Soner Cagaptay, mitra senior pada Washington Institute for Near East Policy, adalah salah seorang analis politik Turki yang paling tajam. Tetapi, kesimpulan yang dituliskannya dalam artikelnya berjudul, "Turkey Versus Turkey, yang diterbitkan dalam Harian Wall Street Journal Europe tidak saya setujui. Ketika mengamati "pertempuran untuk mendapatkan jiwa Turki" yang baru-baru ini terjadi antara "Turki sekular" dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa, dia berspekulasi tentang apa yang bakal terjadi andaikata AKP menang. Dalam kasus ini dia menulis;
Turki tidak bakal menjadi negara Shariah. Kaum fundamentalis Islam itu asing bagi jiwa Turki. Bagaimanapun, dia bakal menjadi negara di mana berbeda pendapat memang sulit.Masyarakat akan menutupi masalah itu dengan hubungan agama dan negara versi baru yang intim. Islam bakal mendominasi politik dan pendidikan sehingga membentuk tindakan administratif pemerintah --- seperti dengan membatasi pekerjaan wanita serta mengeluarkan ijin alkohol. Dengan kata lain, ia tidak terlalu mirip Italia yang sekular dan demokratis liberal tetapi lebih mirip Yordania yang otoriter dan tak sepenuhnya sekular. Ini benar-benar menjadi perjuangan bagi dua Turki yang berbeda.
Pernyataan bahwa AKP akan menerapkan tatatertib Islam tetapi bukan Shariah mengejutkan saya karena saling bertentangan satu sama lain. Mungkin saja bukan tatatertib Islam yang tidak lengkap (bahkan Republik Islam Iran memperbolehkan bunga atas uang) tetapi AKP tentu saja akan dengan kejam mendorong upaya untuk menerapkan Hukum Shariah. Dengan kata lain, dalam situasi politik, "Islam" sama dengan"Shariah." (8 Juli 2008).