Pemutakhiran data mengikuti catatan kaki.
Untuk membaca versi ringkas artikel ini, lihat tulisan bertajuk, "Netanyahu's Bold, Realistic Plan for 'the Day After Hamas'."
"Cukup banyak warga Palestina yang tidak punya pandangan yang sama dengan Hamas."
—U.S. President Joe Biden
Rencana Netanyahu
Rencana "The Day After Hamas" yang aslinya berbahasa Ibrani. |
Pada 22 Februari 2024, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengajukan dokumen pendek kepada kabinet keamanannya. Judulnya, "The Day After Hamas," Kala Hamas Tiada." Pihak kantor perdana menteri menyebut dokumen itu sebagai "prinsip yang mencerminkan konsensus publik yang luas terkait dengan tujuan perang, dan alternatif sipil atas kekuasaan organisasi teroris di Jalur Gaza." Bagian utama dokumen menyatakan bahwa Pemerintah Israel berencana akan bekerja sama pertama-tama dengan warga Gaza untuk membangun kembali wilayah mereka, dan kedua bekerja sama dengan negara-negara Arab yang bersahabat.
Urusan sipil dan tanggung jawab atas ketertiban umum akan bertumpukan pada para aktor lokal yang memiliki "pengalaman manajemen" yang tidak mengidentifikasi diri dengan negara atau organisasi yang mendukung terorisme atau menerima pembayaran dari mereka. Program deradikalisasi akan disebarluaskan dan kembangkan di semua lembaga keagamaan, pendidikan dan kesejahteraan di Jalur [Gaza] dengan semaksimal mungkin melibatkan warga Gaza dengan bantuan negara-negara Arab yang berpengalaman mempromosikan deradikalisasi.
Sebagai langkah menuju program pemerintahan mandiri ini, IDF pada akhir Februari memulai program percontohan yang tidak resmi. Namanya "kantong kemanusiaan". Didirikan di bagian utara Gaza yang sudah dibersihkan dari Hamas, mereka terdiri dari badan-badan pemerintahan lokal yang terdiri dari para pemimpin Masyarakat. Termasuk para pedagang dan pemimpin masyarakat sipil yang dalam tugasnya termasuk mendistribusikan bantuan kemanusiaan dan merevisi kurikulum sekolah. Prosesnya berjalan lambat. "Kami sedang mencari orang yang tepat untuk mengambil tindakan," kata seorang pejabat. "Tetapi jelas bahwa ini akan memakan waktu, karena tidak ada seorang pun yang akan melapor jika mereka mengira Hamas akan menembak kepala mereka."
Perlu dicatat bahwa dokumen yang diajukan 22 Februari 2024 itu tidak menyebutkan nama Otoritas Palestina (PA). Tidak memasukkannya atau mengecualikannya. Secara umum, dokumen itu menghindari isu-isu yang kontroversial. Harian The New York Times mengatakan dokumen itu "ditulis dengan hati-hati untuk menunda keputusan jangka panjang terkait nasib wilayah tersebut sekaligus untuk menghindari konfrontasi yang tidak dapat diubah baik dengan sekutu dalam negeri maupun mitra asing."
Sebuah sumber rahasia memberi tahu saya bahwa rencana itu sangat bergantung pada sebuah laporan bertajuk, "Building Pillars of Peace: An Option for Gaza," (Membangun Pilar Perdamaian: Sebuah Pilihan untuk Gaza)." Itu analisis independen yang diserahkan kepada pemerintah pada bulan Agustus 2014. Laporan ini berisi mekanisme bagi warga Gaza untuk menjalankan urusan mereka sendiri dengan cara membentuk pemerintahan transisi yang juga dihadiri pihak international (Transitional International Presence) berdasarkan Perjanjian Oslo. Laporan ini merekomendasikan pembentukan dua belas Kelompok Kerja Sektor yang bakal menangani dunia pertanian, pendidikan, penciptaan lapangan kerja, lingkungan hidup, kesehatan, infrastruktur dan perumahan, pembangunan kelembagaan, kepolisian, sektor swasta, keuangan publik, pariwisata, serta transportasi dan telekomunikasi. [1]
Kritik
Gagasan bahwa Israel bekerja sama dengan warga Gaza menghadapi dua kritik utama. Satu kritik lebih memilih memasukkan Gaza ke dalam konteks politik yang lebih luas. Presiden AS Joe Biden menyerukan supaya dilakukan "revitalisasi Otoritas Palestina" (Revitalized Palestinian Authority yang disingkat dengan RPA). Oleh karena itu, Jurubicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby menanggapi dingin rencana tersebut. Dikatakannya bahwa "rakyat Palestina harus didengar suaranya dan memberi hak suara... melalui revitalisasi Otoritas Palestina."
PA tentu membenci rencana tersebut. Jurubicaranya, Nabil Abu Rudeineh mencemooh rencana itu sebagai "bermaksud melanjutkan pendudukan Israel di wilayah Palestina dan mencegah berdirinya Negara Palestina." Begitu pula Hamas. Analis Politik Palestina Mustafa Ibrahim pun menolaknya. Ia malah menyebut rencana itu sebagai " visi yang hanya berpusat pada Israel dan kepentingannya, tanpa memperhatikan kemanusiaan atau hak-hak warga Palestina."
Kritik lain mengusulkan skema alternatif. Mohammed Dahlan, seorang politisi Gaza di pengasingan, memperkirakan pemimpin baru Palestina di Gaza (apakah dia sendiri?) akan memerintah dengan dukungan negara Arab. Pemimpin Partai Yisrael Beytenu, Avigdor Liberman, meyakini Mesir harus mengambil alih Gaza "sesuai mandat PBB dan Liga Arab." Natan Sharansky, seorang aktivis demokrasi, berharap Saudi dan Uni Emirat Arab membantu membangun "ekonomi yang mandiri, pendidikan yang normal, perumahan yang normal, dan masyarakat sipil." Hampir 40 persen warga Israel, termasuk dua menteri terkemuka, menginginkan ada pemukiman Yahudi di wilayah tersebut.
