Judul yang diterbitkan dalam WSJ: "Netanyahu Decides, and Haniyeh Is Gone"
Israel mengikuti dua kebijakan yang berlawanan terhadap Hamas sejak 7 Oktober 2023 lalu. Menghancurkan organisasi itu sekaligus membuat kesepakatan dengannya. Pendekatan dua jalur yang tidak menguntungkan ini menimbulkan banyak kerugian bagi Israel. Pembunuhan Ismail Haniyeh pada hari Rabu lalu mungkin saja menandai berakhirnya sikap ragu-ragu yang berkepanjangan ini.
Kebijakan Israel sebelumnya adalah memenangkan perang atas Hamas. Kebijakan itu menarik perhatian banyak kalangan dan karena itu ia sering diutarakan dengan tegas oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Saya hitung ia menyebutkan 182 kali kata "menang perang" dalam 63 pernyataan terpisah. "Kemenangan kami adalah juga kemenangkan Anda," katanya pada 6 Juni lalu di televisi Prancis. "Kemenangan kami adalah kemenangan Israel melawan antisemitisme. Ini kemenangan peradaban Yahudi-Kristen melawan barbarisme. Ini kemenangan Prancis."
Netanyahu berbicara tentang "kemenangan yang menyeluruh", "kemenangan total", "kemenangan yang jelas", "kemenangan yang absolut", "kemenangan yang menentukan", dan "kemenangan yang penuh". Dia karena itu, ia mengenakan topi baseball "Total Victory" dalam penerbangannya menuju AS. minggu lalu dan pada kunjungannya dengan Donald Trump.
Tetapi Netanyahu juga mengambil kebijakan yang berlawanan. Bernegosiasi dengan Hamas dan membiarkannya bertahan hidup dengan imbalan pembebasan sandera Israel. Ketika menyepakati tawar-menawar dengan Hamas, Netanyahu pun memperhatikan tuntutan dua pihak lobi yang kuat. Negara-negara Barat dan negara-negara Arab menginginkan ada kesepakatan soal sandera. Soalnya, mereka menganggap kesepakatan itu sebagai cara terbaik untuk mencegah konflik mahadahsyat regional. Pertempuran sudah melibatkan Iran, Suriah, Lebanon, Yordania, Arab Saudi, Gaza, Laut Merah dan Yaman. Berbagai pemerintahan itu mengkhawatirkan bahwa semakin meluasnya perang justru bakal melibatkan pasukan mereka.
Lobi dalam negeri menekan Pemerintah Israel untuk mengutamakan pemulangan sandera. Para anggota lobi pun lantas berpawai di jalan-jalan, menduduki parlemen, merekrut anggota partai oposisi, sambil terus mengulang-ulang berbagai teori konspirasi. Para pemimpin militer pun dilibatkan di dalamnya. "Pembebasan semua sandera adalah misi tertinggi perang ini, sebelum misi lain dilakukan dan menjadi prioritas utama kami," ujar Mayor Jenderal. (res.) Noam Tibon ketika berbicara kepada para peserta pawai. Mayor Jenderal. (res.) Amos Gilad juga mendeklarasikan: "Kemenangan perang atas Hamas tidak mungkin terjadi jika belakangan ternyata tidak semua upaya dilakukan untuk menyelamatkan para sendera. Pertukaran sandera adalah persoalan keamanan nasional."
Nyaris selama hampir 10 bulan, Netanyahu tidak memperlihatkan sikap tegas (equivocated) antara memenangkan perang atau mendapatkan kembali sandera. Dia memerintahkan militer menyerang Gaza sehingga sangat mengurangi kemampuan Hamas bahkan ketika dia mengirim para utusannya ke kota-kota asing untuk membuat kesepakatan dengan Hamas. Dia berbicara tentang "kemenangan total" sambil berusaha untuk tidak memprovokasi sekutu asing atau musuh dalam negerinya. Sikapnya yang ragu-ragu juga mencegah kemungkinan runtuhnya koalisi pemerintahan selama masa perang. Netanyahu dengan demikian menunda mengambil pilihan-pilihan sulit.
Namun jika sikap ragu-ragunya itu mempunyai logika internal, maka hal ini terjadi karena ada tiga konsekuensi penting yang bakal terjadi. Pertama, sikap ragu-ragunya membuat para sandera semakin menderita. Mereka tidak akan dibebaskan. Baik melalui kesepakatan atau melalui kemenangan Israel. Tikvah, sebuah organisasi keluarga sandera karena itu mengatakan: "Cara paling benar dan efektif untuk merebut kembali para sandera adalah dengan memberikan tekanan tanpa kompromi terhadap Hamas, hingga para sandera menjadi beban bagi Hamas dan bukannya sebuah aset."
