinggal di Amerika Serikat memanfaatkan kehadirannya untuk melakukan unjuk rasa di Ellipse dekat Gedung Putih. Ketika warga Iran yang pro dan anti-Syah mulai saling beradu fisik, polisi menembakkan gas air mata. Sedikit gas air mata melayang masuk di halaman Gedung Putih tepat ketika Presiden Jimmy Carter secara resmi menyambut kedatangan Syah. Gas yang mengendap turun ke tanah, menyebabkan para petinggi itu mengeluarkan air mata, mengalami sesak nafas (wheeze) dan batuk-batuk. Para pejabat Amerika memandang kecelakaan ini sebagai hal yang memalukan. Namun tidak terlalu signifikan. Para pejabat Iran justru memandangnya sebagai penghinaan publik terhadap Syah. Sekaligus indikasi pasti bahwa ia akan ditinggalkan oleh Pemerintah AS. Singkatnya, berkomunikasi dengan kaum fundamentalis tidaklah mudah.
Sekarang, beralih kepada soal kebijakan: Tujuan umum kita seharusnya hendak mengesankan kaum Muslim fundamentalis dengan tekad kita. Mereka harus menyadari bahwa reputasi buruk dan lemah yang mereka berikan kepada kita itu kesalahan. Mereka perlu memahami bahwa negara ini adalah negara yang dinamis, sehat, dan optimis. Bahwa kita bangga dengan budaya kita dan siap mempertahankan cita-cita kita. Orang Amerika bukanlah budak pornografi dan kecanduan narkoba. Sebaliknya, kita punya tekad yang kuat. Dan kita akan mempertahankan prinsip kita. Kita siap melindungi diri-perbatasan kami, warga kita sekaligus kebijakan-kebijakan kita. Semu ini, pastinya, pemikiran-pemikiran yang sangat sederhana. Tetapi, percayalah kepada saya. Jika kalian membaca kepustakaan kaum fundamentalis, maka kalian akan melihat bahwa poin-poin pemikiran perlu disampaikan dan disampaikan sesering mungkin.
Tujuan umum punya implikasi khusus terhadap kebijakan di Timur Tengah ( dan juga untuk kebijakan di Amerika Serikat. Tetapi itu pokok bahasan lain).
Pertama tama, saya mendesak supaya mendukung pemerintah dan kelompok yang memerangi kaum fundamentalis. Dalam kasus Aljazair, kita harus bergabung dengan Perancis sehingga jelas bahwa kita tidak ingin kaum fundamentalis mengambil alih kekuasaan. Jika mereka mengambil alih kekuasaan, kita tentu akan berupaya bekerja sama dengan mereka. Namun kini kita tegaskan bahwa kita mendukung Pemerintah di Aljazair. Saya akui itu pemerintahan yang korup. Dengan sejarah yang buruk pula. Namun sejauh ini ia lebih baik daripada pemerintahan fundamentalis. Ia tidak mengancam kepentingan kita di Aljazair dan Afrika Utara, di Eropa Barat, atau di Mesir dan Timur Tengah. Lebih jauh lagi, ia tidak terlampau merugikan hak asasi manusia masyarakat Aljazair, daripada jika kaum fundamentalis yang berkuasa. Aljazair adalah negara yang sangat penting saat ini. Ia medan tempur yang bisa sangat mempengaruhi peristiwa-peristiwa di Eropa Barat dan Timur Tengah. Tidak pernah saya pikirkan bakal mengatakan hal-hal yang baik atau mendesak supaya mendukung FLN. Tetapi, pada titik ia bukanlah ancaman bagi kita, FIS serta para sekutunya.
Hal serupa juga terjadi di tempat lain. Kita harus terus berkomitmen pada kelompok anti-fundamentalis. Sekaligus menjelaskan sikap bahwa kita tidak ingin kelompok fundamentalis berkuasa. Hal ini terkait dengan kasus Mesir, bagi PLO versus lawan-lawan fundamentalisnya, bagi Turki, dan bagi Yordania.
