Perdebatan saya dengan As'ad AbuKhalil disajikan setelah teks artikel ini sementara pemutakhiran data seputar SSNP pada gilirannya mengikutinya.
Sampai saat ini, tampaknya belum ada partai di dunia Arab yang mampu menandingi Partai Nasionalis Sosial Suriah (Syrian Social Nationalist Party---SSNP) dalam hal kualitas propagandanya. Ia membahas persoalan akal dan emosi. Atau dalam soal kekuatan organisasinya, partai itu pun efektif terbuka untuk persoalan yang nyata terang benderang dan yang terselubung. Berkat organisasinya, partai ini berhasil menciptakan arus intelektual dan politik yang sangat kuat di Suriah dan Libanon.
- Abu Khaldun Sati' al-Husri
Dilihat dari perhatian mereka, pengamat politik Timur Tengah terlihat cenderung mengabaikan Partai Nasionalis Sosial Suriah (Syrian Social Nationalist Party--- SSNP), sebagai sebuah rasa ingin tahu sejarah. Selama jangka waktu empat dekade, misalnya, Majalah The Economist memberikan banyak nama atas partai itu. Pada 1947, gerakan ini disebut sebagai "gerakan aktivis sayap kanan yang agak bodoh." Pada 1962, dia disebut "orang pinggiran yang gila", "lucu," dan "idiot." Pada 1985, majalah itu menyebut SSNP sebagai "organisasi kecil aneh".' Michael C. Hudson, seorang pakar politik Libanon, menyebut politik SSNP sebagai "aneh" dan ideologinya "menggagalkan idealisme yang dipelintir menjadi benar-benar doktrin pelarian."
Ada alasan terhadap perlakuan penuh penghinaan ini. Sejak didirikan pada 1932 hingga kini, partai ini nyaris gagal dalam segala hal yang diperjuangkannya. Konspirasinya yang idealistis dan tidak realistis, upaya kudetanya yang gagal berikut perjuangan ideologisnya yang tidak populer membuatnya dikenal tidak praktis, menggelikan serta tidak serius. Jumlah anggotanya senantiasa sangat sedikit. Dia bahkan tidak pernah mendekati kekuasaan. Dalam catatannya, SSNP itu jauh lebih banyak frustrasi dibandingkan dengan prestasinya.
Namun kegagalan tidak mengaburkan fakta bahwa SSNP memiliki kepentingan politik yang besar dalam sejarah abad ke-20 di Libanon dan Suriah, dua negara di mana partai ini paling aktif. Ia memberikan kepada kelompok minoritas, khususnya umat Kristen Ortodoks Yunani, sarana untuk melakukan tindakan politik. Sebagai partai pertama yang sepenuhnya menganut cita-cita ekstrim selama masa perang masih sering terjadi, SSNP menginkubasi hampir semua kelompok radikal di kedua negara. Ia, khususnya, berdampak besar pada Partai Ba'th. Yang terakhir, dan ini mungkin menandai puncak kekuasaannya adalah kenyataan bahwa Pemerintahan Hafez al-Asad pernah bersekutu dengannya dan memasukkan beberapa gagasannya ke dalam kebijakan Negara Suriah.
Karena alasan ini, Partai Nasionalis Sosial Suriah patut untuk lebih dikenal dan dikaji. Meski tulisan ini tidak lebih dari sekadar menggambarkan dampak keberadaan partai ini terhadap kehidupan politik, saya berharap bahwa penghargaan terhadap tulisan ini dapat menginspirasi lebih banyak upaya untuk memahaminya. Penelitiannya seharusnya tidak sulit dilakukan. Soalnya, SSNP adalah partai intelektual, dan organisasi serta anggotanya menghasilkan banyak sekali bahan.'
Partai dan Ideologi
Partai Nasionalis Sosial Suriah (al-Hizb al-Suri al-Qawmi al-Ijtima'i) atau SSNP kadang dikenal sebagai Partai Nasionalis Suriah. Atau Partai Nasionalis Sosial. Keduanya sama-sama disingkat dengan SNP. Terjemahan Perancis-nya yang salah atas namanya juga digunakan dalam bahasa Inggris, Parti Populaire Syrien atau Parti Populaire Social, yang sama-sama disingkat PPS.
Antun Sa'ada (1904-1949), pendiri Partai Nasionalis Sosial Suriah.
Antun Sa'ada, adalah seorang intelektual dari Gereja Ortodoks Yunani. Dia mendirikan partai itu di Beirut. Sebagai sebuah organisasi rahasia mahasiswa pada November 1932. Ia lalu menjabat sebagai pemimpin organisasi tersebut hingga 1949. Akibatnya, partai itu sangat mencerminkan kepribadian dan ide-idenya. Majid Khadduri secara tepat menyatakan bahwa "belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah modern Suriah ada pemimpin yang memiliki keyakinan, kewaspadaan, kekuatan karakter dan karisma seperti itu" (dan, dapat dikatakan, bahwa tidak seorang pun yang mau mengikutinya). Setelah 1949, partai ini dipimpin oleh tokoh-tokoh dengan kwalitas yang biasa-biasa saja. Tidak satupun dari mereka yang mampu mengembalikannya ke posisi semula.
SSNP berbasiskan pada tiga prinsip utama. Melakukan reformasi radikal terhadap masyarakat radikal berdasarkan pemikiran-pemikiran yang sekuler, berideologi fasis dan Suriah Raya. Meski terkenal karena ideologi Pan-Suriahnya, sebagian besar daya tarik dan pengaruh partai berkaitan dengan elemen sekuler dan fasisnya. Memang sulit untuk mengatakan fitur mana yang paling penting yang mampu menarik anggota.
Program reformasi partai dirangkum dalam lima prinsip. Pemisahan antara agama (church) dan negara, melarang rohaniwan untuk ikut campur dalam urusan politik, penghapusan sekat antarsekte, penghapusan feodalisme, dan pembentukan tentara yang kuat. Tiga prinsip pertama mengarah kepada persoalan sekularisasi. Mereka, karena itu menyerukan agar agama (yaitu Islam) ditarik keluar dari kehidupan publik. Sedangkan dua prinsip terakhir termasuk dalam persoalan modernisasi. Perlu diingat bahwa meski pandangan-pandangan ini umum, bahkan dianggap dangkal di Barat, pandangan-pandangan ini dianggap baru oleh masyarakat Libanon dan Suriah pada 1930-an. Secara bersama-sama, prinsi-prinsip reformasi menjadi transformasi sosial yang menggunakan huruf "S" kedua pada nama partai.
Ada satu catatan yang perlu diperhatikan: karena Sa'ada mencerminkan pemikiran fasis pada tahun 1930-an, mala kata "sosial" dan "nasional" kadangkala digabungkan untuk membentuk kombinasi "sosialis nasional", mata uang Hitler dan dasar kata Nazi. Bagaimanapun, ini salah. Soalnya Sa'ada menggunakan kata itu dalam bahasa Arab untuk kata "sosial" (ijtima'i) bukan "sosialis" (ishtiraki). Bentuk kata benda yang tepat untuk ideologinya dalam bahasa Inggris bukanlah Sosialisme Nasional melainkan Nasionalisme Sosial.
Bendera Partai Nasionalis Sosial Suriah (SSNP).
Kualitas fasis partai terlihat dari tingginya status Sa'ada, organisasi partai dan ideologinya. Termasuk penekanannya pada garis keturunan anggota serta nasionalismenya yang bernuansa mistis. Hal-hal yang mendetil dari ritual partai meniru kaum fasis. Mulai dari penghormatan ala Hitler dan lagu kebangsaan "Deutschland, Deutschland über alles", hingga simbol partai, swastika melengkung yang disebut "badai merah." Sebelum 1945, kualitas fasis partai itu memberikan sebuah ideologi yang kuat sekaligus cara untuk memihak musuh Inggris dan Prancis, dua negara yang menguasai Suriah Raya.
Para simpatisan fasis dan Nazi berbondong-bondong bergabung dengan SSNP sebagai satu-satunya partai di Levant (atau Syam dalam Bahasa Arab yang umumnya dipahami sebagai wilayah yang mencakup Libanon, Suriah, Yordania dan Israel serta Palestina, pent., JL) yang bersimpati terhadap sudut pandang mereka. Mereka membentuk sebagian besar keanggotaan inti partai. Beberapa anggota tertarik dengan perlawanan sengit partai terhadap Komunisme. Yang lain mencari pemimpin yang kuat, sesuatu yang ditawarkan Sa'ada dengan gaya fasis pada 1930-an. Pemujaan terhadap Sa'ada begitu ekstrim. Semboyan SSNP semasa hidupnya adalah "Hidup Suriah! Hidup Sa'ada!" Ada juga petunjuk kuat bahwa dia dijadikan nabi agama baru. Para anggotanya bergabung mengikuti upacara yang dikenal sebagai "baptisan", di mana mereka secara resmi melepaskan kesetiaan terhadap pihak lain.
Karakteristik utama ketiga SSNP adalah nasionalisme Pan-Suriah, yang bertujuan membangun Negara Suriah Raya. Kharakteristik itu memerlukan beberapa penjelasan. Definisi pasti Suriah Raya bervariasi pada berbagai tahap sejarah partai itu sendiri. Namun definisinya selalu mencakup empat negara modern yaitu Suriah, Libanon, Israel dan Yordania serta sebagian Turki. (Pada akhir masa hidupnya, Sa'ada memperluas Suriah hingga mencakup Semenanjung Sinai, seluruh Irak dan bahkan Siprus.) Platform SSNP menjadikan kesatuan wilayah ini sebagai prinsip utama. "Suriah [Raya] adalah untuk rakyat Suriah, dan rakyat Suriah adalah sebuah bangsa yang utuh." Berbeda dengan kewarganegaraan Suriah yang sangat penting, identitas Arab, Muslim, Kristen, Libanon, dan Palestina dianggap tak penting. Sudut pandang ini mempertentangkan SSNP dengan kelompok Pan-Arab dan Muslim yang saleh, serta kelompok separatis Libanon dan Palestina.
Satu wilayah (representation) yang memperlihatkan ambisi SSNP yang luar biasa, yang mencakup Irak, Siprus dan Sinai.
Menciptakan negara yang mewakili identitas Suriah berarti menghapuskan kebijakan yang digambarkan oleh Inggris dan Prancis pada tahun-tahun Pasca-Perang Dunia I; yaitu Republik Suriah, Libanon, Israel dan Yordania. Karena melihat negara-negara yang ada ini sebagai negara yang dibuat-buat dan tidak berarti, SSNP pun tidak setia kepada mereka. Berkenaan dengan Libanon, misalnya, Sa'ada menyatakan, "Di atas semuanya itu, kami adalah nasionalis Pan-Suriah. Cita-cita kami adalah cita-cita Suriah [Raya]. Bukan cita-cita separatisme Libanon." Dia berpendapat bahwa "Libanon harus dipersatukan kembali dengan Suriah". Selain itu, secara eksplisit dia menyatakan bahwa tujuannya adalah "untuk merebut kekuasaan di Beirut untuk mencapai tujuan ini."
Untuk menilai pentingnya makna pandangan Sa'ada mengenai Suriah Raya, harus dipahami bahwa Pan-Suriah itu memiliki dua bentuk; kaum pragmatis dan kaum puritan (pure). Kaum pragmatis dan puritan berbeda pandangan mengenai ideologi raksasa Timur Tengah tengah, yaitu nasionalisme Pan-Arab. Kelompok pertama menerima pandangan itu. Kelompok kedua menolaknya.
Kaum pragmatis berpendapat bahwa Suriah Raya merupakan bagian dari bangsa Arab. Pembentukannya merupakan batu loncatan menuju Pemerintahan Pan-Arab. Bagi mereka, penyatuan Suriah bukanlah tujuan namun sarana untuk membangun kesatuan yang lebih besar. Raja 'Abdullah dari Yordania mungkin adalah seorang pragmatis yang paling menonjol dan pandai bicara. Kaum puritan mencari sesuatu yang sangat berbeda: Negara Suriah Raya sudah lengkap di dalam dirinya sendiri tanpa perlu mengacu pada persatuan yang lebih besar. Bagi mereka, Suriah tidak ada hubungannya dengan negara Arab. Seorang penganut paham Pan-Suriah murni tidak bisa menerima tenggelamnya Suriah ke dalam wilayah Arab yang lebih besar. Jika warga Suriah itu sebuah bangsa, maka bangsa Arab itu, bukan. Sa'ada berpendapat bahwa "dunia Arab terdiri dari banyak negara, bukan satu." Dia mencemooh berbagai upaya untuk menyatukan banyak negara di Arab karena dianggap tidak mungkin dan kontraproduktif.
Seorang penganut Pan-Arab bisa menerima tujuan kaum pragmatis, namun harus menolak tujuan kaum puritan. Suriah Raya memang baik-baik saja sejauh dia membantu membangun bangsa Arab. Sebagai tujuan itu sendiri, ia kutukan. Kelompok Pan-Arab menolak pandangan murni penganut Pan-Suriah yang menyatakan bahwa Suriah Raya mempunyai kepentingan politik tersendiri. Dalam kata-kata Edmond Rabbath sikap itu adalah, "Tidak ada bangsa Suriah. Yang ada itu adalah bangsa Arab." Penganut aliran Pan-Suriah murni juga tidak sependapat dengan penganut Pan-Arab dalam banyak hal lain juga. Kelompok Pan-Suriah, misalnya, melihat konflik dengan Israel sebagai urusan internal Suriah yang tidak ada urusannya dengan negara-negara Arab. Menurut Sa'ada, "Mesir atau Arab tidak perlu ikut serta membela Palestina." Sebaliknya, kelompok Pan-Arab melihat setiap negara antara Maroko dan Oman berperan langsung untuk melawan Israel.
