Wawancara dilakukan oleh Marcello Iannarelli.
World Geostratregic Insights: Dalam sebuah artikel dalam National Review tanggal 12 April 2013, bertajuk, "The Case for Supporting Assad," Anda menyatakan bahwa "Ketika musuh-musuh Barat terlibat konflik satu sama lain, maka kita penting untuk membantu pihak yang kalah." Mengenai Suriah, Anda menambahkan: "Ya, terus berlangsungnya kekuasaan Assad itu menguntungkan Teheran, rezim paling berbahaya di kawasan itu. Namun, kemenangan pemberontak sangat meningkatkan semangat Pemerintahan Turki yang semakin nakal dan sekaligus memperkuat semangat para jihadis untuk menggantikan Pemerintahan Assad dengan kaum Islam radikal yang menang dan semangat berkobar." Dua belas tahun kemudian, apakah Anda tetap pada pengamatan ini?
Daniel Pipes: Ya, saya tetap mempertahankan pengamatan say aitu. Dan terima kasih telah mengingatkan kembali kutipan itu. Sebuah ideologi yang sudah tidak berlaku lagi, ekonomi yang suram, dan perang saudara yang tak kunjung berakhir berarti bahwa rezim Assad yang malang dan lelah hanya menimbulkan bahaya yang terbatas bagi kepentingan Barat. Kita tidak tahu bagaimana pemerintahan transisi Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah di bawah Ahmed al-Sharaa akan berjalan. Tetapi ada dua faktor membuat saya pesimis: Sharaa itu seorang jihadis dengan latar belakang Al Qaeda dan ISIS dan dia bekerja erat dengan rezim yang dinamis, agresif, dan ideologis di Turki.
WGI: Berbicara tentang Turki, terlihat bahwa Ankara berdiri sebagai sekutu utama pemerintahan transisi Suriah. Mereka berharap bisa membangun "Turki" di Badiyah, Suriah tengah. Mereka mau melatih tentara Suriah dan banyak lagi. Mengapa Turki mencurahkan begitu banyak perhatian kepada Suriah dan apa saja konsekuensi dari hubungan dekat mereka?
DP: Turki memiliki lembaga yang sudah ada sejak seabad silam yang bahkan tidak dapat diabaikan meski Recep Tayyip Erdoğan menjadi pemimpin kuat yang nyaris diktator di negara besar itu selama lebih dari dua puluh tahun. Perhatikan misalnya, dia kalah dalam Pemilu baru-baru ini di dua kota terbesar di negara itu, Istanbul dan Ankara. Sebaliknya, Suriah berada dalam situasi anarkis pasca-perang saudara tahun 2011-24. Dengan membantu proksinya kaum Islam radikal HTS meraih kekuasaan, Erdoğan memiliki kesempatan unik untuk membangun negara jihad Muslim Sunni. Untuk itu kita bisa melihat aspek yang paling jelas: ketika Erdoğan menyerukan Israel dihancurkan sambil membantu musuh Israel yaitu Hamas, ia tidak dapat benar-benar terlibat dalam kekerasan terhadap negara Yahudi tersebut. Namun proksi Suriah-nya dapat melakukannya.
WGI: Apa yang Anda harapkan dari hal hubungan antara Israel dan Suriah?
DP: Saya melihat sikap permusuhan terhadap Israel terus berkembang di Damaskus. Memang, permusuhan kini lebih dalam dibandingkan dengan masa beberapa dekade sebelumnya. Rezim Assad pimpinan sang ayah Hafez (memerintah 1970-2000) dan putranya Bashar (memerintah 2000-24), yang bertumpu pada komunitas Alawiyah, selalu dicurigai oleh kaum Muslim Sunni sebagai tidak benar-benar anti-Zionis, dan karena itu harus mengimbanginya melalui agresi. Kini setelah kaum Muslim Sunni sepenuhnya berkuasa, anti-Zionisme mereka yang mendalam dan abadi akan menemukan ekspresinya yang purna.
Ya, dalam jangka pendek, Israel diuntungkan dari penggulingan rezim Assad oleh HTS. Dan, akibatnya, kekuatan Iran di Lebanon berkurang. Ditambah lagi, situasi anarkis di Suriah memungkinkan pasukan Israel menghancurkan sebagian besar persenjataan Suriah dan menciptakan zona penyangga di negara tersebut. Namun, dalam jangka panjang, seiring dengan pemulihan ekonomi dan militer Suriah, saya memprediksi akan ada masalah besar.
WGI: Pada pertengahan Mei, Presiden Donald Trump mengumumkan pencabutan sanksi AS terhadap Suriah dan bertemu dengan Sharaa. Silakan menilai nilai langkah-langkah tersebut.
DP: Upaya Trump itu merupakan contoh lain dari diplomasi Trump yang tidak lazim. Sebagian, karena ia mengambil langkah ini atas perintah kawan-kawan kuatnya di Timur Tengah (seperti Erdoğan, Mohammad bin Salman dan Mohamed bin Zayed). Sebagian lagi, ia melakukannya untuk menolak kebijakan pendahulunya yang berlangsung selama puluhan tahun, yang secara naluriah ia benci. Saya melihat Pemerintahan Suriah yang baru sebagai alat para jihadis Ankara. Dengan demikian, memberikan keuntungan yang tanpa syarat menurut saya merupakan sebuah kesalahan.