Kedua, Barat harus menekan negara-negara fundamentalis seperti Sudan, Iran, Afghanistan guna mengurangi agresivitas mereka. Kita mempunyai beragam alat komersial dan diplomatic yang dapat kita gunakan berikut opsi militer yang selalu ada di belakangnya.
Ketiga, mari kita dukung individu dan institusi yang melawan momok fundamentalis. Sejak peristiwa Rushdie lima tahun lalu, umat Islam sekuler menjadi kelompok yang paling terkepung di Timur Tengah. Mereka kehilangan suara ketika tirai yang membungkam mulut penuh teror menyelimuti mereka. Umat Muslim anti-fundamentalis melihat dunia kurang lebih sama seperti kita di negara ini dan mereka mengharapkan bantuan dan inspirasi dari kita. Kita harus menggunakan prestise kita, juga dana dari Badan Informasi Amerika Serikat serta dana Badan Pembangunan Internasional, dan cara lain untuk mendukung dan membantu para pemberani ini.
Akhirnya, kita harus sangat berhati-hati mendorong terlaksananya demokrasi. Sayangnya, sudah umum untuk mengidentikkan demokrasi dengan Pemilu sehingga mengarah kepada menekankan satu-satunya pemikiran atas Pemilu yang menjadi tujuan itu sendiri. Sebaliknya, kita harus menekankan tujuan-tujuan yang lebih sederhana. Seperti soal partisipasi politik, pemerintahan berdasarkan hukum (termasuk peradilan yang independen), kebebasan berbicara dan beragama, hak untuk memiliki, hak kaum minoritas, dan hak untuk membentuk organisasi sukarela (terutama partai politik). Singkatnya, kita harus mendorong terbentuknya masyarakat sipil. Hanya ketika masyarakat sipil ada maka pemilu bisa dilaksanakan secara tepat. Atau seperti dikatakan Judith Miller tahun lalu, "Pemilu pada masa datang dan masyarakat sipil hari ini." Saya sedikit mengubah pernyataan itu menjadi, "pertama perdamaian, lalu masyarakat sipil, lalu Pemilu." Jika pemilu dilaksanakan terlalu cepat, seperti kasus di Aljazair, ia cenderung memunculkan kekuatan anti-demokrasi ke depan. Mereka berhasil sebagian karena merekalah yang paling terorganisir. Sebagian lagi karena masyarakat belum siap membuat keputusan Pemilu dengan informasi yang lengkap.
[PERNYATAAN ESPOSITO]
T: Dr. Robert O. Freedman, Baltimore Hebrew University. Ada dua komentar yang sangat pendek. Satu untuk Daniel dan satu lagi untuk John. Kedua-duanya sahabat saya. Karena itu saya harus sampaikan segera.
Pertama-tama, karena kita sekarang sedang membahas persoalan Timur Tengah lebih pada secara komparatif, bukankah contoh partai-partai keagamaan Israel yang berperan dalam sistem politik Israel bisa memberikan contoh kepada ktia setidaknya sebagai sebuah kemungkinan? Sejak Israel didirikan, partai-partai keagamaan memainkan peran dalam pemerintahan dan berulang-ulang terpecah belah. Sebagian karena masalah kepribadian, ada yang karena masalah agama. Jadi saya ajukan itu sebagai pertanyaan pertama. Mungkin Daniel bisa menghubungkannya.
Untuk John Esposito, saya pikir Anda sangat fasih sekaligus mengagumkan berbicara tentang dua jenis Islam yang satu (Islam – one). Pertama, kaum radikal yang ingin menggulingkan pemerintah, dan yang lain, mereka yang merupakan kelompok pengacara, kelompok mahasiswa, orang-orang yang ingin bekerja dalam sistem. Namun, bisakah Anda melihatnya juga sebagai sebuah spektrum, dengan mereka yang bekerja dalam sistem di satu sisi dan kelompok radikal yang berusaha menggulingkannya? Bagaimana dengan kemungkinan mereka yang berupaya menggulingkan rezim ini dengan menggunakan Islam untuk meradikalisasi dan memobilisasi berbagai pihak yang bekerja di dalam sistem?