Partai Nasionalis Sosial Suriah sebenarnya adalah satu-satunya pendukung Pan-Suriah murni. Hal ini dilakukan dengan kesadaran bahwa posisi ini menyangkal keabsahan dari Pan-Arabisme, sebuah prinsip politik yang dianut secara luas. Sa'ada secara sadar mengambil posisi yang sangat kontroversial. Sebuah posisi yang membedakan SSNP tidak hanya dari kecenderungan intelektual umum namun bahkan dari sebagian besar kaum nasionalis Pan-Suriah. Kurangnya penghormatan terhadap Pan-Suriah bisa menjelaskan mengapa SSNP dianggap eksentrik. Kecuali soal sekularisme dan fasisme yang dianutnya serta penganiayaan yang sering terjadi atasnya, pemikiran itu dapat dimengerti.
Sebuah Gerakan Kaum Minoritas
Lalu mengapa SSNP mengadopsi prinsip-prinsip yang tidak populer ini? Sebagian karena latar belakang pendiri sekaligus pemimpin pertamanya, Antun Khalil Sa'ada. Lahir dari keluarga Ortodoks Yunani Libanon pada tahun 1904, Sa'ada menghabiskan tahun-tahun kritis masa mudanya di luar Libanon. Ayahnya, Khalil Sa'ada sempat menetap di Mesir selama beberapa tahun sebelum Perang Dunia I sampai Antun bergabung dengannya di Sao Paulo, Brasil, pada tahun 1920. Meski seorang dokter, Sa'ada tua menerbitkan jurnal al-Majalla, yang mempromosikan kemerdekaan Suriah, sekularisme dan anti-konfesionalisme (baca: pandangan yang menganggap agama itu terlampau sempit dan orang harus mampu mencari agama dengan cara mereka sendiri, pent. JL).
Sa'ada juga mendirikan Partai Nasional Demokrat (National Democratic Party---NDP) di Buenos Aires. Sekaligus memimpin Kongres Nasional Suriah pertama pasca-Perang Dunia 1. Pengaruh ini jelas mempengaruhi teori Antun Sa'ada, yang kembali pulang ke Libanon pada tahun 1929 lalu mendirikan SSNP pada November 1932. Bertahun-tahun keluarga itu menetap di luar negeri, khususnya di Mesir, berdampak jauh pada pembentukan unsur-unsur yang menjadi ciri utama pemikiran Sa'ada: keyakinannya yang mendalam terhadap identitas Suriah, menolak identitas Arab dan sekularismenya.
Warga Suriah merupakan komunitas kecil namun sangat berpengaruh di Mesir sejak abad kedelapan belas. Meski memainkan peran penting dalam kehidupan perdagangan, industri, dan intelektual negara, mereka tidak pernah kehilangan identitas yang terpisah atau melupakan ciri "asing" mereka. Sebaliknya, mereka bangga dengan banyaknya perbedaan antarmereka dan penduduk asli. Ketika nasionalisme Mesir tumbuh pada penghujung abad kesembilan belas, perasaan terpisah warga Suriah menjadi semakin akut. Thomas Philipp menulis bahwa "Warga Suriah yang datang selama dua dekade terakhir abad kesembilan belas harus menyadari bahwa mereka akan tetap terpinggirkan dan hampir tidak dapat ditoleransi dalam politik nasional Mesir. Sebagai emigran yang berada di negara asing, mereka tentu disadarkan akan 'ke-Suriah-an"'mereka.
Psikologi masyarakat Suriah di Mesir bergerak sejalan dengan gagasan Khalil Sa'ada dan belakangan dengan gagasan Antun Sa'ada dalam beberapa hal. Pertama, orang Mesir menganggap semua orang yang berasal dari wilayah Levant adalah orang Suriah. Jika penduduk Jaffa dan Aleppo tidak merasakan kesamaan antarmereka sebelum tiba di Mesir, maka mereka justru memperoleh rasa solidaritas setelah tinggal di sana beberapa lama. Kedua, berbeda dengan warga Suriah yang berdiam di Suriah Raya, yang dengan santainya menyamakan menjadi orang Suriah dengan menjadi orang Arab, maka warga Suriah di Mesir membedakan secara tajam antara kedua gagasan tersebut. Mengingat bahwa orang Mesir juga berbicara bahasa Arab, mereka cenderung menganggap diri mereka orang Suriah, bukan orang Arab. Pandangan Sa'ada mungkin berasal dari persepsi ini. Ketiga, kaum Muslim, Kristen, atau Yahudi warga Suriah di Mesir merasakan adanya rasa kekerabatan satu sama lain (berbeda dengan mereka yang tidak pernah meninggalkan Suriah). Karena itu, mereka mengorganisasikan diri tanpa terlampau mempedulikan persoalan agama. Upaya Sa'ada yang mengabaikan agama sebagai kekuatan politik mungkin bersumber dari pandangan ini.
Alasan lain untuk pandangan tidak populer partai tersebut berkaitan dengan seruan SSNP terhadap minoritas Muslim non-Sunni. Sekularisme memberikan kepada mereka kesempatan yang setara yang adil yang mampu menghapuskan cacat historis mereka. Umat Kristen menanggung penghinaan yang melekat pada status dzimmi (baca: diperlakukan sebagai warga kelas dua yang harus membayar pajak untuk mendapatkan perlindungan dari negara/kaum mayoritas, pent.JL). Kaum Syi'ah menderita akibat penganiayaan selama berabad-abad di tangan kaum Muslim Sunni.
Sementara itu, Pan-Suriah puritan diyakini sebagai unit geografis ideal tempat populasi non-Sunni Muslim berjumlah sekitar setengah populasi. Sebaliknya, mereka nyaris hilang dalam unit-unit Arab yang lebih besar. Dengan menjembatani kesenjangan historis antara Muslim dan Kristen, Pan-Suriah menjanjikan kewarganegaraan penuh dan setara bagi umat Kristen. Caranya, dengan mengagungkan zaman pra-Islam, peradaban yang ditaklukkan oleh Islam. Mereka mengagungkan masa lalu bersama. Sekaligus menawarkan sebuah negara yang akan mencakup hampir semua umat Kristen Ortodoks di dalam wilayahnya. (Karena penyebarannya yang terbatas di wilayah yang luas, maka tidak seperti kaum penganut Katolik Maronit, kaum Ortodoks tidak dapat mundur ke tanah air mereka sendiri. Namun inilah salah satu cara untuk menyatukan seluruh komunitas mereka.)
Tentu saja, memilih untuk menarik kelompok minoritas punya kelemahan yang berpengaruh besar. Ia menyebabkan dukungan luas dari kaum Arab Sunni menjadi mustahil. Kebanyakan Muslim Sunni menolak sekularisme dan nasionalisme murni Pan-Suriah, yang merupakan dua dimensi program SSNP. Sekularisme menantang beberapa prinsip dasar Islam. Segelintir pemikir Muslim yang secara terbuka mendukung agama ditarik keluar dari politik justru diabaikan, dan yang paling fatal malah diadili dan dieksekusi mati. Demikian pula, Pan-Suriah murni melanggar semangat Islam. Ia mengabaikan perbedaan agama, menyamakan non-Muslim dengan Muslim, mengagungkan kekafiran kuno, dan memberikan penekanan yang tidak semestinya pada sejarah, budaya, dan garis keturunan suatu wilayah. Keterikatan yang sangat kuat terhadap sebuah wilayah merupakan hal yang tidak Islami meski tidak berarti bertentangan dengan hukum agama, namun sangat bertentangan dengan semangat agama. (Sisi positifnya, Pan-Suriah menarik perhatian segelintir orang Arab Sunni yang menolak cara-cara Islam dan ingin menjangkau perbedaan agama.)
Kuatnya perlawanan sebagian besar kaum Muslim Sunni terhadap nasionalisme murni Pan-Suriah menghancurkan peluang SSNP untuk meraih ambisinya. Kaum Ortodoks Yunani (baik sendiri atau bersama-sama dengan kelompok minoritas lain) tidak dapat mendominasi Negara Suriah Raya. Bahkan jika mereka berhasil, maka pengalaman kaum Katolik Maronit yang pernah berupaya memaksakan ideologi minoritas Libanon, namun gagal, menunjukkan bahwa mereka tidak akan bertahan lama.
Namun kaum Muslim Sunni bukan satu-satunya yang menentang SSNP. Sifatnya yang penuh kekerasan, yang berupaya merebut wilayah negara lain, sekularis dan fasis menjamin hubungan yang bermusuhan dengan hampir semua kalangan. Pihak berwenang Prancis melarang partai itu selama menjalankan Mandat karena mengganggu kemerdekaan. Gamal Abdul Nasser dari Mesir menganiaya anggota SSNP karena menolak bergabung dengan Mesir (sebuah negara bukan Suriah) pada tahun 1958-1961. Israel melawannya karena sikapnya yang sangat anti-Zionisme. Kaum Ba'thisme menolak ideologi murni Pan-Suriah. Kaum Sosialis dan Komunis menentang fasismenya. Para pemimpin Libanon yang merdeka menindasnya karena menolak legitimasi negara. Sementara itu, penguasa Suriah berusaha membungkam orang partai itu yang terbukti membuat onar.
Raja Abdullah dari Yordania (berkuasa pada 921-51), eksponen lain paling kenamaan dari Suriah Raya memerangi SSNP.
Bahkan tokoh terkemuka lainnya di Suriah Raya, Raja Abdullah dari Yordania, memerangi SSNP. Ia menolak ide-ide republik dan sekuler, nasionalisme murni Pan-Suriah, dan klaim partai itu untuk memerintah Negara Suriah Raya di masa depan. Sebagai tanggapan, Antun Sa'ada pun menentang Raja Abdullah secara terbuka, dengan menyatakan bahwa "SSNP menentang rencana Amman karena ideologinya. Kami tidak inginkan monarki."' Menurut tokoh SSNP lain, "kami menentang raja, karena dia ingin mendirikan negara berdasarkan agama." Pada suatu kesempatan, SSNP bahkan menyetujui kerja sama militer antara Pemerintah Libanon dan Suriah untuk menolak rencana Raja Suriah Raya.
Banyak musuhnya sering menuduh SSNP berkolaborasi dengan kekuatan asing dan melakukan pekerjaan kotor agar semakin tepat lagi mengganggunya. Pihak berwenang Prancis misalnya menuduhnya berkolaborasi dengan kekuatan Poros (baca: pada waktu Perang Dunia II, pent. JL) pada 1940-an. Ironisnya, Pemerintah Vichy terus menekan tuduhan ini. Rumor mengenai subsidi Amerika—yang kemudian terbukti akurat—mendiskreditkan kandidat SSNP pada Pemilu Suriah tahun 1953. Nasser belakangan juga menuduh SSNP mengambil uang Amerika. Inggris pun terlibat di balik upaya kudeta tahun 1961 di Libanon. Pembicaraan dalam beberapa tahun terakhir (dengan alasan yang baik) berpusat pada bantuan Rumania dan Soviet.
Dengan banyaknya musuh, maka tidaklah mengherankan orang lantas melihat SSNP dianiaya hampir selama hidupnya. Sa'ada sendiri dipenjarakan dua kali oleh Prancis; pada November 1935 dan Agustus 1936 hingga akhirnya dieksekusi oleh polisi Libanon setelah diadili secara tergesa-gesa. Di Libanon, partai itu sering dianggap sah dan tidak sah. Pertama kali dilarang pada Maret 1936, partai itu baru disahkan pada Mei 1937. Dilarang pada Oktober 1939, disahkan oleh Camille Chamoun pada Mei 1944. Dilarang pada Juli 1949 dan disahkan lagi oleh Chamoun pada September 1958. Dilarang pada Januari 1962 dan disahkan oleh Kamal Jumblat pada tahun 1970. (Masih sah sejak tahun 1970.) Di Suriah, partai tersebut sah hingga tahun 1955 (dan markas besar partai berada di Damaskus dari tahun 1949 hingga 1955) tetapi dilarang sejak saat itu. Di Yordania, pembunuhan yang dilakukan oleh anggota SSNP menyebabkan mereka ditindas pada tahun 1951-1952 dan pada tahun 1966, Dinas Keamanan Yordania berupaya memberantasnya.
Meski para pejabat tidak menyukainya, SSNP kadang-kadang mempunyai wakil di parlemen Libanon dan Suriah. Di Lebanon, mereka hanya berhasil meraih satu kursi pada pemilu tahun 1957. Partai ini mempunyai kinerja yang lebih baik di Suriah, dengan memenangkan sembilan kursi pada 1949, satu kursi pada 1953, dan dua kursi pada 1954. Meski terlalu sedikit anggota yang membuatnya bisa meloloskan undang-undang, para wakil partai memberikan platform kepada partai tersebut untuk membuat pandangannya lebih dikenal luas.
Menyembunyikan Pesan
SSNP tidak selalu ingin pandangan mereka yang sebenarnya diketahui masyarakat. Untuk melindungi diri dari penganiayaan, mereka sering menggunakan strategi untuk mengaburkan pesan nasionalisme murni Pan-Suriah. Dalam bahasa Islami, partai itu sebenarnya melakukan taqiyya (berbohong guna mempertahankan iman) yang bersifat ideologis. Ia mengadopsi berbagai sampul, termasuk Pan-Suriah yang pragmatis, patriotisme lokal, retorika ala kaum sayap Kiri, dan bahkan Pan-Arabisme.
