SAYA PERLIHATKAN --- tiga hari lalu bahwa Donald Trump itu jauh lebih mirip dengan Benito Mussolino dibandingkan dengan politisi Amerika umumnya. Berikut ini pilihan kisah lainya seputar tema ini.
Dari perspektif kaum sayap kanan, dengan berbagai pemikiran serampangan yang bertentangan dengan kaum konservatif, Fedja Buric juga memperlihatkan kasus yang sama dalam tulisannya di Salon. Judulnya, "Trump's not Hitler, he's Mussolini: How GOP anti-intellectualism created a modern fascist movement in America" (Trump bukan Hitler, Dia Mussolini: Bagaiamana Anti-intelektualisme Partai Demokrat Membangun Gerakan fasis Modern di Amerika) (March 11, 2016).
Dimutakhirkan 11 April 2016: Daniel Krauthammer mengajukan pemikiran yang sama untuk Harian Weekly Standard dalam tulisannya "Without Exceptionalism: Trump doesn't know what makes America great" (Tanpa Kecuali: Trump Tidak Tahu Penyebab Amerika Menjadi Bangsa yang Agung). Berikut kutipannya:
Dia janjikan untuk "membuat Amerika kembali menjadi bangsa yang agung." Tetapi, di manakah dalam deklarasinya dapat kita temukan bahasa kredo Amerika? Dalam semua pidato, twit dan penampilan debatnya yang membingungkan, berapa banyak kalian dengan dia mengucapkan kata-kata kemerdekaan, kebebasan, demokrasi, Konstitusi, Para Pendiri Negara, hak, cita-cita, persamaan derajat dan peluang? Pernahkan dia kutip raksasa dewa politik kita --- Lincon atau Jefferson, F.D. Roosevelt atau Reagen? Tidak seperti semua kandidat lainnya, dari Republik dan Demokrat, dalam perlombaan ini dan dalam perlombaan yang sudah dilewati, dia benar-benar mengabaikan pemikiran yang menjadi inti dari eksperimen Amerika. Sebaliknya, dia ulangi kata-kata seperti menang, keagungan, kebesaran (huge), mengalahkan, membunuh, sepakat, berhasil dan kaya. Dia mengutip perbendaharaan kata-katanya dan dari bukunya sendiri. Pemikiran intinya ada dalam inti Trumpisme adalah ide untuk memenangkan. Dan menang, dari defenisinya sendiri, berarti mengalahkan seorang pecundang.
Pemutakhiran 18 Mei 2016: Robert Kagan dari Brookings Institution mencela lemahnya nilai moral Partai Republik dalam tulisannya berjudul, "This is How Fascism Comes to America" (Inilah Cara Fasisme Datang ke Amerika):
Trump tidak menawarkan obat ekonomi --- karena usulannya berubah setiap hari. Yang dia tawarkan adalah perilaku sebuah aura kekuatan yang kasar dan kebanggaan agresif seorang pria yang tidak menghargai hal-hal yang tidak menyenangkan budaya demokrasi yang dia klaim dan yang diyakini para pengikutnya, menyebabkan kelemahan dan ketidakmampuan nasional. Ucapan-ucapannya yang kacau balau dan bertentangan satu sama lain punya satu hal yang sama: Mereka memprovokasi serta memanfaatkan perasaan tidak puas serta menghina, mencampurbaurkannya dengan kepingan-kepingan rasa takut, kebencian dan kemarahan...
yang dia tebarkan itu hal yang para pendiri negara ini paling takutkan ketika mendirikan republik demokratis ini: mengumbar semangat popular, "para gerombolan massa gila-gilaan" (mobocracy). Selama beberapa dekade, para konservatif diperingatkan soal pemerintah yang mencekik mati kemederkaan. Tetapi di sini ada ancaman lain terhadap kemerdekaan yang pernah diingatkan oleh Alexis de Tocqueville serta para filsuf kuno. Yaitu bahwa orang dalam sebuah negara demokrasi yang begitu bersemnagat, marah dan tidak terbendung, mungkin bisa bertindak kasar terhadap seseorang bahkan institusi yang dibangun untuk menjaga kebebasan mereka.
Fenomena ini mulai menguat di negara-negara demokrasi dan kwasi-demokrasi lainnya selama abad silam, dan umumnya disebut sebagai "fasisme." Gerakan kaum Fasis memang tidak punya ideologi terpadu dan masuk akal, tidak punya perangkat penjabaran macam apa yang jelas bagi masyarakat sakit...Fasisme yang berhasil bukanlah soal kebijakan tetapi soal orang kuat, pemimpin (Il Duce, Der Führer) yang kepadanya nasib bangsa dapat dipercayakan. Apapun persoalannya, di dalam atau di luar negeri, bisa dia taklukan dan tidak perlu baginya untuk menjelaskan bagaimana...