Dr. PIPES: Anda tidak perlu bergerak sebegitu jauh ke Israel; bagaimana dengan Turki? Turki memiliki tradisi demokrasi. Dan ia punya partai-partai fundamentalis. Kekuatan mereka pun Tengah meningkat. Kelompok fasis dan fundamentalis bersama-sama mengambil alih seperempat suara dalam pemilihan kota bulan lalu. Karir mereka sebenarnya adalah sebuah eksperimen raksasa: Apa maksud kaum fundamentalis Turki, jika mereka berhasil mengambil alih kekuasaan, apakah mereka kemudian akan melepaskannya? Mari kita lihat. Saya ragu, tapi ini sebuah pertanyaan yang terbuka.
Dr. ESPOSITO: Saya hanya akan mengutip kembali contoh di Pakistan dan Malaysia, di mana terdapat banyak partai agama dengan rekam jejak yang panjang. Selain itu, orang bisa melihat ke Israel, tetapi dari konteks Muslim.
Sehubungan dengan pertanyaan Anda, saya pikir kemungkinan kaum radikal menggunakan Islam untuk meradikalisasi kelompok moderat jelas ada. Tetapi menurut saya, yang cenderung membuat hal itu terjadi sering kali adalah kebijakan pemerintah. Jika pemerintahnya itu bersikap represif, maka ia justru memperkuat argumen kaum radikal yang mengatakan, lihat, tidak ada gunanya beroperasi secara terbuka. Ini benar-benar menjadi persoalan di mana anda punya periode waktu ketika kaum moderat beroperasi terbuka kemudian lalu pemerintah masuk di dalamnya. Yang sering dikatakan oleh kaum radikal adalah, "Dengar, kami bisa saja seharusnya memberi tahu kalian sejak awal. Anda sudah jalankan model Nasser, dll. Kalian beroperasi terbuka, mereka tahu siapa kalian. Ketika saatnya tiba, orang-orang ini tidak menginginkan ada oposisi. Apalagi oposisi agama. Lihatlah apa yang mereka lakukan sekarang." Jadi itu sebuah risiko.
T. Satu perwakilan PLO. Sungguh, saya tidak tahu mengapa semua ini (memusatkan perhatian) pada gerakan Islam. Padahal, mereka senantiasa bersama kita....Ada kaum fundamentalis Muslim atau Muslim yang berpegang pada Islam. Ada fundamentalis Yahudi dan fundamentalis Kristen.
Ada beberapa hal di negara kami perlu diubah. Kami sedang membangun. Sudah lama kami dijajah. Kami berjuang untuk memerdekakan diri. Beberapa kalangan melihatnya dari sudut pandang sekuler. Yang lain melihatnya dari sudut pandang agama. Bakal ada beberapa Pemilu. Masalah yang kami, warga Palestina hadapi di wilayah pendudukan, adalah memilih apa dan untuk apa, sebenarnya merupakan pertanyaan besar. Beberapa orang tidak ingin dipilih di bawah kekuasaan Israel. Beberapa orang ingin dipilih menjadi dewan legislatif. Menurut saya, kami sudah diberi dewan legislatif, bukan sekadar dewan pemilihan. Saya pikir 90 persen warga Palestina akan ikut serta dalam Pemilu, terlepas dari apakah pemimpin mereka menginginkannya.
