Yehuda Avner, penulis favorit saya menerbitkan sebuah artikelnya dalam Harian Jerusalem Post. Judulnya, "Israel does not need Palestinian recognition" (Israel Tidak Butuhkan Pengakuan Palestina). Di dalam artikel tersebut dia mengatakan bahwa Manachem Begin, andaikata masih hidup sekarang, "akan sedih, benar-benar marah kepada sikap ngotot Perdana Menteri Ehud Olmert --- bersama dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa --- agar legitimasi politik Hamas dipersyaratkan, antara lain (inter alia) berdasarkan pengakuannya terhadap hak Israel untuk hidup."
"Hak untuk hidup?" bisa saya dengar almarhum perdana menteri benar-benar mengecam penggantinya yang mudah yang memaklumkan diri sebagai muri Begin. "Apakah kau katakana kepada saya, Ehud, bahwa demi tujuan politik, hak kita untuk hidup di Eretz Yisrael harus didukung oleh sebuah organisasi teroris Palestina Arab yang secara intrinsik anti-Semit dan suka membunuh?"
Menachem Begin pada 1987. |
Avner (pernah bertugas sebagai staf pribadi lima perdana menteri termasuk Begin). Setelah mengatakan hal itu, dia lalu mengisahkan sebuah anekdot seputar Begin pada hari-hari pertama menjabat sebagai perdana menteri pada 1977, tatkala berurusan dengan persoalan upaya memperoleh pengakuan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Anekdot itu berarti dengan penegasan dari Begin yang mengatakan, "Saya tidak membutuhkan pengakuan Palestina untuk hak saya untuk hidup (exist)." Dua jam kemudian, di atas podium Knesset [Parlemen Israel], Begin mengingatkan lagi tema itu.
"Hak kita untuk hidup --- pernah kalian dengar pernyataan seperti ini?" dia maklumkan, dengan semangat yang merambat menjalari suaranya. Apakah pernyataan ini memasuki benak orang Briton atau Perancis, Belgia atau Belanda, Hunggaria atau Bulgaria, Rusia atau Amerika untuk meminta bagi rakyatnya pengakuan atas haknya untuk hidup? Dia memandang tajam kepada hadirinnya lalu menggerakan jari-jarinya, menenangkan setiap suaranya yang gemeretak dalam ruangan Knesset. Dan kini, dengan menggunakan suara seperti cello yang nyaring dan bergetar dia lalu melanjutkannya dengan;
"Tuan Pembicara: Kita diberi hak hidup oleh Allah nenek moyang kita di tengah sama-samar fajar peradaban manusia empat ribu tahun silam. Karena itu, orang Yahudi punya hak sejarah, yang kekal dan tidak bisa dicabut untuk hidup di tanah ini, Eretz Yisrael, tanah nenek moyang kita. Kita tidak membutuhkan pengakuan siapapun untuk menegaskan hak yang tak bisa dicabut oleh siapapun ini. Dan untuk hak yang tidak bisa dicabut ini, yang disucikan dalam darah orang Yahudi dari generasi ke generasi kita sudah membayar harga yang tidak bisa ditiru dalam sejarah bangsa-bangsa." Kemudian dia bangkit berdiri di atas ujung-ujung kakinya sambil bahunya bergetar, dia memukul podium keras-keras dan dengan suara menggelegar seperti guntur dia melanjutkan, "Tuan Pembicara: Dari Knesset Israel, saya katakan kepada dunia, keberadaan kita yang terdalam per se adalah hak kita untuk hidup!"
Tepukan tangan spontan berkumandang dari bangku-bangku anggota parlemen. Banyak anggota parlemen berdiri sambil berteriak sekuat tenaga penuh kegembiraan. Itulah waktu yang sangat menggugah Knesset --- waktu yang menegaskan pengakuan diri instinktif bahwa walau Negara Israel kala itu baru 29 tahun, namun akarnya dalam Eretz Yisrael sudah berlangsung 4.000 tahun yang jauh menukik.