Kritik kedua menerima gagasan bahwa Gaza tetap merupakan wilayah terpisah. Namun mereka berpendapat bahwa Israel tidak dapat menemukan "para pelaku lokal" untuk diajak bekerja sama. Mereka mempunyai beberapa alasan untuk menolak optimisme yang relatif yang tersirat dalam rencana Netanyahu.
- Anti-Zionisme sudah berakar dalam dan lama di Gaza. Sejak 1967, buku-buku sekolah di Gaza mendikte siswa dengan anti-Zionisme dengan contoh soal seperti, "Kalian punya lima orang Israel. Kalian sudah membunuh tiga dari mereka. Berapa banyak orang Israel yang tersisa untuk dibunuh?" Dengan kata lain, tragedi berdarah 7 Oktober dibangun berdasarkan landasan yang telah lama ada dan mencerminkan pandangan masyarakat Gaza.
- Apakah kalian lebih mempercayai Israel dibanding dengan rasa takut kalian terhadap Hamas? Khalil Shikaki dari Palestinian Center for Policy and Survey Research menyimpulkan dari jajak pendapatnya bahwa "Israel pada dasarnya tidak akan menemukan siapa pun yang mau menggantikan tentara Israel" sehingga "tidak punya pilihan selain memerintah" Gaza sendiri.
- Beberapa pengkritik teringat pada eksperimen "Liga Desa" Israel pada 1978-82 yang hendak membangun hubungan dengan warga yang moderat di Tepi Barat. Eksperimen ini gagal, justru karena lemahnya dukungan keamanan Israel.[2]
Pejabat senior Hamas, Sami Abu Zuhri, mencemooh upaya Israel untuk menguasai Gaza sebagai hal yang "tidak ada gunanya" dan memperkirakan upaya tersebut "tak akan pernah berhasil". Mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional Israel, Meir Ben Shabbat, sependapat dengan pendapat itu dan memperkirakan bahwa Hamas "jelas akan terus menjadi kekuatan dominan di Jalur Gaza." Surat kabar The Economist menyimpulkan bahwa Gaza akan menjadi "salah satu negara Timur Tengah yang gagal, hancur dan tidak akan pernah bisa dibangun kembali."
Analisis berikut mendukung rencana Netanyahu dan optimismenya implisitnya, [3]. Ia mendukung apa yang saya sebut sebagai Gaza yang Layak Dihuni (Decent Gaza) yang dijalankan oleh warga Gaza yang baik.
Analisis berikut mendukung rencana Netanyahu dan optimismenya yang implisit [3]. Ia mendukung apa yang saya sebut sebagai Gaza yang Layak Dihuni (Decent Gaza) yang dijalankan oleh warga Gaza yang baik. [4] Harapan saya terletak pada kenyataan bahwa warga Gaza sudah mengalami hal-hal mengerikan dan mungkin unik dalam pengalaman manusia: dieksploitasi oleh penguasa mereka sebagai umpan meriam demi kepentingan hubungan masyarakat. Ini berarti, betapapun adanya anti-Zionisnya, sebagian besar warga Gaza membenci Hamas dan sangat ingin terus bergerak maju, bahkan jika itu berarti bekerja sama dengan musuh Zionis, dan siap menjalankan negara polisi khas Timur Tengah.
Hamas vs. Warga Gaza
"Pengalaman mengerikan dan mungkin juga unik" menjadi dasar dari sentimen anti-Hamas. Sepanjang sejarah, para diktator memandang pasukan mereka sebagai drone manusia yang dapat dibuang dan digantikan dengan wajib militer baru. Sikap Rusia yang mengabaikan rekrutan penjara Wagner dalam Pertempuran Bakhmut merupakan contoh penggunaan tenaga kerja murah secara sembarangan. Bagi Presiden Rusia Vladimir Putin, berapa pun banyaknya manusia umpan meriam yang musnah nyaris tidak menjadi masalah, selama garis depan terus bergerak maju. Keuntungan di medan perang membenarkan hilangnya nyawa.
Russia memanfaatkan para tawanan sebagai umpan meriam dalam Pertempuran Bakhmut. |
Lalu ada Hamas, organisasi jihad yang memerintah Gaza sejak 2007. Selama tujuh belas tahun, mereka menerapkan tujuan yang berbeda yang mungkin unik secara historis. Secara sengaja Hamas menyiksa penduduk yang menjadi sasarannya. Alih-alih mengorbankan tentara demi keuntungan di medan perang, mereka justru mengorbankan warga sipil untuk tujuan hubungan masyarakat.
Hamas berulang kali menyerang Israel guna memprovokasi terjadinya perang balasan dari Israel kemudian secara tepat mengharapkan Gaza yang hancur-lebur menderita memperoleh dukungan dari kelompok antisemit dan radikal dari semua aliran. Termasuk dukungan dari kaum nasionalis Palestina, kaum Islam radikal (Islamists), sayap kiri, sayap kanan dan berbagai pemerintahan diktator. Setelah ia menyerang dan Israel membalas, kesalahan atas kekerasan tersebut secara cepat beralih dari Hamas kepada Israel, dan malah menguntungkan Hamas. [5] Anehnya, semakin banyak warga Gaza yang menderita, semakin meyakinkan pula Hamas menuduh Israel melakukan agresi – dan semakin luas dan kuat pula dukungannya.
Untuk memastikan bahwa warga sipil Gaza menderita kelaparan, kehilangan tempat tinggal, terluka dan mati, Hamas menempatkan pasukan dan rudal di masjid, gereja, sekolah, rumah sakit, dan rumah-rumah pribadi.
Untuk memastikan bahwa warga sipil Gaza menderita kelaparan, kehilangan tempat tinggal, terluka dan mati, Hamas menempatkan pasukan dan rudal di masjid, gereja, sekolah, rumah sakit, dan rumah-rumah pribadi. Tokoh politik Emirat, Dirar Belhoul al-Falasi, mengisahkan dalam satu kasus bahwa "Hamas menembakkan roket dari atap rumah sakit, sehingga Israel akan mengebom rumah sakit ini." Hamas menyerukan warga Gaza untuk menjadi perisai manusia. Mereka memarkir kendaraan di jalan untuk menghalangi warga sipil bergerak ke arah selatan dan menghindari bahaya. Ia lalu menembak calon pengungsi.