Dengan demikian, gerakan politik massa itu punya kekuatan. Dengan demikian, bagi siapa pun penentangnya, dia bisa menjadi senjata yang menakutkan. Ketika dikendalikan dan diarahkan oleh seorang pemimpin tunggal, maka dia bisa diarahkan kepada siapapun yang dipilih oleh sang pemimpin. Jika seseorang mengkritik atau menentangnya, maka tidak ada soal lagi berapa pun popularnya atau dipujanya orang itu. Dia bisa saja seorang pahlawan perang kenamaan, tetapi jika sang pemimpin mencemooh dan menertawakan kepahlawanannya, maka para pengikutnya pun akan menertawakan serta menyorakinya juga. Dia mungkin pelindung tertinggi partai terpilih yang paling menghargai prinsip-prinsip. Tetapi jika dia ragu untuk mendukung sang pemimpin maka dia hadapi kematian politik.
ketika berkuasa, Trump sama sekali merasa tidak berutang budi kepada mereka dan kepada partai. Walau ada partai, dia bakal menaiki kekuasaan, memasuki Gedung Putih berkat segerombolan massa pengikut yang mendedikasikan diri hanya kepadanya...Dan untuk orang seperti Trump, mungkinkah dia bakal menjadi lebih rendah hati, lebih penuh pertimbangan, lebih murah hati, tidak mendendam dibanding sekarang ini dibandingkan selama hidupnya, ketika dia punya kekuasaan yang tidak terbatas di tangannya? Apakah kekuasaan yang sangat besar itu tidak korup?
Inilah cara bagaimana fasisme datang ke Amerika. Bukan dengan sepatu boot dan ucapan salam selamat datang (walau sudah ada ucapan hormat dan aroma kekerasan) tetapi ia datang bersama seorang penjaja keliling televisi, seorang milioner palsu, sebuah buku teks egomaniak "yang memasukan" perasaan tidak puas dan perasaan tidak aman yang luas bersama dengan seluruh partai politik nasional --- berkat ambisi atau loyalitas buta terhadap partai atau sepenuhnya karena takut---- sehingga membuatnya duduk manis sesuai dengan aturan yang ada.
Pemutakhiran 25 Mei 2016: Paul Ryan, Ketua DPR AS punya keprihatinan yang sama soal Trump, jika dia bisa lebih lembut mengungkapkan persoalan ini. Dia juga berada dalam posisi untuk langsung mengangkat soal calon presiden yang sombong : "Kami ingin untuk benar-benar memastikan bahwa pemangku standar kami memahami, mengapresiasi dan menghormati serta mendukung Konstitusi sekaligus macam-macam prinsip yang muncul bersamanya serta prinsip-prinsip yang ada dalam sejumlah pembicaraan yang kami lakukan."
Pemutakhiran 1 Juni 2016: Trump melancarkan berbagai serangan pribadi serta keras pedas terhadap Hakim Distrik AS, Gonzalo Curiel, yang memimpin dua gugatan perdana terhadap "Universitas Trump" yang memperlihatkan sikapnya yang menghina institusi pemerintahan yang lain.
"Saya kenal seorang hakim pembenci Donald Trump. Pembenci. Dia memang pembenci," kata Trump dalam kampanyenya di San Diego, kemudian menambahkan bahwa dia yakin, hakim kelahiran Negara Bagian Indiana itu orang "Meksiko."
Dia juga menyarankan untuk mengambil tindakan terhadap hakim itu pasca-Pemilu. "Mereka harus memeriksa Hakim Curiel karena apa yang dilakukannya itu benar-benar memalukan. Oke? Tetapi kami akan datang kembali pada Bulan Nopember. Bukankah akan menjadi bersimaharajalela jika saya presiden dan kembali ke sini mengajukan gugatan perdata? Tempat semua orang menyukainya. Oke? Ini namanya hidup, para saudara."
Berbagai pernyataan ini mengukuhkan bukti yang dikutipkan di atas. Bahwa Trump yakin dia mampu melakukan apapun yang benar-benar dia inginkan, tanpa mempedulikan lembaga, aturan, adat istiadat dan konvensi yang mendasari Pemerintah Amerika. Atau dalam kata-kata dari dosen hukum Universitas Case Western Reserve, Profesor Jonathan Adler, "Berkali-kali dia memperlihatkan indikasi dia tidak menghormati pemerintahan berdasarkan hukum." Dia juga tidak menerima adanya pengadilan yang mandiri
Pemutakhiran 3 Juni 2016: Adam Liptak lewat tulisannya dalam Harian New York Times berbicara tentang sikap Trump yang meremehkan pengadilan, katanya: "banyak ilmuwan hukum konservatif dan libertarian memperingatkan bahwa memilih Tuan Trump itu adalah resep bagi sebuah krisis konstitusional."
Pemutakhiran 19 Juni 2016: Sebuah karikatur karya Toles dalam Harian Washington Post memperlihatkan masa depan "Pelayanan Kebenaran Trump (Trump Ministry of Truth).
Pemutakhiran 20 Juni 2016: Jonathan Last menulis sebuah artikel, "The Trump Buffet" (Perjamuan ala Trump). Dikatakannya bahwa, "Trump pada titik ini, hanya seorang otoriter yang punya aspirasi. Namun sebaliknya, Trumpisme menjadi sebuah sistem otoriter yang sudah berkembang, mendukung kesetian dan antusiasme tanpa berpikir apa-apa serta mengabaikan kebenaran." Dia menekankan pemikiran ini dengan sebuah contoh yang bisa bercerita sendiri."
Coba ingat kembali setelah setengah lusin skandal atau lebih terjadi. Ketika terungkap bahwa Donald Trump biasa memanggil para wartawan tetapi memuji-muji dirinya sendiri sambil berpura-pura sebagai penulis berita bagi Donald Trump. Seperti yang dituliskan oleh Ben Domenech: "Ini yang terjadi dan bahwa Donald Trump mengakui apa yang terjadi, di pengadilan hukum dan di pers pada tahun 1990 dan pada 1991."
