Tanggal 7 Oktober (2023) mengubah segala-galanya di Israel, kata mereka. Tetapi benarkah?
Memikirkan kembali biaya perang secara langsung itu terbukti mengerikan. "Begitu banyak kebijakan dan paradigma," tulis David M. Weinberg dari Misgav Institute, "yang terbukti salah, fantastis, ilusif dan mengerikan." Gagasan tentang Gaza yang diperintah Hamas yang mampu diredakan dengan memberikan kesejahteraan ekonomi kepada mereka, Martin Sherman dari Israel Institute for Strategic Studies menyimpulkan, hanyalah "mimpi yang tidak realistis."
Para politisi pun secara mendadak dan mendasar mengubah nada bicara. Netanyahu berulang kali berbicara tentang kemenangan dan memenangkan perang. "Memenangkan perang itu butuh waktu. ...sekarang kita pusatkan perhatian pada satu tujuan, yaitu menyatukan pasukan kita kemudian menyerbu untuk meraih kemenangan penuh." Kepada para tentaranya, dia mengatakan, "Seluruh rakyat Israel berada di belakang kalian. Kita akan memberi pukulan keras kepada musuh-musuh kita supaya bisa meraih kemenangan. Menuju kemenangan!" Dan: "Kita akan muncul sebagai pemenang.
Banyak orang lain di pemerintahan mengikuti langkah yang sama. Dengan mengutip ucapannya sendiri, Menteri Pertahanan Yoav Gallant menyampaikan kepada Presiden AS, Joe Biden bahwa kemenangan Israel itu "sangat penting bagi kita dan Amerika Serikat." Kepada para prajuritnya, ia pun maklumkan, "Saya bertanggung jawab untuk membawa kemenangan." Bezalel Smotrich, Menteri Keuangan Israel pun mengumumkan penghentian "semua pengeluaran anggaran dan mengarahkannya kepada satu hal saja: kemenangan Israel." Ia menyebut tujuan perang Israel melawan Hamas sebagai "kemenangan yang menghancurkan." Benny Gantz, anggota Kabinet Perang, menganggapnya sebagai "waktu untuk bertahan hidup dan memenangkan perang."
Tokoh masyarakat mengungkapkan kalimat-kalimat agresif yang tidak pernah ada sebelumnya dalam sejarah Israel. Gallant menyebut Hamas sebagai "manusia Binatang." Bennett menyebut mereka "Nazi." Wakil ketua parlemen meminta Israel supaya "membakar Gaza." Menteri urusan warisan mendukung serangan terhadap Gaza dilakukan dengan senjata nuklir. Pembawa berita televisi Shay Golden melontarkan pun omelannya di luar naskah yang dibacanya.
"Dapatkah Anda bayangkan berapa banyak dari kalian yang akan kami bunuh untuk setiap 1.300 orang Israel yang kalian bantai? Jumlah korban tewas akan mencapai angka yang belum pernah kalian lihat dalam sejarah negara-negara Arab. ... Kalian akan melihat angka-angka yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya."
Sebuah lagu hip-hop yang seolah menjadi lagu kebangsaan berjanji akan menghujani musuh-musuh Israel dengan neraka naik ke peringkat #1. Seorang penyanyi pop menyerukan Israel supaya "Menghapus Gaza. Jangan biarkan satu orang pun di sana."
Bagaimana dengan para pemilih Israel? Jajak pendapat yang diminta oleh Middle East Forum pada 17 Oktober (2023) menemukan adanya dukungan yang luar biasa untuk menghancurkan Hamas dan dilakukannya operasi darat pasukan supaya bisa mencapainya. Ketika ditanya "Apakah yang seharusnya menjadi tujuan utama Israel?" dalam perang saat ini, 70 persen publik menjawab "melenyapkan Hamas." Sebaliknya, hanya 15 persen menjawab "memastikan pembebasan tanpa syarat para tawanan yang ditahan Hamas" sementara 13 persen menjawab, "melucuti Hamas sepenuhnya." Hebatnya, 54 persen orang Arab Israel tersebut (atau, secara lebih teknis lagi, para pemilih pendukung Joint List, sebuah partai Arab anti-Zionis radikal), menjadikan "Upaya untuk melenyapkan Hamas" sebagai tujuan pilihan mereka.