T: Hisham Milhem, dari surat kabar as-Safir di Beirut. Saya punya banyak masalah dengan banyak hal yang dikatakan pagi ini. Pertama, beberapa hal konseptual. Saya di sini tidak mau terlibat untuk membela kelompok Islam radikal. Namun mereka yang berpendapat bahwa jika kelompok Islam radikal itu mencapai kekuasaan melalui kekuatan pemungutan suara, maka bisa dikatakan, mereka akan bertindak sebagaimana rezim Iran bertindak atau rezim Sudan bertindak maka memunculkan masalah konseptual. Di Iran kita menjalankan revolusi yang mencapai kekuasaan. Di Sudan pada dasarnya kami mengalami kudeta militer. Sekarang kita semua tahu, siapa pun yang mempelajari sejarah pasti tahu bahwa apa pun isinya, revolusi memberikan kesadaran atas keadilan mutlak yang mencerminkan adanya keluhan yang mutlak. Dan ini terjadi, entah ketika kita membicarakan tujuan revolusi (content) kaum borjuis dalam kasus Revolusi Perancis tujuan revolusi komunis dalam konteks revolusi Bolshevik, atau tujuan revolusi Islam radikal dalam kasus Iran. Terutama ketika kekuasaan diraih melalui kekerasan setelah ada perlawanan dan pertumpahan darah yang sangat besar. Soalnya, mereka semua merupakan gerakan revolusioner. Lebih jauh lagi, mereka memberi diri mereka hak untuk melakukan kekerasan absolut. Hal ini terjadi dalam semua revolusi.
Kasusnya tidak selalu seperti ini ketika Anda meraih kekuasaan melalui system yang seimbang (through balance). Anda harus memainkan permainan politik. Harus memainkan permainan untuk menyeimbangkan kepentingan. Dan bagi mereka yang ingin menilai kami secara apriori bahwa kelompok Islam radikal Aljazair akan bertindak jahat seperti rezim Iran, maka itu belum tentu jujur atau tepat secara intelektual. Itu satu hal.
Sekarang, komentar singkat lainnya. Sejak awal, tidak mungkin membicarakan satu Islam yang monolitik. Itu sama seperti tidak masuk akalnya untuk membicarakan satu agama Kristen yang monolitik. Ada perbedaan besar antara agama Kristen di Skandinavia, di Spanyol, dan di negara saya sendiri, Libanon, atau di Bolivia. Ada banyak perbedaan di dunia Islam. Entah Ketika berbicara tentang beberapa hal aliran mistik, Sufi dan Syiah, serta subkultur dan subsekte, dari Maroko hingga Himalaya. Tidak masuk akal membicarakan Islam sebagai sesuatu yang monolitik. Seperti yang saya katakan, ini hanya terjadi pada agama Kristen atau bahkan Yudaisme. Siapa yang mewakili Yudaisme? Orang-orang di Brooklyn, yang mempunyai mesias kecilnya sendiri, atau orang Yahudi yang sudah direformasi, atau apa? Maksud saya, ini pertanyaan yang wajar.
Ketika saya dengar Daniel Pipes dan pembicara lain, saya merasakan sebuah déjà vu. Kita sudah saksikan perdebatan ini di abad pertengahan, di zaman modern. Maksudku, aku bisa memberimu kutipan dari para filsuf Eropa yang mengatakan hal-hal buruk tentang Islam. Juga pernyataan-pernyataan menarik dan memuji dari orang-orang seperti Nietzsche dan Kierkegaard dan yang lainnya tentang Islam. Jadi ini argumen lama.
Ada hubungan unik yang menghubungkan dunia Muslim, khususnya Timur Dekat dengan Eropa. Yaitu karena ada Mediterania. Jika Anda sekedar bayangkan Mediterania dalam pikiran, maka Anda akan melihat pasukan bergerak ke sana kemari dari Timur dan Barat. Ini sebuah hubungan yang sangat rumit. Sekaligus sarat emosi. Dan kita harus mengingatnya.
