Seperti orang normal lain, saya pun menyambut gembira kematian Hassan Nasrallah yang jahat namun cakap. Ia memimpin Hizbullah. Itu organisasi Islam yang mendominasi Libanon. Sebagai agen Republik Islam Iran. Nasrallah pula yang mengubah Hizbullah menjadi kekuatan paling kuat di negara itu. Dunia dengan demikian menjadi tempat yang lebih baik tanpa dia. Salut bagi Israel karena berhasil melakukan keajaiban intelijen dan angkatan udara yang mengagumkan lainnya.
Hassan Nasrallah. |
Dengan pujian itu, saya sekaligus mengkritik langkah ini sebagai kesalahan yang mungkin saja tengah terjadi: Langkah ini justru mengalihkan perhatian Israel dari medan perang utama. Terkait dengan Gaza melawan Hamas.
Sudah setahun ini, Israel menanggapi kekejaman 7 Oktober 2023. Padahal, ia tidak siap perang hari itu. Pemerintah Israel pun tidak berencana menyerang Hamas, yang relatif sedikit kemampuan intelijen atau kepemimpinannya. Israel juga tidak siap menghadapi lobi domestik dan asing yang kuat yang mendesak agar pengembalian sandera menjadi prioritas pertama.
Berbagai keterbatasan ini membuat operasi Israel di Gaza bisa dikatakan tidak sepenuhnya berhasil. Ya, para teknisi militer mungkin memuji taktik perang Israel. Tetapi persoalannya, kepemimpinan Hamas tetap kohesif. Pejuangnya tetap aktif. Kendalinya atas penduduk cukup utuh. Dukungan internasionalnya pun lebih tinggi dibanding sebelumnya. Tanpa bermaksud terlampau melebih-lebihkannya, kemajuan yang biasa-biasa selama satu tahun itu sangat berbeda dengan keberhasilan Israel memulangkan tiga pasukan negara besar dalam (perang) enam hari pada tahun 1967.
Yang semakin memperburuk keadaan Israel adalah, Hizbullah bergabung dalam konflik itu sehari setelah 7 Oktober. Semangatnya yang meluap-luap ingin membantu Hamas, membuatnya menyerang wilayah utara Israel dengan 8.000 roket dan rudal. Menghancurkan properti, membunuh orang, dan memaksa dilakukannya evakuasi jangka panjang lebih dari 60.000 penduduk. Israel pun menuntut agar Hizbullah menghentikan serangannya. Dan, ketika tidak dilakukan, maka seperti yang harus dilakukan oleh negara yang menghargai diri sendiri, Israel pun mengambil serangkaian tindakan. Termasuk di dalamnya melakukan ledakan spektakuler pager dan walkie-talkie.
Israel melancarkan operasi militer berskala besar terhadap sasaran Hizbullah di Libanon. |
Awalnya, sasaran perang Israel itu terbatas: membujuk Hizbullah untuk berhenti menyerang. Dengan demikian, warga Israel dapat kembali ke rumah mereka. Ini contoh klasik dari pencegahan. Berhenti perang (cease) lalu ngotot menghentikannya (desist). Atau lakukan apa saja.
Namun, ketika berhasil memenangkan perang, para pemimpin Israel pun tergoda. Ambisinya untuk berperang meningkat. Akibatnya, dia kehilangan arah. Lupa untuk mencegah terjadinya perang. Mereka memutuskan (menurut kata-kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu) "juga [untuk] mengalahkan Hizbullah." Padahal, menghentikan serangan roket Hizbullah itu identik dengan membuka jalan untuk menghentikan Hizbullah itu sendiri. Yerusalem jatuh dalam pola klasik para pemenang perang. Ia melupakan tujuan awal perang. Terbawa suasana. Menjalankan ambisi yang lebih besar yang tidak perlu.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memaklumkan perang atas Hizbullah di PBB pada 27 September 2024. |
Akibat kesalahan ini, Israel kini menghadapi dua pertempuran besar di wilayah selatan dan utara. Ia sekaligus menghadapi dua organisasi yang harus dihancurkan. Ia menghadapi Hizbullah sebelum membunuh Hamas. Sekaligus menghadapi kemungkinan untuk tidak membunuh keduanya.
Perhatikan perbedaannya: gencatan senjata dengan Hamas memunculkan konsekuensi yang mengerikan bagi Israel. Soalnya, itu berarti ia mengorbankan kepentingan nasionalnya demi beberapa nyawa. Sementara itu, gencatan senjata dengan Hizbullah berarti ia mengakhiri serangan roket dan rudal, yang memungkinkan penduduk Israel kembali ke rumah masing-masing. Dengan demikian, pasukan Israel bisa mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada Hamas.
Semoga Pemerintahan Netanyahu mengubah arah kebijakannya, menyetujui gencatan senjata dengan Hizbullah, sehingga mampu melenyapkan Hamas tanpa diganggu.
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah) dan mantan dosen Mata Kuliah Strategi pada Akademi Militer AS. © 2024 by Daniel Pipes. All rights reserved.
Tambahan 28 September 2024: Sejumlah pembaca berbeda pendapat dengan analisis di atas. Alasannya Israel sudah efektif menyelesaikan perang melawan Hamas. Menghadapi perbedaan pendapat itu, saya tanggapi:
Jika Israel efektif menyelesaikan perang melawan Hamas, mengapai Hamas masih mengancam warga Gaza? Mengapa belum ada pemerintahan yang memerintah Gaza? Mengapa pembangunan kembali Gaza belum juga dimulai? Mengapa Netanyahu tidak mengklaim bahwa Hamas sudah sepenuhnya dihancurkan?