Sa'ada kerap membuat pernyataan tentang Pan-Suriah yang pragmatis dengan cara menyempurnakan rencananya untuk Suriah Raya tetapi membumbuinya dengan ide tentang pan-Arabisme. Dia menggambarkan terwujudnya Suriah Raya sebagai langkah menuju pembebasan Arab. "Pertama kebangkitan Nasionalis Sosial di Suriah, kemudian politik yang bekerja sama demi kebaikan dunia Arab. Kebangkitan Negara Suriah membebaskan kekuatan Suriah dari otoritas asing dan mengarahkannya untuk membangkitkan semangat negara-negara Arab lainnya, membantu mereka untuk maju." Sa'ada melangkah lebih jauh dengan menempatkan Suriah dalam kerangka Arab: fakta bahwa "bangsa Suriah [umma] adalah bagian dari negara Arab [umma] tidak bertentangan dengan statusnya sebagai negara utuh yang berhak atas kedaulatan yang absolut."
Sa'ada juga mengembangkan sebuah konsep aneh. Namanya, "Arabisme Nasionalisme Sosial Suriah" (the Arabism of Syrian Social Nationalism). Konsep itu berupaya menyamakan lingkaran tersebut dengan mendalilkan adanya kepemimpinan orang Arab di Suriah." Ia bahkan mengklaim, "jika ada Arabisme nyata dan sejati di dunia Arab, maka inilah Arabisme SSNP." Dia menggunakan konsep ini untuk membenarkan argumennya bahwa "Negara Suriah adalah negara yang cocok untuk menghidupkan kembali dunia Arab."
Selama periode 1956-1967, ketika Pan-Arabisme mencapai puncak popularitasnya, partai itu meredam tujuan Pan-Suriahnya. Kala itu, selebaran SSNP mengumandangkan dua slogan yang berlawanan dalam satu halaman: "Nasionalisme Suriah melawan nasionalisme Arab," dan "SSNP mendukung Bulan Sabit Subur, sebuah realitas sejarah dan geografis, sebagai satu-satunya bentuk persatuan yang sah di Timur Tengah – tanpa menolak kemungkinan adanya fron Arab." Pesan ganda ini membuatnya sulit dipercaya bahwa SSNP benar-benar berubah. Berbagai referensi seputar ide murni Pan-Suriah pada masa lalu membuat pengamat ini menyimpulkan bahwa visi Sa'ada tetap menjadi inti ideologi SSNP.
Namun tanda-tanda patriotisme lokal partai itu dapat ditemukan sejak Mei 1944. Ketika kesetiaannya kepada Libanon menjadi kedok yang berguna sehingga menyatakan tujuannya adalah " Libanon merdeka". Sepuluh tahun kemudian, untuk mempertahankan status quo dari program radikal Pan-Arab yang didukung oleh Nasser, Partai Ba'th dan lain-lainnya, para pemimpin SSNP mengadopsi pandangan pro-Barat dan menjalankan tujuan yang sama dengan kaum konservatif. Taktik ini mencapai puncaknya pada 1958, selama perang saudara di Libanon, ketika SSNP bergabung dengan Pemerintah Libanon untuk menekan para pemberontak. Mengingat pandangannya mengenai tidak sahnya keberadaan Libanon, maka sikap itu merupakan luar biasa. Meski demikian, sikap itu tidak mewakili perubahan tujuan jangka panjangnya. Namun sebagai apresiasi terhadap Libanon sebagai tempat perlindungan mereka. Wajarlah jika pemimpin SSNP khawatir bahwa kemenangan para lawan pemerintah membuat negara itu tertutup bagi mereka.
Namun kebutuhan yang sebenarnya untuk berpura-pura terjadi pada tahun 1962. Menyusul kegagalannya pada bulan Desember 1961, ketika gagal menggulingkan Pemerintahan Libanon, SSNP akhirnya dilarang di Libanon (dan juga Suriah). Supaya dapat diterima kembali di salah satu negara atau negara lainnya, dia menjalankan tiga strategi. Pertama, seperti pada 1944, para anggotanya berpura-pura memiliki patriotisme lokal. Mereka yang tinggal di Suriah berjanji setia kepada rezim di Damaskus. Demikian pula, para anggota yang berada di Libanon menggambarkan diri mereka sebagai orang yang mengabdi pada pelestarian kemerdekaan Libanon.
Taktik ini pernah dicoba dijalankan di pengadilan militer yang dibentuk untuk menghukum para peserta kudeta yang gagal, namun tidak membuahkan hasil. Soalnya, jaksa penuntut dan hakim ketua tidak tertipu. Yang pertama (baca: para jaksa) mengatakan kepada hakim:
Tujuan para konspirator SSNP seharusnya sudah jelas bagi Anda dan seluruh dunia. Tujuannya tidak lain adalah menerapkan prinsip-prinsip dasar Partai [dengan merebut kekuasaan di Libanon]. Sejak awal, Libanon sudah menyadari fakta ini. Namun ketika para konspirator itu gagal, mereka mencoba mengarang alasan konspirasi mereka, berpura-pura prihatin terhadap reformasi rezim di Libanon dan pembangunan sosialnya.
Hakim pun sependapat: "Tujuan partai itu bertentangan dengan hukum. SSNP bertindak seperti masyarakat rahasia. Ia tidak mengungkapkan doktrinnya yang sebenarnya kepada pihak berwenang. Sebaliknya, ... partai tersebut berpura-pura berupaya melestarikan entitas Libanon." Taktik itu pun lalu ditinggalkan karena tampaknya dia tidak mungkin bisa tercapai.
Kedua, partai tersebut meninggalkan doktrin fasis lalu mengadopsi retorika sayap kiri yang lebih bisa diterima. Perubahan taktik ini selesai pada 1970. Segera setelah itu, SSNP dapat merancangkan tujuan yang sama dengan kelompok-kelompok yang berupaya menggulingkan status quo. Ia lalu menjalin hubungan yang erat dengan beberapa pihak. Khususnya dengan Partai Sosialis Progresif Jumblat dan Organisasi Palestina Merdeka (Palestine Liberation Organization—PLO). Peralihan haluan partai dari Kanan ke Kiri tampaknya berlangsung lama. Pada 1984, ketua SSNP menghadiri perayaan ulang tahun Partai Komunis Libanon. Mereka yang tidak mengenal ideologi partai tersebut bahkan melihatnya sebagai sebuah partai Marxis. Dengan demikian, apa yang awalnya hanya pura-pura, seiring dengan berjalannya waktu, mungkin menjadi kenyataan. Orientasi SSNP kini tampaknya secara permanen sejalan dengan kaum Kiri.
Yang ketiga dan paling penting, para anggota SSNP menggambarkan Suriah Raya sebagai langkah pertama menuju front persatuan Arab atau (hal ini semakin sering terjadi di tahun-tahun berikutnya) menjadi satu negara Arab. Dengan kata lain, mereka mengadopsi warna pelindung nasionalisme Pan-Suriah yang pragmatis. Salah satu terdakwa di pengadilan SSNP tahun 1962 menyatakan bahwa "pernyataan iman terhadap Suriah Raya, terhadap bangsa Suriah [ummat],... sama dengan keyakinan terhadap bangsa Arab." Suriah merupakan sebuah bangsa. Front Arab terdiri dari banyak negara, termasuk Suriah. (Ketika ditantang oleh kelompok pendukung Pan-Arab untuk membuang semua sisa wilayah Suriah Raya, SSNP tentu saja menolaknya. Mereka melakukannya dengan alasan bahwa pembentukan Negara Suriah Raya merupakan tahap peralihan praktis langsung menuju terwujudnya satu Bangsa Arab.)
Meski pencampuran tema Pan-Suriah dan Pan-Arab menjadi lebih konsisten setelah tahun 1962, ia lama menjadi standar taqiyya partai (baca: cara partai untuk menipu). Pada 1951, 'Isam al-Mahayiri, seorang anggota SSNP di parlemen Suriah, berargumentasi bahwa "pekerjaan kami itu untuk kesatuan Suriah yang Alami [yaitu, Suriah Raya] menjadi landasan bagi setiap pembangunan Pan-Arab yang sehat." Tiga puluh empat tahun kemudian, ketika menjadi pemimpin partai, ia masih mempertahankan sikap tidak jujur yang sama. Dengan mengatakan kepada pewawancara bahwa SSNP dan Damaskus "sepakat mengenai tujuan Pan-Arab yang jelas." Pada 1988, kontradiksi itu masih ada: meskipun memiliki posisi yang kuat dan terkenal, SSNP mengusung slogan "Komitmen terhadap kebijakan perjuangan partai dan pan-Arabisme."
Menginkubasi Politik Radikal
Betapa pentingnya SSNP terletak pada pengaruhnya terhadap berbagai elemen radikal di Lebanon dan Suriah.
Sejak awal berdirinya, ketika Sa'ada menghabiskan waktu untuk mencela para mahasiswa di Universitas Amerika di Beirut, partai itu terutama menarik kalangan elit terpelajar di Libanon dan Suriah. Ia menjadi partai pertama di kawasan yang mengartikulasikan posisi radikal seorang sekuler tanpa ragu atau bias etnis. Bagi banyak pemikir muda paling cerdas dan ambisius, kualitas ini membuatnya menonjol selama sekitar dua puluh tahun setelah didirikan pada tahun 1932. Meski jumlahnya senantiasa sangat kecil (diperkirakan berkisar antara 120 hingga di bawah 1.000 anggota pada tahun 1936), ada daftar yang mengesankan atas para mantan anggotanya yang belakangan menjadi tokoh penting dalam kehidupan Libanon dan Suriah. Ghassan Tuwayni misalnya menjadi penerbit dan politisi Libanon yang berpengaruh.
Penyair Adonis ('Ali Ahmad Sa'id) diketahui jadi anggota SSNP pada masa mudanya.
Elie Salem menjadi menteri luar negeri. Fayiz Sayigh meninggalkan partai untuk menjadi Jurubicara Pan-Arabisme yang tegas, sementara Hisham Shirabi menjadi seorang nasionalis Palestina terkemuka. Salah satu diktator militer Suriah yang paling bertahan lama, Adib Shishakli (1949-1954), adalah mantan anggota partai itu. Yang kedua, Salah Jadid (diktator 1966-1970) kemungkinan juga merupakan anggotanya. Sebagai kepala negara, Shishakli tetap dekat dengan anggota SSNP, termasuk saudaranya Salah al-Din dan 'Isam al-Mahayiri. Dalam kehidupan budaya pun, partai mempunyai pengaruh yang besar. Penyair Adonis ('Ali Ahmad Sa'id) misalnya diidentikkan dengan partai itu pada masa mudanya.
Sebagai sebuah organisasi yang terorganisir baik dan berdisiplin tinggi dengan doktrin yang jelas dan pemimpin yang otoriter, SSNP memiliki kekuatan yang ingin ditiru oleh organisasi lain. Sejumlah mantan anggotanya memanfaatkan apa yang mereka pelajari tentang organisasi politik untuk memulai partai mereka sendiri. Yang termasuk sebagai anggota itu adalah:
(1) Jumblat, pemimpin Faksi Druze di Libanon yang mendirikan Partai Sosialis Progresif (Progressive Socialist Party) pada tahun 1949 setelah melakukan berbagai negosiasi untuk bekerja sama dengan SSNP gagal total.
(2) Shishakli menjadi SSNP sebagai model bagi Gerakan Pembebasan Arab (Arab Liberation Movement) didirikan pada Agustus 1952.
(3) Akram al-Hawrani, seorang tokoh politik kenamaan Suriah selama bertahun-tahun, adalah salah satu anggota pertama SSNP. Selama secara terbuka bergabung dengan partai itu, pada tahun 1936-1938, ia membantu mendirikan Partai Pemuda Nasional (National Youth Party) dan kemudian pada 1939 menjadi pemimpinnya. Hawrani sendiri tidak hanya diam-diam tetap menjadi anggota SSNP tetapi juga berafiliasi dengan Partai Pemuda Nasional. Hawrani akhirnya memutuskan hubungan dengan SSNP dan memutuskan hubungan antara Partai Pemuda Nasional dan SSNP. Seperti dalam kasus Jumblat, negosiasi kerja sama dengan SSNP gagal, sehingga Hawrani mengubah Partai Pemuda Nasional menjadi Partai Sosialis Arab pada Januari 1950. Hanya selama tiga tahun, dia tetap independen, dan akhirnya bergabung dengan Partai Ba'th pada Februari 1953.
(4) SSNP mendapat banyak pengikut di kalangan warga Palestina pada awal tahun 1950-an. Beberapa di antaranya kemudian menduduki posisi tinggi di al-Fath, organisasi Palestina. Menantu Sa'ada, yaitu Fu'ad Shimali berperan penting dalam Tragedi Black September (baca: sebuah tragedi pembunuhan atas para atlit Israel peserta Olimpiade Munchen, Jerman pada 5 September 1972. Pent. JL), Bashir 'Ubayd bekerja erat dengan Fron Populer untuk Pembebasan Palestina. Ahmad Jibril memimpin organisasinya sendiri, Fron Populer untuk Komando Umum Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine). Georges Ibrahim 'Abdallah keluar dari SSNP pada tahun 1965 untuk bergabung dengan Front Populer untuk Pembebasan Palestina (Popular Front for the Liberation of Palestine) pimpinan George Habash.
(5) Pada tahun 1979 atau 1980, 'Abdallah melanjutkannya dengan mendirikan organisasinya sendiri, Fraksi Revolusi Bersenjata Libanon (Lebanese Armed Revolutionary Fraction ---LARF yang lebih dikenal dengan singkatan FARL dalam Bahasa Perancis) yang sebagian besar anggotanya berasal dari SSNP. FARL bekerja sama dengan intelijen Suriah sehingga dianggap bertanggung jawab atas serangkaian aksi teroris di Prancis selama tahun 1980an. Meski tidak memiliki hubungan pribadi secara langsung sekalipun, SSNP sering menjadi model bagi partai politik lainnya. Phalanges Libanaises, sebuah organisasi kaum Maronit yang terkemuka yang didirikan pada 1936, mengadopsi banyak hal dari SSNP. Begitu pula al-Najjada, organisasi Muslim Sunni yang didirikan setahun kemudian. Sebelum mendirikan Partai Ba'th, Michel 'Aflaq dan Salah al-Din al-Bitar rupanya sempat berbincang panjang lebar dengan Sa'ada.
