Daniel Pipes, Gregg Roman, dan Michael Rubin turut terlibat dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Jewish Republican Alliance (Aliansi Orang Yahudi Anggota Partai Republik --JRA) pada 5 Maret 2024 lalu. Mereka masing-masing adalah presiden, direktur dan direktur analisis kebijakan Lembaga Kajian Middle East Forum (Forum Timur Tengah---MEF). Tajuk diskusi, "The New Axis of Evil: Iran, Turkey, and Qatar," (Poros Baru Jahat: Iran, Turki, dan Qatar). Masing-masing pembicara memusatkan pembahasan mereka pada salah satu dari tiga pemerintah Timur Tengah yang bermusuhan secara bergantian.
"Di dunia di mana pencegahan masih menjadi tujuan utama, para pakar Middle East Forum menyajikan analisis dan rekomendasi yang tak tertandingi," kata salah satu pendiri JRA, Bruce Karasik, dalam pengantar diskusi. "Karya mereka menggarisbawahi kebutuhan atas pentingnya tindakan yang jelas dan tegas untuk melawan agresi negara-negara ini, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdamaian dan keamanan yang kita junjung tinggi."
Iran
"Intinya: status quo tidak dapat dipertahankan jika sudah menyangkut Iran," kata Rubin tegas dan langsung. Iran sedang "menyerang" seluruh kawasan ini. Dan "tampaknya hanya tinggal selangkah lagi hendak mengembangkan senjata nuklir."
Banyak pihak di Washington mengabaikan bahaya jika Iran terburu-buru membuat senjata nuklir. Apalagi menggunakannya. Pernyataan yang umum mereka katakan adalah bahwa "Iran tidak ingin bunuh diri." Yang menjadi kekhawatiran Rubin bukanlah bahwa rezim ulama, yang "sudah tidak punya legitimasi di mata rakyatnya" yang menindas demonstrasi massa secara brutal itu merupakan aksi bunuh diri. Namun dia khawatir bahwa rezim tersebut mungkin, atau mungkin menjadi, "sakit parah." Jika negara ini harus runtuh, maka "ia sudah tidak bisa dicegah," jelasnya. Keruntuhan menyebabkan kelompok ideologi puritan di Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) segera mengerahkan senjata nuklir sehingga menjadi bahaya yang sesungguhnya.
Rubin melihat periode yang tidak pasti sekaligus tidak stabil di Iran, bahkan jika rezim tersebut berhasil mencegah pemberontakan rakyatnya sekalipun mengingat bayang-bayang wafatnya Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei semakin terlihat karena pria berusia 85 tahun itu kini menderita lumpuh separuh badan dan sudah dua kali lolos dari penyakit kanker. Ketika Osama bin Laden terbunuh, Ayman al-Zawahiri langsung mendeklarasi diri menggantikannya sebagai pemimpin Al-Qaeda, maka "para penggugat kekuasaan lain pun berlomba-lomba berupaya menunjukkan pertumpahan darah paling banyak, untuk mensponsori serangan teroris paling spektakuler." Dinamika serupa yang terjadi di Iran dapat memicu konflik di Timur Tengah
Rubin menekankan bahwa Washington tidak boleh berdiam diri ketika Iran bergulat dengan masa depan mereka. "Apakah pemerintahan AS berikutnya – entah dari Partai Demokrat atau Republik – siap berupaya memberdayakan rakyat Iran yang mungkin ingin melepaskan diri dari kediktatoran yang mereka jalani selama 45 tahun terakhir? Apakah mereka siap berupaya meminggirkan kelompok Korps Pengawal Revolusioner Islam (Islamic Revolutionary Guard Corps ---IRGC)?"
Rubin menolak asumsi umum bahwa serangan udara AS dapat mengakhiri ancaman nuklir Iran. Serangan udara hanya "memaksa Iran menunda" mengembangkan pembuatan bom sehingga hanya "akan menyebabkan kerugian yang signifikan."