Pemerintah AS sudah memperhatikan pola perilaku Hamas ini. Pada 2014, diplomat Dennis Ross berkomentar bahwa warga Gaza harus membayar harga yang "sangat mahal" atas agresi Hamas, namun pemimpin Hamas "tidak pernah mengkhawatirkannya. Bagi mereka, sakit dan derita warga Palestina adalah alat untuk dieksploitasi. Bukan kondisi untuk mengakhirinya." Douglas Feith, Mantan Pejabat Tinggi Pentagon, dengan tepat mengatakan bahwa "belum pernah terjadi sebelumnya sebuah partai menjalankan strategi perang untuk memaksimalkan jumlah warga sipil yang tewas di pihak mereka sendiri." Dia karena itu menjuluki cara Hamas ini "bukanlah strategi perisai manusia [tetapi] strategi pengorbanan manusia."
Banyak bukti seperti jajak pendapat, demonstrasi dan pernyataan menunjukkan bahwa warga Gaza sudah memahami strategi Hamas ini sehingga mereka pun menolak menjadi pion mereka dalam jihad yang obsesif dan ilusi.
Warga Gaza vs. Hamas I: Data Jajak Pendapat
Sebagai awal, data jajak pendapat umum membuat strategi Hamas ini menjadi jelas. Untungnya, Washington Institute for Near East Policy mengadakan jajak pendapat umum yang luas pada Juli 2023. Temuan-temuannya mencakup:
- 40 persen warga Gaza melihat Hamas secara negatif.
- 42 persen warga berharap bahwa "suatu hari nanti kami bisa bersahabat dengan Israel karena kami di atas segala-galanya adalah manusia."
- 44 persen sepakat bahwa "Kami harus akui bahwa kami tidak akan pernah bisa mengalahkan Israel dan bahwa perang hanya membuat persoalan merunyam.
- 47 persen mengatakan, Kesepakatan Abraham itu berdampak positif.
- 47 persen mengatakan "akan menjadi lebih baik bagi kami jika kami menjadi bagian dari Israel daripada dalam tanah yang diperintah oleh PA atau Hamas."
- 50 persen menginginkan Hamas supaya "berhenti menyerukan upaya untuk menghancurkan Israel dan sebaliknya menerima solusi permanen dua negara berdasarkan pada perbatasan negara tahun 1967.
- 50 persen sepakat bahwa "Jika Arab Saudi menormalisasi hubungan dengan Israel, maka kepemimpinan Palestina seharusnya juga menormalisasi hubungan sekaligus mengakhiri konflik.
- 52 persen melihat Ikhwanul Muslimin secara negatif.
- 59 persen mendukung "Palestina memulai kembali negosiasi dengan Israel."
- 60 persen mengakui bahwa ketika mereka mendengar tentang perkembangan di Suriah, Yaman dan tempat-tempat lain, "Saya merasa bahwa situasi saya sendiri sebenarnya tidak jelek."
- 61 persen mendambakan lebih banyak pekerjaan Israel ditawarkan di Gaza dan Tepi Barat.
- 62 persen menginginkan Hamas mempertahankan gencatan senjata dengan Israel.
- 63 persen berupaya mencari hubungan pribadi yang langsung dengan rakyat Israel.
- 67 persen meyakini bahwa "Sekarang ini, warga Palestina seharusnya memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan praktis seperti pekerjaan, perawatan kesehatan, pendidikan serta stabilitas wilayah sehari-hari. Tidak memusatkan perhatian pada rencana-rencana politik yang besar atau pilihan untuk melakukan perlawanan."
- 72 persen sepakat bahwa warga Palestina seharusnya lebih banyak melihat kepada pemerintahan negara-negara Arab seperti Yordania atau Mesir untuk "membantu memperbaiki situasi kami."
- 72 persen sepakat bahwa "Hamas tak mampu meningkatkan kehidupan warga Palestina di Gaza."
- 76 persen menginginkan pemerintahan negara-negara Arab supaya "lebih berperan aktif dalam menciptakan upaya damai di Palestina – Israel, menawarkan insentif kepada kedua belah pihak untuk lebih menambil sikap yang lebih moderat."
- 79 persen meyakini bahwa "Sekarang ini, reformasi internal politik dan ekonomi jauh lebih penting bagi kami dibandingkan dengan isu kebijakan luar negeri."
- 82 persen sepakat bahwa "warga Palestina seharusnya lebih keras mendorong untuk menggantikan para pemimpin politik mereka sendiri dengan pemimpin yang jauh lebih efektif serta tidak terlampau korup."
- 87 persen menemukan bahwa "Banyak orang itu semakin sibukan dengan kehidupan pribadi mereka dibandingkan dengan persoalan-persoalan politik."
Survei pendapat umum yang dilakukan oleh Barometer Arab terhadap warga Gaza yang diselesaikan sehari sebelum 7 Oktober mengkonfirmasi hasil ini sekaligus menemukan bahwa;
Warga Gaza lebih cenderung menyalahkan kepemimpinan Hamas atas kesulitan material yang mereka alami dibandingkan pada blokade ekonomi Israel. ... Secara keseluruhan, 73 persen warga Gaza menginginkan penyelesaian damai terhadap konflik Israel-Palestina. Menjelang serangan Hamas pada 7 Oktober 2024 lalu, hanya 20 persen warga Gaza yang mendukung solusi militer yang bisa mengakibatkan Negara Israel hancur.