Saya bersimpati penuh dengan perasaan ini. Tentu saja ada sesuatu yang memalukan Israel, setelah diterima baik oleh warga Palestinaa. Tetapi, meskipun demikian, inilah tepatnya tujuan perang. Tidak ada soal berapa banyak Perdana Menteri Israel menekankan keberadaan Israel, tetap saja belum ada jaminan hingga siapapun yang mau menghancurkan Israel akhirnya yakin usaha mereka sia-sia. Itu berarti, bagaimanapun pahitnya upaya itu, warga Palestina harus diyakinkan soal keberadaan negara Yahudi yang permanen.
Begin membandingkan Israel dengan Inggeris Raya, Perancis dan negara-negara lain. Tetapi tentu saja tidak ada yang sama, karena tidak satu pihak pun menantang eksistensi mereka. Jauh lebih tepat utuk membandingkan Israel dengan negara-negara lain yang berada dalam bahaya, banyak dari mereka juga ada di Timur Tengah. Kuwait sebelum 2003 bahkan lebih terancam dibanding Israel --- negara itu pernah tidak ada ada selama tujuh bulan pada 1990 – 91, dan sangat jauh lebih lemah daripada Irak musuhnya. Bahrain bisa saja menghilang dari perut Iran. Yordania menghadapi sejumlah ancaman eksitensial potensial, khususnya dari warga Palestina yang berdiam di negeri itu. Tidak ada Pemerintah Suriah yang sepenuhnya mengakui keberadaan Libanon. Para politisi di berbagai negara itu tidak benar-benar mengkhawatirkan masa depan mereka sebagai pemerintah merdeka dan berdaulat.
Saya kirimkan kepada Avner analisis di atas dan dia pun menanggapinya sebagai berikut;
Sepenuhnya saya mengidentifikasikan diri dengan Menachem Begin...Di sini kita berbicara tentang sesuatu yang lebih mendasar ketimbang klaim atas kawasan, yang contoh-contoh kategorinya kau ungkapkan secara luas. Memang, bisa diperdebatkan bahwa sebagian besar merupakan rekayasa kolonial. Di sini kita berbicara tentang mistik terdalam, yang terkait dengan keberadaan terdalam manusia. Dan bagi kaum Yahudi, persoalan itu tidak untuk dirundingkan. Pengakuan legitimasi diplomatik, mungkin saja ada, tetapi bukan soal "hak untuk hidup ("the right to exist).
Tanggapan saya: Ya, identitas Bangsa Kuwait, Bahrain, Yordania dan Libanon menawarkan perekat yang sangat tipis berdekatan dengan identitas kaum Yahudi yang sangat kaya-raya. Tetapi "hak untuk hidup" itu merujuk kepada negara berdaulat, bukan kepada identitas Yahudi. Tetap saja tidak ada alternatif di sana bagaimanapun tidak enaknya berupaya agar Palestina menerima eksistensi Israel.
Pemutakiran 5 Juli 2006: Seorang pembaca, Robert Vivalet, menambahkan pernyataan penting ini dalam catatan, dari sebuah opini karya Abba Eban. Judulnya, "The Saudi Text" yang diterbitkan dalam Harian New York Times, 18 Nopember 1981:
Tidak seorang pun melayani Israel dengan mengklaim "haknya untuk hidup." Hak Israel untuk hidup sama seperti hak Amerika Serikat, Arab Saudi dan 152 negara lain itu sudah jelas kebenarannya dan tidak bisa dicabut. Legitimasi Israel tidak berhenti di udara hanya untuk menunggu pengakuan... Tentu saja tidak ada negara lain, besar atau kecil, muda atau tua yang bisa menganggapnya sekedar pengakuan "hak hidupnya" itu sebagai suatu kemurahan hati atau sebuah konsesi yang dapat dirundingkan.
Pemutakhiran 29 Nopember 2007: Benjamin Netanyahu, pemimpin oposisi Israel memberikan pidato yang sangat menyentuh mengenang 60 tahun sejak resolusi PBB pada 29 Nopember 1947 yang mengakui Negara Yahudi diterima. Ada dua dorongan utama dia sampaikan:
- Bangsa Arab enggan menerima Israel: "Sejak [1947], kita membuat perjanjian damai dengan Mesir, Yordania, namun hambatan untuk memperluas lingkaran perdamaian tetap selalu ada: yaitu bahwa musuh-musuh Israel menolak mengakui Negara Yahudi berbatasan dengan mereka. Musuh-musuh kita tidak ingin negara Arab berdampingan dengan Israel. Mereka menginginkan sebuah Negara Arab, bukan Israel."