Tetapi ketika kisah itu kembali mengemuka,Trump berubah pikiran. Dia ngotot bukan saja bahwa hal ini tidak pernah terjadi tetapi bahwa dia pun tidak pernah mengakuinya juga sebelumnya. Jadi itu bohong, berlipat-lipat bohongnya. Kemudian Trump mengutus Paul Manafort untuk ngotot patuh mengatakan pada televisi nasional bahwa Trump kini katakan ia (baca: Manafort) tidak pernah berpura-pura menjadi wartawannya dan Manafort pun mempercayainya.
Yang penting di sini bukan kebohongannya, tetapi fakta bahwa Trump sadar bahwa dia berbohong dan bahwa Manafort pun tahu bahwa dia berbohong dan bahwa mereka berdua sama-sama tahu bahwa anda pun tahu mereka sedang berbohong juga. Dan bahwa mereka tidak peduli, karena yakin mereka punya otoritas untuk membuat anda setuju tanpa protes dengan realitas versi mereka. Jadi dalam Trumpisme, kebohongan menjadi praktek kekuasaan.
Yang terakhir berlanjut dengan membandingkan kemampuannya untuk memaksakan kebohongan atas para pengikutnya untuk mengikuti sistem Soviet seperti dianalisa oleh Václav Havel. Caranya, dengan memaksa seorang penjual buah memasang tanda di kaca tokonya yang berbunyi, "Para pekerja sedunia, bersatulah!"
Pemutakhiran 6 Juli 2016: Sebuah survei NBC New menemukan bahwa Trump mengecam teman-temannya dari Partai Republik seperti George Bush, John McCain dan Mitt Romney, tetapi memuja-muja para diktator seperti Saddam Hussein, Muammar Qaddafi, Vladimir Putin, Kim Jong Un, Partai Komunis Cina dan (tentu saja) Benito Mussolini. Kecenderungannya untuk lebih menyukai para tiran dibandingkan dengan para pemimpin yang terpilih secara demokrasi memperlihatkan bahwa ada yang berbeda dari klaimnya. Dia mengklaim bahwa Alkitab adalah pedomannya, tetapi ternyata Friedrich Nietzsche adalah inspirasinya yang sebenarnya.
Pemutakhiran pertama, 17 Juli 2016: Sam Nunberg, mantan ajudan Donald Trump berbicara tentang bekas pimpinanya sebagai berikut: "Dia mulai menampilkan diri seperti Obama dari Partai Republik dan bagaimanapun juga berubah menjadi Mussolini."
Pemutakhiran kedua, 17 Juli 2016: Michael Grunwald meninjau persoalan ini lewat artikelnya, "Donald Trump's One Unbreakable Policy: Skip the Details" ( Kebijakan Tunggal Donald Trump yang Tidak Terpecahkan: Abaikan saja Penjelasannya) yang diterbitkan dalam Politico sebagai berikut:
Dia punya teori sendiri tentang Pemilu. Yaitu bahwa kebijakan tidak banyak berpengaruh dan rincian sama sekali tidak ada masalah. Dia menampilkan sikap dan karisma berdasarkan kekuatan dan suksesnya. Pada keyakinan bahwa elit yang kekanak-kanakan membuat Amerika menjadi pecundang dan bahwa dia superhero yang mampu membuat Amerika kembali menang. Nyaris untuk semua persoalan, dia punya satu rencana pemikiran: Akan dia selesaikan. Dalam acara penggalangan dana baru-baru ini untuk Chris Christie...Trump meminta para donator kaya yang hadir supaya tidak membuang waktu memikirkan kebijakan ekonomi: "Banyak dari kalian tidak tahu dunia ekonomi dan anda bahkan tidak seharusnya merasa terganggu. Cukup lepaskan itu pada saya. Pergilah dan nikmatilah hidupnya.
Anda bisa melihat Trump yang tidak memilah-milah pembicaraannya dalam Bagian "Issues" dalam websitenya sendiri. Di dalamnya, dia menampilkan 20 video pendeknya tentang dirinya sendiri. Digambarkan, dia sendiri sedang duduk di sebuah kursi dan tengah membahas berbagai isu ...Untuk mengatakan bahwa video yang sama panjangnya dengan twit-nya sendiri itu sebetulnya merefleksikan tingkat rincian yang bisa dilakukan seorang murid sekolah dasar bisa menjadi penghinaan terhadap sekolah-sekolah dasar. Jika ingin menonton semua video itu, yang memang lucu untuk dilakukan, anda bisa melihat sejumlah posisi kebijakan yang sebenarnya...Akan Anda saksikan sebagian besar janji-janji macho dengan kata-kata hampa sangat manis yang disiarkan dengan rasa pasti yang menarik.
Memang para politisi kerapkali membuat janji-janji yang terlampau penuh percaya diri namun tidak matang untuk bisa menyelesaikan masalah, bahkan jika mereka biasanya tidak menggunakan retorika yang begitu banyak diambil dari metafora para pria tangguh dan percaya diri kuno. (Seperti terlihat dalam pernyataan, "Anda percaya kepada saya! Percayalah, saya akan selesaikan masalahnya."). Yang benar-benar memisahkan Trump adalah bahwa dia bahkan jarang mencoba menjelaskan bagaimana dia akan melepaskan diri dari ISIS, bagaimana dia akan menciptakan lapangan kera, bagaimana dia akan membuat orang-orang yang kecanduan lebih baik. Dia hanya akan. Tidak khawatirkan soal bagaimana.
