Diwawancarai oleh Ralf Ostner
Global Review: Serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 memunculkan kembali pemikiran tentang Negara Palestina. Bagaimana Anda menilai persoalan ini?
Daniel Pipes: Pemerintah Israel secara bersyarat menerima Negara Palestina pada 2009. Kenyataannya juga Benjamin Netanyahu sendiri mengambil langkah itu. Pemerintah AS juga secara bersyarat menerima Negara Palestina. Dan itu terjadi pada 2002. Saya mendesak warga Israel untuk berhenti berusaha mengambil kembali apa yang telah mereka akui sekaligus mendesak Amerika untuk fokus pada banyak syarat itu yang tidak satu pun terpenuhi.
GR: Warga Gaza jelas menderita. Bagaimana Anda menilai situasi kemanusiaannya?
DP: Hamas menemukan rahasia sukses yang berselubungkan kejahatan. Ia membuat warga Gaza menderita sebanyak mungkin supaya ia sendiri bisa mendapatkan simpati global. Ia terus melakukannya hingga kini, dengan mencuri makanan dari warga, memaksa mereka masuk ke tempat-tempat terbuka dan menyebarluaskan statistik fiktif berulang-ulang di seluruh dunia.
GR: Pada 22 Februari, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menerbitkan sebuah rencana yang menyatakan di Gaza "Urusan sipil dan tanggung jawab atas ketertiban umum akan berbasiskan pada aktor lokal." Apa pendapat Anda tentang pendekatan ini?
DP: Saya antusias dengan rencana itu. Ia membuka pintu bagi Israel untuk bekerja sama secara langsung dengan warga Gaza yang anti-Hamas untuk membentuk pemerintahan baru di wilayah itu. Seperti saya tulis baru-baru ini, "Gaza yang layak dihuni membutuhkan pemerintahan militer Israel yang tegas, yang ketat mengawasi negara polisi seperti yang ada di Mesir dan Yordania. Di negara-negara itu, warga dapat menjalani kehidupan normal selama mereka tidak terlibat masalah dan menahan diri untuk tidak mengkritik penguasa. Dalam kondisi seperti itu, Gaza bisa menjadi layak dihuni dan layak hidup secara ekonomi."
GR: Apakah Anda punya gambaran apakah yang mungkin dilakukan Donald Trump jika dia terpilih kembali menjadi Presiden AS ketika berhadapan dengan konflik Palestina – Israel?
DP: Saya tidak punya gambaran itu. Dia, Donald Trump kebanyakan diam soal Perang Hamas-Israel. Selain itu, rekam jejaknya tidak dapat diprediksi. Kemarahannya pada Netanyahu karena mengakui Joe Biden sebagai presiden sangat mungkin akan merugikan Israel jika Netanyahu menjadi Perdana Menteri Israel pada Januari 2025. Sebaliknya, keinginan Trump untuk membatalkan setiap kebijakan Biden mungkin akan membuatnya lebih mendukung Israel.
Trump dan Netanyahu pada saat hubungan mereka masih baik. Tetapi celakalah Israel jika Trump menjadi Presiden AS dan Netanyahu menjadi Perdana Menteri Israel. |
GR: Apa reaksi Anda terhadap "rencana yang sesuai dengan generasi" (generational plan) yang diusulkan David Friedman yang memberikan kekuasaan yang berdaulat atas Tepi Barat, untuk mencari dana bagi warga Palestina dari negara-negara Teluk Persia, memberi mereka "otonomi sipil maksimum," dan memberi mereka dokumen-dokumen Israel yang mengizinkan warga untuk memberikan suara pada Pemilu lokal dan bukan Pemilu nasional?
DP: Ini varian solusi satu negara yang diusulkan Caroline Glick yang menyerukan Israel untuk mencaplok seluruh Tepi Barat, memperluas kedaulatan Israel atas wilayah itu dan menerapkan hukum sipil Israel di seluruh wilayah itu. Solusi ini menciptakan politik dua lapis yang justru membuka peluang bagi Israel untuk dituduh melakukan apartheid. Friedman membandingkan Tepi Barat dengan Samoa Amerika, Guam, Puerto Riko dan Kepulauan Virgin milik AS dalam sistem AS. Namun contoh-contoh itu menyesatkan dan juga tidak relevan. Konsekuensinya bakal menjadi bencana besar bagi Israel. Di dalam negeri, ia mengoyak tubuh politik. Secara internasional, ia memicu permusuhan besar-besaran. Apakah warga Israel ingin melakukan hal yang sama seperti Afrika Selatan?
GR: Beberapa anggota Partai Demokrat menuntut agar Biden memberlakukan embargo senjata terhadap Israel. Mungkinkah dia memenuhi permintaan mereka?
DP: Biden berada dalam dilema. Dia peduli terhadap Israel namun berharap Israel itu tetap seperti Israel sebelum tahun 1977 dengan Partai Buruh sebagai pemimpinnya. Dia juga punya konstituen sayap kiri yang membenci Israel dan ingin menyakitinya. Upaya untuk mendamaikan ketiga elemen yaitu kelompok pro, kritis dan anti ini akan melahirkan kebijakan yang tidak koheren dan tidak menyenangkan siapa pun sehingga memicu kritik dari berbagai spektrum politik. Saya tidak melihat adanya solusi pada masa datang.