Lembaga jajak pendapat itu menyimpulkan bahwa,
Alih-alih mendukung Hamas, sebagian besar warga Gaza justru frustrasi akibat tidak efektifnya pemerintahan kelompok bersenjata itu karena mereka mengalami kesulitan ekonomi yang ekstrim. Kebanyakan warga Gaza juga tidak sejalan dengan ideologi Hamas. Berbeda dengan Hamas, yang bertujuan menghancurkan Negara Israel, mayoritas responden survei lebih menyukai solusi dua negara dengan Palestina merdeka dan Israel yang hidup berdampingan.
Amaney Jamal dari Universitas Princeton (AS), yang turut terlibat dalam survei pendapat umum Arab Barometer memperkirakan bahwa 27 persen warga Gaza memilih Hamas sebelum 7 Oktober. Gershon Baskin, seorang anggota sayap kiri Israel yang memiliki banyak hubungan dengan orang-orang di Gaza, pun sepakat: dukungan sebelum 7 Oktober terhadap Hamas jauh di bawah 30 persen "karena mereka telah mengalami 17 tahun Pemerintahan Hamas di Gaza."
Sementara itu, menurut jajak pendapat Palestinian Center for Policy and Survey Research yang dilakukan enam minggu setelah 7 Oktober, dukungan warga Gaza terhadap Hamas mencapai 42 persen. Jadi ada sedikit peningkatan dibandingkan tiga bulan sebelumnya yang mencapai 38 persen. Dengan kata lain, pembantaian atas warga Israel memang sedikit meningkatkan dukungan terhadap Hamas namun sebagian besar warga Gaza menolaknya.
Warga Gaza vs. Hamas II: Demonstrasi
Jajak pendapat umum di daerah Gaza yang brutal mungkin rentan dimanipulasi; manifestasi lain menegaskan sentimen anti-Hamas. Berbagai demonstrasi yang melibatkan masyarakat umum menjadi salah satu contoh nyata.
Sebuah video yang memperlihatkan ratusan warga Gaza yang dievakuasi dari utara ke selatan Gaza menunjukkan mereka meneriakkan kata-kata, "Ganyang Hamas." Di luar Rumah Sakit Syuhadah Al Aqsa di Kawasan Deir al-Balah, warga Gaza utara yang mengungsi menuntut Hamas supaya membebaskan sandera Israel, berhenti bertempur dan melakukan langkah-langkah yang memungkikan sandera kembali ke rumah mereka. Anak-anak memegang kertas putih bertuliskan "Ya untuk mengembalikan para sandera." Para pengunjuk rasa berteriak
Rakyat ingin perang berakhir! Kami percaya kepada Allah, Dia pendukung terbaik kami! Kami tidak menginginkan kupon [makanan]! Kami ingin hidup! Kami ingin pulang ke rumah, ke Beit Lahia! Kami ingin pulang ke rumah, ke Al-Shati! Kami ingin pulang ke rumah, ke Jabalia!
Berbagai video demonstrasi di Rafah menunjukkan warga Gaza mengutuk Hamas dan Yahya Sinwar. Unit 504 Direktorat Intelijen Militer Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defence Forces ---IDF) puluhan ribu kali berbicara lewat telepon dengan warga Gaza, mendesak warga sipil untuk mengosongkan daerah pertempuran. Selama dalam perjalanannya pun mereka akhirnya belajar tentang perlawanan lokal terhadap Hamas, seperti ketika penduduk setempat mengusir Hamas ketika faksi itu berupaya merebut rumah mereka.
Kondisi kawasan Remal di Kota Gaza pasca-serangan udara Israel, 9 Oktober 2023. |
Isu Hamas mencuri bantuan kemanusiaan sangat memancing emosi.
- Setelah seorang pria Hamas bersenjata menembak mati Ahmad Barika yang berlari menuju truk yang menyalurkan bantuan di Gaza Selatan, pihak keluarga almarhum mengutuk Hamas, membakar ban dan Kantor Polisi Polisi Hamas serta berjanji mau membalas kematiannya."
- "Seseorang yang diberitahu petugas Hamas karena menerobos antrean untuk mendapatkan roti, mengambil sebuah kursi lalu memukulkannya pada kepala petugas itu."
- "Ada berbagai bentrokan terjadi antara anggota Hamas dan warga sipil terkait dengan persoalan perbekalan. Warga sipil melontarkan kata-kata kotor kepada orang-orang yang bersenjata."
- "Masyarakat yang marah melemparkan batu ke arah polisi Hamas yang menerobis antrian untuk mendapatkan air dan meninju mereka hingga mereka lari berpencar."
Laporan lebih lanjut menunjukkan bahwa "Beberapa warga Palestina secara terbuka menentang otoritas Hamas... dalam kejadian yang tidak terbayangkan sebulan yang lalu." Adegan-adegan tersebut antara lain:
- "Tengah malam, ratusan orang [bersembunyi di tempat penampungan PBB] berteriak menghina Hamas, meneriakkan bahwa mereka ingin perang diakhiri" ketika "roket Hamas meluncur ke arah Israel."
- Warga Gaza "secara terbuka mengkritik Hamas di depan kamera TV" dan menyebut Hamas sebagai "pengkhianat rakyat Palestina".
- Warga "berdoa agar Israel menghancurkan Hamas dan mereka menyuarakannya dengan lantang."
- Pengungsi di bagian selatan Gaza biasanya saling menyapa dengan ucapan "Semoga Tuhan membalas dendam terhadap Hamas."
Warga "berdoa agar Israel menghancurkan Hamas dan mereka menyuarakannya dengan lantang."
Dalam sebuah adegan yang disiarkan langsung di televisi, seorang pejalan kaki mengganggu pidato seorang Jurubicara Hamas. Sambil mengacungkan tangannya yang diperban ke udara dia berteriak, "Semoga Tuhan meminta pertanggungjawaban kalian, Hamas!" Klip kejadian ini yang banyak dibagikan itu menyebabkan Hamas mengeluarkan ancaman secara publik: "Kami peringatkan agar tidak menerbitkan gambar, video, atau bahan apa pun yang menyinggung citra tabah dan persatuan rakyat kami di Gaza." Untuk mencegah protes, JNS melaporkan, Hamas "menerjunkan personel keamanan ke berbagai pusat pengungsi, sekolah dan lokasi lainnya."