Sekarang, akhirnya, saya punya pertanyaan untuk Daniel Pipes. Saya ingat, Daniel Pipes menulis dalam sejumlah tempat yang pada dasarnya mengatakan bahwa kelompok Islam itu bangkit akibat kekayaan minyak. Sekarang kita punya perspektif yang berbeda tentang Islam. Saya pikir ini juga merupakan masalah konseptual dan masalah politik. Daniel Pipes pun berhadapan dengan tuduhan terlampau sinis ketika menyarankan kita untuk mendukung gerakan seperti FLN. Dia pun akui bahwa FLN itu, yang sepenuhnya korup dan sangat menindas membawa Aljazair menuju kehancuran, hanya karena FLN sekarang terlibat dalam pertarungan mematikan dan mematikan melawan FIS. Argumen serupa juga dikemukakan oleh Daniel Pipes pada pertengahan tahun 1980-an yang membenarkan sebuah kelompok kaum militan mendukung Irak hanya karena Irak terlibat dalam pertempuran berdarah dan mematikan melawan Iran. Saat itu, keduanya dipandang jahat. Namun yang satu lebih jahat dari yang lain.
Sekarang, apa yang terjadi setelahnya? Pada tahun 1990, ketika Irak menginvasi Kuwait, Daniel Pipes beralih posisi. Ia malah mendorong opsi militer melawan Irak. Sekarang, saya tidak tahu posisinya. Tetapi menurut saya mungkin Anda salah saat itu dan sekarang Anda salah.
Dr. PIPES: Sebelumnya sudah saya singgung soal kerja sama dengan Stalin melawan Hitler. Itu keputusan yang tepat. Meskipun belakangan kita mengalami masalah yang mengerikan dengan Stalin. Demikian pula, soal Pemerintah AS bekerja sama dengan Irak melawan Iran. Sekali lagi itu keputusan yang tepat meskipun kita kemudian mengalami masalah dengan Irak. Dalam kedua kasus tersebut, kesalahan tidak terletak pada aliansi pada masa perang. Namun pada kenyataan bahwa begitu kita menjalin aliansi, kita menjadi terlalu terlibat. Kita lupa bahwa aliansi ini murni taktis dan bersifat sementara. Kerja sama Amerika dengan Stalin seharusnya berakhir pada Mei 1945, dan dengan Saddam Hussein pada Agustus 1988. Tak ada alasan untuk bekerja sama dengan para diktator setelahnya. Saya lebih suka bekerja sama dengan Irak sebelum Agustus 1988. Soalnya, saya melihatnya sebagai setan yang lebih kecil. Saya dukung pilihan itu. Saya lebih suka mengakhiri kerja sama ini segera setelah perang Irak-Iran berakhir. Dan ketika Saddam Hussein dua tahun kemudian menyerang Kuwait, saya mendukung penggunaan kekerasan untuk menggulingkannya. Di manakah inkonsistensinya? Keadaan di Timur Tengah berubah. Karena itu, pandangan saya pun ikut berubah.
Tentang Iran: Bagi saya, alasan adanya ambisi rezim Iran bukan terletak pada cara mereka meraih kekuasaan. Namun pada dorongan utopisnya untuk mengubah rakyat Iran menjadi Muslim yang sempurna. Omong-omong, Iran memiliki demokrasi yang lebih baik dibandingkan banyak negara Timur Tengah. Parlemennya bisa berdebat secara menarik dan punya kekuasaan yang nyata. Namun demokrasi di Iran mempunyai dua keterbatasan yang melemahkan: kekuasaan tertinggi, velayat-e-faqih, itu tidak dipilih. Sementara itu, calon pejabat publik diperiksa untuk memastikan mereka menerima prinsip-prinsip Revolusi Islam. Oleh karena itu, parlemen mencerminkan spektrum pemikiran yang sangat terbatas. Dalam spektrum tersebut perdebatan yang cukup seru terjadi. Namun itu saja belum cukup. Saya duga rezim fundamentalis lain juga akan menerapkan proses demokrasi yang aktif namun sangat terbatas. Dan di dalamnya proses demokrasi ini, hanya mereka yang menerima ajaran Islam fundamentalis yang diberi hak pilih.