Pemutakhiran 21 Juli 2016: Saya menulis berdasarkan analisis ini hari. Tulisan saya berjudul, ""Why I Just Quit the Republican Party" (Mengapa Saya Tinggalkan Partai Republik) pada hari ini kemudian membahas berbagai kritik atas tulisan saya tersebut dalam tulisan berjudul, "Blowback from Criticizing Trump" (Serangan Balik karena Mengkritik Trump).
Pemutakhiran pertama, 22 Juli 2016: Michael Gerson menemukan apa yang disebutnya, "wajah otoritarianisme Amerika" dalam pidato sambutan Trump pada 21 Juli 2016 hari ini. Gerson memulai dengan memperhatikan bahwa Amerika Serikat memang pernah punya persoalan nyata.
Ada resesi jangka panjang yang dialami para pekerja penerima gaji (yang Partai Republik tidak pernah tawarkan sedikit pun jawaban praktisnya). Pendidikan yang kurang bermutu terpusat dalam komunitas-komunitas yang sangat miskin. Kongres tidak berfungsi. Ada Mahkamah Agung yang tampaknya terlampau politik dan berorientasi pada hasil. Setiap orang bisa menemukan sejumlah alasan untuk kecewa.
Untuk berbagai kegagalan ini, ada dua kemungkinan jawaban.
Pertama, jawaban institusional: Untuk membangun kembali dengan bahan-bahan yang ada. Untuk mereformasi, memperbaiki, mengambil kembali serta memperbarui warisan leluhur kita. Alternatif kedua adalah janji untuk melepaskan diri dari beban yang diberi oleh seorang penunggang kuda --- satu-satunya pemimpin yang mengaku hendak mewujudnyatakan kepentingan-kepentingan "masyarakat."
Di Cleveland, Trump menawarkan pilihan kedua dengan cara yang lebih jelas dibanding politisi manapun yang saya temukan selama hidup saya. Pidatonya nyaris tidak berisi diskusi serius tentang kebijakan publik atau argumentasi ideologis. Sebaiknya, Trump mengatakan: "Sayalah suara kalian." "Saya tidak bisa berpaling." "Saya sadari, waktu untuk bertindak sudah tiba." "Saya bisa menjadi juaramu." "Saya akan berjuang demi kalian dan saya akan menang bagi kalian."
Gerson pun menemukan momen yang aneh.
Sebuah partai dengan sejarah yang luar biasa mengagumkan dan biasanya dipimpin oleh pria dan wanita dengan semangat publik dan sopan namun telah merangkul seorang demagog yang mugkin menjadi ancaman nyata terhadap demokrasi Amerika.
Pandangan Trump tentang Amerika Serikat yang senantiasa negatif dengan demikian punya tujuan tertentu: Dia lalu menulis;
Ia menanamkan situasi panik guna meningkatkan toleransi masyarakat demi risiko politik --- dalam kasus ini, risiko dari seorang kandidat yang tidak teruji, tidak siap, tidak stabil serta tidak cocok. Dan kesadaran wajib terhadap situasi darurat ini dibangun dengan cara menciptakan mimpi buruk bagi Amerika dengan persoalan para migran, pengungsi serta kaum Muslim. Ketika berdiri di lantai konvensi itu, bisa saya lihat tampang otorianisme Amerika yang mungkin terlihat nanti.
Jika Trump terpilih menjadi presiden, dia bisa dengan tepat mengklaim mandat untuk mengejar para musuh masyarakat, dari luar dan dalam negeri. Dan jika dia menguji batas-batas kekuasaan eksekutif untuk menghukum saingannya dan mengintimidasi para lawannya, maka jelas, dia sudah tidak menyembunyikan niat-niatnya lagi.
Pemutakhiran kedua, 22 Juli 2016: David French memperhatikan betapa pidato sambutan Trump itu berbeda dari norma-norma Partai Republik:
Selama hidup, tidak pernah saya bisa ingat, seorang kandidat Partai Republik yang begitu menekankan kemampuan seorang pemimpin nasional untuk mengubah kehidupan masyarakat Amerika. Saya dan saya sendiri akan melindungi warga Amerika dari ISIS, dari kejahatan dalam negeri dan dari pasar bebas, urai Trump memaklum. Perusahaan-perusahaan tidak bakal memindah pabrik-pabrik mereka, upah buruh akan dinaikan dan perdagangan segera berlangsung adil. Bagaimana? Jangan tanya. Dia akan membuatnya demikian.
Juga tidak saya ingat pidato seorang kandidat Republik modern yang tidak banyak memberikan tekanan terhadap persoalan kehidupan, kemerdekaan atau Konstitusi. Tidak pernah dia sebut soal aborsi atau soal Roe atau Wade (sebuah keputusan pengadilan yang sangat monumental soal aborsi yang dikeluarkan pada tahun 1973, JEL). Diskusinya tentang kebebasan beragama sepenuhnya terpusat seputar Amandemen Johnson --- legislasi kabur yang memisahkan gereja dari politik --- dan mengabaikan hal-hal memprihatinkan yang lebih besar seputar kemerdekaan bahkan eksistensi institusi agama di hadapan semakin meningkatnya kelompok-kelompok progresif sekular militan. Dalam sebuah pidato selama 75 menit yang terasa bahkan lebih panjang lagi, dia hanya satu kali menggunakan kata "kemerdekaan." Sedangkan "Kebebasan" tidak pernah terdengar.
