Sebagaimana senantiasa saya katakan, jika tidak mampu mengatakan Islam radikal adalah musuh, anda tidak bisa memeranginya secara baik.
Sebuah contoh yang sangat berwarna mengemuka hari ini dari Kerajaan Inggeris. Di sana, organisasi bernama Home Office Cohesion and Faith Unit (Unit Iman dan Hidup Serasi Dalam Negeri) mengeluarkan sebuah surat konsultasi. Berdasarkan surat itu, pemimpin agama imigran diwajibkan menjalani tes setelah satu tahun berdiam di negeri itu. Materinya beragam; demokrasi parlementer, sistem perpajakan, undang-undang anti-diskriminasi, hak-hak warga negara, sejarah migrasi Kerajaan Inggeris masa kini, hukum dasar negara, peran otoritas setempat termasuk cara mengamankan akses hingga nasehat soal perumahan, pekerjaan dan perawatan kesehatan. Selain pengetahuan tentang Inggeris, mereka pun harus memperlihatkan bahwa mereka sudah bisa berintegrasi dengan kelompok agama-agama lain, apa pun maksudnya. Regulasi itu mengikuti regulasi lainnya yang dikeluarkan Agustus 2004 lalu. Dalam regulasi tersebut, para pemimpin agama imigran dipersyaratkan untuk berbicara Bahasa Inggeris.
Komentar: Regulasi ini jelas-jelas bodoh. Karena. seperti orang-orang lain, kaum Islamis juga tahu soal sistem perumahan Inggeris. Sebaliknya, tidak banyak tahu soal-soal yang tidak banyak diketahui orang bukanlah bukti bahwa seseorang menentang Islamisme. Tetapi, tanpa memahami masalah ini, niat pihak berwewenang tidak bakal tercapai. Cara satu-satunya adalah dengan mengetahui persoalan dan mengkonfrontasikannya secara jujur. (9 Maret 2005).
Penambahan 19 April 2005: Paris pun menerapkan teori yang sama. Namanya, untuk mengetahui Perancis berarti mencintai Perancis. Untuk tujuan itu, Perancis merancang pelajaran tentang bahasa dan budaya bagi para imam (Islam) di Auvergne, sebuah kawasan di Perancis tengah. Kantor Berita United Press International menjelaskan bahwa "Bahasa Perancis ngawur tidak cocok lagi ketika dia berdakwah kepada sekitar 5 juta Muslim negara itu." Dominique de Villepin, Menteri Dalam Negeri Perancis lantas menetapkan dibukanya program khusus tentang peradaban Perancis. Kursus dimulai dengan pelajaran bahasa bagi para imam, dilanjutkan dengan pelajaran tentang sejarah Perancis, civics dan budaya pada akhir 2005. Program itu pada gilirannya hanya merepresentasikan awal dari sebuah rencana yang jauh lebih ambisius untuk menciptakan suatu "Islam Perancis" dengan menciptakan program pelatihan universitas bagi para imam kelahiran Perancis.
Penambahan 21 September 2014: Berkaitan dengan itu, pemerintah Austria berpikir untuk meminta kaum Muslim negeri itu menyepakati adanya terjemahan standar dan resmi Al-Qur'an dengan tujuan untuk menekan Islamisme berkembang. Ide itu diajukan karena Menteri Luar Negeri Austria Sebastian Kurz pernah mengeluh bahwa "Tak terhitungnya banyaknya terjemahan, tak terhitung pula banyaknya interpretasi Al-Qur'an yang beredar di negaranya. " Pada pihak lain, Austria juga tertarik dengan komunitas iman tersebut yang tidak bisa diterjemahkan dan digunakan dengan sedikit kata." Karena itu, pemerintah "sungguh-sungguh terdorong" untuk perlunya versi Al-Qur'an standar. I24 News menjelaskan;
Kurz mengklaim langkah ini didesain untuk meniadakan campur tangan luar negeri karena para imam akan dilatih secara eksklusif di berbagai universitas Austria. Undang-undang yang sudah diubah juga akan menetapkan bagaimana inisiatif Islam didanai dari luar negeri menjamin bahwa tradisi Islam diikuti berkaitan dengan hari raya keagamaan, pemakaman dan membuat para imam mampu memberikan bimbingan spiritual di penjara, rumah sakit dan angkatan bersenjata.