Pertanyaannya kemudian menjadi, "Apakah yang akan kita lakukan untuk memanfaatkan penundaan pengembangan bom nuklir itu supaya bisa menyelesaikan masalah yang memang merupakan sifat dari rezim Iran?" kata Rubin. "Dengan sekedar menggunakan jet dan pilot Amerika untuknya melakukannya...dengan mengorbankan darah dan harta yang sangat besar...maka ia justru menjadi tindakan yang tidak bertanggung jawab."
Qatar
Gregg Roman membahas apa yang disebutnya sebagai "dua langkah lama Qatar." Yaitu upaya emirat untuk pada waktu bersamaan memposisikan dirinya sebagai "sekutu yang sangat diperlukan" Amerika pada satu pihak dan menjadi sponsor utama terorisme pada pihak lain.
Seperti negara-negara Teluk Arab lain, Qatar menyediakan instalasi militer bagi Amerika Serikat (Pangkalan Udara Al Udeid, di luar Doha, misalnya), membeli perlengkapan militer Amerika yang diekspor dan menghabiskan miliaran dolar untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan Amerika. Berbeda dari negara-negara tetangganya, Qatar antusias mendukung dan mendanai ekstremis Islam di seluruh penjuru kawasan. Selain membiayai Hamas dan memberi perlindungan besar bagi para pemimpin puncaknya, Qatar juga menampung mendiang pemimpin spiritual Ikhwanul Muslimin Yusuf al-Qaradawi selama bertahun-tahun, menutup mata terhadap penggalangan dana ISIS dan mendukung kekuatan Islam anti-demokrasi dalam perang saudara di Suriah dan Libya.
Qatar bertindak melampaui batas dalam serangan Hamas pada 7 Oktober terhadap Israel. Dalam insiden itu, 32 warga Amerika tewas (dan setidaknya lima orang disandera). Roman meminta supaya Qatar menghadapi empat reaksi negatif.
Pertama, upaya lobi politik Qatar harus diungkapkan dan pihak-pihak yang menerima lobi harus ditantang. "Jika Anda seorang politisi Amerika, baik dari Partai Republik atau Demokrat, dan Anda memiliki hubungan dengan Qatar, Anda harus bertanggung jawab atas hal tersebut.
Kedua, Qatar, yang telah menjadi donor asing terbesar bagi universitas-universitas Amerika, harus "dikeluarkan dari kampus Amerika."
Ketiga, aset media Qatar yang tersebar luas di Amerika Serikat harus diteliti dan dikendalikan. Al Jazeera memiliki jumlah jurnalis yang jauh lebih banyak di Capitol Hill (baca: kawasan pusat Pemerintahan AS) dibandingkan dengan media lain, sehingga menunjukkan bahwa peran mereka tidak ada hubungannya dengan jurnalisme. Banyak wartawan ini seharusnya ditarik dari sana, kata Roman. "[Media] propaganda Hamas seharusnya tidak dapat beroperasi di jantung demokrasi Amerika."
Keempat, Qatar pasti akan banyak menghadapi "gugatan perdata" (civil actions) dari warga Amerika yang menjadi korban Hamas dan terorisme yang didanai Qatar." Beragam aset Qatar yang berada dalam jangkauan sistem keuangan AS "harus waspada," kata Roman, "karena saya jamin pengacara yang mewakili korban terorisme Hamas akan datang demi para klien mereka."
Turki
Daniel Pipes mencatat bahwa "Jika Iran jelas-jelas merupakan musuh Amerika Serikat dan Qatar tidak terlalu jelas terlihat sebagai musuh, maka Turki tampaknya adalah terlihat sebagai seorang teman. Ia sekutu resmi. Sebuah negara sekutu NATO. Jika sesuatu terjadi pada Turki, kita harus mengambil tindakan tegas untuk membelanya. Demikian juga sebaliknya."