Pemutakhiran ketiga 22 Juli 2016: Jeff Greenfield menemukan sebuah analogi historis yang berbeda lewat tulisannya berjudul, "Donald Trump's Caesar Moment" (Masa Kaisar Donald Trump) supaya bisa memahami pidato sambutan Donald Trump:
dalam aliran pidato yang paling tepat diterima, dia memberitahu kita, tentang sistem kita yang "dijalankan secara curang": "Saya sendiri bisa memperbaikinya." Memperbaikinya dengan kepemimpinan partainya sendiri dalam Kongres atau dengan rakyat yang bersemangat untuk melakukannya? Tidak. "Saya sendiri mampu perbaiki."
Dalam begitu banyak cara lain, Trump menghadirkan diri sebagai satu-satunya orang yang dikaruniai kekuatan untuk melakukan apa yang tidak bisa dilakukan seorang atau institusi pun. Pertimbangkan bagaimana dia menjelaskan kunjungannya kepada "para pekerja pabrik yang diberhentikan dari tempat kerja dan kepada berbagai komunitas yang dihantam oleh kesepakatan perjanjian perdagangan kita yang mengerikan serta tidak adil. Inilah para pria dan wanita negeri kita yang terlupakan. Orang-orang yang bekerja keras tetapi tidak lagi mempunya suara. Saya menjadi suara kalian."
Trump menghadirkan dirinya sendiri sebagai solusi masalah bagi banyak persoalan kita:
"kejahatan dan kekerasan yang kini mengganggu negeri kita bakal segera berakhir."
"Berkaitan dengan economi, akan saya buat bagan reformasi ekonomi supaya bisa menambahkan jutaan pekerjaan baru serta triliunan uang dalam kekayaan baru yang dapat digunakan untuk membangun kembali Amerika."
"Pada 21 Januari 2017, sehari setelah saya menerima sumpah resmi, warga Amerika akhirnya akan sadar dalam sebuah negeri di mana hukum Amerika akan ditegakan."
"Saya berniat membawa kembali pekerjaan kita ke Ohio...dan ke Amerika--- saya tidak berniat untuk biarkan perusahaan-perusahaan pindah ke negara-negara lain sehingga memecat para karyawan mereka selama masa itu tanpa konsekwensi apa-apa."
Greenfield temukan dalam pidato itu, petunjuk menuju filsafat politik Trump: " Itulah filsafat Kekaisaran (Caesarism): percaya kepada seorang pemimpin yang sangat kuat yang berkat kekuatan pribadinya menerapkan tatatertib atas sebuah tanah yang dilanda bahaya." Sehingga sebaliknya menjelaskan kwalitas yang suram dan presentasinya: "karena bangsa-bangsa jatuh di bawah goyangan seorang Kaisar hanya ketika mereka terperangkap oleh rasa takut. Dan tema penting pidato penyambutan ini adalah: takutlah; jadilah sangat ketakutan."
Pemutakhiran pertama 23 Juli 2016: Fareed Zakaria mencatat adanya ciri Peronis (misalnya neo-fasis) dari fenomena Trump:
Trump bahkan tidak berpretensi untuk punya ideologi sendiri. Ide utamanya adalah bahwa ia orang yang agung dan jika negeri ini memilihnya, dia akan membuatnya makin agung. "Berbagilah kemuliaan bersama saya," jerit Evita Peron dalam sebuah film karya Andrew Lloyd Webber, itulah juga yang Trump janjikan kepada pendukungnya. Ironisnya, Trump mencemooh para imigran Latin sehingga kampanyenya mencerminkan adanya kaum Peronis Amerika Latin, yang percaya kepada orang kuat di atas perangkat pemikiran apapun.
Kaum Peronis merasa diperkuat oleh tekanan yang tanggung terhadap anak-anak Trump, yang difilmkan sepanjang konvensi tersenyum indah sambil melambaikan tangan kepada massa pemujanya dari sebuah ruang megah. (Bill Maher mengajukan pemikiran yang sama). Dengan gaya dinasti yang baik, mereka menjadi wakil-wakil kuncinya dalam bisnis dan kampanyenya. Seperti Harian The Post perlihatkan, sama banyaknya dengan yang dikatakan Trump ...seperti para senator yang sedang duduk."
Kenyataannya, pokok-pokok pikiran setiap petang itu dijadikan pidato oleh seorang anggota keluarga. Dan ketika keluarga itu berbangga dengan tempatnya, para pembantu Trump pun menjadi barang yang dipamerkan. Tidak satupun dari lima mantan kandidat presiden Partai Republik yang masih hidup (dua dari mereka presiden) berbicara. Tetapi Winery, manager Trump mendapatkan kesempatan yang menyenangkan untuk berbicara, sama seperti yang dilakukan seorang asistan kepada anak-anak.