Secara keseluruhan, Mayjen. Rasan Aliyan, yang mengepalai kantor penghubung Pasukan Pertahanan Israel dengan Palestina, mencatat "semakin banyak bukti adanya kritik terbuka yang disuarakan oleh penduduk Gaza terhadap organisasi teroris Hamas."[6]
Warga Gaza vs. Hamas III: Berbagai Wawancara
Sebuah survei terhadap pers mendorong Bassam Tawil dari Gatestone Institute menyimpulkan bahwa warga Gaza yang anti-Hamas "hampir sepenuhnya diabaikan oleh media arus utama di Barat." Media Arab juga "punya kebiasaan mengabaikan warga Palestina mana pun yang berani mengkritik Hamas." Tetapi, tetap saja, pandangan para pembangkang bermunculan.
Wawancara media langsung yang disiarkan Al Jazeera dan media Arab lainnya secara tidak sengaja menyiarkan kebencian terhadap Hamas dan pendukung negaranya.
- Seorang lelaki tua yang terluka: Para anggota Hamas "datang bersembunyi di antara warga masyarakat. Mengapa merka bersembunyi di antara warga masyarakat? Mereka kan bisa pergi ke neraka dan bersembunyi di sana." Sang wartawan pun langsung menghentikan wawancaranya.
- Seorang gadis muda: "Hamas membahayakan masyarakyat Gaza. Para penempurnya bersembunyi dalam terongan sementara warga sipil Gaza menjadi korban perang."
- Seorang wanita tua di Khan Yunis ditanya tentang bantuan asing: semua bantuan "masuk ke [terowongan] bawah tanah. Tidak semua orang mendapatkannya.... Hamas membawa semuanya itu ke rumah-rumah mereka." Dia lalu mengakhiri wawancaranya dengan pernyataan penolakan: "Mereka boleh tangkap saya, tembak saya atau lakukan apapun yang mereka inginkan pada saya."
- Seorang laki-laki di jalan: "Semoga Allah menyelesaikan masalah ini dengan Qatar dan Turki." Pada titik itulah, sang pewawancara pun memotong kata-katanya.
Warga Gaza berisiko berbicara kepada para wartawan asing.
- Seorang pria, 56: "Setiap menit orang sekarat. Hamas satu-satunya pihak yang menarik kami terjebak masuk dalam pusaran perang ini."
- Seorang penata rambut dari utara Gaza, kini sedang berlindung di Selatan. "Terkutuklah Hamas. Semoga Allah menjadi saksi saya. Jika saya melihat Ismail Haniyeh, saya akan menghajarnya dengan sandal saya."
Kadangkala, mereka bahkan membiarkan diri mereka sendiri diidentifikasi, sebagaimana terlihat dalam sebuah laporan Daily Beast.
- Hasan Ahmed, 39: "Tidak ada demokrasi di Gaza jika kau ingin berbicara menentang Hamas atau pemerintah de facto mereka. Kami takut mereka akan menangkap kami selama perang, atau setelah perang jika kami berbicara menentang mereka. Mereka dapat dengan mudah membunuh dan bahkan mengatakan kepada dunia bahwa kami adalah mata-mata."
- Salam Tareq, 33: "Para pencuri Tengah tersebar luas di daerah kami. Mereka mendatangi rumah-rumah kosong yang ditinggalkan, bahkan rumah-rumah yang sebagiannya hancur, dan mencuri segala sesuatu yang ada."
- Um Ahmed, 55: "Hamas sudah tidak didukung di Gaza."
Warga Palestina menentang selebaran Hamas yang dipasang soal sandera Israel. |
Mereka juga mempublikasikan pandangan mereka. Seorang pemuda Gaza yang penuh semangat membuat video di Internet untuk mengkritik Hamas karena mengabaikan kepentingan penduduk Gaza. Terutama karena dia tidak merencanakan konsekuensi mengerikan yang terjadi pada tanggal 7 Oktober. Unit intelijen Israel 504 mengumpulkan banyak pendapat tentang Hamas, seperti: "Kami' sekarat. Mereka malah menyelamatkan diri mereka sendiri." Proyek "Voices of Gaza" dari Pusat Komunikasi Perdamaian (Center for Peace Communications --- CPC) mengumpulkan pernyataan-pernyataan pahit dari kehidupan nyata warga Gaza.
- "Saat Hamas mendistribusikan bantuan, hanya anggota Hamas yang mendapatkan bantuan tersebut." Hal yang sama juga berlaku pada sistem layanan kesehatan di Gaza, di mana "para keluarga Hamas mendapatkan perlakuan istimewa." Sementara itu, kebutuhan paling mendesak warga Gaza "bisa ditunda untuk waktu yang lama agar loyalis Hamas mendapat perawatan terlebih dahulu."
- "Hamas bertanggung jawab atas seluruh perang, namun kami yang menanggung akibatnya."
- "Mengakhiri keberadaan Hamas adalah tuntutan baik dari kaum tua maupun kaum muda di Gaza."
- "Kami menyambut setiap perubahan yang akan menyelamatkan kami dari kemarahan yang disebut Hamas."
Warga Gaza yang tinggal di luar negeri dapat berbicara terus terang. Terutama mengenai topik sensitif yang dibicarakan oleh pemimpin Hamas Yahya Sinwar, dalang utama serangan 7 Oktober. Seorang warga Gaza di pengasingan mengatakan bahwa warga Gaza "terkejut" dengan serangan itu dan menyebut Sinwar sebagai "orang bodoh gila. ... Kami tahu bahwa Hamas memulai perang ini. Apa yang dilakukan Sinwar itu bunuh diri." Secara keseluruhan, "Masyarakat sudah sangat lelah dengan perang. Sudah cukup – berapa banyak perang lagi? Cukup." Dalam video interogasinya oleh Pemerintah Israel, Yousef al-Mansi, Mantan "Menteri Komunikasi" Hamas mengkritik Sinwar: dia "merasa dirinya di atas semua orang lain" dan "mengkhayalkan diri sebagai orang yang agung." Lebih jauh,
Masyarakat di Jalur Gaza mengatakan Sinwar dan kelompoknya menghancurkan kita. Kita harus singkirkan mereka. ... Belum saya lihat ada orang di Jalur Gaza yang dukung Sinwar. Tidak ada yang menyukai Sinwar. Siang dan malam ada orang yang berdoa agar Tuhan membebaskan kita darinya.