Kedua, keragu-raguannya memperburuk pertikaian pendapat di kalangan Negara Yahudi sendiri. Perdebatan yang tak ada habisnya di kalangan warga Israel menjadi memanas. Bahkan menimbulkan kekerasan.
Ketiga, sikap ragu-ragu Netanyahu merusak keamanan warga Israel. Negara yang pernah menerapkan mantra "tidak akan bernegosiasi dengan teroris" dan melakukan serangan Entebbe (Uganda) pada tahun 1976, kini malah mengatakan kembalinya sandera sebagai "misi tertingginya." Sikap ini menyebabkan penculikan dijadikan sebagai alat peperangan yang ampuh dan secara implisit mengundang penculikan yang lebih lanjut.
Drama dan keberanian yang luar biasa untuk melakukan (chutzpah) pembunuhan atas Ismail Haniyeh dalam kunjungan seremonialnya ke Iran tampaknya mengakhiri keragu-raguan tersebut. Netanyahu sudah menantang. Ia menunjukkan bahwa Israel berniat hendak menghancurkan Hamas dan menang. Bukan lagi bernegosiasi dengan Hamas dan membiarkannya terus bertahan hidup.
Seperti biasa, memenangkan perang itu membutuhkan keberanian dan pengorbanan yang lebih besar. Ini pilihan yang jauh lebih sulit. Dan, seperti biasa, ia membuat orang berhasil.
Tambahan pada 31 Juli 2024: (1) Menariknya, Dan Perry menawarkan interpretasi yang berlawanan dengan interpretasi saya seputar Haniyeh dan pembunuhan lainnya yang Israel lakukan (terhadap tokoh Hizbullah di Beirut): "Netanyahu bisa saja memanfaatkan pembunuhan ini sebagai cara untuk tunduk kepada tekanan ini tanpa terlihat lemah, namun secara hipotetis mempercepat negosiasi untuk mengakhiri permusuhan militer dan membawa pulang ke negara para sandera yang tersisa."
(2) Tepat pada waktunya, Eyal Kalderon, sepupu dari Ofer Kalderon yang tengah ditawan Hamas mengatakan bahwa "Para sandera pertama-tama harus menjadi prioritas. Kemudian kita pastikan untuk menegakkan keadilan dan menangani semua teroris di dunia. Tetapi para sandera harus menjadi prioritas pertama."
Untungnya, Tzvika Mor, salah seorang pendiri Forum Tikvah untuk Keluarga Sandera (Tikvah Forum for Families of Hostages) dan ayah dari tawanan Hamas Eitan Mor justru mengatakan sebaliknya: "Musuh Israel harus tahu bahwa kita kuat. Juga bahwa kita tidak takut kepada mereka. Dengan melakukan hal-hal seperti ini akan membuat mereka sadar bahwa kami siap untuk berperang. Saya pikir ini perkembangan yang sangat positif."
Pemutakhiran 2 Agustus 2024: Saya memuji "keberanian dan pengorbanan" Israel dalam tulisan yang diterbitkan Wall Street Journal di atas. Ketika menanggapi kebijakan Israel yang sama, Steven Erlanger dalam tulisannya di New York Times justru menggambarkan Israel sebagai negara yang tampaknya "berubah menjadi jahat."
Pemutakhiran 3 Agustus 2024: Mengonfirmasi argumen saya di atas, Stasiun Televisi Israel Channel 12 melaporkan bahwa Netanyahu memukul meja mengecam tim keamanan nasionalnya, termasuk Menteri Pertahanan Yoav Gallant, Kepala Staf IDF Herzi Halevi, dan Kepala Shin Bet (Dinas Keamanan Umum yang kerap disamakan dengan FBI di AS), Ronen Bar: "Kalian lemah. Kalian tidak tahu cara melakukan negosiasi yang sulit. Kalian katakan apa yang tidak saya katakan. Alih-alih menekan perdana menteri, tekanlah Sinwar." Kemudian, seperti dijelaskan oleh Times of Israel,
Para kepala keamanan dilaporkan meninggalkan pertemuan dengan kesimpulan
bahwa pada titik ini Netanyahu tidak menginginkan ada kesepakatan. Televisi
[Channel 12] mengutip sumber-sumber dari pihak keamanan yang tidak disebutkan
namanya yang mengatakan bahwa Netanyahu tetap keras kepala "meski telah kami
jelaskan kepadanya bahwa lembaga keamanan dapat menangani konsekuensi dari
kesepakatan tersebut." Sumber yang tidak disebutkan namanya itu juga dikutip
menegaskan, "Dia (baca: Netanyahu) tidak ingin lagi membahas soal sandera."
- Pipes adalah Presiden Middle East Forum dan pengarang buku "Israel Victory: How Zionists Win Acceptance and Palestinians Get Liberated."