Ringkasnya, perasaan anti-Hamas dan anti-PA sangat kuat mendominasi politik Israel. Hanya ada dua partai sayap kiri (Partai Buruh dan Meretz) yang agak beroposisi. Namun sikap bersama (consensus) itu tidak banyak mensinyalkan perubahan pandangan yang mendasar, selain sekedar lonjakan emosi yang cepat berbarengan dengan retorika kemenangan yang kuat yang hanya bertahan beberapa minggu. Lembaga keamanan Israel dan masyarakat umum sama-sama memperlihatkan tanda-tanda yang tergesa-gesa kembali kepada sikap dan kebijakan yang mengarah kepada terjadinya Tragedi 7 Oktober (2023). Gejala-gejala perubahan ini meliputi:
Sikap yang menyebabkan tidak sampai sebulan setelah Tragedi 7 Oktober, lembaga keamanan Israel menyetujui masuknya 8.000 pekerja Tepi Barat menuju Israel yang sebagian besar akan dilibatkan dalam pekerjaan pertanian. Kebijakan itu diambil menanggapi pernyataan Menteri Pertanian Israel yang meyakinkan rekan-rekannya bahwa para pekerja tersebut telah diperiksa dan tidak menimbulkan bahaya. Bahwa ribuan pekerja dari Gaza telah memata-matai Israel dan menjadikan diri mereka terlibat dalam pembantaian 7 Oktober tampaknya dilupakan begitu saja.
Otoritas Palestina yang sekedar nama memerintah sebagian wilayah Tepi Barat tidak sekedar menawarkan dukungan penuh atas pembantaian yang dilakukan Hamas. Kelompok gerakan Fatah pimpinan Presiden PA Mahmoud Abbas itu juga membanggakan diri berperan dalam aksi pembantaian. PA malah mewajibkan masjid di wilayah hukumnya untuk menginstruksikan umatnya bahwa membasmi orang Yahudi adalah kewajiban bagi Islam. Meski demikian, Kabinet Israel terus mengirim uang pajak kepada PA. Gallant mendukung keputusan ini, dengan mengatakan bahwa "Tepatlah untuk mentransfer, dan mentransfernya segera, dana tersebut kepada Otoritas Palestina sehingga akan digunakan oleh pasukannya yang membantu mencegah terorisme."
Sebelum pembantaian; Israel memasok Gaza dengan 49 juta liter air. Atau 9 persen dari konsumsi air harian wilayah itu. Melalui tiga jaringan pipa. Pasokan air Israel hentikan setelah pembantaian. Tetapi itu pun hanya berlangsung selama dua puluh hari. Setelah masa itu Israel mengembalikan pasokan 28,5 juta liter air melalui dua jaringan pipa. Mengapa tidak menyalurkan air lewat tiga pipanya? Karena Hamas telah merusak jaringan pipa ketiga pada 7 Oktober, sehingga memerlukan perbaikan. Jangan khawatir: Kolonel IDF Elad Goren mengumumkan kantornya telah "mengumpulkan tim ahli yang menilai situasi kemanusiaan di Gaza setiap hari." Avigdor Liberman, Ketua Partai Yisrael Beiteinu, karena itu mengatakan ini "kebodohan yang sederhana," tetapi tidak ada gunanya. Pasokan bahan bakar pun segera dilanjutkan.
Jika jajak pendapat pertengahan Oktober 2023 lalu menunjukkan 70 persen publik Israel ingin "melenyapkan Hamas," maka dalam jajak pendapat oleh The Jewish People Policy Institute, pertengahan November tahun lalu, hanya 38 persen yang mendefinisikan kemenangan sebagai "Gaza tidak lagi di bawah kendali Hamas." Artinya ada penurunan sekitar 50 persen. Ketika ditanya tentang tujuan perang yang terpenting, jajak pendapat orang Yahudi Israel pada bulan November oleh para peneliti menemukan bahwa 34 persen mengatakan melumpuhkan Hamas (dan 46 persen mengatakan pengembalian sandera). Ketika ditanya tentang membuat "konsesi yang menyakitkan" agar pembebasan sandera aman terselenggarakan, 61 persen menyatakan siap. Angka itu hampir tiga kali lipat dari 21 persen yang siap melakukan pengamanan pembebasan sandera enam minggu sebelumnya. Sebuah jajak pendapat melaporkan 52 persen berbanding 32 persen responden yang setuju dengan perjanjian soal sandera. Angka 38, 34, 32 memperlihatkan bahwa para respondennya sangat konsisten.
Sebagai kesimpulan, berbeda dari kesan awal bahwa "7 Oktober mengubah segalanya di Israel," maka dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada yang berubah dalam bulan-bulan berikutnya. ***
Pipes (DanielPipes.org, @DanielPipes) adalah Presiden Middle East Forum (Forum Timur Tengah) dan pengarang buku Israel Victory: How Zionists Win Acceptance and Palestinians Get Liberated (Wicked Son). Artikel ini berbasiskan tulisan bertajuk "The Rapid Return of Israel's Disastrous Policy," yang diterbitkan dalam Middle East Quarterly, Winter 2024. © 2024 by Daniel Pipes. All rights reserved.