Ahli teori Pan-Arab Abu Khaldun Sati' al-Husri, yang bukan merupakan teman SSNP, menjelaskan alasan yang berkaitan dengan pengaruh ini pada awal tahun 1950-an, katanya; "Sampai saat ini, tampaknya belum ada partai di dunia Arab yang mampu menandingi Partai Nasionalis Sosial Suriah (Syrian Social Nationalist Party---SSNP) dalam hal kualitas propagandanya. Ia membahas persoalan akal dan emosi. Atau dalam soal kekuatan organisasinya, partai itu pun efektif terbuka untuk persoalan yang nyata terang benderang dan yang terselubung. Berkat organisasinya, partai ini berhasil menciptakan arus intelektual dan politik yang sangat kuat di Suriah dan Libanon. Sebelum SSNP, partai-partai politik di Suriah dan sebagian besar Timur Tengah mewakili kepentingan pribadi, meskipun berpura-pura mempunyai tujuan. SSNP adalah partai pribumi pertama yang bersifat ideologis. Oleh karena itu, benar jika seorang sejarawan partai politik di Suriah menyimpulkan bahwa SSNP didirikan di atas "dasar yang sangat berbeda dari partai-partai sebelum dan sesudahnya."
Radikalisme SSNP sangat mempengaruhi sifat nasionalisme Pan-Arab. Di tempat lain di dunia Arab – Arabia, Mesir dan Maghrib – Pan-Arabisme pertama kali berkembang sebagai doktrin sederhana yang menganjurkan hubungan politik yang harmonis dan kerja sama dalam bidang keuangan, kebudayaan dan bidang lainnya (yang dikenal sebagai Pan-Arabisme moderat). Namun di Suriah Raya, Pan-Arabisme memiliki arti yang jauh lebih ambisius dan merusak. Ia menyuarakan penghapusan perbatasan negara dan penggabungan bangsa-bangsa (atau Pan-Arabisme radikal). Tampaknya gagasan terakhir ini dapat ditelusuri kembali hingga kepada SSNP, yang berencana hendak membongkar perbatasan negara yang membagi Suriah Raya kemudian dialihkan ke Negara Arab. Ba'th mengadopsi prinsip-prinsip gaya SSNP pada akhir tahun 1940an dan kemudian menyebarkannya ke Mesir dan ke seluruh negara-negara berbahasa Arab. Pan-Arabisme yang radikal berkembang sekitar tahun 1958 hingga 1967 dan memiliki kepentingan politik yang besar di Timur Tengah pada periode tersebut. Meskipun sudah diambil alih oleh Pan-Arabisme yang moderat, ideologi ini masih diyakini oleh beberapa pemimpin, seperti Muammar Kadafi dari Libya.
Selain ideologi dan organisasinya, pasukan paramiliternya pun setia. Potensi ini memberikan kepada SSNP milisi yang cakap sehingga dia mampu berperan penting dalam kedua perang saudara di Libanon. Pada 1958, mereka mendukung Pemerintah Chamoun melawan pemberontak. Ketika pertempuran dimulai pada 1975, SSNP beralih keberpihakannya dan memainkan peran kecil namun penting dalam koalisi anti-pemerintah.
SSNP menginspirasi banyak upaya untuk menyatukan negara-negara. Pada 1949 saja, ia terkait dengan tiga penguasa militer Suriah yang melakukan negosiasi untuk bersatu dengan Irak, meskipun masing-masing pemimpin tersebut berubah pikiran atau digulingkan sebelum kesepakatan dicapai. Kesediaan SSNP untuk menggunakan subversi dan kekerasan membuatnya mampu menjalin sekutu yang kuat. Setidaknya dalam tiga kesempatan mereka menerima dukungan dari luar untuk melakukan revolusi yang terencana. Suriah membantunya ketika berupaya menggulingkan Pemerintah Libanon pada tahun 1949. 'Abdullah, paman Raja Irak, mendukung SSNP dalam upaya yang gagal pada tahun 1956 untuk menggulingkan Pemerintah Suriah. Selain itu, para perwira militer Libanon pun bergabung dalam kudeta pada bulan Desember 1961 melawan pemerintah mereka sendiri. (Pemerintah Inggris mungkin juga mempunyai peran dalam upaya terakhir ini.) Seperti hampir semua hal yang dilakukan SSNP, insiden-insiden ini tidak membuahkan hasil.
Bahkan jika gagal sekalipun, setiap upaya kudeta ini berkonsekuensi luas. Ambil contoh episode tahun 1949: Pada bulan Juni tahun itu, penguasa Suriah, Husni al-Za'im, menyambut hangat Antun Sa'ada dan berjanji memberikan senjata kepadanya untuk melawan Pemerintah Libanon.
Liputan Harian New York Times seputar penggulingan dan eksekusi mati penguasa Suriah Husni Za'im, pada tahun 1949.
Pertemuan dan janji ini mendorong Sa'ada untuk memaklumkan perang terhadap mereka sehingga mengambil langkah untuk menggulingkan pemerintah. Namun Za'im mengkhianatinya pada bulan Juli 1949. Ia menyerahkan Sa'ada kepada polisi Libanon, yang segera mengeksekusinya. Pengkhianatan Za'im berdampak luas di Suriah dan Libanon. Di Suriah, pengkhianatan ini berkontribusi terhadap penggulingan Za'im sebulan kemudian, karena banyak warga Suriah tersinggung dengan sikap ingkar janji Za'im. Direktur Jenderal Kepolisian pada masa kepemimpinan Za'im, Shishakli, memberikan bantuan penting dalam kudeta tersebut dan segera setelah itu mengambil alih kekuasaan sendiri. Za'im kehilangan nyawanya di tangan seorang tentara yang membalas dendam demi Sa'ada. Di Libanon, Riyad al-Sulh, salah satu tokoh besar politik Libanon dan perdana menteri pada saat Sa'ada tewas, dibunuh oleh seorang anggota SSNP pada bulan Juli 1951. Tindakan Za'im menimbulkan niat buruk terhadap Damaskus yang merugikan hubungan Libanon-Suriah selama bertahun-tahun. Di kedua negara, SSNP mendapat keuntungan menyusul boomerang reaksi yang melahirkan simpati.
Upaya SSNP untuk menggulingkan Pemerintah Suriah pada bulan April 1955 gagal (tentu saja). Namun hal ini berperan penting dalam peralihan Damaskus kepada Uni Soviet. Partai itu memiliki peran penting dalam peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pecahnya perang saudara di Libanon pada tahun 1975.
Sejak akhir tahun 1940-an, Partai Ba'th menjadi saingan terdekat SSNP di Suriah. Persaingan ini menawarkan serangkaian daya tarik serupa kepada daerah pemilihan yang kira-kira sama. Sejarah kedua partai ini, bisa dikatakan, saling berbelit-belit. Hal yang mungkin paling mencolok adalah, setelah terlibat dalam persaingan yang berpuncak pada perseteruan terbuka pada akhir tahun 1950an, mereka menjadi sekutu setia dua puluh tahun kemudian.
Partai Ba'th didirikan pada tahun 1940-an oleh dua guru Suriah dari Damaskus; Michel 'Aflaq dan Salah ad-Din al-Bitar. Partai itu mempromosikan ideologi Pan-Arab radikal yang menyerukan penghapusan negara-negara Arab yang ada dan menggantikannya dengan satu negara Arab. Ba'th muncul sebagai kekuatan besar di Suriah pada 1957 dan anggota partai tersebut telah memerintah Suriah sejak tahun 1963 (dan memerintah Irak sejak tahun 1968).
Pada tahun-tahun awal berdirinya, SSNP dan Partai Ba'th memiliki basis keanggotaan dan cara perekrutan yang sama. Mereka bersaing untuk mendapatkan pengikut terutama dari kalangan minoritas Muslim non-Sunni yang terpelajar dan berpikiran radikal. Para anggotanya cenderung adalah para siswa kelas menengah ke bawah dengan ayah mantan petani yang baru tiba di kota. Meski begitu, Ba'th nampaknya terdiri dari kaum Muslim Sunni yang lebih urban.
Keduanya banyak direkrut dari sekolah menengah negeri (yang merupakan institusi elit pada saat itu). Terutama di wilayah yang didominasi Suku Alawiyah di Latakia dan wilayah Suku Druze di Jabal Druze. Kadang-kadang, seperti di Latakia pada tahun 1940-an, kedua partai mensponsori sekolah menengah yang saling bersaing satu sama lain. Keduanya mengandalkan guru untuk menyebarkan idenya. Ba'th mengklaim sebanyak tiga perempat siswa sekolah menengah di Aleppo dan sel-selnya aktif di seluruh wilayah negara itu pada akhir tahun 1940-an. Di antara mereka, mereka merangkum seluruh sekolah menengah di Suriah.
Menurut Michael H. van Dusen, "pada awal tahun 1950-an, tidak ada satu pun lulusan sekolah menengah atas yang tidak pernah mengenal Partai Ba'th atau SSNP saat masih bersekolah."
Kedua partai menganjurkan program yang menyerukan sekularisme dan kontrol negara terhadap perekonomian. Sekularisme jelas memiliki daya tarik bagi masyarakat yang lama dianiaya karena keyakinan agama mereka. Kendali negara atas perekonomian (baik versi fasis SSNP atau versi sosialis Ba'th) memberikan peluang ekonomi yang menjanjikan.
Keduanya mempunyai banyak kesamaan. Termasuk: keanggotaan elit (sampai tahun 1963, Ba'th dilaporkan hanya memiliki 400 anggota). Bergantung pada metode konspirasi. Memiliki visi yang hendak mengikat kaum tani masuk ke dalam kelas menengah melalui industrialisasi. Berharap untuk bisa mengobarkan revolusi dengan memobilisasi dan memberikan hak kepada masyarakat yang terpinggirkan. Dan, yang sangat penting bagi masa depan Suriah adalah bahwa keduanya terus mempengaruhi perwira militer yang pernah menjadi anggota partai saat masih siswa sekolah menengah. Ketika sebagian besar kalangan bawah mendukung SSNP, para perwira lebih memilih Partai Ba'th.
Anggota komunitas agama yang lebih miskin dan lemah di Libanon dan Suriah menganggap kedua partai ini menarik sehingga bergabung dengan mereka dalam jumlah yang sangat besar. Memang, tidak jarang anggota keluarga yang sama memilih setia kepada SSNP atau Ba'th. Keluarga Jadid, sebuah keluarga dari Suku Alawi, adalah contoh yang menonjol. Dua bersaudara, Ghassan dan Fu'ad, terlibat dalam pembunuhan pejabat Partai Ba'th, 'Adnan al-Maliki yang dilakukan oleh SSNP pada bulan April 1955. Akibatnya, Ghassan sendiri tewas dan Fu'ad dipenjara. Saudara laki-lakinya yang ketiga, Salah, rupanya pernah menjadi anggota SSNP sebelum bergabung dengan Partai Ba'th dan menjadi penguasa Suriah pada akhir tahun 1960an.
Awalnya, SSNP lebih sukses dibandingkan dengan Ba'th. Soalnya, meski keduanya mendapat dukungan dari Suku Alawi, SSNP juga menarik masuk umat Kristen Ortodoks. Kedua partai memperluas keanggotaan dan pengaruhnya pada awal tahun 1950-an. Ba'th berhasil menyusul SSNP kira-kira pada saat itu dan melewatinya beberapa tahun kemudian. Kesenjangan pun semakin membesar. Ba'th akhirnya menjadi partai yang berkuasa di dua negara, sementara SSNP tetap menjadi gerakan kecil yang luas dibenci. Jika ditinjau kembali, tampaknya Partai Ba'th pada akhirnya harus mengalahkan SSNP. Faktor temperamen, intelektual, organisasi dan taktis membantu menjelaskan mengapa Ba'th lebih berhasil.
Dilihat dari segi temperamen, kedua partai berbeda dalam kesediaannya untuk mengakomodasi masyarakat luas, khususnya kelompok Muslim Sunni. Sementara Sa'ada mengikuti logikanya sendiri sampai pada kesimpulannya, Aflaq dan Bitar membentuk ideologi mereka mengikuti arus yang ada. Para pemimpin Ba'th melakukan beberapa upaya untuk menarik Muslim Sunni. Sedangkan anggota SSNP tidak. Karena alasan ini, sebagian besar Muslim Sunni tidak dapat menerimanya. Bergabung dengan SSNP selalu merupakan tindakan yang lebih radikal dibandingkan bergabung dengan Ba'th karena SSNP sepenuhnya menolak tradisi dalam upayanya membentuk tatanan baru. Kontras ini terlihat pada Pan-Arabisme, Islam, dan peran agama dalam politik.
SSNP juga gigih menolak ide nasionalisme Pan-Arab. Dan penolakan itu mengurangi daya tariknya. Pan-Arabisme terasa cocok bagi kaum Muslim Sunni. Sebagian besar daya tariknya terletak pada sikap kompromi yang Pan-Arabisme tawarkan antara aspirasi lama terhadap solidaritas Islam dan dorongan modern untuk kebangsaan. Nasionalisme Pan-Arab tidak terlalu mengecewakan umat Islam dibandingkan dengan jenis nasionalisme lain (termasuk jenis nasionalisme Pan-Suriah). Soalnya, nasionalisme itu sejalan dengan banyak pandangan yang umum ditemukan di kalangan umat Islam yang bisa saja berbasiskan pada hal-hal yang peka dalam Islam. Dipicu oleh karisma Nasser, Pan-Arabisme mendapatkan popularitas yang sangat besar pada tahun 1950-an. Partai Ba'th juga memperoleh popularitas yang sama.