Tentang Islam yang tidak monolitik: Tolonglah, semua orang sekarang sudah tahu bahwa Islam itu bukanlah sebuah kesatuan ( a piece). Haruskah kamu kemukakan ini sekali lagi? Semua orang di sini tahu bahwa umat Islam itu beragam. Jika Anda bersikeras, di hadapan semua pembicaraan ini, saya bisa saja mengulangi lagi pernyataan bahwa umat Islam itu banyak dan beragam. Tapi Anda sudah tahu. Kita semua tahu. Jadi kita janngan sampai terjebak dalam masalah ini.
Terakhir, soal pertanyaan mengenai kekayaan minyak: Ya, saya pernah menerbitkan sebuah buku pada tahun 1983. Judulnya, In the Path of God. Saya katakan bahwa kebangkitan Islam pada tahun 1970-an itu disebabkan oleh lonjakan kekayaan minyak. Pada saat ini saya belum tahu apa penyebab adanya fundamentalisme. Ini bahasan yang sangat rumit dan membingungkan saya. Saya tidak melihat ada orang lain yang memecahkannya. Apa yang menyebabkan Islam fundamentalis makmur mungkin terlalu rumit untuk kita pahami.
Saya setuju dengan apa yang dikatakan John Esposito soal tidak mereduksi Islam politik menjadi ekonomi politik. Perlu dicatat bahwa Iran dan Arab Saudi memiliki gerakan fundamentalis yang aktif meskipun penduduknya relatif kaya. Sedangkan Bangladesh dan Yaman, yang sangat miskin, tidak punya gerakan kaum fundamentalis yang aktif. Tidak ada korelasi yang jelas antara kekayaan atau pertumbuhan ekonomi dan Islam. Omong-omong, ini berimplikasi sangat penting: Anda tidak dapat menyelesaikan masalah ini melalui uang.
T: Pertama-tama, untuk Pak Pipes. Ini pernyataan. Jadi tidak perlu ditanggapi. Menurut definisi Anda, saya seorang fundamentalis Islam. Nama saya tidak relevan. Tapi saya bekerja untuk sebuah lembaga kajian (think tank) yang berorientasi Islam. Saya mendengarkan musik Mozart. Saya membaca Shakespeare. Saya menonton televisi yang menyiarkan komedi. Dan saya juga percaya pada penerapan Syariah, hukum Islam dalam struktur negara di negara Muslim. Saya merasa tersinggung jika Anda menyamakan saya secara serampangan dengan seseorang dari Takiro Ajidra atau Jihad Islam.
Terkait dengan Duta Besar Pelletreau, saya punya dua pertanyaan. Pertama, Departemen Luar Negeri dan Pemerintah AS sudah bersusah payah mendefinisikan arti terorisme supaya tidak sampai menyalahkan siapa pun. Namun, saya belum melihat definisi apa pun yang mereka anggap sebagai kelompok perlawanan yang sah, atau aksi perlawanan yang sah. Apakah ini kebijakan AS yang lebih memilih untuk menganut paham cinta damai. Soalnya, kami sebagai Muslim tidak diwajibkan untuk memberikan pipi yang lain untuk dipukul orang sehingga perlu ada komentar mengenai apa yang bisa kami lakukan, yang menurut Anda benar menurut hukum.
Yang kedua, keyakinan George Kennan bahwa moralitas tidak berperan penting dalam kebijakan luar negeri justru telah memainkan peran besar selama beberapa dekade terakhir. Dan saya jadi bertanya-tanya apakah ada perubahan dalam perspektif ini untuk saat ini atau di masa depan.