Secara keseluruhan, katanya, Hamas "menghancurkan Jalur Gaza, mengembalikannya kepada 200 tahun yang lalu." Mkhaimar Abusada, seorang ilmuwan politik di Universitas Al-Azhar di Gaza melarikan diri dari Gaza. Ia melaporkan "banyak kritik beredar di kalangan warga Palestina bahwa serangan 7 Oktober – pembunuhan warga sipil Israel, wanita dan anak-anak – itu adalah kesalahan strategis yang memprovokasi Israel untuk masuk dalam perang saat ini." Dia memperkirakan itu. "Setelah perang usai, kalian akan mendengar semakin banyak kritik terhadap Hamas." Bahkan warga Gaza yang tinggal di Gaza berani melemparkan racun kepada Sinwar:
Saya ingin sampaikan pesan kepada Pemerintah Hamas. Semoga Tuhan membalas dendam padamu [dan] mengutuk nenek moyangmu. ... Semoga Tuhan mengutukmu, hai Sinwar, anak anjing. Semoga Tuhan balas dendam padamu, kamu menghancurkan kami. ... Kembalikan para tahanan [Israel] [kembali ke Israel]. Itu anjing-anjing yang kau miliki ini. ... Sinwar ada di bawah tanah. Bersembunyi bersama [Muhammad] Deif dan semua yang menjijikkan lainnya.
Pengunjuk rasa anti-Sinwar lainnya menyerukan diadakan "revolusi orang-orang yang lapar" (revolution of the hungry). Akhirnya seluruh massa meneriakkan keluhan terhadap Sinwar dan para pemimpin Hamas lain, yang dilaporkan menyebabkan pasukan Hamas menembaki para demonstran.
Banyaknya data ini menunjuk kepada mayoritas warga Gaza yang kukuh menginginkan pembebasan dari tirani Hamas.
Secara keseluruhan, banyaknya data ini menunjuk kepada mayoritas warga Gaza yang kukuh menginginkan pembebasan dari tirani Hamas. Memang hanya sedikit warga Gaza menerima Israel. Banyak dari mereka tetap setia pada konsep "perlawanan." Meski demikian, Joseph Braude dari CPC berpendapat, "mayoritas menentang bentuk perlawanan Hamas. Yaitu, memulai perang yang tidak dapat mereka menangkan sambil bersembunyi di bunker dan membiarkan warga sipil menanggung akibatnya." Lebih jauh lagi, meskipun menentang Israel "sejumlah besar warga Gaza punya pandangan pragmatis mengenai kerja sama jika hal tersebut memberikan manfaat nyata bagi mereka. Para pragmatis ini bergabung bersama kelompok minoritas yang meyakini hidup berdampingan sebagai prinsip, sehingga menjadi basis dukungan yang kuat bagi pemerintahan pasca-Hamas manapun yang berkomitmen melakukan rekonstruksi." Bersama-sama, mereka "menunjukkan bahwa masa depan yang berbeda, lebih cerah, dan lebih damai mungkin saja terjadi."
Dukungan bagi Gaza yang Layak Dihuni
Ada pesimisme yang besar mengenai kondisi Gaza yang layak dihuni. Meskipun demikian, prospek ini mendapat dukungan yang kuat. Bassam Tawil menemukan bahwa walau "banyak warga Palestina terus mendukung Hamas," semakin banyak dari mereka yang "menyesalkan apa yang dilakukan teroris Hamas dan bersedia berbicara tentang masalah ini." CPC juga melaporkan bahwa jaringannya di Gaza mencakup "sejumlah besar pendidik, intelektual, dan aktivis yang menentang Hamas dan mendukung perubahan serta pembangunan yang sistemik. ... Kemungkinan Gaza untuk mengalami masa depan yang cerah bergantung pada rencana cerdas untuk memberdayakan mereka dan warga Gaza lain yang memiliki keinginan yang sama untuk mencapainya." Aktivis hak asasi manusia di Tepi Barat, Bassam Eid, berharap bahwa "Israel akan segera membebaskan Gaza dari Hamas. Setelah perang, hal terbaik yang harus dilakukan adalah menyerahkan Gaza kepada rakyatnya sendiri untuk diperintah." Klan-klan yang berdiam lima distrik Gaza harus mengambil alih kendali. "Biarkan suku-suku besar itu memerintah kotanya sendiri. ...Suku-suku itu akan memberikan keamanan yang sangat baik kepada Israel."
Jalur Gaza ada setelah Perang Kemerdekaan Israel. Ia terdiri dari 141 mil persegi (atau 365 kilometer2). Kira-kira sebesar wilayah Omaha, Nebraska, Amerika Serikat. |
Para pemimpin negara-negara Arab, menurut sebuah laporan, mendukung Gaza pascaperang yang tidak diperintah oleh "Abbas maupun Hamas." Abbas disuruh menjauh, Hamas pun diberitahu bahwa "Tidak satu dolar pun akan mengalir selama Anda menguasai Jalur Gaza."
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken bahkan pemikiran seperti ini: "Kita tidak bisa kembali kepada status quo, dengan Hamas yang menguasai Gaza. Kita juga tidak bisa membiarkan... Israel menguasai atau mengendalikan Gaza. ...Di antara dua pihak tersebut... terdapat berbagai kemungkinan perubahan sedang kami amati dengan cermat saat ini." Blinken ingin Israel "menjadi mitra para pemimpin Palestina yang bersedia memimpin rakyatnya dan hidup berdampingan secara damai dengan Israel." Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly setuju: "Jika memungkinkan, langkah menuju kepemimpinan Palestina yang cinta damai adalah hasil yang paling diinginkan" di Gaza.
