Saya sudah terbitkan dua artikel berturut-turut tentang topik Israel mengalahkan Palestina ("Israel Shuns Victory" and "How Israel Can Win). Berikut ini sejumlah pemikiran tambahan yang tidak sama dengan isi dua artikel sebelumnya:
Pemikiran saya parallel dengan pemikiran Vladimir Jabotinsky, seperti diungkapkan dalam essay-nya yang diterbitkan pada 1923, berjudul, "The Iron Wall" (Tembok Besi). Diterbitkan dengan judul "O Zheleznoi Stene" dalam Rassvyet, 4 Nopember 1923, berikut ini suntingan-suntingan artikel tersebut dari terjemahan Bahasa Inggeris yang diterbitkan oleh Harian The Jewish Herald (Afrika Selatan), 26 Nopember 1937, tempat Jabotinksy mendiskusikan persoalan-persoalan tentang Bangsa Arab:
Sejauh masih ada percikan harapan bahwa mereka bisa melepaskan diri dari kita, mereka tidak akan menjual harapan-harapan ini, bukan demi kata-kata manis atau biji-bijian enak apapun, karena mereka bukan orang papa tetapi sebuah bangsa. Barangkali memang mereka compang-camping tetapi hidup. Orang hidup membuat konsesi yang begitu besar atas persoalan yang sangat penting tatkala tidak ada lagi harapan yang tersisa. Hanya tatkala tidak satu pun pelanggaran terlihat dalam dinding besi, hanya saat itu, kelompok-kelompok ekstrim kehilangan goyangannya sehingga pengaruhnya berpindah kepada kelompok-kelompok moderat. Hanya kala itu, kelompok-kelompok moderat itu datang kepada kita dengan usulan untuk mendapatkan konsesi bersama. Dan hanya kala itu kaum moderat menawarkan saran untuk mengkompromikan persoalan-persoalan praktis seperti jaminan menolak pengusiran mereka ke luar negeri atau kesamaan derajat dan otonomi nasional.
Satu kritik umum dari posisi saya adalah bahwa warga Palestina memperlihatkan terlampau banyak sikap (resolve) untuk dikalahkan sehingga mereka pun dipecahbelah (resolved). Menghadapi persoalan itu, saya tanggapi bahwa pada 1975 saya pernah menyaksiakan satu-satunya kekalahan dalam sejarah A.S. Yaitu ketika tentara Amerika mundur dari Vietnam Selatan. Upaya itu mereka lakukan bukan karena ekonomi AS gagal, peluru terakhir sudah ditembakan atau karena kalah dalam berbagai pertempuran--- sangat jauh berbeda dari alasan-alasan itu, para analis militer sepakat bahwa pihak AS sudah memenangkan perang darat --- tetapi karena niat lembaga politik memang sudah dilemahkan. Jika Vietnam Utara dan sekutu-sekutunya mampu mengalahkan Amerika Serikat, mengapa bukan Israel mengalahkan Palestina?
Ada cara lain untuk membuat poin yang sama: Jika Jerman dan Jepang saja bisa dikalahkan dalam Perang Dunia II, mengapa Palestina tidak bisa?
Di bawah kepemimpinan Ariel Sharon, Israel membuat perkembangan nyata dalam perang-perang yang dilancarkannya. Saya mendokumentasikan meningkatnya perasaan putus asa di kalangan Palestina dalam suatu rangkaian artikel, selama Desember 2001, Februari 2002, Agustus 2002, Januari 2003, dan April 2004, lalu menutupinya dengan sebuah entri weblog selama Mei - September 2004. Hanya ketika keseriusan Sharon seolah benar-benar tenggelam pada penghujung 2004, semangat Palestina pun kembali bangkit dan Israel pun tidak lagi menang.
(4 April 2006)
- Winston Churchill pernah mengatakan hal itu ketika berbicara tentang topik kemenangan dalam sambutannya berjudul, "Blood, Sweat and Tears" (Darah, Keringat dan Air Mata). Ketika berpidato kepada rakyat Inggeris pada hari pertama menduduki jabatan perdana menteri, dia berujar, "Kalian bertanya, apakah tujuan kita? Bisa saya jawab dengan satu kata: Kemenangan --- kemenangan--- dengan risiko apapun, kemenangan, terlepas dari semua teror, kemenangan, berapapun lama dan sulit jalannya nanti; karena tanpa kemenangan, tidak ada semangat untuk bertahan hidup." Untuk membandingkan pernyataan Churchill dan Ariel Sharon pada Januari 2002, yang memang kurang menguntungkan bagi yang belakangan, lihat analisis karya Paul Eidelberg. (7 April 2006).
Pemutakhiran 12 April 2010: Max Singer, seorang senior research associate di Pusat Kajian Strategis Begin – Sadat (BESA) melakukan pekerjaan yang mengagumkan dengan menjelaskan apa yang bisa AS dan pemerintah Barat lakukan untuk membantu lewat sebuah analisisnya yang berjudul "Prospects for Peace with the Palestinians" (Prospek untuk Berdamai dengan Palestina). Berikut ini dari rangkuman pentingnya:
Perlulah untuk memikirkan tentang warga Palestina ketika terlibat dalam perdebatan internal antara kalangan yang setuju mempertahankan tujuan melenyapkan Israel dan kalangan yang setuju menghentikan tujuan untuk memperoleh damai dan kemakmuran. Damai hanya tercapai ketika kelompok kedua menjadi dominan. Perdebatan bergantung pada dua isu. Apakah ada harapan realistis bahwa Israel benar-benar bisa dikalahkan? Akankah terhormat untuk membuat perdamaian dengan Israel? Gebrakan masyarakat internasional untuk mendelegitimasi Israel memberikan harapan kepada Palestina untuk akhirnya menghancurkan Israel. Selain itu, penolakan pemimpin Palestina atas eksistensi Bangsa Yahudi dengan kaitan masa lalunya yang sangat panjang (archaic) dengan Tanah Israel justru bertentangan dengan basis perdamaian yang penuh hormat dengan Israel. Jika ada peluang untuk damai, maka para pemimpin Barat perlu membebaskan warga Palestina dari kedua kesalahan itu.
Bacalah seluruh analisis untuk kerangka kebijakan Amerika yang seharusnya.