Perlakuan kedua pihak terhadap Islam memberikan perbedaan yang lebih mencolok dalam sikap mereka terhadap partisipasi kaum Muslim Sunni. SSNP mengubah Islam menjadi sesuatu yang tidak dapat dikenali oleh seorang Muslim. Menurut Sa'ada, Islam memiliki dua manifestasi, Keristenan dan Muhammadanisme. Agama-agama itu bukanlah dua agama yang berbeda tetapi dua versi agama yang sama. Sa'ada mengganti doktrin Islam yang biasa dengan doktrin baru berdasarkan prinsip Nasionalisme Sosial. Agama yang dihasilkannya hampir tidak ada bedanya dengan Islam arus utama. Pandangan aneh ini dipaparkan dalam buku Sa'ada, Islam in Its Two Messages: Christianity and Muhammadanism. Sebuah buku yang berupaya menyatukan umat Kristen dan Muslim sekaligus merendahkan substansi iman mereka.
Sebagai perbandingan, pandangan Partai Ba'th terhadap Islam nyaris konvensional. 'Aflaq melihat Muhamad, S.A.W., Sang Nabi bukan sebagai pemimpin agama tetapi sebagai tokoh nasional Arab yang luar biasa sehingga menekankan peran integral Islam dalam pembentukan budaya Arab. Penafsiran ini, yang mereduksi Islam menjadi tradisi non-spiritual, menyinggung perasaan umat Islam yang saleh. Tetapi mereka berhasil mengintegrasikan Islam ke dalam Pan-Arabisme. Lebih jauh lagi, tafsiran ini memaksa orang Arab non-Muslim untuk memberi penghormatan kepada budaya Islam, dan dengan cara ini menyatukan keduanya. Dengan demikian, Partai Ba'th menunjukkan rasa hormat terhadap Islam dan menyelaraskan diri dengan kepekaan kaum Muslim. Program yang dihasilkan tidak terlalu menyinggung sentimen kaum Muslim Sunni dibandingkan dengan SSNP.
Doktrin sekuler Ba'th dan SSNP juga menolak mayoritas Sunni Arab karena sekularisme bertentangan dengan interpretasi tradisional Islam. Tetapi sekali lagi Ba'th lebih selaras dengan sentimen kaum Muslim Sunni. SSNP tidak pernah melepaskan sekularismenya yang anti-agama dan radikal. Sebaliknya, 'Aflaq mengakui semangat Islam dan berusaha mengakomodasinya. Semua alasan ini menyebabkan SSNP tetap menjadi partai minoritas, sementara Ba'th menarik cukup banyak warga Sunni.
Pan-Suriah murni menderita akibat kemiskinan intelektual. Pan-Arabisme (yang radikal maupun moderat) menarik banyak pemikir yang mengembangkan argumen yang kuat dengan nuansa yang berbeda bagi bangsa Arab. Sebaliknya, Pan-Suriah murni hanya dipromosikan oleh Antun Sa'ada dan kelompok pengikutnya yang unik dan berbakat. Kurangnya artikulasi ini menjadi penyebab kegagalan Pan-Suriahisme untuk menjadi ideologi yang memiliki reputasi baik dan menarik banyak pengikut.
Dapat dikatakan bahwa posisi anti-SSNP diartikulasikan lebih baik dibandingkan dengan posisi SSNP. Perhatikan misalnya kasus Abu Khaldun Sati' al-Husri. Husri, mungkin saja ahli teori terkemuka dan eksponen Pan-Arabisme, yang sudah lama menaruh minat pada SSNP. Ia bertemu dengan Sa'ada dan bahkan menulis buku tentang ideologi SSNP. Tentu saja dia tidak setuju dengan paham Pan-Suriah, tetapi dia memandang SSNP dengan serius dan berargumentasi dengan penuh rasa hormat. Namun SSNP, yang belum pulih dari kegagalan kudeta di Suriah pada tahun 1955, memprovokasi Husri. Dan pada tahun 1956, Husri pun menanggapinya dengan bantahan yang kejam terhadap SSNP, sehingga telak memukul SSNP. Bassam Tibi menjelaskan pentingnya peristiwa ini dengan mengatakan: "Serangan besar-besaran yang dilakukan oleh seorang penulis politik berpengaruh seperti al-Husri terhadap SSNP, yang belum memperoleh pijakan yang kuat, sangat merusak perkembangannya. Kritik Husri dimanfaatkan oleh semua penentang partai itu."
SSNP tidak pernah berhasil menarik banyak pengikut di luar Libanon dan Suriah. Sebaliknya, Ba'th mendapat dukungan yang cukup besar di Irak, Yordania, dan negara-negara lain, yang semuanya menambah kekuatannya.
Pada tingkat taktis, Ba'th menunjukkan kecerdikan dan fleksibilitasnya dengan bergabung atau menjatuhkan orang lain (seperti al-Hawrani dan Nasser, misalnya) sesuai kebutuhan. Sebaliknya, SSNP hanya membentuk beberapa aliansi dan tetap terisolasi di antara musuh, dan terus dianiaya.
Seorang anggota SSNP menembak mati Letnan Kolonel Adnan al-Maliki, seorang tokoh kenamaan Partai Ba'th sekaligus salah satu pejabat paling berpengaruh dalam Angkatan Bersenjata Suriah pada tahun 1955. Kasus itu menyebabkan SSNP terus saja merosot di Suriah.
Partai Ba'th terlihat jauh lebih lincah dan sangat jelas terlihat saat mereka cekcok (showdown) dengan SSNP pada tahun 1955. Selama berupaya melancarkan kudeta, seorang anggota SSNP malah menembak Letnan Kolonel 'Adnan al-Maliki, seorang anggota Partai Ba'th terkemuka sekaligus salah satu perwira paling berkuasa dalam lingkungan Angkatan Darat (AD) Suriah. Kematian Maliki lantas menjadi pukulan telak baginya. Para pemimpin Ba'th memanfaatkan keterbukaan politik yang tercipta. Mereka mendorong diadakannya persidangan terbuka bagi publik atas SSNP yang membuat seluruh aktivitas partai—termasuk program dan tujuan mereka—diawasi secara ketat. Seusai persidangan, penganiayaan terhadap SSNP pun dimulai. Itu pun dibuat ilegal (dan tetap demikian sampai sekarang). Perwira non-Ba'th bergabung dengan Ba'th membersihkan anggota SSNP dari dunia pemerintah dan angkatan bersenjata, yang berjumlah sekitar 30 perwira dan 100 bintara (upaya itu diarahkan oleh al-Hawrani, mantan anggota SSNP sehingga pasti membuat mereka semua tersingkirkan). Selain itu, pihak berwenang berupaya menangkap seluruh anggota SSNP di Suriah.
Langkah-langkah ini nyaris benar-benar berhasil. SSNP diusir dari kehidupan politik Suriah dan keseimbangan antara kedua partai pun berubah secara permanen.
Sebuah Alat bagi Damaskus
SSNP dan Ba'th sudah lama menjadi rival ideologis. Meski demikian, keduanya baru menjadi musuh bebuyutan setelah peristiwa Maliki. Permusuhan antara keduanya tampaknya akan terus berlanjut, atau setidaknya sampai Ba'th dihancurkan. Selama perang saudara di Lebanon tahun 1958 misalnya, Ba'th menyerang SSNP dengan cara yang sangat kejam. Ternyata permusuhan mereka tidak berlanjut. Kedua partai sebaliknya, mengalami transformasi ideologi dan politik. Dalam prosesnya, SSNP akhirnya malah menjadi instrumen Ba'th, sementara Ba'th mengambil sebagian konsep ideologi SSNP. Persilangan ini menyebabkan keduanya menjadi sekutu yang dekat namun tetap waspada.
Kegagalan yang spektakuler keduanya alami pada akhir 1961 sehingga memicu terjadinya perubahan. Kita pun lantas menyaksikan betapa gagalnya upaya SSNP untuk menggulingkan Pemerintah Libanon pada bulan Desember. Akibatnya, publik pun menolak gagasan Pan-Suriah murni lalu berlindung di bawah kedok Pan-Arabisme. Hingga satu generasi kemudian, penolakan itu masih terjadi. Partai Ba'th mengalami transformasi yang lebih menyeluruh. Sebuah perubahan lahir dan batin. Dalam kasus ini, perpecahan dipicu oleh pecahnya Republik Persatuan Arab (United Arab Republic) pada bulan September 1961. Dibentuk pada tahun 1958 sebagai penggabungan yang menyeluruh dari Suriah dan Mesir, situasi UAR belakangan segera memburuk. Itu terjadi tiga setengah tahun sebelum para perwira Suriah melepaskan negara mereka dari cengkeraman Kairo. Runtuhnya UAR menyebabkan impian lama Partai Ba'th di Suriah tentang Pan-Arabisme yang radikal tidak dipercaya oleh publik lagi. (Meski demikian, cabang-cabang Partai Ba'th di negara-negara lain, terutama Irak, tidak terkena dampak dengan cara yang sama.)
Kerja keras untuk bersatu dengan Mesir menyadarkan semua orang yang beranggapan bahwa pembentukan persatuan Pan-Arab bakal mudah. Akibat lanjutan lebih jauh lagi adalah bahwa upaya untuk menghilangkan perbatasan antar negara-negara Arab tidak lagi terlihat menarik. Bencana UAR juga memperkuat rasa sebagai warga Suriah berikut keterikatannya terhadap identitas tersebut. Setelah eksperimen UAR, banyak warga Suriah yang sebelumnya menganggap pemerintahan mereka tidak ada artinya kini mulai menghargainya.
Memang benar, ada pemikiran baru yang berkembang di kalangan anggota Partai Ba'th. Namanya Regionalisme. Kaum regionalis menjadikan Suriah (dan bukan negara Arab) sebagai pusat perhatian utama mereka. Begitu intensnya perhatian mereka berikan terhadap Suriah sehingga Sati' al-Husri, penjaga nyala api Pan-Arab, menulis dengan nada tidak setuju tentang "masalah aneh Partai Ba'th yang menjalankan paham Suriahnisme. Michel 'Aflaq, ideolog Ba'th, bertindak lebih jauh. Ia menuduh kaum Regionalis menjalankan nasionalisme yang parokial (iqlimiyya) yang mirip dengan SSNP. Ketika Pan-Arabisme radikal menghilang dari program Ba'th di Suriah dan digantikan dengan Pan-Suriah yang pragmatis, partai itu mengambil bentuk baru. Karena alasan ini, para ahli menjuluki partai itu pada masa pasca tahun 1961 sebagai Neo-Ba'th. Perubahan lebih lanjut dalam pemerintahan hanya menegaskan evolusi partai yang menjauh dari Pan-Arabisme. Bitar mengamati, dengan alasan, bahwa kudeta tahun 1966 "menandai berakhirnya politik Partai Ba'th di Suriah." Michel 'Aflaq pun mengungkapkan sentimen yang sama dengan cara yang lebih tajam: "Saya tidak lagi mengakui partai saya!"
Anehnya, peristiwa pada akhir tahun 1961 mengubah SSNP dan Ba'th menjadi bayangan cermin bagi satu sama lain. SSNP memang tetap mempertahankan doktrin aslinya namun mengadopsi Pan-Arabisme sebagai kedok. Partai Ba'th di Suriah justru mengambil posisi yang sama dengan SSNP tetapi tetap mempertahankan ideologi aslinya. SSNP berbicara seperti Ba'th, Ba'th bertindak seperti SSNP. Namun, ada perilaku yang konsisten. Kedua belah pihak pun melihat ada hal yang menguntungkan untuk mencapai tujuan Pan-Suriah dengan kedok retorika Pan-Arab. Kegagalan tahun 1961 dengan demikian dapat dikatakan berdampak aneh. Ia memaksa masing-masing pihak untuk mengadopsi unsur-unsur ideologi pihak lain. Mantan Duta Besar Inggris untuk Suriah dan Lebanon, David Roberts menilai (observes) bahwa "Ba'th berpisah dari PPS dan benar-benar melarangnya; namun diam-diam menyerap pesan-pesannya." Persilangan ini mencapai puncaknya ketika sejumlah besar anggota SSNP bergabung dengan Ba'th. Dengan ini, Neo-Ba'th menjadi hampir tidak dapat dibedakan dari SSNP.
Penerimaan Pemerintah Suriah terhadap pan-Suriah belakangan mengubah hubungan antara SSNP dan Neo-Ba'th sampai nyaris tidak bisa dikenali lagi. Pergeseran menuju Pan-Suriah dimulai pada 1961 dan mencapai puncaknya pada 1974, empat tahun setelah Hafez al-Asad naik ke puncak kekuasaan. Melalui seorang yang pragmatis dan bukan seorang Pan-Suriah murni (dan mungkin masih seorang Pan-Arab), Asad menyetujui banyak hal penting dalam kebijakan luar negeri SSNP. Dia berusaha untuk membawa keempat negara yang membentuk Suriah Raya di bawah kekuasaan Damaskus. Memang, ketika ambisi sebelumnya terhadap Mesir dan wilayah jauh lainnya memudar, upaya ini lantas menjadi tujuan utama kebijakan luar negeri Suriah. Menurut Laurent dan Annie Chabry, pemerintahan Asad "menggunakan kekuatan Pan-Arabisme untuk menjalankan kebijakan Pan-Suriah seperti yang pernah dipromosikan oleh SSNP."
Kepentingan bersama membuat SSNP menjadi klien Negara Suriah sehingga setelah bersaing selama puluhan tahun, kedua belah pihak menjadi sekutu erat di Libanon pada 1976. Selain terkait dengan meningkatnya kecocokan ideologi, hal ini mungkin ada hubungannya dengan soal pribadi. Keluarga besar Makhluf, keluarga istri Asad, Anisa, memiliki riwayat keterlibatan dengan SSNP. Salah satu kerabat Anisa, 'Imad Muhammad Khayr Bey, adalah pejabat senior SSNP hingga dia terbunuh pada tahun 1980. Rumor di Suriah menyatakan bahwa Anisa bersimpati kepada partai tersebut sehingga mempengaruhi Asad tidak hanya untuk bekerja sama dengan SSNP, tetapi juga supaya lebih positif menilai ide Suriah Raya.