Banyak warga Israel yang ikut mendukung pemikiran ini. Mordechai Kedar dari Universitas Bar-Ilan sudah lama mendukung Israel untuk merundingkannya dengan berbagai klan Palestina. Setelah membandingkan keberhasilan Uni Emirat Arab dengan tujuh klannya, dengan bencana di Suriah, Irak, Lebanon, Sudan, dan Libya, ia lalu menyimpulkan bahwa satu klan per pemerintahan menawarkan "cara terbaik untuk mendirikan negara di Timur Tengah." Ia menemukan, negara-negara seperti itu memperjuangkan stabilitas dan kemakmuran, bukan musuh. Mereka tidak memerlukan "musuh eksternal seperti Israel untuk menyatukan semua kelompok menjadi satu bangsa." Anggota Knesset Moshe Saada menginginkan hal serupa: "Seorang mukhtar [petua desa] setempat akan mengatur kehidupan sipil di setiap daerah. Tidak akan ada pemerintah pusat."
Shaul Bartal dari BESA Center meramalkan ada dua tahap yang harus dilewati setelah pasukan Israel merebut Gaza: Pertama, ada "pemerintahan militer Israel yang sepenuhnya" dan kedua, adanya "integrasi kekuatan lokal dan regional, termasuk pasukan militer, dalam pemerintahan yang baru dibentuk." Dia melihat pemerintahan ini terdiri dari unsur-unsur Palestina, Mesir, dan lainnya. Jonathan Rynhold dan Toby Greene dari Universitas Bar-Ilan ingin Israel bisa merencanakan "bagaimana mereka dapat menggabungkan unsur-unsur birokrasi yang ada ke dalam tatanan politik pasca-Hamas yang stabil." Glen Segell dari Universitas Haifa berharap bahwa "warga Palestina yang terpelajar dan kompeten" akan membentuk komite lokal yang "mengambil alih pengelolaan fasilitas umum seperti air, listrik, pendidikan, dan kesehatan bersama-sama dengan IDF." Natan Sharansky meyakini bahwa hanya masyarakat Palestina yang bebas di mana orang-orangnya "menikmati kehidupan normal, kebebasan normal, kesempatan untuk memilih dan memiliki hak asasi manusia sendiri" yang dapat menjamin keamanan Israel. Sebuah jajak pendapat menunjukkan 21 persen warga Israel mendukung Pemerintahan Palestina seperti itu.
Analis politik Amerika pun sependapat. Robert Satloff dari Washington Institute for Near East Policy berharap bahwa "dari krisis ini muncul peluang... untuk menjadikan sebuah pemerintahan yang berfungsi baik di Gaza yang mengutamakan kebutuhan warganya, bukan ideologi para penguasanya." Mantan pejabat pemerintah Lewis Libby dan Douglas J. Feith mencatat bahwa bagi warga Gaza yang menentang Hamas, bulan-bulan mendatang akan memberikan peluang, karena dunia luar akan dengan penuh semangat membantu "Warga Gaza yang berani mengambil sikap mendukung pemerintahan baru yang jujur dan menghormati rakyatnya" dan lebih memilih damai melalui kompromi bersama dengan Israel." Jeff Jacoby, kolumnis Boston Globe, melihat Pemerintahan Israel "secara eksplisit berkomitmen mau memelihara masyarakat sipil yang sehat" sebagai jalan terbaik menuju "pemerintahan mandiri yang efektif dan damai."
Kesimpulan
Israel masuk akal dapat berharap untuk bisa menemukan sejumlah besar warga Gaza yang siap bekerja sama dengannya untuk membentuk otoritas baru di Gaza yang mulai mengembalikan mereka ke kehidupan normal. Warga Gaza ini akan mengemban berbagai tugas: kepolisian, fasilitas umum, layanan kotamadya, administrasi, komunikasi, pengajaran, perencanaan kota, dan sebagainya.
Pemikiran ini mungkin terdengar hanya angan-angan. Namun perlu diingat bahwa masyarakat Gaza belum lama ini pernah menjalani kehidupan yang layak di bawah Pemerintahan Israel. Gaza dan Tepi Barat pada tahun 1970-an, dalam kenangan sejarawan Efraim Karsh, "merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat keempat di dunia. Lebih unggul dari 'negara-negara ajaib' seperti Singapura, Hong Kong, dan Korea, dan jauh melampaui Israel sendiri." Bidang kedokteran, listrik, sekolah, literasi—semuanya berkembang pesat. Warga Gaza mendapatkan manfaat dari lemari es, air bersih yang mengalir, dan masih banyak lagi. Warga Gaza tidak kebal terhadap pesona kehidupan normal.
Sayangnya, Israel gagal membina hubungan dengan warga Gaza yang relatif bersahabat dan tidak memiliki mitra yang baik di Gaza pada periode pertama pemerintahannya, pada 1967-2005. Kemudian, dalam sebuah aksi bodoh yang bersejarah, mereka menyerahkan wilayah tersebut kepada Yaser Arafat, sang pelaku genosida. Kesalahan selanjutnya lagi, Israel tidak hanya mengizinkan Hamas yang jauh lebih mengerikan dari Yaser Arafat untuk menguasai Gaza setelah tahun 2007, namun juga mendorong penyandang dana eksternal seperti Qatar.
Sebut saja entitas baru ini nanti sebagai Otoritas Palestina yang Direvitalisasi (Revitalized Palestinian Authority) jika kau mau. Namun entitas tersebut tidak boleh berhubungan apa pun dengan Otoritas Palestina yang kejam dan berkuasa di sebagian Tepi Barat. Badan-badan Arab atau internasional juga tidak boleh mengambil bagian dalam pemerintahannya.
Gaza yang layak dihuni berarti ada pemerintahan militer Israel yang keras mengawasi negara polisi yang tangguh seperti yang ada di Mesir dan Yordania.
