Selama bertahun-tahun, Geert Wilders, dari Belanda menjadi politisi Eropa kenamaan yang memperdebatkan perlunya kriteria agama dalam penerimaan para imigran. Sejak sepuluh bulan lalu saya pun bergabung di dalamnya, dengan menuliskan sebuah artikel yang jauh lebih hati-hati menyarankan didorong dan dilaksanakannya zona cultural bagi pengungsi yang mana. Blog ini mengawasi pihak lain memperdebatkan perlunya memperhitungkan kebudayaan, agama dan lainnya ketika mempertimbangkan kebijaksanaan imigrasi.
Denmark:
Juru bicara wanita politik Inger Støjberg, dari partai oposisi terbesar negara tersebut, Venstre menuliskan sebuah artikel suratkabar yang menuliskan perlunya perbedaan antara "wargaKristen Amerika atau Swedia" pada satu pihak dan "Muslim Somalia atau Pakistan:"
IngerStøjbergdariDenmark. |
Memang tidak perlu menentukan persyaratan yang sama kepada setiap orang. Soalnya, ada aturan umum, ada perbedaan besar dalam kemampuan dan keinginan berintegrasi antara seorang Kristen Amerika atau Swedia dengan seorang Muslim Somalia atau Pakistan... Secara langsung dapat dikatakan, biasanya imigran Muslim yang tidak menghargai nilai demokrasi dan kebebasan. Pada lingkungan social tertentu, mereka langsung menentangnya. Banyak imigran yang tidak berasal dari Barat dengan latar belakang Muslim tidak menginginkan model masyarakat kita yang berorientasi bebas … Pada masa datang, kita harus memudahkan para imigran yang secara tradisional dapat dan akan berintegrasi untuk datang ke Denmark, namun pada pihak lain kita mempersulit orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan keinginan berintegrasi dengann masyarakat kita.(July 28, 2014)
Penambahan 17 Desember 2014: William Lacy Swing pernah menulis sebuah kisah mengagumkan tentang migrasi dengan judul, "A Vast Migration Tragedy " (Tragedi Migrasi Yang Dilebih-lebihkan." Di dalamnya dia mempertentangkan kisah penderitaan yang sangat mendalam dan berlarut-larut dari tragedi imigrasi di laut selama Perang Dunia II yang dialami [Keluarga Mefkure, Struma dan Keluarga St. Louis] dengan berbagai tragedi lebih besar serupa yang kini sedang terjadi. " Pada tahun 2014, jauh lebih banyak imigran meninggal dunia dalam perjalanan dibanding yang terjadi pada penumpang dan anak buah kapal dalam tiga perjalanan laut selama Perang Dunia II. Jumlah mereka mendekati 5000 korban jiwa." Memang, "tahun 2014 bakal menjadi tahun paling mengerikan bagi para imigran yang tercatat dalam sejarah."
Terlepas dari jumlah korban imigrasi yang jauh lebih besar ini, tulis Swing, para imigran tidak lagi mendapatkan belas kasihan orang lain seperti yang mereka alami 70 tahun lebih yang lalu.
Yang menyedihkan, imigrasi massal memunculkan ironi menyedihkan; yaitu terus meningkatnya perasaan antikaum migran di seluruh dunia. Kita pun melihat terus meningkatnya berbagai kebijakan yang menyebabkan migrasi menjadi kejahatan yang berdampak pada kematian… Sejarah mengingatkan kita bahwa menutup hati kepada orang-orang lain yang bernasib malang merupakan penyebab bencana. Yang menyedihkan adalah apa yang kini tengah terjadi di berbagai bagian dunia, dengan konsekwensinya yang tidak terhindarkan dan tragis bagi para migran yang berjuang mencari keselamatan diri.
Membaca buku itu saya pun menanggapi: kebudayaan merupakan kunci. Asumsi di balik seluruh artikel yang tidak diungkapkan oleh Swing adalah bahwa Barat merupakan tujuan dari semua pengungsi dunia. Tetapi mengapa buku ini hanya memfokuskan diri pada Barat dan bukan bagian lain dunia? Tentu saja masyarakat non-Barat pun memiliki kewajiban moral dalam hal ini juga.
Seperti saya tulis dalam artikel saya di atas, pengungsi Muslim kini sedang dalam perjalanan menuju Barat. Mereka adalah warganegara Bangladesh, Pakistan, Afghanistan, Iran, Irak, Suriah, Lebanon, Palestina, Mesir, Somalia, Aljazair dan negara-negara lainnya. Dengan demikian, tidak realistis meminta warganegara Eropa, Amerika dan Australia untuk menerima penduduk itu. Lebih baik, mereka seharusnya diarahkan kembali menuju ke Saudi Arabia dan Negara-negara lain yang secara kultural jauh lebih dekat dan sesuai.