Tidak semua elemen SSNP menerima dukungan Suriah sehingga menyebabkan serangkaian perpecahan yang membuat partai tersebut terpecah-belah menjadi beberapa faksi: Kaum Maois, Kaum Kanan (yang dipimpin oleh George 'Abd al-Masih), dan kaum pro-Suriah. In'am Ra'd memimpin faksi terakhir selama beberapa tahun. Akibat tekanan Damaskus, ia digantikan pada Juli 1984 oleh 'Isam al-Mahayiri, seorang pemimpin Muslim pertama partai kelahiran Suriah. Ra'd cukup patuh. Ia membiarkan dirinya didekati oleh pengunjung asing (seperti Pendeta Jesse Jackson ketika dia mengunjungi Suriah pada bulan Januari 1984). Namun Mahayiri, seorang pengacara keturunan keluarga terkemuka Damaskin, terbukti sebagai agen yang lebih rela memimpin partai.
Mahayiri meremehkan kasus ini ketika dia melihat bahwa "hubungan kami dengan rezim Suriah [dan] Partai Ba'th itu... baik dan sedang berkembang." Faktanya, dia pergi ke Damaskus untuk berkonsultasi dan mungkin untuk mendapatkan arahan. Memang benar, para pejabat Israel dilaporkan percaya bahwa Mahayiri menerima perintah langsung dari Asad. Menteri Pertahanan Israel, Yitzhaq Rabin karena itu secara terbuka menggolongkan SSNP sebagai "sepenuhnya di bawah kendali intelijen Suriah."
Dengan uang dan senjata dari Suriah, milisi SSNP menjadi aktor kecil namun signifikan dalam perang saudara di Libanon. Menurut intelijen Israel, pasukan Suriah membiarkan SSNP bergerak sangat bebas di sana. Sebuah tanda dekatnya hubungan kedua pihak. Menurut Faksi Hizbullah, keduanya bahkan melancarkan aktivitas militer bersama. Sebuah perkiraan menyebutkan kekuatan SSNP pada tahun 1975 berjumlah 3.000 tentara. Jumlah itu cukup besar di Libanon. Hirarki kekuasaan yang jelas serta disiplin yang ketat membuatnya semakin efektif. Seorang pengamat yang berada di lokasi, Harald Vocke, bahkan menyebut milisi SSNP sebagai "unit tempur terkuat" dari pasukan anti-pemerintah setelah al-Fath, yang merupakan "lawan paling penting" dari kelompok Kristen. Pernyataan ini mungkin berlebihan, namun milisi SSNP menjadi semakin penting setelah PLO keluar dari Libanon pada 1982. Ia pun membuka kantor di wilayah yang dikuasai Suriah di Lembah Bekaa dan menguasai sebagian wilayah Lebanon di selatan Tripoli.
Asad juga membiarkan SSNP menggunakan media Suriah untuk mempromosikan pesannya tentang Suriah Raya. Shawqi Khayrallah pun terlibat di dalamnya sebagai penerbit dari pihak Suriah sehingga menjadi contoh nyata dari upaya ini. Ia pernah menjadi editor majalah SSNP pada 1945 yang memahami seluk-beluk kudeta tahun 1961 di Libanon namun belakangan menghilang. Pada 1976, ia mulai menulis tajuk rencana untuk radio dan surat kabar milik Pemerintah Suriah yang mempromosikan konsep Suriah Raya. Pada suatu kesempatan ia menyerukan Libanon diintegrasikan "ke dalam Persatuan Levantine [Mashragi], yang kini dijalin oleh Suriah, Yordania dan [Palestina]." Khayrallah juga berpendapat bahwa kembalinya warga Palestina ke tanah airnya harus didasarkan pada pemahaman bahwa "Palestina itu adalah Suriah bagian Selatan."
Sebagai imbalan atas dukungan ini, SSNP memberikan sejumlah layanan. Ia membantu upaya Suriah dengan menyediakan pangkalan bagi pasukan Suriah di wilayah asalnya di timur Beirut. Asad andalkan sekutu SSNP-nya untuk melakukan operasi yang sangat sulit di Libanon. Ia, misalnya, mengerahkan pasukan SSNP melawan Hizbullah yang didukung Iran pada bulan Juni 1986. Untuk memastikan hasil yang menguntungkan, pasukan Suriah mengambil posisi terdekat lalu melakukan intervensi ketika SSNP membutuhkan bantuannya. Pasukan Suriah di sana pun memperhatikan kepentingan SSNP. Dengan demikian, lima anggota Hizbullah ditangkap pada bulan yang sama atas tuduhan membunuh seorang pejabat SSNP.
Partai ini juga merupakan kelompok Libanon pertama (dan saat tulisan ini dibuat, satu-satunya) yang melihat lebih jauh dari sekadar kehadiran Israel di Libanon yang menyerukan supaya dilakukan serangan di wilayah Israel. Menyebut Zionisme sebagai "sebuah gerakan rasis yang berupaya menghancurkan kita sepenuhnya sebagai sebuah bangsa", SSNP mendeklarasikan dirinya "yang bernafsu melancarkan perang terus-menerus melawan Israel tanpa memperhitungkan Israel mungkin menarik diri keluar dari Lebanon atau tanah Palestina."
Yang paling penting, SSNP terlibat dalam aksi-aksi utama terorisme. Di bawah naungan Asad Khardan, "Komisaris Keamanan" partai itu, serangan bunuh diri pun menjamur. Ehud Ya'ari (yang menyebut SSNP sebagai "organisasi teroris tertua yang pernah ada") memandangnya sebagai "instrumen teror paling andal di Suriah, yang digunakan untuk operasi sensitif dan berbahaya yang berada di luar kemampuan kelompok teror Palestina yang bermarkas di Damaskus."
Jadi, Habib al-Shartuni, orang yang ditangkap karena membunuh Presiden Terpilih Bashir Gemayel pada bulan September 1982 adalah anggota SSNP. Kelompok yang mengaku membom barak Marinir AS pada bulan Oktober 1983 itu menyatakan dukungannya terhadap Suriah Raya, sehingga SSNP kemungkinan besar berperan dalam ledakan ini. Ia mengaku bertanggung jawab atas delapan dari delapan belas bom bunuh diri yang ditujukan terhadap Israel di Libanon selatan antara bulan Maret dan November 1985.
Dengan menuding SSNP sebagai " bertanggung jawab melancarkan serangan spektakuler dan aksi bunuh diri," pasukan Israel lalu membalas serangan mereka pada Agustus 1985. Caranya, dengan menghancurkan markas SSNP di Shtaura. May Ilyas Mansur, anggota SSNP meledakkan bom di pesawat maskapai Trans World Airlines (TWA) pada awal April 1986 yang menewaskan empat penumpang. SSNP juga dikaitkan dengan upaya, yang dilakukan oleh Nizar al-Hindawi hanya beberapa hari kemudian untuk memasang bom di pesawat milik maskapai El Al (milik Israel). Serangan-serangan ini tidak hanya berkontribusi pada keputusan Israel untuk keluar dari Libanon, namun juga berperan penting dalam politik Libanon. Dengan memperlihatkan bahwa Pemerintah Suriah mampu menandingi ganasnya serangan kaum fundamentalis Muslim Syiah terhadap Israel, serangan-serangan ini menambah reputasi Damaskus. Pentingnya keterlibatan Asad dalam serangan bunuh diri terlihat jelas dari perhatian yang diberikannya terhadap serangan itu. Dalam sebuah pidataonya pada Mei 1985, ia secara pribadi mendukung upaya bunuh diri.
Saya percaya akan keagungan mati syahid dan pentingnya pengorbanan diri sejak masa muda saya. Perasaan dan keyakinan saya meyakini bahwa beban berat yang menimpa rakyat dan bangsa kita... hanya dapat dihilangkan dan dicabut melalui pengorbanan diri dan mati syahid. ...Serangan seperti itu dapat menimbulkan kerugian besar bagi musuh. Pengorbanan diri dan mati syahid menjamin hasil, dan jika dilihat dari segi serangan langsung, menyebarluaskan teror di antara barisan musuh, meningkatkan semangat masyarakat sekaligus meningkatkan kesadaran warga akan pentingnya semangat jihad. Dengan demikian, gelombang mati syahid rakyat akan menyusul secara berturut-turut dan musuh tidak akan mampu menahannya. ...Saya berharap hidup saya akan berakhir hanya dengan mati syahid. ... Keyakinan saya akan mati syahid bukanlah sesuatu yang kebetulan dan itu tidak bersifat sementara. Bertahun-tahun mereka memperkuat keyakinan ini."
Berkat sponsor seperti itu, kultus bunuh diri di SSNP mungkin tidak bisa dihindari. Sekolah, jalan, alun-alun dan lembaga-lembaga publik di seluruh Suriah diberi nama sesuai nama pelaku bom bunuh diri. Penyanyi paling populer negara itu, Marcel Khalifa, baru-baru ini memonopoli posisi teratas dalam puncak pawai berkat lagu "kebangsaannya" bagi para pelaku bunuh diri. Kaset video "wasiat" mereka dijual di kios-kios pinggir jalan dan penjualannya senantiasa meningkat pesat.
Seiring dengan semakin konsistennya dengan ideologi SSNP, beberapa kasus "bunuh diri" oleh para anggota SSNP bermunculan dari Suriah. Ketika ditanya mengapa bergabung dengan gerakan Libanon, salah satu pelaku bom menjawab, "Apakah ada perbedaan antara Libanon dan Suriah?" Sebaliknya, seorang gadis Libanon berusia enam belas tahun yang menyerang konvoi Israel pada bulan April 1985 dengan mobil jebakan yang menewaskan dirinya dan dua tentara Israel, membuat rekaman video sebelum beraksi. Dalam rekaman video itu, dia mengirim salam kepada "semua pejuang di negara saya yang dipimpin oleh pemimpin pawai pembebasan yang tabah, Letjen Hafiz al-Asad." Selain itu, dia pun melihat Libanon sebagai bagian dari Suriah.
SSNP juga menyediakan layanan bagi sekutu-sekutu Suriah. Seorang anggota partai menembak mati diplomat top Libya di Libanon. Namanya, 'Abd al-Qadir Ghuka. Pada bulan Juni 1983. Kepada polisi, dia kemudian mengaku bahwa dinas rahasia Suriah mempekerjakannya untuk melakukan serangan atas perintah Kadafi, yang mengira Ghuka bermaksud hendak membelot ke negara musuh. Akibat peningkatan yang substansial uang Libya pada 1986, Kadafi tampaknya berharap bisa menggunakan partainya seperti yang dilakukan Asad, untuk melindungi dirinya dari tanggung jawab langsung atas kegiatan teroris. Aliansi ini ternyata diketahui publik pada bulan Oktober 1987. Ketika SSNP mengumumkan bahwa 250 anggotanya telah mendaftarkan diri untuk berperang setidaknya selama enam bulan dalam perang Kadafi melawan Chad.
Sebagian besar anggota SSNP senang karena rezim Suriah berubah menjadi Pan-Suriah. Setelah berpuluh-puluh tahun mengalami ketegangan dengan Damaskus, akhirnya mereka menemukan sekutu di sana. Yaitu ada seorang pemimpin yang menganut ideologi Pan-Suriah. Pimpinan SSNP memuji "peran persaudaraan dan pengorbanan Suriah yang besar" serta menyimpulkan bahwa Asad benar-benar menginginkan persatuan Suriah Raya. Salah satu anggotanya mengatakan kepada pewawancara: "Kita tidak bisa melupakan bahwa Hafiz al-Asad – Yang Mulia Presiden Suriah – telah berkali-kali menyatakan bahwa Libanon adalah bagian dari Suriah. Bahwa Palestina adalah bagian dari Suriah. Dan jika kita mempercayainya, kita harus melakukannya, karena dia telah menunjukkan semua tanda-tanda keseriusannya. Itu berarti ketertarikannya pada Lebanon sangat tulus. Dia memainkan permainan ini dengan sangat hati-hati dan cerdas."
Kesimpulan
Warisan rasa frustrasi bagaimanapun tidak menghilangkan arti penting Partai Nasionalis Sosial Suriah. Ia berhasil memperkenalkan banyak ide baru ke Timur Tengah. Termasuk di dalamnya memperkenalkan partai yang ideologis, sekularisme politik yang menyeluruh, gagasan kepemimpinan yang fasis dan dedikasi untuk merobohkan perbatasan antarnegara. Ia berhasil menarik masuk sekaligus mempengaruhi sebuah generasi pemimpin di Libanon dan Suriah. Tantangan yang berulang-ulang dilakukannya terhadap Negara Libanon berhasil menjatuhkan prestise dan status pihak berwenang. Milisinya berperan penting dalam perang saudara di Libanon. Melihat kekacauan yang terjadi selama lebih dari setengah abad, David Roberts pun mencatat bahwa "PPS memiliki pengaruh yang menyebar melalui intrik, pembunuhan, dan ideologi yang diperkirakan akan efektif di Levant."