Penambahan 27 Februari 2015: Dua hari lalu Pemerintah Austria dengan berani mengesahkan sebuah undang-undang berkaitan Islam (Islamgesetz) yang memperbarui undang-undang sejenis dari tahun 1912. Undang-undang itu punya dua tujuan kembar; mengintegrasikan populasi Muslimnya yang berjumlah sekitar 600.000 (sekitar 7 persen dari seluruh penduduk negeri itu) sekaligus mengurangi Islamisme dengan mengembangkan versi Islamnya sendiri. Yaitu Islam "dengan karakter Austria." Soeren Kern menjelaskan masalah ini pada Gatestone Institute;
Undang-undang baru…mengatur sedikitnya puluhan masalah lepas yang sangat beragam termasuk persoalan yang relatif tidak kontroversial seperti liburan keagamaan umat Muslim, pemakaman Muslim, praktek menu Muslim dan kegiatan-kegiatan ulama Muslim di rumah sakit, penjara dan angkatan bersenjata. Dalam hal ini, pemerintah sudah memenuhi semua tuntutan yang diajukan oleh kelompok-kelompok Muslim di dalam negeri.
Bagaimanapun, hukum baru jauh bergerak melebihi apa yang diinginkan kaum Muslim. Misalnya, undang-undang itu berupaya mencegah pertumbuhan masyarakat Islam sejenis di Austria dengan mengatur masalah masjid dan pelatihan para imamnya yang kini dipersyarakatkan harus mahir berbahasa Jerman. Undang-undang baru mempersyaratkan berbagai organisasi dan kelompok Muslim memberhentikan para ulama yang mempunyai catatan criminal atau orang "yang mengancam keamaan, tatasosial, kesehatan dan moral publik atau hak-hak asasi dan kebebasan pihak lain."
Jauh lebih penting lagi, Paragraf 6.2 Undang-Undang itu berupaya membatasi pengaruh keagamaan dan politik pemerintahan asing ke dalam komunitas Muslim Austria. Caranya dengan melarang negara-negara asing, agaknya negara-negara seperti Turki, Saudi Arabia dan negara-negara Teluk Arab—untuk mendanai pusat-pusat Islam dan masjid di Austria.
Batasan-batasan baru – termasuk larangan mempekerjakan ulama asing di Austria mulai 31 Maret 2016 – yang secara khusus diterapkan atas Turki. Soalnya, 60 dari 300 ulama Muslim yang kini bekerja di Austria adalah pegawai negeri Turki yang gajinya dibayar oleh Diyanet, yaitu Direktor Urusan Agama Pemerintah Turki.
Komentar: Undang-undang tampaknya jauh lebih ambisius ketimbang usaha yang sama yang dilakukan di berbagai negara Barat. Sukses atau berhasilnya undang-undang itu mungkin saja bakal berdampak penting.
Penambahan 4 Maret 2015: Pemerintah Perancis membuat upaya baru untuk memperbaiki undang-undang sebelumnya, namun membuat kesalahan baru pula. Yaitu menimbulkan masalah di kalangan yang takut berurusan dengan kaum Islamis. Harian International Bussiness Times melaporkan;
Menteri Perancis, Manuel Valls mengumumkan rencana menggandakan jumlah kursus-kursus di universitas-universitas yang mengajarkan tentang Islam sebagai upaya untuk menangkal bangkitnya ekstremisme Islam dan ekstremisme kaum ekstrim kanan. Kursus akan didanai negara, urai Valls yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menghapus kebodohan yang memungkinkan "ekstremisme Islamisme dan ekstrim kanan saling mempengaruhi"…
"Bangkitnya politik popular kaum ekstrim kanan di Eropa serta negara kita bakal langsung mematikan bangkitnya jihadisme, terorisme dan ekstremisme radikal. Itulah situasi yan menyebabkan masyarakat dan kapasitas kita untuk hidup bersama berada dalam situasi sangat berbahaya…"
"Satu-satunya jawaban terhadap berbagai bahaya yang tengah kita hadapi adalah Republik Perancis. Ini berarti menerima negara secular, meningkatkan kwalitas pendidikan dan universitas serta pengetahuan dan inteligensi. Tetapi tidak ada undang-undang, dekrit dan petunjuk- petunjuk pemerintah untuk merumuskan apa itu Islam. Negara Perancis tidak bakal berupaya untuk mengontrol sebuah agama."