GR: Koridor Ekonomi India-Timur Tengah-Eropa (The India-Middle East-Europe Economic Corridor ---IMEC) diluncurkan pada September 2023 sebagai respons terhadap Inisiatif Sabuk dan Jalan Tiongkok (China's Belt and Road Initiative---BRI). Apa prospeknya dan bagaimana dampak perang di Gaza terhadapnya?
DP: Prospeknya sangat bagus. Soalnya, kondisi geografisnya bisa dipahami. Negara-negara yang terlibat di dalamnya pun relatif stabil. Perang di Gaza telah mendorong kelompok Houthi di Yaman untuk mengubah Laut Merah menjadi zona konflik. Akibatnya, kapal-kapal harus berlayar mengelilingi Afrika dan bukan melintasi Terusan Suez. Situasi ini justru sangat mendorong IMEC.
GR: Saat ini ada perundingan seputar bergabungnya Hamas dengan Otoritas Palestina (PA). Apakah itu berpeluang untuk berhasil?
DP: Perundingan seperti ini telah terjadi berkali-kali namun tidak berhasil. Soalnya, kedua organisasi punya metode dan tujuan yang sama namun berbeda ideologi dan tokohnya. Perbedaan itu menjelaskan godaan sekaligus kegagalan sejauh ini. Persatuan bisa terjadi jika Otoritas Palestina menjadi sangat lemah sehingga Hamas bisa mengatur pengambilalihan kekuasaan dengan semangat penuh permusuhan. Jadi, ya, ada peluang.
GR: Bagaimana Anda pahami fakta bahwa Yahya Sinwar, pemimpin Hamas di Gaza, tidak memberi tahu rekan-rekannya di Turki dan Qatar tentang rencana serangan 7 Oktober?
DP: Saya melihat dua alasan untuk hal ini. Ada unsur perlunya kerahasiaan operasional dan perbedaan taktis. Mengenai poin terakhir, Sinwar lebih kejam dibanding rekan-rekan orang asingnya. Jadi dia mungkin ingin menghindari hak veto mereka. Ngomong-ngomong, menyandera adalah tujuan utama pembantaian 7 Oktober. Pembunuhan itu bersifat sekunder. Saya pikir, jika Sinwar bisa mengulanginya pada hari itu, maka dia akan meminimalkan pembunuhan namun meningkatkan jumlah sandera. Dengan demikian, tidak banyak orang yang marah, tetapi lebih banyak kekuatan tawar-menawar.
Terowongan Hamas di bawah Rumah Sakit Shifa di Gaza. |
GR: Pakar perang perkotaan asal Amerika, John Spencer berpendapat bahwa "Untuk pertama kalinya dalam sejarah terjadi perang terowongan, ... Hamas membangun jaringan terowongan untuk tidak hanya untuk memperoleh keuntungan militer, namun juga keuntungan politik.... Menghancurkan terowongan hampir tidak mungkin dilakukan tanpa memberikan dampak buruk pada penduduk yang tinggal di Gaza." Apakah Anda setuju?
DP: Benar sekali. Pemikiran Spencer sebetulnya menegaskan poin yang lebih besar. Poin bahwa Hamas adalah otoritas pemerintahan pertama dalam sejarah, sejauh yang saya tahu yang sengaja membuat penduduk sipilnya menderita dengan menempatkan terowongan di bawah rumah warganya, sekolah dan rumah sakit. Dan ini bisa menjadi contoh dari taktik ini. Seperti disebutkan di atas, melakukan aksi jahat membuat Hamas justru mendapatkan simpati global.
GR: Bagaimana Anda menilai strategi Iran sejak 7 Oktober, ketika Hizbullah tidak sepenuhnya berperang melawan Israel, Houthi mengganggu perdagangan global, dan Iran sendiri melancarkan serangan terhadap Pakistan?
DP: Negara menjadi sangat berbahaya ketika mereka memperkirakan negaranya sedang merosot dan karena itu bertindak agresif supaya bisa mengambil keuntungan dari kemampuan mereka saat ini. Rusia, Tiongkok dan Iran semuanya cocok dengan pola ini. Vladimir Putin menyerang Ukraina, Xi Jinping mungkin akan menyerang Taiwan, dan Khamene'i bergerak agresif. Serangan Iran terhadap Pakistan merupakan peristiwa geo-politik paling mengejutkan di abad ke-21.
GR: Presiden Türkiye Recep Tayyip Erdoğan aktif mendukung Hamas dan jelas-jelas ingin memiliki peran yang lebih besar dalam politik Palestina. Apa pendapat Anda tentang usahanya itu?
DP: Dia efektif mendukung Hamas. Dalam banyak cara Erdoğan sudah membantu Hamas: menampung personilnya, mendanai aksi-aksi terornya, mengirimkan bahan (ingat kasus Kapal Mavi Marmara), dan mungkin membantunya dengan intelijen. Besarnya ekonomi Turki, lokasi dan keanggotaannya dalam organisasi NATO menjadikannya sekutu penting Hamas. Sampai sebegitu jauh, Erdoğan tidak mendapatkan hukuman yang berarti atas perilakunya yang jahat.
GR: Mengapa Afrika Selatan dan Nikaragua mengajukan tuntutan hukum terhadap Israel, dan bukan terhadap pemerintah negara-negara mayoritas Muslim?
DP: Saya kira Teheran memberi tugas kepada kedua negara untuk menggugat Israel. Soalnya, memprakarsai untuk melakukan gugatan hukum atas Israel itu lebih bergengsi jika dilakukan oleh negara-negara yang jauh dengan populasi Muslim yang sedikit.
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list