Di satu sisi, SSNP pada tahun 1980an menjadi lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Ia tidak lagi harus bersembunyi sambil merencanakan kudeta rahasia. Sebaliknya, mereka menikmati perlindungan dari salah satu negara paling kuat di Timur Tengah dan mendapatkan kebebasan untuk bermanuver dalam anarki Libanon. Bantuan yang diterimanya dari Suriah mengubah partai dari puing-puing yang nyaris mati menjadi kekuatan yang dinamis. Ehud Ya'ari menulis bahwa "orang-orang yang dilupakan sejak tahun 1940-an atau 1950-an kini muncul kembali berperan sebagai mentor, mumi-mumi politik kembali hidup. Slogan-slogan yang telah sekian lama pudar atau terkelupas di dinding telah dipulihkan dengan cat baru. Dan aura aksi yang melingkupi SSNP sekali lagi menarik generasi muda pada simbol badai merah." Partai ini juga menjaring sumber-sumber baru untuk menjadi anggota, termasuk kelompok Muslim Syiah dan Druze.
Namun implikasi jangka panjang dari aliansi dengan Suriah tampaknya tidak menyenangkan bagi SSNP. Dukungannya terhadap Asad mempunyai konsekuensi yang mahal. Assad berusaha membawa partai itu masuk dalam kendali Damaskus dan menjadikannya sebagai cangkang bagi agen-agen Suriah dan instrumen kebijakan Suriah. Potensi bahayanya jelas. Dengan setuju bekerja sama erat dengan para penguasa Suriah, partai kehilangan kekuatan yang menjadikannya kekuatan penting selama beberapa dekade, yaitu politiknya yang visioner dan kemerdekaan yang kokoh kuat. Keberhasilan Asad dalam mendikte persyaratan membatasi kapasitas SSNP untuk bertindak secara otonom. Jika uang dan senjata dari Damaskus memungkinkan SSNP berkembang untuk sementara, penyerapan oleh negara polisi akan membuat masa depannya suram. Aliansi dengan Damaskus kemungkinan besar mengandung benih kehancuran SSNP.
Mungkin dengan menyadari hal ini, sayap SSNP yang anti-Suriah berusaha menggulingkan 'Isam al-Mahayiri sebagai pemimpin partai pada bulan Januari 1987. Dalam kudeta yang ditandai dengan aksi saling tembak antarfaksi SSNP di markas partai, Jubran Juraysh berhasil menggantikan Mahayiri dan mengancam untuk mengadilinya di hadapan Dewan Tinggi SSNP.
Pemberontakan itu tampaknya khusus dipicu oleh upaya Suriah untuk menggunakan SSNP supaya melawan banyak musuhnya di Libanon seperti faksi Hizbullah, Druze, Bangsa Palestina dan kaum Muslim Sunni. Mahayiri lalu meminta bantuan professional dari para pelindungnya di Suriah sehingga berhasil membangun kembali posisinya pada September 1987. Meski langkah ini membatasi penegasan kembali independensi partai tersebut, pengaruhnya tampaknya sebagian besar sudah ada pada masa lalu.
International Journal of Middle East Studies
Jilid 21, No. 4 (November 1989), hal. 607-610
http://www.jstor.org/stable/164124CATATAN DAN KOMENTAR
Surat ini menanggapi artikel Daniel Pipes berjudul "Radical Politics and the Syrian Social Nationalist Party" (IJMES, Agustus 1988). Artikel Pipes tampaknya lebih berdasarkan rumor dan desas-desus dibanding berbasiskan penelitian dan penyelidikan ilmiah. Tulisannya lebih cocok diterbitkan dalam berbagai jurnal tentang terorisme yang menekankan hal-hal yang sensasional dan retoris daripada persoalan ilmiah yang bijaksana.
Pipes menegaskan – dalam apa yang disebutnya sebagai "catatan yang perlu diperhatikan" (hlm. 304) – bahwa Sa'ada menggunakan kata ijtima'i untuk mengartikan kata sosial, bukan sosialis. Andai Pipes sudah membaca sumber-sumber berbahasa Arab yang diklaimnya telah ia baca, maka ia akan tahu bahwa kata ijtima'iyya pernah digunakan oleh sebagian orang sebagai terjemahan dari kata sosialisme.
Analisanya soal daya tarik partai, yang selama ini selalu terbatas, lemah. Ia menyatakan bahwa "kaum fasis dan simpatisan Nazi berbondong-bondong bergabung dengan SSNP" (hlm. 304). Sikap simpati ini bagaimanapun tidak membantu menjelaskan seruan partai tersebut, yang lebih berkaitan dengan permasalahan yang melekat dalam masyarakat Arab dan bahaya yang dihadapi wilayah Levant. Partai memberikan jawaban yang mudah terhadap permasalahan kompleks yang dihadapi individu-individu yang frustrasi, khususnya anggota elit intelektual.
Kutipan Pipes seringkali tidak akurat. Dia tampaknya memilih kalimat-kalimat supaya bisa menyisipkan catatan kaki daripada mendasarkan pernyataannya pada bacaan yang mendalam dari sumber-sumber berbahasa Arab. Untuk mendukung klaimnya bahwa Sa'ada menentang Negara Libanon "buatan yang tidak berarti" (hal. 305), ia mengutip pernyataan Sa'ada yang merujuk pada "separatisme Libanon", sebuah istilah yang digunakan Sa'ada mengacu pada nasionalisme Libanon versi sayap kanan Phalanges dan bukan pada entitas Libanon itu sendiri. Ia juga salah menempatkan posisi partai itu dalam kemelut persoalan Palestina dengan menyatakan bahwa konflik dengan Israel, menurut partai tersebut, adalah "urusan internal Suriah yang tidak ada urusannya dengan negara-negara Arab" (hal. 306). Hanya orang yang kurang memahami ideologi partai yang akan melontarkan pernyataan seperti itu.
Pipes juga semakin jauh melakukan kesalahan ketika mengklaim bahwa partai tersebut "meninggalkan doktrin fasis dan mengadopsi retorika kaum Kiri yang lebih bisa diterima" (hlm. 310). Memang benar bahwa partai itu mengalami transformasi politik parsial pada tahun 1960an. Namun juga benar bahwa partai tidak pernah meninggalkan doktrin fasisnya. Mulai dari kategorisasi rasial, pemujaan terhadap al-za'im, hingga organisasi internal fasis. Untuk mendukung klaimnya bahwa SSNP menjadi partai sayap kiri, ia hanya menyatakan bahwa Ketua SSNP "sedang menghadiri perayaan ulang tahun Partai Komunis Libanon" (hal. 310), sebuah perayaan yang dihadiri oleh puluhan partai politik.
Di halaman 311, Pipes mencantumkan nama-nama tokoh yang menurutnya merupakan anggota SSNP. Elie Salem, Mantan Menteri Luar Negeri Libanon pun dia masukkan, meskipun tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Salem pernah menjadi anggota partai tersebut, atau partai mana pun. Kalau Pipes punya buktinya, dia seharusnya memberikannya. Yang lebih mengejutkan lagi, Pipes memasukkan Salah Jadid, mantan penguasa Suriah, yang menurutnya "kemungkinan salah satu anggotanya." Tidak ada bukti apapun bahwa Salah Jadid pernah menjadi anggota SSNP. Pipes mungkin saja bingung membedakan Salah Jadid dengan saudaranya.
Pipes salah mengartikan keanggotaan Brigade Revolusi Bersenjata Lebanon (Lebanese Armed Revolutionary Brigades). Ia bukan "Fraksi". Sebagian besar anggota brigade itu berasal dari organisasi komunis ultra-kiri. Bukan dari SSNP, seperti klaim Pipes dalam halaman 311. Untuk membesar-besarkan pengaruh partai, Pipes juga mengklaim bahwa Partai Phalanges "mengadopsi banyak hal dari SSNP " (hal.311). Kenyataannya, karena kedua partai tersebut didirikan pada era yang sama, keduanya dipengaruhi oleh gerakan Nazi dan bukan oleh satu sama lain.
Pada halaman 312, Pipes mengklaim bahwa "Michel 'Aflaq dan Salah al-Din al-Bitar rupanya melakukan percakapan panjang dengan Sa'ada," sebelum mendirikan Partai Ba'th. Untuk mendapatkan informasi ini, Pipes mengandalkan sebuah buku yang ditulis oleh penulis Libanon Mustafa Juha, yang tidak dapat dianggap sebagai sumber terpercaya mengenai masalah ini atau mengenai hal apa pun. Buku-bukunya telah lama dilarang oleh Pasukan Keamanan Libanon karena berisi kebohongan jahat, seperti berbohong soal Nabi Muhammad sebagai orang cabul. Ia juga bersekutu erat dengan faksi ultra-kanan di Libanon dan menulis publikasi propaganda melawan koalisi kiri. Juha tidak pernah mengenal satu pun orang yang dipertanyakan sehingga laporan harus ditutup begitu saja.
Tidaklah tepat untuk menyatakan, seperti yang dilakukan Pipes (hlm. 312), bahwa SSNP memainkan "peran penting dalam kedua perang saudara di Libanon". Faktanya, peran partai dalam kedua perang tersebut sangat kecil dibandingkan dengan partisipasi partai-partai besar lainnya. Juga patut dipertanyakan bahwa "partai itu berperan penting dalam peristiwa-peristiwa yang berujung pada perang saudara di Lebanon pada tahun 1975" (hal. 313).
Pipes juga tidak persuasif ketika mengemukakan pendapat bahwa Hafez al-Asad mengadopsi ideologi partai itu. Alih-alih memahami kebijakan Asad dalam kaitannya dengan Realpolitik, ia malah bersikeras mengaitkan kebijakannya dengan ideologi partai. Dia melakukannya dengan menggunakan informasi tanpa bukti atau kutipan apa pun. Sebagai contoh, ia mengatakan: "Rumor di Suriah menyatakan bahwa Anisa [istri Asad] bersimpati kepada partai tersebut sehingga mempengaruhi Asad tidak hanya untuk bekerja sama dengan SSNP, namun juga untuk mendukung Suriah Raya" (hal. 318). Tidak ada bukti yang diberikan untuk pernyataan yang tidak masuk akal itu. Tidak disebutkan soal penganiayaan yang dialami oleh anggota partai yang bertempur dengan pasukan tentara Suriah yang menyerang, di tangan tentara Suriah setelah masuknya mereka ke Libanon pada tahun 1976.
Klaim Pipes bahwa SSNP terlibat dalam pemboman barak Marinir A.S. sama sekali tidak berdasar. Juga tidak benar bahwa Jihad Islam menyebut "Suriah Raya." Penulisnya mungkin tidak menguasai Bahasa Arab dengan cukup baik, atau terlalu bergantung pada sumber-sumber misterius yang memberinya beberapa pernyataan aneh yang dia buat dalam artikel tersebut. Secara khusus, tidak ada bukti bahwa SSNP terlibat dalam penempatan bom di pesawat TWA pada bulan April 1986. Dan, Pipes tidak memberikan bukti apa pun. Ia juga tidak memberikan bukti atas klaimnya bahwa SSNP terlibat dalam upaya yang dilakukan oleh Nizar al-Hindawi untuk memasang bom di pesawat El AI (baca: Pesawat kargo Boeing 747 milik sebuah maskapai Israel dengan nomor penerbangan 1862 yang jatuh di kawasan Bijlmermeer, Amsterdam-Zuidoost, Amsterdam, Belanda, 4 Oktober 1992. Pent,JL).
Pada bagian terakhir artikelnya, Mr. Pipes mengutip pernyataan-pernyataan pro-Suriah yang dibuat oleh beberapa orang Libanon untuk menggarisbawahi daya tarik SSNP. Dia harus tahu bahwa pernyataan-pernyataan ini dibuat setiap hari oleh warga Libanon yang tinggal di wilayah yang berada di bawah kendali Suriah, karena alasan yang jelas. Bagi Pipes, pernyataan pro-Suriah merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ada kaitan dengan SSNP. Ia juga tidak memberikan bukti atas pernyataannya bahwa SSNP terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap 'Abd al-Qadir Ghuqa, yang merupakan sekutu dekat SSNP.
Akhirnya, aneh bahwa Pipes bersikeras menyebut Sati' al-Husri sebagai "Abu Khaldun Sati' al-Husri." Referensi ini, bagi siapa pun yang menguasai bahasa Arab, itu mubazir.
Garis tegas harus ditarik antara banyaknya literatur tentang "terorisme" dan keilmuan nyata di Timur Tengah. Sangat disayangkan kalimat ini dikaburkan dalam artikel Pipes.
As'ad Abukhalil
Arlington, Va.Jawaban Daniel Pipes:
As'ad Abu Khalil mengkritik mempertanyakan akurasi artikel saya dalam sejumlah poin pemikirannya. Dalam banyak hal dia tidak sepakat dengan tulisan saya (seperti soal alasan permohonan Partai Nasionalis Sosial Suriah dan perubahan yang dialami partai itu pada tahun 1960-an). Itu soal penafsiran. Dengan membatasi diri hanya pada pertanyaan tentang fakta, izinkan saya mengakui bahwa dia benar dalam satu hal. Elie Salem tidak pernah menjadi anggota SSNP. Saya minta maaf atas kesalahan ini.
Namun Abu Khalil salah dalam semua hal faktual lainnya. Tentu saja, ijtima'i pernah digunakan untuk mengartikan "sosialis." Namun istilah itu tidak digunakan di Libanon pada tahun 1930-an. Juga tidak digunakan oleh Antun Sa'ada.
Abu Khalil mempermasalahkan pernyataan saya bahwa SSNP menganggap konflik dengan Israel sebagai "urusan internal Suriah yang tidak ada urusannya dengan negara-negara Arab." Lalu bagaimana dia menjelaskan Sa'ada pernah menulis (seperti dikutip dalam artikel saya, hal. 306) bahwa "Mesir atau Arab tidak perlu ikut serta membela Palestina"?
Apakah Salah Jadid itu anggota SSNP, seperti saya tulis (hal. 311) "mungkin" demikian? Saya tidak dapat memastikannya. Namun informasi saya diambil dari tulisan John W. Amos II bertajuk, Palestine Resistance: Organization of a National Movement (New York: Pergamon Press, 1980), hal. 382, hal. 56. Amos mencatat bahwa Salah Jadid ketika masih muda "tampaknya adalah anggota PPS dan kemudian bergabung dengan Partai Ba'th." Ketika berupaya memverifikasi akurasi pernyataan ini, saya menulis surat kepada Amos pada tanggal 27 April 1988. Sayangnya, saya tidak menerima balasan darinya.