Gaza yang layak dihuni berarti ada pemerintahan militer Israel yang keras mengawasi negara polisi yang tangguh seperti yang ada di Mesir dan Yordania. Negara-negara di mana orang dapat menjalani kehidupan normal asal tidak membuat masalah dan tidak pernah mengkritik penguasanya. Gaza bisa menjadi layak huni, tidak berperang dengan tetangganya, dan layak secara ekonomi. Akankah bangsa Israel mempunyai kecerdasan dan stamina untuk mewujudkan hal ini? Bisakah mereka mengambil sesuatu yang positif dari tragedi tersebut?***
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah) sekaligus seorang pengarang. Buku terbaru karyanya, Islamism vs. The West: 35 Years of Geopolitical Struggle (diterbitkan oleh Wicked Son, 2023). © 2024 by Daniel Pipes. All rights reserved.
[1] Teks yang lebih rinci berbunyi: Beberapa hari pasca-Perjanjian Oslo mulai diberlakukan, Kelompok Pengarah Multilateral perundingan multilateral mengenai perdamaian Timur Tengah membentuk Komite Penghubung Ad Hoc (Ad Hoc Liaison Committee ---AHLC). Komite itu menjadi mekanisme koordinasi utama yang terkait dengan kebijakan dan masalah politik yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. AHLC kemudian membentuk Komite Koordinasi Bantuan Lokal (Local Aid Coordination Committee --- LACC) untuk mendelegasikan proses koordinasi donor. Pada gilirannya, LACC membentuk dua belas sub-komite, yang dikenal sebagai Kelompok Kerja Sektor.
[2] Eksperimen-eksperimen itu mengingatkan orang pada Dewan Pemerintahan Irak, sebuah pemerintahan sementara yang disponsori Amerika di Irak yang hidup sejak pertengahan tahun 2003 hingga pertengahan tahun 2004. Pemerintahan yang dimaksudkan hendak mewakili unsur-unsur etnis, agama dan ideologi ini gagal mendapatkan legitimasi. Ia malah dianggap sebagai sebuah pemerintahan yang diciptakan oleh A.S.
[3] Terlepas dari pernyataan saya yang seolah-oleh menjadi mantra dan sering diulang-ulang yang pesimis untuk membangun karier seorang spesialis Timur Tengah.
[4] Artikel ini dibuat berdasarkan versi awal, "A Decent Outcome Is Possible in Gaza," Wall Street Journal, 17 Oktober 2023.
[5] Ditambah lagi, "Kementerian Kesehatan Gaza," alias Hamas, mengeluarkan angka korban yang tewas yang mengecilkan kerugian yang diderita Israel. Sebagai contoh, jumlah 1.200 warga Israel yang dibantai pada 7 Oktober dinilai tidak banyak artinya dibandingkan dengan kemungkinan sekitar 30,000 warga Gaza yang tewas pada akhir bulan Februari, seperti yang diberitakan secara langsung oleh media terkemuka dunia.
[6] Untuk bisa memperoleh lebih banyak lagi contoh kritik warga Gaza terhadap Hamas, lihat kumpulan kritik yang diterbitkan oleh MEMRI dalam tulisan bertajuk "Meningkatnya Kritik terhadap Hamas dan Para Pejabatnya oleh Warga Gaza: Mereka Membawa Perang yang Tidak Perlu Atas Kita; Hidup Kita Tidak Berharga di Mata Mereka; Kita Ingin Melihat Akhir dari Permusuhan" Hamas." Tulisan itu juga memasukkan publikasi MEMRI sebelum 7 Oktober yang "mengeluhkan pemerintahan Hamas yang tidak efektif, korup dan tirani serta kesenjangan antara masyarakat Gaza dan para pemimpin Hamas di luar negeri, yang hidup dalam kemewahan dan tidak peduli dengan kehidupan warga Gaza."
Tambahan 1 Maret 2024: (1) Pernyataan lengkap yang dikutip dalam paragraf pembuka tulisan ini terkait dengan masa masa depan otoritas di Gaza (yang sudah ditambahkan poin-poinnya).
Urusan sipil berikut tanggung jawabnya bagi ketertiban umum akan berbasiskan pada;
- Para pelaku lokal yang punya "pengalaman manajemen" dan tidak teridentifikasi atau menerima pembayaran dari negara atau organisasi yang mendukung terorisme dari mereka;
- program deradikalisasi akan dikembangkan di semua lembaga keagamaan, pendidikan, dan kesejahteraan di jalur [Gaza] dengan sebanyak mungkin melibatkan bantuan negara-negara Arab yang berpengalaman dalam mengembangkan deradikalisasi;
- Israel akan berupaya menutup Badan Pekerjaan dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi di Timur Dekat (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East---UNRWA) yang lembaganya terlibat dalam pembantaian tanggal 7 Oktober, dan yang sekolahnya mengajarkan terorisme dan penghancuran Israel. Israel akan berupaya mengakhiri kegiatan UNRWA di Jalur Gaza dan menggantinya dengan lembaga bantuan internasional yang bertanggung jawab.... dan
- Rehabilitasi wilayah Jalur Gaza hanya akan mungkin dilakukan setelah selesainya demiliterisasi dan dimulainya proses deradikalisasi. Rencana rehabilitasi akan dibiayai dan dipimpin oleh negara-negara yang dapat diterima oleh Israel.
(2) Khaled Abu Toameh menambahkan lebih banyak bukti yang terkait dengan rasa tidak bahagia warga Gaza bersama Hamas dalam tulisannya bertajuk, "Palestinian Leaders Have Brought a Nakba to Their People."
Topik Terkait: Konflik & diplomasi Arab-Israel, Israel Victory Project, Warga Palestina
Artikel Terkait:
- The Palestinian Economy in Shambles
- Palestinians Don't Deserve Additional Aid
- Lift the "Siege" [on the Palestinian Authority]?
receive the latest by email: subscribe to daniel pipes' free mailing list
The above text may be cited; it may also be reposted or forwarded so long as it is presented as an integral whole with complete information provided about its author, date, place of publication, and original URL.