Pemutakhiran kedua, 23 Juli 2016: Emanuel L. Paparella, seorang pakar humanisme Italia bertanya-tanya apakah Trump adalah "Inkarnasi Benito Mussolini?" Dan dia menemukan banyak kesamaan antara keduanya:
ada sikap benci kepada orang asing, kecenderungan ultra nasionalisme yang dipertontonkan sebagai patriotisme, sikap anti-media serta anti kebebasan berbicara, menekankan hirarki gaya lama seperti otoritas, kepatuhan, militerisme, kerja keras dan disiplin, pemulihan kemulian dan keagungan bangsa, kemurnian ideologis, perbaikan kembali ketidakadilan sosial yang dipersepsi serta populisme. Perlu diingat juga bahwa Mussolini mengawali karirnya bukan sebagai fasis tetapi sebagai sosialis yang bersimpati terhadap penderitaan kaum yang kurang beruntung tetapi kemudian secara oportunis mengubah arah ketika angin politik berubah; sesuatu yang juga Trump lakukan. Dia memulainya sebagai demokrat yang mendukung pilihan pribadi dan sekarang menjadi anggota Partai Republik pendukung kehidupan (pro-life). Seruannya kepada komunitas gay serta upaya untuk mencoba mengecam penderitaannya bukan terletak pada sikap fanatik penduduk pribumi tetapi pada terorisme internasional (karena itu, amukan di Orlando sangat sering disebutkannya) juga membangkitkan minatnya.
Tatkala merujuk kepada pidato sambutan Trump pada 21 Juli lalu, Paparella mencatat bahwa;
bahasa tubuh dan gerakannya selama pidatonya selama satu jam lebih terasa sangat akrab dengan gaya Mussolini (Mussolinesques). Caranya menaikan dagu dengan mulut terkunci kemudian mengangkat jari-jarinya, yang memperlihatkan tekad dan pendiriannya yang keras mengukuhkan adanya perasaan diri lebih unggul dari seseorang. Yang diperlukan adalah helm perang sehingga kemiripan antara, antara Donald Trump dan Mussolini menjadi sempurna. Sejumlah orang bergerak lebih jauh dengan mengatakan bahwa kita sedang menyaksikan inkarnasi nyata dari diktator yang jahat.
Perhatikan, ada kemiripan? |
Pemutakhiran ketiga, 23 Juli 2016: Jonah Goldberg mencatat bahwa pesan dari pidato sambutan Trump itu;
tidak ada kaitan sama sekali dengan test litmus atau daftar pengecekan kaum konservatif. Tidak! Yang diinginkan untuk bisa dibawa pulang adalah, "Perhatikan Manusia Kuat ini! Tataplah daerah pemilihan Trump, para mahasiswa yang diplonco karena Kaisar baru kita sudah ada di sini membawa sebuah Roma Baru (atau memulihkan Roma lama) dengan kekuatan kehendaknya..."
Tidak ada dalam bagian pidatonya, Trump memperlihatkan pemahamannya pengertian bahwa dia memang tahu --- atau peduli--- bagaimana dia bisa menyelesaikan persoalan ini dengan "kekuatan kehendaknya yang sangat kecil." Yaitu persoalan seputar pemikiran magis yang tidak butuh anda jelaskan. Hal-hal yang Kita Nantikan, memang kita dapatkan namun orang-orang lain tidak bakal bisa.
Pemutakhiran 24 Juli 2016: Supremasi atau perasaan diri unggul di kalangan kaum kulit putih bukan saja untuk menyambut Trump dengan antusias, tetapi juga untuk pertama kalinya mengikuti Konvensi Nasional Partai Republik. Steve People melaporkan untuk Kantor Berita Associated Press dari Cleveland sebagai berikut:
jauh dari upaya untuk bersembunyi dalam ruangan ngobrol santai atau di bawah sprei putih, mereka justru bersorak-sorai menyambut kandidat presiden dari Partai Republik dari dalam ruangan Konvensi Nasional Partai Republik selama pekan lalu. Meski bukan utusan resmi, mereka mendapat mandat untuk menghadiri pertemuan empat tahun sekali tertinggi partai tersebut...
"Saya tidak yakin orang-orang benar-benar menghargai seberapa jauh dia (baca: Donald Trump) mengubah partai," urai Richard Spencer, 38, seorang pria tahun dari Arlington, Virginia yang terbiasa berkeliaran di Manhattan, ketika dia menyerukan supaya warga Afrika Amerika, Hispanik dan Yahudi diusir dari Amerika Serikat. Seperti banyak orang dalam kelompoknya, Spenser mengatakan konvensi tahun ini baru pertama kali dia ikuti. Karena itu, dalam berbagai kisah sosial medianya, dia memasang gambar-gambar dirinya mengenakan topi merah kelompok Trump dengan tulisan, "Make America Great Again" (Membuat Amerika Kembali Agung) ketika berkumpul di Quicken Loans Arena.
Dikatakannya, dia berharap bisa mengikuti konvensi partai pada masa datang. "Banyak anggota sayap kanan berkumpul di sini," urainya, kemudian menyebutkan angka puluhan dari mereka yang menghadiri konvensi partai itu pekan ini ."Kami merasa ada modal yang ditanamkan dalam kampanye Trump."...
Pesan "Amerika Pertama" Trump didukung oleh seruannya untuk membangun tembok besar perbatasan serta perhatiannya yang terpusat pada soal para imigran yang jahat memang berhasil membangkitkan semangat anggota masyarakat seperti Spenser. Dia pun menjelaskan suasana batin mereka sebagai "eforia..."