Mengenai Fraksi Revolusioner Bersenjata Libanon (itu namanya yang biasa disebut dalam bahasa Inggris dan bukan Brigade Revolusioner Bersenjata Libanon), saya tidak mengatakan apa pun tentang "banyak anggotanya." Saya hanya menyebutkan Georges Ibrahim 'Abdallah, pendirinya pernah menjadi anggota SSNP. Hal ini tidak dapat disangkal, sebagaimana diakui secara tidak langsung oleh Abu Khalil.
Karena tahu reputasi Mustafa Juha yang bermasalah, saya memperkenalkan dia dengan menggunakan informasi dari bukunya sendiri dengan kata "ternyata," lalu memberikan kutipan tentang dia. Bukunya bertajuk Lubnan fi zilal al-ba'th memuat banyak hal menarik. Tentu saja, fakta bahwa tulisannya yang lain dilarang oleh pemerintah Timur Tengah karena mengandung "kebohongan jahat" bukanlah alasan untuk mengabaikannya. Jika kriteria ini digunakan, kita juga harus mengabaikan buku-buku karya 'Ali 'Abd al-Raziq, Taha Husain, Fazlur Rahman, Sadiq al-'Azm, Mahmud Muhammad Taha, dan sejumlah pemikir terkemuka lainnya. Tampaknya malah pelarangan buku oleh pihak berwenang di Timur Tengah adalah tanda keberanian dan kreativitas.
Sehubungan dengan pemboman barak Marinir AS, Abu Khalil mempertanyakan pemahaman saya tentang bahasa Arab sehingga dia menganggap saya terlalu bergantung pada "sumber-sumber informasi misterius." Namun jika dia melihat lebih dekat pada catatan kaki nomor 61 dalam tulisan itu, dia akan melihat bahwa referensi saya untuk menyatakan peran SSNP dalam insiden tersebut berasal dari Kantor Berita Agence France Presse (AFP). Bukan bersumber pada Bahasa Arab atau misterius!
Abu Khalil mungkin ingin menyangkal peran SSNP dalam pemboman pesawat TWA pada bulan April 1986. Namun wanita yang meninggalkan bom di pesawat itu, May Ilyas Mansur, mengakui dirinya sebagai anggota partai tersebut.
Abu Khalil menganggap aneh jika saya menggunakan nama Abu Khaldun Sati' al-Husri, lalu menggunakan nama ini sebagai dasar untuk menantang pengetahuan saya tentang Bahasa Arab. Ini mungkin hal paling aneh dari banyak protesnya. Soalnya, Husri sendiri biasanya menggunakan nama yang saya kutip. Dan saya sepenuhnya mengikuti kutipan yang sudah dia gunakan. Sebagai misal, lihat saja halaman judul bukunya, Difa" an al-'uruba, Yawm Maysalun, dan al-Iqlimiyya.
Akhirnya, saya harus membahas tema ad hominem (baca: menyerang pribadi Daniel Pipes, pent. JL) yang menyedihkan yang ada di seluruh surat Abu Khalil. Bahasan ini bakal menjadi langkah maju yang besar dalam bidang studi Timur Tengah jika para ahli bisa berbeda pendapat tanpa terlibat dalam sindiran dan hal-hal buruk. Seperti kebanyakan cendekiawan, saya senang belajar dari kritik yang membangun. Namun saya kurang senang dihadapkan pada kecaman seperti yang dilakukan Abu Khalil.
Dan mengapa ada komentar sinis tentang pengetahuan saya tentang bahasa Arab, apalagi Abu Khalil tidak menemukan kesalahan dalam pembacaan teks saya? Mungkinkah kasus ini terkait penutur asli yang mengangkat derajat keahliannya yang lebih tinggi dalam satu bidang yang menguntungkan dia? Lebih buruk lagi, apakah ini upaya penutur asli yang hendak mengatakan bahwa hanya orang yang terlahir sebagai penutur bahasa Arab yang bisa mempelajari sejarah mereka sendiri?
Daripada menyia-nyiakan waktunya dan waktu saya dengan hal-hal sepele ini, Abu Khalil saya sarankan untuk menambah pengetahuan kita tentang Partai Nasionalis Sosial Suriah dengan menulis sendiri tentang organisasi tersebut.
Pemutakhiran 1 Januari 1994 update: Rana Aboud, seorang penulis yang tidak dikenal, membalas artikel ini dengan gaya seorang apologet atau pembela SSNP lewat tulisannya berjudul, "Seek Scholarly Truth not Propaganda." Anehnya, tulisan ini muncul dalam jilid kedua, nomor sebuah jurnal bernama Middle East Quarterly. Ini aneh karena saya editor jurnal baru dengan nama yang sama yang terbitan pertamanya akan terbit dalam beberapa minggu. Saat memberi nama itu, (baca: Middle East Quarterly) saya tidak tahu kalau ada jurnal dengan nama yang sama.
Pemutakhiran 1 April 2007: Eyal Zisser menulis sebuah analisa yang penting. Judulnya, "The Syrian Phoenix: The Revival of the Syrian Social National Party in Syria," dalam Die Welt des Islams, 47 (2007): 188-206. Dia sepakat dengan argumentasi saya bahwa SSNP sudah kalah secara politik tetap menang secara ideologis. Ia mencatat adanya
perpaduan kekuatan (convergence) yang mengejutkan antara Rezim Partai Ba'th yang berkuasa di Suriah dan SSNP, saingan berat historisnya. Keduanya berpadu satu karena SSNP bersedia mengakui sekaligus menerima kekalahan dalam perjuangan politiknya melawan Ba'th. Namun pada saat yang sama, Rezim Ba'th siap menggunakan banyak ajaran ideologi SSNP. Terutama yang bersifat "Historis atau Suriah Raya" yang terkait dengan "Persatuan Suriah." Atau bahkan "Bangsa Suriah," sebagai bagian dari upayanya untuk memperkuat posisinya di Suriah. Sekaligus juga kebutuhannya untuk mendefinisikan kembali keyakinan ideologisnya. Oleh karena itu, di samping kekalahan politik ini, SSNP juga unggul secara ideologis. Tentu saja dalam hal visi Bangsa Suriah. Meskipun dengan jubah Arab. Sebuah bangsa dengan identitas khasnya sendiri yang muncul dari wilayah Suriah.
Pemutakhiran 17 Februari 2009: Partai Nasionalis Sosial Suriah selama beberapa dekade terakhir ini merosot menjadi klien Negara Suriah. Tampaknya partai itu akan tetap tersamar seperti itu untuk sementara waktu.
"Aksi premanismenya baru saja menimpa seorang tokoh Barat terkenal. Namanya, Christopher Hitchens (yang perseteruannya dengan saya kini sudah berakhir). Menurut As'ad AbuKhalil, yang kini menjadi akademisi California State University, Stanislaus menulis:
Atas undangan kelompok Hariri yang berbasis Arab Saudi, Hitchens mengunjungi Libanon. Sebuah sumber mengirimkan kepada saya tulisan ini: "Saya tidak tahu apakah Anda menganggap ini sebagai berita yang layak atau tidak. Tetapi Christopher Hitchens kini berada di Beirut disponsori oleh kelompok yang sama yang memiliki sampah yang KINI bernama Libanon. Sejak beberapa malam lalu dia di sana dan yang mengejutkan dia keluar jalan-jalan mencari minum. Saat keluar dari bar, dia melihat poster SSNP lalu menulis di atasnya "Persetan dengan SSNP". Kebetulan ada beberapa preman SSNP berada di dekatnya. Kemungkinan besar mereka meminta kartu tanda penduduk orang-orang yang lewat. Kemungkinan besar mereka tidak berhasil. Dan ketika melihat Hitchens menulis di poster itu, mereka lalu menendang pantatnya sehingga dengan tertatih-tatih dia melanjutkan perjalanannya."
Pemutakhiran 18 Februari 2009: Harian The Guardian menyajikan kisah insiden ini jauh lebih rinci daripada yang orang perlu dengan tulisannya berjudul, "Christopher Hitchens on Beirut attack: 'they kept coming. Six or seven at first'."
Pemutakhiran 1 Mei 2009: Hitchens sendiri menjelaskan peristiwa itu lewat tulisannya, "The Swastika and the Cedar."
Pemutakhiran 13 Juni 2011: Ali Qanso dari SSNP diangkat menjadi Menteri Luar Negeri Libanon.
Pemutakhiran 27 Januari 2017: Orang tidak bisa meramalkan di mana SSNP akan muncul ke permukaan. Hari ini kita tahu bahwa partai itu mendanai sekaligus menyertai anggota DPR AS Tulsi Gabbard (anggota Partai Demokrat dari Hawai) dan suatu kunjungan yang bernuansa menjilat diktator Suriah Bashar al-Assad.
Pemutakhiran 5 Agustus 2017: Sebuah badan intelijen swasta SouthFront menerbitkan foto-foto yang dikeluarkan oleh SSNP. Foto-foto itu memperlihatkan anggota SSNP berperang atas nama Rejim Assad di kawasan Suweida di Suriah Baratdaya. SouthFront menjelaskan,
Sayap militer SSNP adalah salah satu faksi penting pro-pemerintah yang terlibat dalam konflik yang sedang berlangsung. Anggota SSNP terlibat dalam berbagai pertempuran di Suriah, termasuk di provinsi Latakia, Hama, Aleppo, Homs dan lain-lain.
Perhatikan Bendera SSNP.
Pemutakhiran 20 Agustus 2017: Moussa Oukabir, salah seorang jihadi yang melancarkan serangan atas para pejalan kaki pada 18 Agustus di Cambrils, Spanyol, mempostingkan foto selfie yang terang-terangan dengan logo SSNP berikut tag-line "Yo Soy Siria" (I Suriah).
Pemutakhiran 21 Oktober 2017: Dewan Kehakiman Libanon menjatuhkan hukuman mati secara in absentia kepada para anggota SSNP yang menjadi pelaku pembunuhan atas Presiden Bachir Gemayel. Hukuman itu dijatuhkan 35 tahun setelah pembunuhan berlangsung pada tanggal 14 September 1982. Habib Shartouni (yang diduga masih hidup) dan Nabil Alam (diduga sudah meninggal dunia) dijatuhi hukuman mati. Peleledakan atas markas besar Partai Phalangis juga menewaskan banyak orang lainnya. Arab News melaporkan bahwa sidang pengadilan Dewan Kehakiman
berlangsung dengan pengamanan yang ketat di Istana Kehakiman Beirut. Sesi ini dihadiri oleh dua kelompok, satu kelompok mendukung SSNP dan kelompok lainnya mendukung Pasukan Phalangis dan Libanon. ...Sebelum sidang dimulai, para pendukung SSNP melakukan pawai menuju Gedung Kehakiman. Pasukan keamanan memasang penghalang besi untuk memisahkan mereka dari pendukung Phalangis dan Pasukan Libanon.
Beberapa pengunjuk rasa mengatakan pembunuhan Bachir itu tidak ada hubungannya dengan persoalan pribadi. Tetapi karena dia berurusan dengan Israel dan membantunya menduduki Libanon lalu melakukan pembantaian. "Apa yang terjadi hari ini adalah persidangan politik," kata salah satu dari mereka. Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan mendukung Shartouni, Suriah dan pendiri SSNP Antoun Saadeh. ...
Pengacara Shartouni, Richard Riachi mengatakan: "Yang dilakukan Shartouni itu adalah aksi perlawanan yang dilindungi oleh hukum internasional dan Piagam PBB. Yang dilakukannya itu adalah reaksi terhadap pendudukan Israel di Libanon." Pengadilan "tidak mendengarkan pihak yang dirugikan," tambah Rayachi lagi. "Ini kejahatan politik dengan motivasi yang wajar. Shartouni tidak menerima uang dari pihak mana pun."
Pemutakhiran 27 Oktober 2017: SSNP menerbitkan berbagai foto para mata-matanya di teater kuno Palmyra.
Pemutakhiran 22 Agustus 2019: Amr Salahi mengutip pernyataan Kellie Strom, seorang aktivis yang bekerja pada Lembaga Syria Solidarity UK dalam tulisannya "Tulsi loves Assad: How Syria became a US presidential campaign issue":
Sepertinya posisi Tulsi Gabbard mirip dengan hasil kampanye politik yang jelas nyata di mana kunjungannya ke Suriah didukung oleh para anggota Partai Nasionalis Sosial Suriah (Syrian Social Nationalist Party ---SSNP), sebuah partai mirip Nazi yang pro pemimpin Suriah, Assad. Pengaruh kampanye yang sama pun pernah ditujukan kepada Kerajaan Inggris. Pemimpin SSNP Ali Haidar berperan penting mengatur berbagai perjalanan menuju Damaskus bagi tokoh-tokoh di Kerajaan Inggris, seperti Baroness Cox dan Giles Fraser.
Pemutakhiran 21 September 2021: Saya menulis resensi buku The Rise and Fall of Greater Syria:
A Political History of the Syrian Social Nationalist Party karangan Carl C. Yonker dalam jurnal Middle East Quarterly.Pemutakhiran 24 Januari 2024: Lebanon's Partai Phalangis di Libanon menyerukan supaya Partai SSNP dibubarkan. Seruan itu menyebabkan perang kata-kata antara kedua partai muncul menyusulinya.
Topik Terkait: Sejarah, Libanon, Suriah
Artikel Terkait:
- Is the Hatay/Alexandretta Problem Solved?
- Greater Syria: Another Lion Roars in the Middle East
- Assad's Cunning Game
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL