Banyak kalangan Islamis lebih suka menghindari masalah perbudakan yang secara eksplisit diperbolehkan dalam Al-Quran tetapi disahkan prakteknya oleh kalangan Salafis. Namun, Ali Al-Ahmed, seorang penentang Agen Informasi Saudi melaporkan hari ini bahwa seorang ahli agama kenamaan Saudi menyerukan agar perbudakan dilegalkan lagi di kerajaan itu. Sang tokoh adalah Sheik Saleh Al-Fawsan. Ia adalah pengarang buku-buku teks keagamaan (At-Tawhid, "Monoteisme") yang luas digunakan untuk mengajar siswa sekolah menengah Saudi serta mitra luar negeri mereka yang belajar di sekolah-sekolahArab (termasuk sekolah-sekolah di Barat).
Dalam ceramahnya baru-baru ini, dia memaklumkan, "Perbudakan merupakan bagian dari Islam. Perbudakan merupakan bagian jihad dan jihad bakal tetap ada selama ada Islam." Dia menyampaikan argumentasinya menentang pemikiran bahwa perbudakan telah dihapus. Dia pun mengecam pihak-pihak yang mengungkap masalah ini sebagai "bodoh, bukan ilmuwan. Mereka sekedar para penulis. Siapa saja yang mengatakan ini adalah kafir.
Al-Fawsan bukanlah seorang konvensional, sebaliknya adalah;
- Anggota Komite Senior Ulama, lembaga agama tertinggi Saudi Arabia.
- Anggota Komite Fatwa dan Penelitian Agama
- Imam Majid Pangeran Mitaeb di Riyad dan
- Profesor Universitas Imam Mohamed Bin Saud, lembaga pendidikan utama Wahabi.
Sudut pandang ini dapat diikuti para pelajar lembaga religious Saudi yang menawarkan komentar tragis seputar wacana Negara Islam hari ini. (7 Nopember 2003).
Penambahan pada 18 Mei 2014: Pengesahan penggunaan budak sebagai tentara dapat dibaca dalan suatu masukan weblog yang dimulai hari ini dengan judul, "Mengagungkan Perbudakan Militer" (Praising Military Slavery).
Abu Ishaq al-Huwaini (juga diucapkan Abo Ishaq Alheweny) memimpikan untuk membeli gadis-gadis budak kafir. |
Penambahan 31 Mei 2011: Seorang sheik Mesir, Abu Ishaq al-Huwaini (juga diucapkan sebagai Abo Ishaq Alheweny) pun ingin menerapkan hukum Shariah seputar "rampasan perang," termasuk mengambil para budak. Raymond Ibrahim, seorang penulis menjelaskan masalah ini dalam bukunya "Perkosaan dan Perampokan Di Dunia Islam" (Raped and Ransacked in the Muslim World); sebagai berikut;
Menurut Huwaini, setelah kaum Muslim menyerbu dan menaklukan bangsa non-Muslim— dengan tujuan mengibarkan semangat jihad yang menyerang (offensive jihad), maka harta benda serta orang-orang kafir yang menolak memeluk Islam atau membayar jizya dan hidup sebagai dhimmis terjajah ditangkap sebagai ghanima atau "rampasan perang"… Dikatakan Huwanini bahwa orang kafir yang tertangkap adalah "rampasan perang" dan dibagi-bagikan antar para pejuang Muslim (misalnya kaum jihadis). Orang-orang tangkapan itu dapat dibawa ke "pasar budak", tempat para gadis budak dan selir diperjualbelikan."
Belakangan, dia menyebutkan itu terjadi karena nama budak yang hina (dehumanizing) sehingga dalam Al-Qur'an disebut ang dalam umentasi menentang pemikiran bahwa perbudaan ma malakat aymanukum "barang-barang milik tangan kananmu," yang dalam konteks ini berarti budak seks. "Anda pergi ke pasar membelinya. Dia pun menjadi seperti pasangan sah anda—walau tanpa kontrak, wali atau hal-hal semacam ini – dan hal ini disetujui oleh para ulama." "Dengan kata lain" Huwaini menyimpulkan, "ketika saya inginkan seorang budak seks, saya pergi ke pasar kemudian memilih wanita mana pun yang saya inginkan kemudian membelinya."
June 11, 2011 update: The website TranslatingJihad.com provides a condensed transcript of this statement at "Video: Shaykh al-Huwayni: 'When I want a sex slave, I just go to the market and choose the woman I like and purchase her'."
Komentar: Ketika ditanya seputar esensi Hukum Sharia, saya menyebutkan tiga unsur kunci: keunggulan Muslim atas non-Muslim, keunggulan pria atas wanita dan pengesahanan kekerasan untuk memperluas kekuasaan Islam. Pernyataan Huwaini, "Saya pergi ke pasar kemudian memilih wanita mana pun yang saya inginkan kemudian membelinya," secara terang benderang dan mengesankan tergambar dalam semua tiga unsur itu.
Penambahan 6 Juni 2011: Seruan pengesahan perbudakan seks juga berasal dari seorang wanita. Raymond Ibrahim kemudian mengisahkan tentang Salwa al-Mutairi, mantan calon anggota parlemen Kuwait yang "berjuang menghidupkan kembali institusi perbudakan seks." Dia memulai pembicaraan dengan mendesak bahwa;
"tentu benar" bahwa "nabi Islam mengesahkan perbudakan seks." Dia kemudian berkisah bagaimana dia ketika berada di Mekah, kota paling suci kaum Islam. Di sana, dia bertanya kepada berbagai sheik dan mufti (kaum Muslim terpelajar dan memiliki otoritas ilmiah) seputar legalitas perbudakan seks menurut hukum Sharia. Mereka semua menegaskan bahwa perbudakan sesks benar-benar sah. Ulama Kuwait pun lebih jauh menunjukkan bahwa pria "sejati" dapat membeli para budak seks guna memuaskan selera mereka tanpa perlu merasa dosa. Di Barat, pria "sejati" dapat disamakan dengan "gila seks," "penuh nafsu berahi," "perilaku menyimpang."
Ibrahim pun mengutip sebagian rekaman pembicaraan sang wanita seputar peraturan yang mengatur bahwa budak seks harus sedikitnya berusia 15 tahun;
Negara Muslim harus (pertama-tama) menyerang Negara Kristen. Maaf, maksud saya, Negara non-Muslim apapun. Dan mereka (para wanita, para budak seks masa depan) harusnya ditangkap dalam razia. Apakah praktek itu dilarang? Sama sekali tidak. Menurut Islam, budak seks sama sekali tidak dilarang. Peraturan yang mengatur budak seks dan wanita merdeka jauh berbeda. Wanita muslimm misalnya. Pada yang terakhir, yaitu kaum wanita Muslim merdeka harus mengenakan pakaian tertutup penuh, kecuali wajah dan tangan. Sebaliknya, para budak seks dibiarkan telanjang mulai perut hingga atas. Dia berbeda dari wanita merdeka. Wanita merdeka harus menikah secara wajar dengan suaminya, tetapi budak seks, tidak. Laki-laki cukup membelinya dan begitulah masalahnya.
Mutairi kemudian memberikan contoh dari perang di Chechnya: "Tentu ada kaum wanita Rusia yang tertangkap. Karena itu, pergi dan beli dan jual mereka di Kuwait. Langkah ini jauh lebih bagus ketimbang para pria kami terlibat dalam relasi seks terlarang. Saya tidak melihat masalah dalam soal ini. Sama sekali tidak ada masalah."
Dia pun menyebutkan Harun ar-Rashid, kalifah Abbasijah, sebagai contoh pria bajik: "Contoh terbesar yang kita punya adalah Harun al-Rashid. Kala wafat, dia memiliki 2000 budak seks. Jadi tak ada masalah, tak ada yang salah dengan ini." Mutairi lantas menutup pembicaraannya dengan memohon kepada Allah. "Ya, saya benar-benar sangat ingin hal ini bagi Kuwait, Allah relakan, Oh Tuhan, Tuhan, Engkau yang berkelimpahan."
Penambahan pada 22 Juni 2011: Penjelasan seputar masalah ini dapat ditemukan di sini.
Penambahan 11 Juni 2011: Website TranslatingJihad.com menyajikan ringkasan transkrip pernyataan itu lewat "Video: Shayk al Huwayni:'Ketika inginkan budak seks, saya cukup pergi ke pasar dan memilih wanita yang saya sukai kemudian membelinya.' (Video: Shaykh al-Huwayni: 'When I want a sex slave, I just go to the market and choose the woman I like and purchase her')
Penambahan Juli 5, 2012: Raymond Ibrahim kembali kepada topiknya "Perkawinan Budak Seks Mesir" (Egypt's Sex-Slave Marriage). Dalam tulisan itu dia mengisahkan "perkawinan budak seks pertama negeri" itu yang dikontrak beberapa hari setelah anggota Persaudaraan Muslim, Mohamed Morsi menjadi presiden. Kontrak itu melibatkan seorang pria, Abd al-Rauf Awn, yang secara publik "menikahi " budaknya." Baca rinciannya dalam tulisan Ibrahim.
Penambahan 27 Nopember 2013: Raymond Ibrahim menulis lebih banyak berita seputar seruan seorang anggota Islamis untuk pemberlakuan perbudakan. Kini ada penelitian seputar fatwa dari Persaudaraan Muslim (fatwas of the Muslim Brotherhood) yang dikeluarkan selama satu tahun kekuasaan organisasi itu. Hasil penelitian berjudul "Fatwa-fatwa Keliru Persaudaraan Muslim dan Salafis" dipersiapkan oleh Sayed Zayed dari Komisi Fatwa Al-Azhar. Dilaporkan, ada satu fatwa yang "menuntut diterapkannya undang-undang yang mengijinkan wanita bercerai memiliki budak"." Fatwa itu mungkin bertujuan membantu para janda yang diceraikan, yang tidak lagi memiliki suami untuk bisa membiaya hidup mereka.
Penambahan 14 Okotober 2014: Seorang anggota Islami warganegera Inggeris, Mizanur Rahman (juga dikenal sebagai Abu Baraa), dengan maksud membela ISIS memaklumkan bahwa "Kini, kala kita memiliki Khalifah maka kita pun dapat memiliki para gadis budak."