Spencer dan segelintir temannya yang berpikir sama dengannya, hampir semuanya mengenakan pakaian konsevensi dan perlengkapan-perlengkapan seperti yang dikenakan Trump. Mereka mengungkapkan gema yang muncul di kalangan penduduk pribumi ---dan karena itu, rangkaian twit selama tahun tahun silam menandai sikap yang mereka setujui. "Percayalah saya. Trump berpikir seperti saya," urai Spenser. "Anda pikir apakah ini kebetulan bahwa semua orang seperti saya menyukai Trump lalu mendukungnya?'
Pemutakhiran pertama 25 Juli 2016: Dalam pemutakhiran tulisannya pada 20 Juni 2016 lalu yang ditertera di atas, Jonathan Last memperlihatkan bagaimana Trump memaksa manajer kampanyenya, Paul Manafort, untuk berbohong demi dia karena upayanya untuk berpura-pura menjadi wartawan penulis berita tentang dia sendiri, dengan kalimat yang lucu, "Dalam Trumpisme, berbohong merupakan praktek kekuasaan."
Namun, masih ada lagi paksaan terhadap seorang sahabat (ally) untuk berbohong demi dia yang lebih mengesankan, ungkap Ketua RNC, Reince Priebus 'seperti dilaporkan oleh Harian Washington Examiner, sebagai berikut:
Trump tidak mengaku hendak meneruskan "informasi yang sebenarnya" ketika dia menghubungkan ayah Senator Ted Cruz dengan Lee Harvey Oswald, pembunuh Presiden Kennedy, sehari setelah Kennedy menerima nominasi presiden dari Partai Republik.
"Bagaimanapun, dia punya hak untuk membicarakan apa saja yang ingin dia bicarakan. Tidak saya pikirkan dia pernah mengatakan ini sebagai informasi yang sebenarnya," Priebus mengungkapkan hal ini dalam sebuah konperensi pers pada acara Konvensi Nasional Demokrat. " Itulah yang dirujuknya. Dia memulainya dari sana. Yang saya pedulikan bahwa kita bisa bergerak maju dari sana."Pada Bulan Mei lalu, untuk pertama kalinya Trump mencoba mengkaitkan ayah Cruz dengan pembunuhan John. F. Kennedy. Dia ulangi lagi pernyataan itu pada hari Jumad, menyusul hiruk pikuk keputusan Cruz untuk tidak mendukung Trump dalam pidatonya dalam konvensi pada Hari Rabu.
"Saya pikir dia hanya kebetulan saja menyinggung soal itu. Tetapi karena semua orang terpaku pada pemikiran itu maka ia menjadi kontroversi, namun sendiri tetap melihat gambaran menyeluruh tentang Donald Trump, " urai Priebus, "maksud saya, itu soal retorika yang semuanya bisa anda perdebatkan hingga sapi pulang kandang tetapi tidak mengidentifikasi kampanye Donald Trump."
Jadi ringkasnya, Priebus katakan kepada kita bahwa Trump tidak pernah melontarkan tuduhan yang pernah dia lontarkan dan karena itu, tidak ada masalah.
Komentar: Saya bertanya-tanya, siapa lagi bakal Trump tekuk sesuai keinginannya dengan aksi tipu-tipunya itu. Apakah Paul Ryan? Mitch McConnell? Mike Pence?
Pemutakhiran kedua 25 Juli 2016: Pidato sambutan Trump mengingatkan Eugene Robinson pada pidanto Juan Peron dari Argentina, karena itu dia mengatakan;
Sejumlah besar warga Amerika memberi tahu lembaga pembuat polling bahwa mereka yakin bangsa ini sedang "salah jalur." Pernyataan itu memang biasa dikatakan oleh partai yang berada di luar kekuasaan---dalam kasus ini Partai Republik---yang mencoba membesar-besarkan rasa tidak puas masyarakat. Sayangnya Trump melakukannya dengan cara aneh dalam tradisi politik kita. Dia tidak menawarkan solusi bagi Partai Republik. Juga tidak menghadirkan seperangkat kebijakan yang realistis atau bahkan sebuah filsafat yang utuh padu. Dia justru menawarkan dirinya sendiri.
"Saya sendiri "bisa memperbaiki sistem yang rusak," Trump memaklumkan. "Orang-orang sudah bekerja keras tetapi tidak lagi punya suara: maka saya menjadi suara anda." Itulah pidato yang dia sampaikan dari sebuah balkon di sebuah yang tidak bermutu (republic banana).
Saya tidak kuasa membantu, tetapi kembali terkenang pada masa beberapa tahun silam ketika menjadi korepsponden luar negeri untuk Harian The Post, saat meliput berita tentang Amerika Selatan. Politisi yang muncul dalam benak saya kala itu adalah Juan Perón, orang kuat Argentina yang ideologinya sama-sama bertentangan dalam dirinya sendiri --- dan yang warisan pemerintahannya justru mengubah negaranya yang kaya raya menjadi keranjang ekonomi dan politik.
Pemutakhiran 8 Agustus 2016: Jeffrey Herf, seorang sejarahwan khusus tentang Nazi Jerman, melihat "adanya luapan fasisme" ketika berbicaa tentang Konvensi Nasional Partai Republik pada Juli lalu. Dikatakannya,
Kovensi itu mirip tontonan kaum fasis dalam sejarah politik modern Amerika. Sejauh mana delegasi Trump menikmati kebencian mereka untuk mencemooh kekuasaan berdasarkan hukum, sangat jelas terlihat ketika Gubernur New Jersey Christ Christie berhasil mengubah delegasi itu menjadi segerombolan massa yang meneriakan kata-kata "penjarakan dia" saat Donald Trump sendiri memainkan peran sebagai jaksa bagi Hillary Clinton. Seperti pidato Trump sendiri, seruan dan tangggapan terhadap pidato Christie menjadi kesempatan ketika orang merasa bebas dari peradaban dan sopan santun. Ketika gerombolan massa merasakan kenikmatan karena bisa mengeluarkan semua rasa benci dan dendam mereka kepada Clinton.
Pidato sambutan Trump tidak punya substansi apa-apa, hanya mengulang-ulang cercaan kaum muda seputar, "ketidakjujuran Hillary" kemudian mengungkapkan apa yang sudah jelas, misalnya bahwa dia yakin bahwa "saya sendiri" bakal mampu memulihkan hukum dan tatatertib yang membuat Amerika kembali bangsa yang agung lagi. Delegasi-delegasi yang adal dalam ruangan itu menikmatinya.
Pemutakhiran 10 Oktober 2016: Dalam perdebatannya yang kedua dengan Hillary Clinton, Trump mengancam: "Jika menang, saya berencana memerintah jaksa agung saya supaya dia mengangkat jaksa khusus yang memeriksa situasi anda [email yang sudah anda hapuskan]." Clinton menanggapi dengan mengatakan," sangat bagus bahwa orang bertemperamen seperti Donald Trump tidak bertanggung jawab terhadap hukum di negeri kita." Trump menimpali dengan mengatakan, "Karena anda akan dipenjarakan." Komentar: ancaman Trump untuk memenjarakan penantangnya dalam Pemilu itu benar-benar suatu bentuk fasisme.
Ketika mengomentari perdebatan ini, Max Boot dari Dewan Hubungan Luar Negeri Council on Foreign Relations) mencatat bahwa;
Dengan cara lain, Trump mengungkapkan rasa kagumnya terhadap para diktator dan berusaha menyaingi "teknik-teknik "Bohong Besar" mereka supaya bisa meraih dan mempertahankan kekuasaan. Jika kita butuh bukti lagi, maka perdebatan memperlihatkan betapa tidak berprincipnya pencari kekuasaan Trump itu--- betapa dia bersedia untuk mengatakan atau melakukan apa saja, untuk keluar batas apapun, untuk melanggar norma perilaku budaya guna memuaskan egonya yang tidak terpuaskan. Dia menampilkan diri sebagai demagog yang tidak mengindahkan moral yang membahayakan demokrasi yang lain yang tidak pernah Amerika Serikat lihat sejak masa jaya Huey Long dan George Wallace.
Pemutakhiran 13 Oktober 2016 update: Ketika membela diri dari tuntutan melakukan perundungan seksual, Trump semakin jauh memerosotkan dirinya menjadi rawa penyebab penyakit demam dari kaum ekstrim kanan ketika mengatakan;
Pernyataan Trump, yang dia baca dari teleprompter dirajut dengan semacam konspirasi global berbarengan dengan cercaan-cercaan umum yang muncul dalam berbagai tulisan kaum sayap kanan, para aktivis nasional kulit putih yang melihatnya sebagai juara mereka. Beberapa pengamat juga mendengar gema cercaan anti-Semit yang historis dalam tuduhan Trump bahwa [Hillary[ Clinton bertemu secara rahasia dengan bank-bank internasional guna berkomplot melancarkan aksi merusak kedaulatan AS." Juga tuduhan bahwa media dan elit keuangan adalah bagian dari komplotan rahasia tanpa jiwa yang keluar untuk menghancurkan "peradaban kita yang agung."
Pemutakhiran 2 Nopember 2016: James Kirchick membuat sorotan tajam terhadap para pengikut calon presiden dari Partai Reublik ini dalam tulisannya berjudul, "Who Goes Trump?" (Siapa Ikuti Trump?). Sepanjang tulisannya dia menawarkan penilaiannya tentang Trump:
Lebih daripada buku manapun yang pernah saya baca atau kuliah yang pernah saya ikuti, fenomena Trump menjelaskan keadaan era 1930-an kepada saya. Kala itu saya seolah-olah menyaksikan begitu banyak orang rasional yang terjebak dalam kebohongan seorang demagog penipu yang berjanji bahwa dia "sendiri" mampu "memperbaiki" semua persoalan negara kemudian menggembar-gemborkan upaya untuk melemparkan para penantangnya ke dalam penjara, (ketika dia justru tidak mendesak masanya yang sangat berisik untuk membunuhnya), seseorang mulai memahami seberapa modern, terpelajar, majunya negeri seperti Jerman yang berubah menjadi Nazi.
Sudah anda saksikan gejojak gerakan fasis yang baru lahir di Amerika. Ada kesamaan antara para pengikut Partai Republik Tua Nan Agung (GOP) yang tidak bermoral yang bersedia melakukan apa saja untuk meraih kekuasaan dengan para pemimpin Jerman yang berpikir bahwa Hitler bisa "dikendalikan." Keduanya pun sama-sama menyedihkan, karena sama-sama menakutkan.***