- Resolusi 1947 kurang penting dibandingkan dengan gerakan Zionis. "Pemungutan suara pemisahan negara rancangan PBB memang tidak membentuk negara Israel. Hanya mengakui hak historis kaum Yahudi untuk kembali ke tanah air mereka dan memulihkan keberadaan kedaulatan mereka. Tetapi jika selama satu millenium, kaum Yahudi tidak ingin kembali ke tanah Israel maka hak sejarah ini tidak pernah bakal terwujud, walau warga Yahudi terus berdiam selama berabad-abad termasuk 70 tahun pemukiman kaum Yahudi yang intensif di tanah ini mendahului pemungutan suara PBB. Dan bahkan tidak cukup jika anak-anak dari bangsa kecil ini, di tengah kebangkitan Holocaust yang mengerikan mengangkat pedang Para Makabe dan dengan heroisme yang tidak tertandingi mengalahkan serangan gencar bangsa Arab yang berniat menghancurkan negara yang baru saja berdiri ini."
Dia lalu membahas persoalan pengakuan bangsa Arab terhadap Israel;
Kunci keberadaan Israel senantiasa berakar dalam upaya memperkuat Zionisme dan kemampuan kita membela diri --- dan ini tetap menjadi kunci keberadaan kita sekaligus kunci kita untuk memperjuangkan sungguh-sungguh perdamaian yang murni dengan seluruh tetangga Arab kita. Hanya ketika beberapa dari mereka mengakui kedudukan kita yang tetap serta ketidakmampuan mereka mengalahkan kita, maka mereka akan berdamai di antara mereka lalu berdamai dengan kita. Ini sebabnya mengapa saya sangat terkejut mendengar berbagai siaran pers bahwa perdana menteri [Ehud Olmert] mengatakan: "Jika bakal tidak ada dua negara, maka Israel sudah musnah." Tuan Perdana Menteri: Negara Israel tidak akan pernah hancur! Kita menentukan nasib kita sendiri, dan hanya oleh kita sendiri. Keberadaan kita tidak tergantung pada kerelaan Bangsa Palestina untuk berdamai dengan kita. Keberadaan kita diamankan oleh hak kita untuk hidup di tanah ini dan atas kemampuan kita mempertahankannya.
Komentar: (1) Netanyahu memang benar. Esksistensi Israel "tidak tergantung pada kesediaan Palestina untuk berdamai." Itu berarti, keamanan jangka panjang Israel mempersyaratkan kesediaan Palestina untuk menerima Negara Yahudi. (2) Diskusi lebih lanjut seputar isu terkait, dapat dilihat pada weblog yang menjelaskan latar belakang pemikiran saya berjudul, "Recognizing Israel as the Jewish State: Statements" (Mengakui Israel sebagai Negara Yahudi: Pernyataan-Pernyataan) termasuk artikel saya yang terbit hari ini seputar topik penting ini, , "Accept Israel as the Jewish State?" (Menerima Israel sebagai Negara Yahudi?)
Pemutakhiran 23 Januari 2014: Reuven Berko, seorang pakar Israel soal Timur Tengah bergabung dalam perdebatan ini:
Tampaknya tidak ada alasan bagi bangsa kuno seperti bangsa Israel, yang hak-haknya atas tanah Israel dikukuhkan dalam Alkitab dan berbagai kitab suci lain, termasuk Al-Qur'an, untuk berjuang mendapatkan pengakuan dari masyarakat Palestina yang baru saja terbentuk. Tidak masuk akal bahwa kita harus mengupayakan pengakuan dari bangsa yang baru saja ditemukan, yang secara historis tidak pernah ada sebagai bangsa dalam bentuk apapun dan di manapun...Kebenaran berbicara. Perspektif ini menyebabkan tuntutan agar diakui oleh Palestina menjadi menggelikan.