Selama setengah abad antara tahun 1952 dan 2002, ketika pengikut nasionalis Kemal Atatürk memerintah di Ankara, Turki memang teman dan sekutu. "Kebijakan AS terhadap Turki itu sederhana saja...Amerika Serikat memimpin, dan Turki mengikuti." Namun "korupsi dan tidak adanya kompetensi" meruntuhkan lembaga politik Kemalis yang berujung pada terpilihnya Recep Tayyip Erdoğan dari kelompok Islam radikal sebagai perdana menteri (kemudian menjadi presiden, setelah konstitusi yang berubah memperkuat jabatan tersebut). Awalnya Erdoğan bertindak hati-hati, namun akhir-akhir ini ia dengan sangat cepat terus-menerus mengarahkan kebijakan luar negeri Turki untuk melawan kepentingan Amerika. Kini, Turki hanya sekedar sekutu belaka. Seperti Qatar, ia pun aktif mensponsori kelompok Islam anti-Amerika di wilayah tersebut.
Pemerintahan Amerika berturut-turut menutup mata terhadap hal ini dan yakin bahwa "masa lalu yang indah dapat terulang kembali, sehingga kita hanya perlu menunggu Erdoğan [dan] segalanya akan baik-baik saja," kata Pipes. Namun para pembuat kebijakan di AS tidak pahami bahwa Turki telah menjadi sebuah "tempat yang berubah" di bawah Pemerintahan Erdoğan selama 21 tahun:
Itulah pemerintahan diktator. Ya, memang ada Pemilu, dan ada juga Pemilu dalam beberapa hari lagi di Rusia. Namun, tidak banyak artinya. Itulah pemerintahan diktator. Erdoğan telah mengkonsolidasikan kekuasaannya di dalam lembaga-lembaga Turki. Dalam dunia militer, badan intelijen, polisi, peradilan, bank, media, badan Pemilu, masjid, dan sistem pendidikan. Dia punya dinas keamanan swasta. Namanya Sadat. Semacam pasukannya sendiri. Akademisi dan pihak lain yang ikuti melakukan aksi protes dituduh melakukan terorisme dan dijebloskan ke dalam penjara. Seiring dengan menurunnya popularitasnya... dalam tujuh, delapan tahun terakhir, .... pelanggaran Pemilu, dominasi liputan media, penyerangan preman terhadap kantor partai lawan, dan sebagainya semakin meningkat.
Situasi itu berbeda dengan Iran. Meski berada di bawah kekuasaan kelompok Islam radikal selama beberapa dekade, penduduknya justru semakin pro-Amerika. Lawan-lawan politik rezim tersebut selalu bersahabat dengan Amerika Serikat.
Orang Turki sudah anti-Amerika. Ketika [Erdoğan] naik ke puncak kekuasan, lebih dari separuh rakyat Turki kala itu pro-Amerika. Sekarang, mungkin seperenam. Angka itu terus merosot. Anti-Amerikanisme merajalela dalam politik, media, film, buku pelajaran sekolah, dan sebagainya. Yang lebih buruk lagi adalah kaum nasionalis dan sayap kiri lebih anti-Amerika dibandingkan kaum Islam radikal, sehingga negara ini menjadi negara yang sangat tidak bersahabat.
Sebagai kesimpulan, Pipes memperingatkan, "Tidak mungkin Turki kembali menjalin hubungan penuh persahabatan yang ada sebelum tahun 2003 sampai ada perubahan mendasar dalam pemerintahan." Sementara itu, kita harus "menerima bahwa Ankara memusuhi kita, tanpa berkhayal. Ini butuh perubahan sikap yang besar. Turki bukan teman kita. Bukan sekutu kita. Turki adalah negara jahat yang bermusuhan."
Pembawa acara dan pembicara. Ditambah teknisi acara. |
Topik Terkait: Turki, Rakyat Turki dan Kekaisaran Uthsmaniyah
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.