Duta Besar PELLETREAU: Izinkan saya menjawab pertanyaan kedua terlebih dahulu karena menurut saya sangat mendasar bahwa kebijakan luar negeri AS didasarkan pada nilai-nilai rakyat Amerika Serikat. Ketika pada masa-masa lalu kebijakan terpisah dari nilai-nilai tersebut, kita pun menemukan bahwa ia tidak bertahan lama. Dan sejarah kita penuh-pepak dengan contoh-contoh seperti itu. Jadi, mungkin tidak seperti dunia Realpolitik murni, Amerika Serikat bertindak berdasarkan moralitas. Dan menurut saya itulah cara yang benar, tepat, dan nyatanya, satu-satunya cara yang pantas bagi kita untuk bertindak.
Mengenai upaya untuk mendefinisikan secara lebih tepat apa yang kita harapkan dari kelompok-kelompok Islam di negara-negara di mana mereka ditindas atau dilarang untuk berpartisipasi dengan tindakan yang keras dari negara. Untuk persoalan ini, saya tetap berpegang teguh pada pandangan bahwa kita tidak berharap mereka atau pihak lain menggunakan kekerasan atau terorisme internal sebagai cara untuk mencapai kekuasaan politik. Kita melihat hal ini dalam banyak contoh di seluruh penjuru dunia. Dan, saya pun pernah menyaksikannya dalam tugas terakhir saya di Mesir. Kita tidak bisa mendukung aktivitas Gamaa yang Islami. Yang melancarkan peledakan di pusat Kota Kairo yang menewaskan warga sipil tak berdosa di sepanjang jalur tersebut. Atau tidak bisa mendukung bahwa mereka kadang-kadang menembaki sasaran wisata sebagai cara yang tidak langsung untuk memberikan tekanan pada pemerintah. Dalam pandangan kami, itu bukanlah jalan menuju partisipasi politik yang sah. Saya tidak tahu bahwa terserah pad Amerika Serikatlah yang harus berusaha menjelaskan secara rinci persisnya apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam situasi ini atau itu. Namun saya merasa sangat nyaman untuk mengatakan bahwa kekerasan dan terorisme dan pihak-pihak yang mendukung kekerasan dan terorisme pada dasarnya harus berada di luar jangkauan kita, sejauh menyangkut partisipasi politik mereka.
Izinkan saya meminta maaf atas pertanyaan lain yang sayangnya belum saya jawab. Jadwal saya sangat padat sore hari ini. Tak banyak waktu luang saya miliki. Jadi terima kasih telah mengizinkan saya untuk berpartisipasi bersama Anda hari ini dalam simposium ini.
T: Saya ingin mengajukan pertanyaan ini kepada Profesor Pipes: Apakah keberatannya terhadap kelompok Islam yang berkuasa di negara-negara Muslim? Sebagai contoh, di Iran mereka sudah memulai proses demokrasi pada tahun 1953; dan CIA kemudian menggulingkan mereka, menempatkan seorang raja yang menyiksa mereka dan kami mendukungnya sepenuhnya. Apakah menurut Anda ada alasan di balik ini?
Dr. PIPES: Anda sedang mengangkat kembali (rehearse) beberapa dasar pemikiran (ground) lama yang mengerikan. Pemerintah AS harus yakin, ia sudah melakukan kesalahan di Iran. Namun semua itu tidak ada hubungannya dengan situasi yang terjadi sejak Revolusi Islam tahun 1979. Berulang kali kita berupaya memperbaiki hubungan dengan Teheran. Dan, hingga kini, kita masih terus berupaya melakukannya. Para pejabat Amerika terus saja mengatakan betapa mereka ingin bekerja sama dengan Iran – tolong benar-benar berhenti membuat masalah bagi kami, berhentilah menyerang orang Amerika sehingga kita bisa memulai hubungan baru. Pemerintah Iran menolak tawaran ini. Berulang kali. Bahkan dengan nada menghina. Kini keputusan di Teheran, bukanlah tindakan pemerintah AS beberapa tahun lalu yang menjelaskan buruknya hubungan kedua negara.
Topik Terkait: Islam radikal
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.